Mengenal Kitab-kitab Mazhab Syafi'i (Dauroh Pengantar Fiqih Syafi'i Eps 5) - Ustadz Aris Munandar
Kitab Mazhab Syafi'i dan Para Tokoh Ulama - Ust Ahmad Sarwat, Lc,. MA,
1) MENGENAL KITAB AL-UMM KARYA ASY-SYAFI’I
MENGENAL
KITAB AL-UMM KARYA ASY-SYAFI'I - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Link Kitab
Al-Umm :
·
كتاب الأم للإمام
الشافعي : mhashish :
Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive
·
تصفح وتحميل كتاب الأم – الشافعي – ط
دار المعرفة
Pdf - مكتبة عين الجامعة (univeyes.com)
·
كتاب بصيغة Pdf الأم الشافعي
ط دار المعرفة : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive
·
كتاب الأم للشافعي - ط الفكر - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
Sumber : Ust. Muafa
MENGENAL
KITAB AL-UMM KARYA ASY-SYAFI'I - IRTAQI | كن عبدا لله
وحده
Al-Umm (الأم) adalah kitab yang ditulis
Asy-Syafi’i dan menjadi kitab fikih paling populer yang dinisbatkan kepada
beliau (pembuktian bahwa Al-Umm adalah tulisan Asy-Syafi’i bisa dibaca pada
artikel saya yang berjudul “Benarkah Kitab Al-Umm Ditulis Oleh
Asy-Syafi’i?”). Kitab ini adalah cerminan fase akhir dari
kematangan ijtihad Asy-Syafi’i setelah “berpetualang” mencari ilmu, menggali,
berdebat, berdiskusi, dan merenung di Hijaz, Irak dan Mesir. Kitab ini juga menjadi kitab Asy-Syafi’i yang paling terakhir ditulis.
Bisa dikatakan Al-Umm juga mencerminkan madzhab jadid Asy-Syafi’i. Perawinya adalah
Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi, murid Asy-Syafi’i yang paling berjasa
menyebarkan kitab-kitab beliau sebagaimana sudah di”ramal”kan sendiri oleh sang
imam menjelang wafatnya. (untuk mengetahui cerita lebih detail tentang
“ramalan” Asy-Syafi’i terhadap Ar-Robi’ bisa dibaca tulisan saya yang berjudul
“Karomah Al-Imam Asy-Syafi’i“). Dalam perkembangan madzhab selanjutnya, kitab Al-Umm akhirnya
menjadi pelopor yang darinya lahir banyak ratusan bahkan ribuan kitab fikih
bermadzhab Asy-Syafi’i.
Adapun cara Asy-Syafi’i dalam menulis dan
mentransferkan naskahnya kepada murid-muridnya, hal itu bisa kita ketahui dari
laporan Yahya bin Nashr Al-Khoulani. Menurut informasi Yahya Al-Khoulani,
pertama-tama Asy-Syafi’i menulis kitab tertentu yang sudah diniatkannya. Dalam
proses menulis ini, Asy-Syafi’i hanya mengandalkan hafalannya tanpa bergantung
pada buku apapun. Jika sudah selesai, datanglah Ibnu Harom yang akan mengambil
naskah itu kemudian menyalinnya. Setelah itu Al-Buwaithi, murid Asy-Syafi’i
yang paling senior akan membacakannya di depan Asy-Syafi’i agar dikoreksi.
Semua yang hadir mendengar, kemudian menyalin dari naskah yang sudah
dikoreksikan itu. Dengan cara seperti inilah Ar-Robi’ mendapatkan naskah
tulisan kitab Al-Umm yang langsung ditulis oleh Asy-Syafi’i. Hanya saja,
Ar-Robi’ dikenal banyak membantu mengurusi kebutuhan Asy-Syafi’i. Oleh karena
itu wajar jika kadang-kadang beliau tidak ikut mendengar. Jika terjadi seperti
ini, biasanya yang luput akan dikoreksikan sendiri langsung kepada Asy-Syafi’i.
Dari sinilah bisa kita pahami, jika dalam
kitab Al-Umm ada
kata-kata Ar-Robi’ yang berbunyi “akhbarona Asy-Syafi’i” (أخبرنا
الشافعي), maka hal itu menunjukkan bahwa yang
ditulis Ar-Robi’ adalah naskah yang riil ditulis Asy-Syafi’i yang kemudian
ditulis oleh murid-muridnya lalu dikoreksikan kepada Asy-Syafi’i kemudian
diijazahkan kepada mereka. Jenis penukilan naskah dengan model ini
adalah bagian terbesar dalam Al-Umm. Adapula yang ditulis Ar-Robi’ melalui jalan imla’ (dikte), yakni naskah yang ditulis
Ar-Robi’ dengan lafaz “akhbaronaa Asy-Syafi’i imlaa-an” (أخبرنا
الشافعي إملاء), tapi yang model ini
jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Asy-Syafi’i adalah seorang alim yang
sangat produktif dalam menulis dan mengajarkan. Ar-Robi’ menginformasikan bahwa
selama 4 tahun di Mesir, Asy-Syafi’i telah mendiktekan 1500 waroqoh (lembar), sementara Al-Umm sendiri terdiri dari 2000 waroqoh.
Adapun isi Al-Umm,
menurut Rif’at Fauzi mengandung lima macam tulisan,
1. Furu’ fikih, yakni pembahasan fikih rincian terkait halal-haram dan hukum berbagai
perbuatan maupun benda. Ini adalah bagian terbesar Al-Umm
2. Ushul fikih seperti pembahasan Ar-Risalah, Ikhtilafu Al-Hadits, Jima’
Al-‘Ilmi
3. Fikih Muqoron seperti pembahasan ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi’i, Ikhtilaf Abu
Hanifah Wa Ibni Abi Laila
4. Ayat-ayat hukum dan tafsirnya yang disebutkan Asy-Syafi’i sebagai dalil atas hukum fikih yang digalinya
5. Hadis-hadis dan atsar hukum dengan sanad bersambung sebagai dalil pembahasan hukum
Perlu ditegaskan di sini, menurut
penelitian Rif’at Fauzi, Ar-Risalah
adalah bagian dari Al-Umm,
bukan kitab terpisah. Manuskrip di Maktabah Ahmad Ats-Tsalits dan Al-Maktabah
Al-Mahmudiyyah meletakkan kitab Ar-Risalah pada bagian awal kitab Al-Umm,
setelah itu baru pembahasan Thoharoh. Ikhtilafu Al-Hadits juga bagian dari Al-Umm
bukan kitab terpisah. Jika pada zaman sekarang ada penerbit yang mencetak
secara terpisah Ar-Risalah
dan Ikhtilafu Al-Hadits maka itu adalah bentuk ikhroj/istikhroj/separation saja.
Jadi, Al-Umm sebagaimana tergambar dalam namanya adalah sebuah kitab yang menghimpun
sejumlah kitab, sebagiannya dalam ushul fikih dan sebagainya dalam furu’. Kitab ini sebagaimana penjelasan Al-Baihaqi adalah gabungan berbagai
kitab mustaqill/independen. Menurut Ibnu An-Nadim juga Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, karya-karya
independen Asy-Syafi’i mencapai 140 lebih kitab. Semua kitab itulah yang
dijadikan satu oleh Ar-Robi’ menjadi kitab Al-Umm.
Adapun sistematikanya, tentu saja versi
tercetak yang ada di zaman sekarang bukanlah sistematika yang dibuat
Asy-Syafi’i. Sang Imam tidak pernah menulis satu kitab besar kemudian diberi
nama Al-Umm. Asy-Syafi’i menulis kitab-kitab secara independen kemudian dikumpulkan
oleh Ar-Robi’ dan disusun dengan sistematika tertentu, lalu jadilah kitab Al-Umm ini.
Hanya saja, seiring dengan perjalanan
sejarah, manuskrip Al-Umm
akhirnya ada dua versi. Yang pertama adalah versi Ar-Robi’, yang kedua adalah
versi Al-Bulqini. Sistematika Al-Umm susunan Ar-Robi’ adalah susunan asli Al-Umm sebagaimana terdapat pada manuskrip di Maktabah Ahmad Ats-Tsalits di
Turki dan Al-Maktabah Al-Mahmudiyyah di Al-Madinah Al-Munawwaroh. Adapun
sistematika Al-Bulqini, beliau menyusun ulang Al-Umm
dengan mengikuti sistematika topik yang
terdapat pada Mukhtashor Al-Muzani. Terbitan penerbit Bulaq dan Dar Al-Wafa’ yang ditahqiq Rif’at Fauzi
mengikuti sistematika Al-Bulqini ini. Sistematika Al-Bulqini dipilih sebagai
dasar percetakan karena kelebihannya adalah menggabung semua tulisan yang satu
tema dalam satu bab sehingga lebih mudah ditelaah.
Adapun metode Asy-Syafi’i dalam menulis Al-Umm, pertama-tama Asy-Syafi’i memulai pembahasan
topik dengan menyajikan dalil. Jika ada dalil dalam Al-Qur’an, maka disajikan
dari Al-Qur’an. Jika tidak ada dalil dari Al-Qur’an maka beliau menyebutkan
dalil dari As-Sunnah. Jika ada keduanya maka disebutkan semua. Saat menyebutkan
dalil As-Sunnah kadang-kadang Asy-Syafi’i menegaskan kesahihannya terkadang
juga mendiamkannya. Jika dhoif
maka akan dijelaskan. Jika didiamkan maka itu bermakna bisa dijadikan hujjah
sebagaimana keterangan Abu Dawud As-Sijistani. Rif’at Fauzi setelah meneliti
juga menegaskan bahwa apa yang didiamkan bermakna bisa dijadikan hujjah oleh
Asy-Syafi’i. Terkadang Asy-Syafi’i menyebut hadis mu’allaq dan dijadikah hujjah karena sudah masyhur di kalangan ahli ilmu sebagai
hadis yang bisa dijadikan hujjah. Setelah itu Asy-Syafi’i memaparkan istinbath
dalil dengan penjelasan yang dalam, detail dan rinci. Pada saat menjelaskan
hukum, Asy-Syafi’i kadang-kadang juga menyisipkan pembahasan ushul fikih.
Setelah itu menyebut atsar salaf sekaligus mendiskusikannya.
Jika topik yang dibahas mengandung
persoalan ikhtilaf, maka Asy-Syafi’i juga menguraikannya. Oleh karena itu, Al-Umm bisa juga dipakai sebagai rujukan dalam
fikih muqoron
(fikih perbandingan). Dalam mengulas persoalan khilaf, Asy-Syafi’i menempuh
salah satu dari dua cara;
a. Menyebut ikhtilaf dan langsang membahasnya setelah menjelaskan
ijtihad Asy-Syafi’i sendiri,
b. Menyendirikan pembahasan ikhtilaf dalam pembahasan khusus di akhir
topik utama dengan pembahasan komprehensif mencakup semua aspek ilmiah fikih,
istidlalnya dan diskusinya.
Dalam membahas ikhtilaf, tentu saja
Asy-Syafi’i akan menjelaskan kelemahan-kelemahan pendapat yang berbeda dengan
hasil ijtihadnya. Semua pihak yang bertentangan dengan ijtihad Asy-Syafi’i
diyakinkan kekeliruan mereka dengan dalil-dalil dan argumentasi yang beliau
miliki. Terkadang beliau mengkritik dalil-dalil lawan, mengoreksi
konsepsi-konsepsinya, membantah argumentasi lawan memakai kaidah yang sudah
diterima lawan, bahkan kadang bersepakat pada satu kesimpulan tertentu dengan
lawan dalam konteks untuk meyakinkannya. Asy-Syafi’i juga membuat kitab khusus
untuk mendokumentasikan ikhtilaf para fuqoha’ itu seperti kitab Ikhtilaf Malik, kitab Ikhtilaf
Abu Hanifah wa Ibnu Abi Laila, kitab Siyaru Al-Auza’i, kitab Ar-Rodd
‘ala Muhammad bin Al-Hasan, kitab Ikhtilaf
Al-‘Iroqiyyin dan lain-lain. Semua pembahasan ini
ditulis dengan atmosfer diskusi yang benar-benar ilmiah, bermutu tinggi, tenang
dan kokoh.
Hampir-hampir semua bab yang ditulis
Asy-Syafi’i dalam Al-Umm
selalu ada pembahasan ikhtilafnya. Seandainya pembahasan ikhtilaf ini
dipisahkan dari kitab Al-Umm kemudian dicetak tersendiri, niscaya itu akan
menjadi rujukan penting dalam fikih muqoron dengan segenap pembahasan ushul fikih, kaidah tathbiq dan furu’nya.
Dengan metode penyajian kitab seperti di
atas, bisa dipahami bahwa kitab Al-Umm adalah kitab fikih istidlali
(kitab fikih yang mengajarkan cara penggalian hukum), bukan fikih mukhtashor. Al-Umm
bahkan bukan hanya kitab fikih istidlali tapi juga menjadi peletak dasar dan
pondasi cara pembahasna fikih berdasarkan kaidah ushul tertentu.
Kitab Al-Umm juga kaya hadis dan atsar. Isi hadisnya sekitar 4000-an lengkap
disebutkan dengan sanadnya sehingga aspek validitas riwayatnya benar-benar
tinggi. Apalagi diketahui mayoritas riwayat Asy-Syafi’i dalam Al-Umm banyak
bertumpu pada riwayat dari dua imam besar dalam hadis yakni Imam Malik dan Imam
Sufyan bin ‘Uyainah. Kita tahu, bahwa sanad Malik-Nafi’-Ibnu Umar adalah sanad
emas dan sanad yang paling sahih dalam meriwayatkan hadis. Jadi, bisa dikatakan
bahwa Asy-Syafi’i telah menguasai betul Muwattho
Malik dan riwayat-riwayat dari Sufyan bin
‘Uyainah.
Dari sisi jumlah, riwayat hadis dan atsar
dalam Al-Umm yang mencapai sekitar 4000-an juga tidak bisa diremehkan.
Bandingkan dengan Muwattho’ Malik yang mengandung sekitar 3600-an hadis. Oleh karena itu, kitab Al-Umm
bukan hanya menjadi kitab fikih tetapi juga sumber kitab hadis karena hadis
yang disebutkan semuanya disajikan lengkap dengan sanadnya!
Pengetahuan Asy-Syafi’i terhadap hadis
memang sangat luas. Hanya orang jahil yang menyangka Asy-Syafi’i tidak mengerti
hadis. Al-Baihaqi secara khusus telah membuat kitab untuk menampilkan keluasan
pengetahuan hadis Asy-Syafi’i dalam hadis pada sebuah karya yang berjudul
“Ma’rifatu As-Sunan Wa Al-Atsar”. Kitab ini sebenarnya bermakna “Ma’rifatu
Asy-Syafi’i Li As-Sunan Wa Al-Atsar”. Jadi kitab ini menampilkan sejauh mana
dan seluas apa pengetahuan Asy-Syafi’i terhadap As-Sunnah dan atsar. Al-Baihaqi
juga punya karya khusus untuk mentakhrij seluruh hadis dan atsar dalam kitab
Al-Umm yang berjudul “Takhriju Ahadits Al-Umm”. Tahqiq Rif’at Fauzi juga
melengkapi takhrij ini sehingga lebih mantap lagi.
Al-Umm juga berjasa mendokumentasikan fikih
shahabat, fatwa mereka, putusan/amar peradilan mereka, sunnah mereka, dan pendapat
fuqoha’ yang semasa dengan Asy-Syafi’i seperti Al-Auza’i, Ibnu Abi Laila dan
lain-lain. Malah bisa jadi kita tidak menemukan pendapat fikih para fuqoha’
yang semasa dengan Asy-Syafi’i kecuali di kitab Asy-Syafi’i ini.
Lebih dari itu, Al-Umm isinya bukan hanya
pembahasan fikih, tapi juga ushul fikih, bahasa Arab, tafsir dan syarah hadis,
riwayat hadis, atsar dan riwayat fikih as-salafus sholih.
Dengan cara penulisan seperti ini tidak
diragukan lagi, metode Asy-Syafi’i dalam Al-Umm benar-benar akan melatih,
mengasah dan menajamkan kemampuan malakah fiqhiyyah ijtihadiyyah (talenta ijtihad fikih). Jadi, kalau mau latihan menjadi mujtahid, maka
khatam kitab Al-Umm dan memahaminya sepaham-pahamnya adalah di antara yang
direkomandasikan.
Adapun tahqiq manuskrip secara serius, di
zaman sekarang di antara yang dikenal melakukannya adalah Ahmad Badruddin
Hassun, mufti Suriah. Beliau mentahqiq kitab Al-Umm, kitab-kitab ikhtilaf dan
karya Asy-Syafi’i lainnya untuk dikumpulkan jadi satu dan dijadikan disertasinya.
Kitab-kitab yang ditahqiqnya ada 9 yaitu,
1. Ikhtilaf Al-‘Iroqiyyin (antara Abu hanifah dengan Ibnu Abi Laila)
2. Ikhtilaf ‘Ali Wa Abdillah bin Mas’ud
3. Ikhtilaf Malik Wa Asy-Syafi’i
4. Jima’ Al-Ilmi
5. Bayanu Faro-idhillah
6. Shifatu nahyi Rasulillah
7. Ibtholu Al-Istihsan
8. Ar-Rodd ‘Ala Muhammad ibni Al-Hasan
Asy-Syaibani
9. Siyaru Al-Auza’i
Menurut Akrom Al-Qowasimi, kerja tahqiq
Hassun ini layak dinamakan Al-Mabsuth
yang disebutkan oleh Ibnu An-Nadim dalam Al-Fihrist.
Beberapa penerbit telah tercatat pernah
mencetak Al-Umm. Yang tertua adalah penerbit Bulaq. Dari terbitan ini kemudian
dicetak ulang oleh penerbit-penerbit lain seperti Dar Asy-Sya’b, Ad-Dar
Al-Mishriyyah, Ad-Dar Al-‘Ilmiyyah, Dar Qutaibah, Dar Al-Ma’rifah, dan Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Penerbit Dar Al-Wafa’ mencetaknya dalam 11 jilid atas
jasa tahqiq Rif’at Fauzi dengan total ketebalan sekitar 6400-an hlm. Tahqiq
Rif’at Fauzi inilah yang saat ini dianggap tahqiq terbaik dan paling serius
untuk versi cetakan Al-Umm.
رحم
الله الشافعي رحمة واسعة
اللهم
اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2)
MENGENAL MUKHTASHOR AL-MUZANI
Link Kitab Mukhtashor Al-Muzani :
·
مختصر المزني في فروع الشافعية (archive.org)
·
6250 Bok مختصر
المزني : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive
·
مختصر المزني (archive.org)
·
مختصر المزني في فروع الشافعية - إسماعيل بن يحي بن إسماعيل المصري :
إسماعيل بن يحي بن إسماعيل المصري : Free Download, Borrow, and Streaming :
Internet Archive
·
الزاهر في غرائب ألفاظ الإمام الشافعي المعروف باسم تفسير ألفاظ مختصر
المزني بالأزهري : الإمام العلامة الحافظ المحدث المؤرخ الفقيه والمفسر الشيخ
الملقب بالأزهري أبو منصور محمد بن أحمد بن الأزهر بن طلحة الأزهري الهروي اللغوي
الشافعي رحمة الله عليه المتوفیٰ 370ھ : Free Download,
Borrow, and Streaming : Internet Archive
MENGENAL MUKHTASHOR AL-MUZANI - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Oleh : Ust. Muafa
“Jika ada seorang perawan yang dinikahi
seorang lelaki kemudian diboyong untuk ikut suami, maka di antara barang yang
dibawa perawan tersebut adalah kitab Mukhtashor
Al-Muzani!”. Demikian
kira-kira yang ditulis oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lami An-Nubala’ untuk menunjukkan
popularitas dan betapa berharganya Mukhtashor Al-Muzani. Ditulis
oleh Al-Muzani, salah seorang murid cemerlang Asy-Syafi’i, Mukhtashor Al-Muzani muncul dan menjelma
menjadi salah satu kitab terpenting dalam madzhab Asy-Syafi’i. Nama resminya
menurut Ar-Ruyani adalah “Al-Jami’ Al-Mukhtashor” (الجامع
المختصر). Julukan yang diberikan Abu Al-Ma’ali
Al-Juwaini adalah As-Sawad (السواد). Nama lengkap pengarang adalah Abu Ibrahim Isma’il bin
Yahya Al-Muzani. Beliau adalah seorang ulama yang zuhud dan ahli ibadah
sebagaimana persaksian ‘Amr bin ‘Utsman Al-Makki. Di antara amalannya yaitu
suka membantu memandikan mayat orang lain secara cuma-cuma “untuk melembutkan
hati”, kata beliau. Doanya mustajab dan hidupnya sangat wara’. Beliaulah yang
memandikan Asy-Syafi’i saat wafatnya.
Al-Muzani disebut Asy-Syafi’i sebagai “nashiru madzhabi” (penolong madzhabku). Dengan keilmuan
Al-Muzani yang mendalam, Asy-Syafi’i sudah memperkirakan bahwa beliau akan
menjadi orang paling pandai di zamannya, ternyata memang benar demikian. Jika
terlewat shalat jamaah, maka
beliau menggantinya dengan salat sebanyak 25 kali. Kemampuan berargumentasinya
dipuji Asy-Syafi’i dengan kata-kata, “seandainya dia berdebat dengan setan
pasti dia bisa mengalahkannya”. Al-Muzani adalah
murid Asy-Syafi’i yang mengasuh mejelis sang imam sepeninggal murid senior
Asy-Syafi’i yang bernama Al-Buwaithi.
Mukhtashor Al-Muzani secara kasar bisa
dikatakan bermakna “ringkasan dari kitab Al-Umm karya Asy-Syafi’i”. Hanya saja, maksud ringkasan di sini bukan
bermakna bahwa Al-Muzani membaca Al-Umm kemudian meringkasnya. Yang terjadi
adalah, Al-Muzani memahami ajaran fikih Asy-Syafi’i baik yang tertulis maupun
yang disampaikan secara lisan, lalu menyerap semuanya kemudian meringkasnya.
Oleh karena Al-Umm
adalah ilmu fikih tertulis Asy-Syafi’i, maka bisa dikatakan bahwa apa yang
disampaikan Asy-Syafi’i dalam majelis secara lisan adalah sama dengan yang
ditulis, bahkan lebih luas. Dengan demikian bisa dikatakan secara majasi bahwa Mukhtashor al-Muzani adalah ringkasan
dari Al-Umm. Hanya saja yang lebih akurat jika menurut informasi
Ar-Ruyani dalam kitab beliau yang bernama Bahrul
Madzhab, Mukhtashor Al-Muzani adalah ringkasan dari kitab besar Al-Muzani yang berjudul “Al-Jami’
Al-Kabir” (الجامع
الكبير). Kitab ini merupakan mukhtashor pertama
yang ditulis dalam madzhab Asy-Syafi’i. Ia juga menjadi karya tertua sekaligus
karya perintis kitab-kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i. Lebih dari itu, kitab
ini bisa dikatakan sebagai kitab pertama dalam madzhab Asy-Syafi’i setelah
Al-Umm. Tidak heran jika di masa selanjutnya kitab ini menjelma menjadi salah
satu kitab induk madzhab Asy-Syafi’i. Kitab ini
-sebagaimana diinformasikan oleh Al-Mawardi- menjadi tumpuan murid-murid
Asy-Syafi’i yang lain karena bentuknya yang ringkas sehingga memudahkan
penguasaan madzhab Asy-Syafi’i. Kitab ini juga
menjadi salah satu dari 5 kitab masyhur di kalangan Asy-Syafi’iyyah sampai
zaman An-Nawawi. Lima kitab populer itu adalah; Mukhatshor Al-Muzani, Al-Wasith, Al-Wajiz,
Al-Muhadz-dzab, dan At-Tanbih. Mutu dan kualitas kitab ini tidak bisa diremehkan. Kata
Abu Zaid Al-Marwazi, siapapun yang menguasai Mukhtashor
Al-Muzani maka dia akan menguasai fikih dan ushul
fikih. Dia tidak hanya akan mendapatkan ilmu
furu’ Asy-Syafi’i tetapi juga ushul fikihnya. Hal itu dikarenakan semua masalah
fikih yang disajikan Al-Muzani selalu disertai isyarat ushul fikih Asy-Syafi’i
yang berhubungan.
Abu Al-‘Abbas bin Suraij mengatakan bahwa
setiap kali beliau membaca mukhtashor Al-Muzani, beliau merasa selalu
mendapatkan ilmu baru. Oleh karena itu, jika ingin mendapatkan banyak faidah
tentu saja sudah semestinya kitab ini dibaca berkali-kali. Abu Al-‘Abbas bin
Suraij menulis dalam nazhomnya yang mengungkapkan perasaan beliau bagaimana
beliau merasa sayang meminjamkan kitab itu karena sangat berharganya!
Al-Qoffal juga memberi resensi bahwa siapapun
yang serius mengkaji mukhtashor Al-Muzani, maka secara otamatis dan sekaligus
dia akan menguasui ushul fikih Asy-Syafi’i, bukan hanya produk fikihnya.
Demikian tinggi isi dan kedudukan kitab ini
sampai-sampai Abu Zur’ah Muhammad bin ‘Utsman Ad-Dimasyqi (302 H) yang membawa
madzhab Asy-Syafi’i ke Damaskus memberi hadiah 100 dinar bagi siapapun yang
mampu menghafal Mukhtashor Al-Muzani. Jika 1 dinar secara
kasar setara dengan 2 juta, maka 100 dinar kira-kira setara dengan 200 juta!
Karena itu menurut saya pribadi, muslim-muslim kaya zaman sekarang itu
semestinya memanfaatkan sebagaian uangnya seperti ini untuk mendorong lahirnya
para ulama besar dan mujtahid yang bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin.
Tidak akan rugi, bahkan Insya Allah akan menjadi amal jariyah.
Sistematika kitab ini juga istimewa. Hal
yang menunjukkannya adalah ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah masa sesudahnya secara
umum meniru dalam hal sistematika, yakni mengawali dengan bab thoharoh dan
mengakhiri dengan bab ‘itqu ummahatil aulad.
Al-Muzani sangat serius dalam menulis
kitab ini. 20 tahun kira-kira beliau habiskan untuk menuntaskannya. Proses
editingnya sampai 8 kali. Sebelum mengarang, beliau berpuasa terlebih dahulu
selama 3 hari dan salat sekian rakaat. Kata Ibnu Khollikan, setiap selesai
menulis satu masalah beliau juga menyusulnya dengan salat dua rakaat sebagai
tanda syukur. Dengan cara penulisan yang “sangat berbau akhirat” ini, tidak
heran jika Al-Baihaqi menyebut Mukhtashor Al-Muzani sebagai kitab yang paling besar manfaatnya, paling luas berkahnya dan
paling banyak buahnya. Jangan pernah disamakan dengan orang yang menulis
tulisan agama sambil buang angin, merokok dan ngemil!
Perhatian ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah
sangat tinggi terhadap kitab ini. Ada yang membuat mukhtashornya, mensyarahnya
dengan syarah-syarah ringan maupun tebal dan membuatkan manzhumah. Di
antara muktashornya adalah “Khulashotu Al-Mukhtashor Wa Naqowatu Al-Mu’tashor”
(خلاصة المختصر ونقاوة المعتصر)
karya Al-Ghozzali dan “Al-Mukhtashor” (المختصر) karya Abu Muhammad Al-Juwaini. Karya yang berupa nazhom adalah Manzhumah karya Abu Roja’ Al-Aswani.
Adapun karya yang berupa syarah, ini
bagian terbesarnya. Di antara syarah yang ditulis untuk Mukhtashor Al-Muzani
adalah Syarah Abu Ishaq Al-Marwazi (340 H), Ta’liqoh Al-Qodhi Hasan (345 H),
Al-Ifshoh karya Abu ‘Ali Ath-Thobari (350 H), Syarah Ibnu Al-Qotthon (356 H),
Syarah Ahmad Ath-Thobasi dengan ketebalan sekitar 1000 chapter (358 H), Syarah
Abu Hamid Al-Marrudzi (362 H), Syarah Abu Hamid Al-Isfaroyini dalam 50 jilid
yang membuatnya populer dengan nama Asy-Syafi’i Ats-Tsani (406 H), Syarah Abu
Suroqoh (410 H), Syarah Muhammad bin Abdul Malik (420 sekian H), Syarah Ibnu
Hayyawaih (438 H), Al-Kafi dan Al-Hawi Al-Kabir karya Al-Mawardi (450 H),
At-Ta’liqoh karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari (450 H), At-Ta’liqoh karya
Al-Qodhi Husain (462 H), Asy-Syamil Al-Kabir karya Ibnu Ash-Shabbagh (w. 477
H), Nihayatu Al-Mathlab karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (478 H), Bahru
Al-Madzhab karya Ar-Ruyani (502 H), Asy-Syafi karya Asy-Syasyi (507 H), Syarah
Abu Al-Futuh (710 H), Syarah Ibnu ‘Adlan (748 H),Al-Mursyid karya Abu Al-Hasan
Al-Juri, syarah Abu Bakr Ash-Shoidalani, Syarah Abdul ‘Aziz Al-Hammami, dan
lain-lain.
Hanya saja, di antara sekian banyak syarah
ini yang paling populer hanya dua yaitu “Nihayatu
Al-Mathlab fi Diroyati Al-Madzhab” (نهاية المطلب في دراية المذهب)
karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini dan “Al-Hawi Al-Kabir” (الحاوي الكبير)
karya Al-Mawardi.
Di antara dua karya ini, yang pengaruhnya
paling besar adalah Nihayatu Al-Mathlab karena darinya lahir banyak karya besar
yang bercabang-cabang, seperti trio mukhtashor Al-Ghozzali (Al-Basith,
Al-Wasith, Al-Wajiz), Al-Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu
Al-Kabir karya Ar-Rofi’i, Roudhotu
Ath-Tholibin karya Al-Nawawi, Roudhu
At-Tholib karya Ibnu Al-Muqri’, Asna
Al-Matholib karya Zakariyya Al-Anshori, Al-Hawi
Ash-Shoghir karya Najmuddin Al-Qozwini, Al-Bahjatu
Al-Wardiyyah karya Ibnu Al-Wardi, Khulashotu
Al-Fawa-id Al-Muhammadiyyah karya Zakariyya Al-Anshori, Al-Ghuroru
Al-Bahiyyah karya Zakariyya Al-Anshori, Irsyadu
Al-Ghowi Ila Masaliki Al-Hawi karya Ibnu Al-Muqri’, Fathul
Jawwad karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Khobaya
Az-Zawaya karya Zakariyya Al-Anshori dan lain-lain.
Al-Azhari, ahli bahasa yang terkenal itu juga
tertarik menjelaskan lafaz-lafaz dalam Mukhtashor Al-Muzani yang perlu
didefinisikan lebih luas secara bahasa. Karya beliau yang menangani ini
berjudul “Az-Zahir Fi Ghoribi Alfazhi Asy-Syafi’i (الزاهر في غريب ألفاظ الشافعي).
Al-Muzani wafat pada tahun 264 H dan
dikebumikan di Al-Qorofah Ash-Shughro di dekat makam Asy-Syafi’i.
رحم
الله المزني رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
3)
MENGENAL KITAB AL-HAWI AL-KABIR KARYA AL-MAWARDI
Link Kitab Al-Hawi Al-Kabir Karya Al-Mawardi:
·
الحاوي
الكبير في فقه مذهب الإمام الشافعي : Yedali : Free Download, Borrow, and
Streaming : Internet Archive
·
الحاوي
الكبير في فقه مذهب الإمام الشافعي وهو شرح مختصر المزني - المكتبة الوقفية للكتب
المصورة PDF (waqfeya.net)
·
كتاب الحاوي الكبير
- المكتبة الشاملة (shamela.ws)
·
شبكة مشكاة
الإسلامية - المكتبة - الحاوي الكبير في فقه مذهب الإمام الشافعي وهو شرح مختصر
المزني - ط العلمية (almeshkat.net)
Oleh ust. Muafa
MENGENAL
KITAB AL-HAWI AL-KABIR KARYA AL-MAWARDI - IRTAQI | كن
عبدا لله وحده
Nama yang diberikan oleh pengarang sendiri
sebenarnya hanya satu kata yaitu “Al-Hawi”
(الحاوي).
Secara bahasa, lafaz “Al-Hawi” bisa dimaknai sebagai “penghimpun”. Barangkali
maksud pengarang memberi nama kitabnya dengan kata ini adalah untuk menunjukkan
keluasan pembahasannya sehingga sudah meliputi dan mencakup semua pembahasan
fikih secara lengkap, komplit dan tuntas. Pemilihan nama ini sebenarnya juga
meniru ulama lain yang bernama Ibnu Al-Qodhi yang juga memiliki karangan dengan
judul sama . Di masa belakangan, nama “Al-Hawi” ini diberi sifat “Al-Kabir”(
yang besar) oleh para ulama karena isinya yang tidak hanya menghimpun
ijtihad-ijtihad mazhab Asy-Syafi’i tetapi juga mazhab-mazhab yang lain.
Akhirnya nama lengkap kitab ini terkenal dengan sebutan “Al-Hawi Al-Kabir” (الحاوي الكبير).
Pengarangnya bernama Al-Mawardi. Nama
lengkapnya Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, seorang qodhi/hakim besar
dalam pemerintahan Daulah Abbasiyyah. Lahirnya di Bashroh pada tahun 364 H dan
hidup semasa dengan khalifah Al-Qodir Billah dan Al-Qo-im bi Amrillah. Ayahnya
seorang penjual air bunga sehingga “laqob” beliau dinisbatkan kepada pekerjaan ini; Al-Mawardi. Kata Al-Mawardi
berasal dari kata “ma-ul wardi”
(air bunga). Beliau adalah salah seorang tokoh besar fuqoha’ Asy-Syafi’iyyah, juga pengarang terkenal
kitab politik bernama “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah”.
Di antara kisah yang menunjukkan rasa
takutnya kepada Allah adalah kisah yang dituturkan Tajuddin As-Subki sebagai
berikut. “Al-Mawardi tidak
langsung mempublikasikan karangan-karangannya untuk masyarakat umum. Beliau
menyembunyikannya terlebih dahulu di suatu tempat. Ketika ajalnya sudah dekat,
beliau berpesan kepada orang yang dipercayainya, “Buku-buku yang terdapat di tempat X semuanya adalah karanganku. Aku
belum mempublikasikannya karena aku belum mendapati niat yang bersih. Jika aku
sudah berada dalam sakarotul maut, letakkan tanganmu pada tanganku. Nanti kalau
aku menggenggam tanganmu dan meremasnya maka ketahuliah bahwa tidak ada satupun
karanganku itu yang diterima Allah. Jadi, ambillah semua kitabku itu dan
lemparkanlah ke sungai Dijlah/Tigris. Tetapi kalau tanganku membentang dan aku
tidak menggenggam tanganmu maka ketahuilah bahwa karya-karyaku itu telah
diterima Allah dan aku sudah mendapatkan niat bersih yang aku harapkan.”
Orang kepercayaan Al-Mawardi itu berkata,
“Ketika sudah dekat saat wafatnya, aku meletakkan tanganku pada tangan beliau.
Ternyata beliau membentangkan tangannya dan tidak menggenggam tanganku. Dari
situ aku tahu bahwa amal beliau telah diterima Allah. Karenanya, aku pun
mempublikasikan kitab-kitab beliau setelah wafatnya”.
Kitab “Al-Hawi
Al-Kabir” adalah syarah “matan” populer dikalangan Asy-Syafi’iyyah yang
bernama “Muktashor Al-Muzani”. Kitab ini adalah salah satu dari dua syarah yang paling berpengaruh
di kalangan Asy-Syafi’iyyah untuk “Mukhtashor
Al-Muzani”. Kita tahu, syarah yang paling tersohor
untuk “Mukhtashor Al-Muzani” ada dua, yaitu “Nihayatu Al-Mathlab” karya Imamul Haromain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini dan “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi.
Alasan dikarangnya “Al-Hawi Al-Kabir” disebutkan Al-Mawardi dalam muqoddimah
kitabnya. Menurut beliau, di zamannya “Mukhtashor
Al-Muzani” telah mencapai popularitas yang sangat
tinggi sehingga siapapun yang ingin mempelajari mazhab Asy-Syafi’i dengan
ringkas dan cepat, tumpuannya mesti kitab itu. Oleh karena itu, demi membantu
kaum muslimin yang ingin menguasai mazhab Asy-Syafi’i, Al-Mawardi mengarang
kitab “Al-Hawi Al-Kabir” ini. Harapannya, dengan kitab ini para penuntut ilmu sudah tidak perlu
lagi mengkaji kitab lain karena isinya dirancang sangat luas, padat dan
komplit.
“Al-Hawi Al-Kabir” dihitung sebagai salah satu kitab terpenting mazhab Asy-Syafi’i. Bahkan,
kitab ini bukan hanya penting untuk kalangan internal Asy-Syafi’iyyah tetapi
juga penting bagi mazhab-mazhab lainnya karena kitab ini menyajikan ikhtilaf
berbagai mazhab selain ikhtilaf internal mazhab. Dengan
kata lain, “Al-Hawi Al-Kabir” termasuk rujukan penting untuk fikih perbandingan, persis seperti “Al-Mughni” karya Ibnu Qudamah Al-Hanbali. Hanya
saja, dalam membandingkan mazhab Al-Mawardi lebih menonjolkan “ikhtilaf” antara
Asy-Syafi’i dengan Abu Hanifah.
Sebagai kitab besar, jika dibandingkan dengan
“Al-Majmu’” karya An-Nawawi kelebihan “Al-Hawi
Al-Kabir” adalah lebih kuat dalam hal elaborasi
dalil-dalil ikhtilaf termasuk “wajhul istidlal”nya baik antar mazhab maupun internal mazhab. Hanya
saja, jika bicara elaborasi ikhtilaf internal Asy-Syafi’iyyah, tarjihnya dan
penjelasan pendapat “mu’tamad”,
maka “Al-Majmu’”
tetap belum tertandingi.
Dari sisi popularitas, “Al-Hawi Al-Kabir” masih kalah populer dengan “Al-Hawi Ash-Shoghir” karya Najmuddin Al-Qozwini. Jika dalam
kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah disebut “Al-Hawi” saja, tanpa penjelasan lebih lanjut maka seringkali yang dimaksud
adalah “Al-Hawi Ash-Shoghir” karya Najmuddin Al-Qozwini, yakni mukhtashor dari “Asy-Syarhu Al-Kabir” karya Ar-Rofi’i.
Kitab “Al-Hawi
Al-Kabir” dipuji oleh banyak ulama. Di antaranya
Al-Isnawi. Ibnu Qodhi Syuhbah menulis,
قَالَ الْإِسْنَوِيّ وَلم يصنف مثله
“Al-Isnawi berkata, tidak pernah dikarang kitab seperti itu” (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah libni Qodhi Syuhbah, juz 1 hlm 231)
Haji Kholifah memujinya dengan mengatakan,
وهو كتاب، عظيم في عشر مجلدات، ويقال أنه ثلاثون مجلداً،
لم يؤلف في المذهب مثله.
“Al-Hawi Al-Kabir adalah kitab besar yang terdiri dari 10 sepuluh jilid, bahkan ada yang
mengatakan 30 jilid. Tidak pernah dikarang dalam mazhab Asy-Syafi’i kitab
seperti itu” (Kasyfu Azh-Zhunun, juz 1 hlm 628)
Ibnu Khollikan mengatakan, siapapun yang
mengkaji “Al-Hawi Al-Kabir”
maka dia akan bersaksi bahwa Al-Mawardi benar-benar menguasai mazhab
Asy-Syafi’i. Dalam Wafayatu Al-A’yan
disebutkan,
وله فيه كتاب ” الحاوي ” الذي لم يطالعه أحد إلا وشهد له
بالتبحّر والمعرفة التامة بالمذهب
“Al-Mawardi mengarang kitab bernama Al-Hawi. Siapapun yang mengkajinya dia akan bersaksi bahwa pengarangnya
memiliki keluasan dan penguasaan sempurna terhadap mazhab Asy-Syafi’i” (Wafayat Al-A’yan, juz 3 hlm 282)
Bahkan, Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa
kitab “Bahru Al-Madzhab”
karya Ar-Ruyani (yang juga merupakan syarah “Mukhtashor
Al-Muzani”) esensinya hanyalah mengambil dari “Al-Hawi
Al-Kabir” ini.
Adapun sistematika tulisannya, secara ringkas
bisa diuraikan sebagai berikut.
Kitab “Al-Hawi Al-Kabir” isinya dibagi-bagi menjadi bab-bab (“kutub”/chapters),
kemudian tiap bab dirinci menjadi subbab (“abwab”/sections),
tiap “abwab”
dirinci lagi menjadi masa-il (subsections), dan tiap masa-il dirinci lagi menjadi “fushul” (subsubsection),
lalu kadang-kadang satu “fashl”
dirinci lagi menjadi “furu’”
(sub subsubsections). Teks “Mukhtashor Al-Muzani” dijadikan sebagai topik “mas-alah”. Biasanya diawali dengan redaksi “qola
al-muzani”, “qola
asy-syafi’i”…
Cara Al-Mawardi menukil dari “Mukhtashor Al-Muzani” berbeda-beda.
Kadang mengutip lengkap, kadang hanya mengutip dua atau tiga baris, terutama
jika teksnya panjang dan mengandung banyak hukum. Untuk menandai bahwa satu “mas-alah” sudah selesai pemnbahasannya, Al-Mawardi
menutupnya dengan ungkapan seperti “al-fashl’, “al-bab”,
“ila akhiril fashl”, “ila akhiril bab”, “ila akhiri kalamil muzani”, dan sebagainya.
Judul topik yang ditulis oleh Al-Mawardi
kadang tidak sama dengan judul topik yang tertulis dalam “Mukhtashor Al-Muzani”. Jika panjang,
kadang-kadang Al-Mawardi menyingkatnya dengan ungkapan lain yang semakna. Jadi
jangan membayangkan syarah ini sama seperti syarah yang biasa kita kenal yang
menukil secara lengkap “matan”
yang disyarah tanpa dikurangi sedikitpun.
Setelah satu “mas-alah” dipaparkan, kadang Al-Mawardi mengomentari dengan mengatakan “hadza
shohih”, “huwa
shohih”, “kama
qoola’, “wahuwa
kama qoola”. Setelah itu
Al-Mawardi menyebut pendapat yang berbeda, yakni pendapat dari mazhab lain.
Hanya saja mazhab yang paling sering dinukil adalah mazhab Abu Hanifah.
Penukilan mazhab Hanafi ini dilakukan lengkap dengan dalil dan “wajhul istidlal”-nya. Selanjutnya biasanya dipaparkan
mazhab Malik dengan cara yang sama disertai ketelitian dalam menukil. Adapun
mazhab Ahmad, mazhab Zhohiri dan
mazhab-mazhab lainnya tidak terlalu sering dibahas. Mungkin di zaman Al-Mawardi
mazhab Ahmad belum terlalu berkembang pesat. Kita tahu, sampai zaman
Al-Ghozzali sekalipun, mazhab Ahmad juga masih belum dibahas oleh Al-Ghozzali
dalam “Al-Wajiz”-nya.
Ketika mengkritik mazhab lain, biasanya
Al-Mawardi memulai dengan ungkapan “wahadza khotho’’, “wahadza fasidun min wajhin’, “wahadza fasidun min wajhain”, dan semisalnya. Membantahnya juga lengkap dengan dalil dan “istidlal”nya. Dalam hal dalil, Al-Mawardi juga bertumpu pada tafsir shahabat,
ijtihad shahabat, fatwa-fatwa mereka dan juga fatwa-fatwa “kibarut
tabi’in”.
Setiap “mas-alah”/subsection hampir selalu mengandung hadis Nabi atau “atsar” shahabat. Kadang-kadang bertumpu pada
hadis dhoif. Hal ini wajar karena Al-Mawardi bukan ahli hadis. Tapi yang
seperti ini jumlahnya sedikit. Hanya saja, seringkali lafaz hadis yang dikutip
Al-Mawardi tidak sama persis dengan lafaz yang terdapat dalam kitab-kitab
hadis.
Jika ada dua ijtihad Asy-Syafi’i yakni yang “qodim” dan yang “jadid”, maka
Al-Mawardi meriwayatkan keduanya lalu mengambil yang “jadid”. Jika yang “qodim” sesuai dengan mazhab Abu Hanifah dan Malik maka beliau menyebutkannya.
Setelah itu disusul dengan pemaparan pendapat
mujtahid mazhab Asy-Syafi’i (“aqwalul ash-hab”),
terutama pendapat-pendapat Abu Ishaq Al-Marwazi, Ibnu Abi Hurairah, Abu Hamid,
Abu Ath-Thoyyib, Ash-Shoimari, Ibnu Al-Wakil, Ibnu Suroij dan lain-lain. Kemudian beliau mentarjihnya. Yang lemah dikomentari dengan kata-kata “wahadza fasid’, “wahadza
khotho’”. Jika ada dua “wajh”, maka disebutkan, lalu saat mentarjih
dikomentari dengan ungkapan “wahadza asybah’, “wahadza azh-har”, “wahuwal azh-har”, “wahuwa ash-shohih”, ‘al-ashohh ‘indi”, “ashohhul wajhain”, “al-aqyas”.
Dalam hal aliran, “Al-Hawi Al-Kabir” bisa dikatakan menjadi representrasi aliran Irak. Bahannya banyak
mengambil dari “Ta’liqoh”
Abu Hamid Al-Isfaroyini, sang guru besar aliran Irak.
Dengan pemaparan cara Al-Mawardi menulis “Al-Hawi
Al-Kabir” di atas, bisa dikatakan bahwa kitab ini
termasuk kitab “muthowwalat”
yang menjadi ensiklopedi fikih Islam karena keluasan pembahasannya dan
kelengkapannya. Cara pembahasannya panjang lebar/”mustafidh” baik secara “ta’shil” maupun “tafri’”. Al-Mawardi mengulas variasi “aqwal” dan “wujuh”,
lalu mentarjih untuk menemukan mana pendapat yang “mu’tamad”. Semua dalil-dalil dan istidlal didiskusikan, semua ikhtilaf juga
dibahas baik ikhtilaf dikalangan
sesama Asy-Syafi’iyyah maupun ikhtilaf dengan “ashabul madzahib” yang lain.
Tulisan Al-mawardi menunjukkan beliau menguasai
kaidah-kaidah bahasa Arab, ilmu isytiqoq, ilmu nahwu, ilmu shorf, syair, dan ushul
syari’ah.
Selanjutnya, kitab “Al-Hawi
Al-Kabir” ini diringkas sendiri oleh Al-Mawardi
menjadi kitab yang bernama “Al-Iqna’” (الإقناع).
Kata Yaqut Al-Hamawi dalam “Mu’jamu Al-Udaba’”,
Al-Mawardi mengatakan terkait kitabnya ini, “Saya menulis kitab fikih secara
panjang lebar sebanyak 4000 waroqoh,
lalu kuringkas menjadi 40 waroqoh”. Al-Mawardi memaksudkan kitab fikih panjang lebar adalah “Al-Hawi Al-Kabir” yang kita bahas ini, sementara ringkasannya adalah “Al-Iqna’”. Kitab Al-Iqna’
sudah dicetak juga di zaman sekarang.
Dar Al-Fikr di Beirut mencetak “Al-Hawi Al-Kabir” dalam 22 jilid. Tiap jilid ketebalannya
rata-rata 500-600 halaman atas jasa tahqiq Dr. Mahmud Mathroji.
Al-Mawardi wafat pada bulan Rabi’ul Awwal
tahun 450 H pada usia 86 tahun.
رحم
الله الماوردي رحمة واسعة
اللهم
اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
4)
MENGENAL KITAB “NIHAYATU AL-MATHLAB” KARYA AL-JUWAINI
Link Kitab Nihayatu Al-Mathlab” Karya Al-Juwaini :
· كتاب نهاية المطلب
في دراية المذهب - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
· نهاية
المطلب في دراية المذهب - المكتبة الوقفية للكتب المصورة PDF (waqfeya.net)
· تحميل كتاب نهاية المطلب في دراية المذهب ل عبد الملك بن عبد
الله بن يوسف بن محمد الجويني أبو المعالي pdf (ketabpedia.com)
· شبكة مشكاة
الإسلامية - المكتبة - نهاية المطلب في دراية المذهب - دار المنهاج
(almeshkat.net)
Oleh
: Ust. Muafa
MENGENAL
KITAB “NIHAYATU AL-MATHLAB” KARYA AL-JUWAINI - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Nama lengkap kitab karya Al-Juwaini ini
adalah “Nihayatu Al-Mathlab Fi Diroyati Al-Madzhab” (نهاية المطلب في دراية المذهب).
Nama lainnya adalah “Al-Madzhab Al-Kabir” (المذهب الكبير)
atau “Al-Madzhab Al-Basith” (المذهب البسيط).
Nama pendek yang lebih populer di zaman sekarang adalah “Nihayatu
Al-Mathlab”. Arti “Nihayah”
sendiri secara mudah adalah “puncak/ujung akhir”. “Al-Mathlab” adalah “mashdar”
yang bermakna “hal mencari/pencarian”. “Diroyah” bermakna “mengetahui”. Jadi,
makna “Nihayatu Al-Mathlab Fi Diroyati Al-Madzhab” secara keseluruhan adalah
“Ujung pencarian untuk memahami mazhab (Asy-Syafi’i)”. Dengan judul ini
seakan-akan Al-Juwaini berharap kitabnya menjadi referensi puncak yang
menafikan referensi lain bagi siapapun yang ingin memahami dan menguasai mazhab
Asy-Syafi’i.
Kitab ini dikarang Imamul Haromain Abu
Al-Ma’ali Al-Juwaini pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Beliau adalah
guru Al-Ghozzali. Beliau terhitung tokoh besar dalam fikih mazhab Asy-Syafi’i,
meskipun sepertinya pada zaman sekarang lebih dikenal sebagai tokoh ilmu kalam.
Sebenarnya kepakaran dan ilmu primer beliau adalah ilmu fikih. Ilmu-ilmu lain
seperti ilmu kalam justru menjadi ilmu “sekunder” beliau. Penguasaan beliau
terhadap fikih Asy-Syafi’i sampai membuat beliau digelari “Al-Imam”. Jadi, jika
dalam kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah setelah masa Al-Juwaini disebut kata
Al-Imam (tanpa penjelasan nama) maka yang dimaksud bukan Imam Asy-Syafi’i,
tetapi Al-Imam Al-Juwaini.
Kitab “Nihayatu Al-Mathlab” adalah syarah
“Mukhtashor Al-Muzani” yang populer itu. Sebenarnya ada banyak sekali syarah,
“nukat” maupun “ta’liqoh” untuk “Mukhtashor Al-Muzani”. Hanya saja yang paling
populer hanya dua yaitu “Nihayatu Al-Mathlab”; kitab yang hendak kita kupas ini
dan “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi (450 H). Dari kedua kitab ini, yang
paling besar pengaruhnya adalah “Nihayatu Al-Mathlab”. Dalam kitab ini, Al-Juwaini bukan hanya mensyarah “Mukhtashor Al-Muzani”
dengan syarah yang luas dan sangat baik, tetapi juga merintis peleburan dua
aliran Asy-Syafi’iyyah di zamannya, yaitu aliran Khurosan dan aliran Irak. Di zamannyalah upaya “mendamaikan” dua aliran itu mulai kelihatan
pengaruhnya.
Kitab ini juga berjasa mendokumentasikan
kekayaan ijtihad-ijtihad ulama madzhab Asy-Syafi’i sebelum generasi Al-Juwaini.
Dengan kerja ini, kita bisa mengetahui variasi ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah
yang beragam semenjak Asy-Syafi’i wafat sampai masa Al-Juwaini sesuai dengan
cara mereka memahami ushul dan kaidah “istinbath” Imam Asy-Syafi’i.
Kitab ini juga bisa disebut memiliki andil
untuk mempelopori dan merintis upaya tahrir madzhab (menyeleksi ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada
madzhab syafi’i). Hal yang menunjukkan hal ini adalah
pernyataan Al-Juwaini sendiri dalam kitab ini. Beliau menulis,
وما اشتهر فيه خلافُ الأصحاب ذكرتُه، وما
ذُكر فيه وجهٌ غريبٌ منقاسٌ، ذكرت ندورَه وانقياسَه، وإن انضم إلى ندوره ضعفُ
القياس، نبهتُ عليه، بأن أذكر الصوابَ، قائلاً: ” المذهب كذا
“Ikhtilaf ulama Asy-Syafi’iyyah yang populer (akan) saya sebutkan.
Pendapat yang asing dan tidak sesuai dengan qiyas (akan) saya sebutkan juga
kelangkaan/keganjilan dan ketidaksesuainnya dengan qiyas. Jika pendapat
tersebut menggabung antara keganjilan dan lemahnya qiyas maka (akan) saya beri
catatan dan saya sebutkan (pendapat) yang benar dengan mengatakan, ‘pendapat
mazhab begini..”” (Nihayatu Al-Mathlab, juz 1 hlm 4)
Jika punya pendapat sendiri
(“mukhtarot”/”ikhtiyarot”), biasanya beliau memberi keterangan. Adapaun metode
penulisannya, di antara karakteristik-karakteristik terpenting metode penulisan
Al-Juwaini dalam kitab ini yaitu, (1) menjelaskan hukum berdasarkan ruh syara’
dan maqoshid syari’ah, (2) meneliti dan memvalidasi setiap penukilan dari para
imam, (3) sangat kuat memberi perhatian terhadap penetapan kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria,
(4) konsisten mengikuti sistematika pada “Mukhtashor Al-Muzani”, (5) menyajikan
pendapat salaf dengan maksud membentuk sikap bijaksana terhadap ikhtilaf dan
membuat tahu betapa moderatnya mazhab Asy-Syafi’i , (6) menyebut pendapat yang
berbeda dengan maksud memperjelas mazhab Asy-Syafi’i, (7) piawai menggunakan
“tasybih” dan “tamtsil” untuk menjelaskan makna, dan (8) berpegang teguh pada
riwayat dan mendahulukannya daripada qiyas.
Adapun dari sisi bahasa yang digunakan, gaya
tulisan yang beliau pakai menunjukkan beliau layak digolongkan dalam barisan
sastrawan level tinggi karena kepiawaiannya menggunakan bahasa Arab yang
mengandung unsur balaghoh tinggi.
Semenjak tuntas ditulis, “Kitab ini selalu
menjadi bahan pembicaraan” demikian pernyataaan Ibnu Hajar Al-Haitami. “Tidak
pernah dalam Islam dikarang kitab seperti itu” kata Ibnu ‘Asakir. Demikian
besarnya pengaruh Nihayatul Mathlab di kalangan ulama Syafi’iyyah di zaman itu,
maka pengarangnya pun digelari Al-Imam, sebagaimana disinggung di atas.
Di masa selanjutnya, Al-Ghazzali -murid
cemerlang Al-Juwaini- meringkas kitab “Nihayatu Al-Mathlab” ini dalam sebuah
kitab berjudul “Al-Basith” (البسيط). Namun, karena kitab
“Al-Basith” ini masih dipandang terlalu tebal, Al-Ghazzali meringkasnya lagi
dalam sebuah kitab yang diberi nama “Al-Wasith” (الوسيط).
Kitab “Al-Wasith” pun masih dianggap tebal, sehingga Al-Ghazzali meringkasnya
lagi dalam sebuah kitab yang diberi nama “Al-Wajiz” (الوجيز).
Kita tahu akhirnya kira-kira satu abad
kemudian dari “Al-Wajiz” karya Al-Ghozzali ini lah Ar-Rofi’i membuat syarah
yang merupakan hasil “tahrir” mazhab beliau berupa kitab besar berjudul
“Al-Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu Al-Kabir”. Kemudian
generasi berikutnya, yaitu An-Nawawi meringkas “Asy-Syarhu Al-Kabir” karya
Ar-Rofi’i itu menjadi “Roudhotu Ath-Tholibin”. Al-Qozwini juga meringkas
“Asy-Syarhu Al-Kabir” karya Ar-Rofi’i itu menjadi “Al-Hawi Ash-Shoghir”. Dari kitab
“Roudhotu Ath-Tholibin” dan “Al-Hawi Ash-Shoghir” ini kemudian lahir banyak
kitab cabang yang lainnya. Setelah itu, bersama kitab “Al-Muharror” karya
Ar-Rofi’i dan “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi lahirlah karya-karya ulama
Syafi’iyyah belakangan yang menjadi tumpuan penganut madzhab Asy-Syafi’i sampai
zaman sekarang.
Tahqiq terbaik yang saya tahu untuk kitab
“Nihayatu Al-Mathlab” ini adalah hasil kerja Dr. Abdul ‘Azhim Mahmud Ad-Dib.
Kerja beliau sangat layak dijadikan tumpuan, karena 40 tahun lebih beliau
habiskan untuk kerja ilmiah meneliti karya-karya Imamul Haromain Al-Juwaini. Saat mentahqiq kitab ini, ada 23 manuskrip yang beliau teliti!. Perjuangannya dalam mentahqiq luar biasa.
Saat menscan manuskrip (beliau ceritakan dalam muqoddimah tahqiqnya) petugas
yang dipercaya sampai keliru menscan kitab lain. Kekeliruan itu bukan hanya
sekali tapi sampai empat kali! Aneh, tapi nyata. Seakan-akan Allah menguji sang
muhaqqiq sebelum memberi taufiq mnyelesaikan tahqiq dengan kualitas prima
seperti yang bisa kita nikmati.
Dar Al-Minhaj menerbitkan kitab “Nihayatu
Al-Mathlab” ini dalam 21 jilid yang mana tiap jilid rata-rata ketebalannya 450
halaman. Jadi tebal kitab ini kira-kira secara kasar terdiri dari 9000-an
halaman. Usia kitab ini, jika dihitung semenjak masa penulisannya yang masih
berupa manuskrip sampai zaman sekarang yang sudah terbit dalam edisi cetakan
kira-kira sudah 1000 tahun.
Imamul Haromain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini
wafat pada tahun 478 H.
رحم الله إمام الحرمين أبا المعالي الجويني
رحمة واسعة
اللهم اجعلنا
من محبي العلماء الصالحين
5)
MENGENAL KITAB AL-WAJIZ, “MUKJIZAT” AL-GHOZZALI
Link
Kitab Al-Wajiz,
“Mukjizat” Al-Ghozzali :
·
الوجيز في فقه مذهب الإمام الشافعي، ويليه التذنيب في الفروع على
الوجيز (archive.org)
·
الوجيز في فقه الإمام الشافعي
: Yedali : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive
·
شبكة
مشكاة الإسلامية - المكتبة - الوجيز في فقه الإمام الشافعي - ط الأرقم
(almeshkat.net)
·
أبو حامد الغزالي -
المكتبة الشاملة (shamela.ws)
Oleh: Ust. Muafa
MENGENAL
KITAB AL-WAJIZ, “MUKJIZAT” AL-GHOZZALI - IRTAQI | كن
عبدا لله وحده
لو كان الغزالي نبيا لكان معجزته الوجيز
Artinya: “Seandainya Al-Ghozzali adalah nabi, niscaya kitab Al-Wajiz
adalah mukjizatnya”
Demikian konon Murtadho Az-Zabidi memuji kedudukan tinggi kitab Al-Wajiz. Terasa agak “lebai” mungkin, tapi mengapa sampai ada ucapan seperti itu?
Tentu akan sulit menentukan jawaban pastinya karena para ulama yang
menukil ucapan itu juga tidak menjelaskan latar belakangnya.
Dikarang oleh Al-Ghozzali, sang Hujjatul
Islam, kitab Al-Wajiz “tumbuh” secara alami
menjadi kitab penting dalam sejarah fikih madzhab Asy-Syafi’i. Bagaimana tidak?
Pengarangnya adalah seorang tokoh yang dikenal
memiliki popularitas yang bukan hanya dikenal di dunia Islam tetapi juga pada
peradaban di luar Islam. Pengarangnya adalah seorang tokoh yang dikenal
memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga sanggup menguasai berbagai macam
bidang ilmu “berat” yang hanya mungkin digapai oleh mereka yang memiliki
“akal-akal raksasa”. Jika dibicarakan filsafat, maka nama Al-Ghozzali tidak
mungkin dilewatkan dengan karyanya seperti “Tahafutu Al-Falasifah”. Jika
dibicarakan ushuluddin maka Al-Ghozzali akan disebut dengan karyanya seperti
“Al-Iqtishod fi Al-I’tiqod”. Jika disebut ilmu kalam, maka Al-Ghozzali akan
diingat dengan karyanya seperti “Iljam Al-‘Awamm”. Jika disebut ilmu ushul
fikih, maka Al-Ghazzali akan dikenang dengan karyanya semisal; “Al-Mustashfa”.
Jika disebut ilmu tashowwuf, maka kaum muslimin tidak mungkin lupa dengan karya
besarnya (lepas dari pujian maupun kritikan) yang bernama “Ihya Ulumiddin”.
Kitab ini bahkan menjadi referensi, rujukan, atau bahan penelitian dalam kajian
ilmu pendidikan dan psikologi di zaman sekarang.
Pun demikian dalam bidang fikih.
Al-Ghozzali juga menjadi “bintang” dalam madzhab Asy-Syafi’i. Terutama sekali
beliau dikenal dengan kitab Al-Wajiz ini.
Ada beberapa keistimewaan kitab Al-Wajiz ini, di antaranya,
Pertama, Menjadi Ringkasan Fikih Asy-Syafi’i Pada Zamannya.
Kita tahu, setelah Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini
mengarang kitab Nihayatu Al-Mathlab dalam fikih madzhab Asy-Syafi’i, kitab itu menjelma menjadi ensiklopedi
terlengkap tentang fikih madzhab Asy-Syafi’i di zaman itu. Hanya saja, kitab ini telalu besar dan tebal sehingga akan susah
“dikunyah” langsung oleh orang awam. Dari sini, Al-Ghozzali berinisiatif
meringkas kitab Al-Juwaini ini sehingga lahirlah kitab yang berjudul Al-Basith. Akan tetapi kitab ini masih dirasa
tebal, maka Al-Ghozzali meringkasnya lagi sehingga lahir kitab Al-Wasith. Namun, kitab Al-Wasith juga masih juga
terasa tebal sehingga Al-Ghozzali meringkasnya lagi dengan menambahi sejumlah
tambahan. Ringkasan Al-Wasith inilah yang diberi nama Al-Wajiz. Jadi bisa dikatakan, kitab Al-Wajiz
adalah jalan cepat mempelajari dan menguasai madzhab Asy-Syafi’i yang sudah
mulai berkembang pesat dan menuju fase kematangan. Satu generasi di bawah
Al-Ghozzali, tepatnya di zaman Ar-Rofi’i, para pelajar pemula madzhab
Asy-Syafi’i sudah menjadikan kitab Al Wajiz sebagai kitab “wajib” pertama yang
dipelajari.
Kedua, Menjadi Rujukan dalam Fikih Ringkas Perbandingan Madzhab.
Selain keistimewaan aspek ringkasnya
kitab, Al-Wajiz juga menjadi sumber pembahasan fikih perbandingan madzhab yang
bersifat ringkas. Kitab Al-Wajiz menyajikan data ikhtilaf fikih sampai zaman
Al-Ghozzali dengan mengutip pendapat-pendapat Asy-Syafi’i, Al-Muzani, Abu
Hanifah dan Malik. Madzhab Ahmad belum dibahas karena di zaman itu belum
stabil, mapan dan belum mengkristal. Hanya saja, karena Al-Wajiz berbentuk
ringkasan, penyebutan pendapat itu tanpa diiringi pembahasan tarjih, munaqosyah dan penjelasan dalil. Hanya pada awal
pembahasan saja terkadang diawali dengan penyebutan dalil dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Ketiga, Sanadnya Bersambung sampai ke Kitab Al-Umm.
Telah kita ketahui bahwa Al-Wajiz adalah
bentuk mukhtashor dari Al-Wasith. Kitab Al-Wasith adalah bentuk muktashor dari
Al-Basith. Kitab Al-Basith adalah bentuk mukhtashor dari Nihayatu Al-Mathlab.
Kitab Nihayatu Al-Mathlab adalah syarah dari Mukhtashor Al-Muzani. Kitab
Mukhtashor Al-Muzani bisa dianggap sebagai ringkasan dari kitab Al-Umm karya
Asy-Syafi’i. Jadi, kitab Al-Wajiz istimewa di sini karena memiliki “sanad
bersambung” sampai pendiri madzhab.
Keempat, Kitabnya Sangat Berkah karena darinya Lahir Kitab-kitab Besar,
Penting dan Fenomenal.
Kitab Al-Wajiz “melahirkan” banyak sekali
kitab-kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i. Di zaman As-Silfani saja sebagaimana
laporan Haji Khalifah dalam Kasyfu Adh-Dhunun
beliau sudah menemukan 70 syarah untuk Al-Wajiz.
Dari sekian banyak syarah untuk Al-Wajiz itu,
syarah terpenting adalah kitab Al-Fathu Al-‘Aziz karya Ar-Rofi’i atau yang dikenal juga dengan nama Asy-Syarhu
Al-Kabir. Berangkat dari syarah inilah dimulai babak
baru dalam madzhab Asy-Syafi’i yakni babak tahrir
madzhab (menyeleksi ijtihad ulama syafi’iyyah agar
sah dinisbatkan pada madzhab syafi’i). Ar-Rofi’i
memutuskan untuk menjadikan kitab Al-Wajiz sebagai basis untuk kitab syarah
terbesarnya itu. Dari kitab Ar-Rofi’i ini kemudian lahir kitab Roudhotu Ath-Tholibin yang juga mencabang
menjadi banyak kitab yang lain, sebagaimana saya ulas sekilas dalam tulisan
berjudul “Mengenal Kitab Roudhotu Ath-Tholibin Karya
An-Nawawi”
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa
kitab Ar-Rofi’i yang bernama Al-Muharror adalah bentuk mukhtashor dari Al-Wajiz. Sebagian lagi berpendapat bentuk
mukhtashor dari Al-Wajiz adalah kitab Al-Khulashoh karya Al-Ghozzali yang kemudian diringkas Ar-Rofi’i menjadi
Al-Muharror. Manapun dari dua pendapat itu muaranya adalah kitab Al-Muharror.
Kita tahu dari kitab Al-Muharrorlah
lahir mukhtashornya karya An-Nawawi yang menjadi kitab fenomenal bernama Minhaj Ath-Tholibin. Dari kitab Minhaju Ath-Tholibin lahir
ratusan syarah dan hasyiyah
yang menurut Abdullah Al-Habsyi mencapai sekitar 300-an lebih kitab. Bahkan
menurut Ahmad Ar-Rifa’i mencapai 1000 kitab!
Barangkali karena faktor-faktor di atas,
terutama fakor berkah kitab ini yang melahirkan kitab-kitab besar dan banyak di
masa-masa selanjutnya yang membuat Az-Zabidi menganggap kitab Al-Wajiz seperti
“mukjizatnya” Al-Ghozzali. Hanya Allah yang maha tahu.
Penerbit Syarikah Dar Al-Arqom bin Abi Al-Arqom di Beirut tahun 1418
H/1997 menerbitkan kitab Al-Wajiz dengan ketebalan sekitar 750-an halaman dalam
dua jilid.
رحم الله الغزالي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا
من محبي العلماء الصالحين
6)
MENGENAL KITAB AL-FATHU AL-‘AZIZ KARYA AR-ROFI’I
Al-Fathu Al-‘Aziz Karya Ar-Rofi’I :
·
كتاب فتح العزيز بشرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي -
المكتبة الشاملة
(shamela.ws)
·
العزيز شرح الوجيز (ط. العلمية) -
المكتبة الوقفية للكتب المصورة
PDF (waqfeya.net)
·
شبكة مشكاة الإسلامية - المكتبة -
العزيز في شرح الوجيز وهو الشرح الكبير - ط. العلمية (almeshkat.net)
Oleh : Ust. Muafa
MENGENAL
KITAB AL-FATHU AL-‘AZIZ KARYA AR-ROFI’I - IRTAQI | كن
عبدا لله وحده
Nama yang diberikan pengarangnya adalah Al’Aziz (العزيز).
Hanya saja sebagian ulama merasa “tidak enak” menyebut kitab ini Al-‘Aziz
karena seperti menyamakan kitab ini dengan Al-Qur’an yang memiliki nama lain
Al-‘Aziz. Akhirnya mereka menambahi kata Al-Fathu
di depannya sehingga menjadi Al-Fathu Al-‘Aziz. Dengan nama baru ini, lahirnya
kitab ini seakan-akan dipahami sebagai anugerah besar dari Allah untuk
membukakan ilmu kepada Ar-Rofi’i sehingga bisa menulis ilmu penting dalam hukum
Islam yang manfaatnya sangat luas untuk umat Islam. Di antara ulama yang
memilih menyebut Al-Fathu Al-‘Aziz adalah Adz-Dzahabi dan Ibnu Al-Mulaqqin.
Hanya saja, para muhaqqiq kebanyakan menganggap nama yang diberi pengaranglah
yang tetap paling baik dipakai. Oleh karena itu, edisi cetakan banyak yang
memberi nama kitab ini “Al-‘Aziz Syarhu Al-Wajiz” pada sampul depannya.
Nama lain kitab ini adalah Asy-Syarhu Al-Kabir. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah di Beirut menerbitkannya dengan ketebalan
sekitar 7400-an halaman dalam 13 jilid.
Kitab ini adalah salah satu dari duo
masterpiece Ar-Rofi’i yang mencerminkan penelitian
besarnya dalam melakukan kerja tahrir madzhab Asy-Syafi’i. Kita tahu, sebagai muharrir, Ar-Rofi’i telah menghasilkan dua
kitab terpenting yang menduduki posisi seperti “laporan penelitian” setelah
melakukan penelitian panjang. Dua kitab itu, yang pertama berupa kitab tebal
yakni kitab Al-Fathu Al-‘Aziz yang
sedang kita bicarakan ini dan yang kedua adalah kitab Al-Muharror yang lebih kecil ukurannya (sekitar 1800-an halaman). Ulasan lebih dalam tentang Al-Muharror telah saya tulis dalam artikel “Mengenal Al-Muharror, Kitab Masterpiece
Ar-Rofi’i”.
Kitab Al-Fathu Al-‘Aziz ini ditulis Ar-Rofi’i
sebagai syarah dari kitab Al-Wajiz karya
Al-Ghozzali. Ar-Rofi’i menyebut dalam muqoddimah bahwa di zaman beliau hidup,
kitab fikih dasar madzhab Asy-Syafi’i yang terfavorit untuk para pelajar pemula
waktu itu adalah Al-Wajiz
karya Al-Ghazzali. Karena kepopuleran kitab inilah Ar-Rofi’i memutuskan untuk
mensyarah kitab tersebut dan “menitipkan” hasil tahrir madzhabnya pada kitab
syarahnya itu.
Ar-Rofi’i mengawali syarahnya dengan
pembahasan ushul fikih seperti pembahasan rukhshoh,
khobar mutawatir, khobar ahad, muthlaq, muqoyyad, ‘amm, khosh, zhohir, nash,
mufassar, muhkam, musytarok, qiyas, istishhab, masholih mursalah, saddu
adz-dzaro-i’, istihsan, dan lain-lain. Setelah
itu beliau mulai melakukan pembahasan dimulai dari bab thoharoh (bersuci) dan
diakhiri dengan bab ‘itqu ummahati al-aulad (pembebasan ummul walad). Yang dimaksud ummul walad adalah budak wanita
yang disetubuhi tuannya kemudian hamil dan melahirkan anak. Dalam hukum Islam,
budak semacam ini jika tuannya mati, maka wanita tersebut langsung merdeka. Ia
dinamakan ummul walad, maksudnya ibu dari anak tuannya.
Kitab Al-Fathu Al-‘Aziz ini dipuji An-Nawawi
sebagai kitab yang tidak ada duanya dan belum pernah dikarang dalam madzhab
Asy-Syafi’i kitab seperti itu.
Perhatian para ulama terhadap kitab
Al-Fathu Al-‘Aziz sangat tinggi. Dari kitab ini lahir dua mukhtashor
terpenting yaitu: Roudhotu Ath-Tholibin karya An-Nawawi (yang telah saya ulas lebih panjang dalam artikel “Mengenal Kitab Roudhotu Ath-Tholibin Karya
An-Nawawi”) dan Al-Hawi
Ash-Shoghir karya Najmuddin Al-Qozwini.
Dari dua mukhtashor ini lahir banyak sekali
kitab seperti Roudhu Ath-Tholib, Asna Al-Matholib,
Al-Muhimmat Fi Syarhi Ar-Roudhoh, Al-Ubab, Al-I’ab, Khobaya Az-Zawaya,
Mandhumah Al-Bahjah Al-Wardiyyah, Al-Ghuror Al-Bahiyyah, Irsyadu Al-Ghowi Fi
Masaliki Al-Hawi, Ikhlashu An-Nawi, Al-Imdad, Fathu Al-Jawwad, Al-Kaukabu
Al-Waqqod, dan lain-lain.
Sebagian ulama ada pula yang memfokuskan diri
mentakhrij semua hadis dan atsar yang terdapat dalam kitab Al-Fathu Al-‘Aziz
ini.Yang paling terkenal adalah kitab berjudul “Al-Badru Al-Munir” karya Ibnu
Al-Mulaqqin (pernah saya ulas dalam artikel berjudul “Jasa Kitab Al-Badrul Munir Dalam Madzhab
Syafi’i”) dan “Talkhishu Al-Habir” karya Ibnu Hajar
Al-‘Asqolani. Az-Zarkasyi juga membuat takhrij untuk kitab ini dan hasil
karyanya diberi nama “Adz-Dzahabu Al-Ibriz.”
رحم الله الرافعي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
7)
APAKAH AL-MUHARROR KARYA AR-ROFI’I ADALAH MUKHTASHOR DARI AL-WAJIZ KARYA
AL-GHAZZALI?
Link Kitab Al-Muharror Karya Ar-Rofi’I :
·
المحرر في فقه الإمام
الشافعي (archive.org)
·
المحرر في فقه الإمام
الشافعي (almeshkat.net)
·
تحميل كتاب المحرر في
فقه الإمام الشافعي - ط. السلام ل عبد الكريم الرافعي pdf (ketabpedia.com)
·
- أرشيف منتدى الألوكة - أبحث عن
المحرر للرافعي - المكتبة الشاملة الحديثة (al-maktaba.org)
·
Daftar kitab Al-Muharror ::
Perpustakaan Islam Digital
Oleh : Ust. Muafa
MENGENAL
AL-MUHARROR, KITAB MASTERPIECE AR-ROFI'I - IRTAQI | كن
عبدا لله وحده
Yang lebih populer di masyarakat adalah
informasi bahwa Al-Muharror
itu ringkasan dari Al-Wajiz.
Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Bujairimi sebagaimana tercantum dalam kitabnya
yang berjudul “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid” atau yang lebih terkenal dengan
nama “Hasyiyah Al-Bujairimi”. Pendapat ini kemudian diikuti mayoritas ulama yang menulis tentang
madzhab Asy-Syafi’i seperti Al-Ahdal dalam kitab “Sullamu Al-Muta’allim”, Abdul
‘Adhim Ad-Dib saat mentahqiq kitab “Nihayatu Al-Mathlab” karya Al-Juwaini,
Muhammad Ibrahim Ahmad saat menulis kitab “Al-Madzhab ‘Inda Asy-Syafi’iyyah”,
Murtadho Al-Muhammadi dalam disertasinya; “Al-Madkhol Ila Ushuli Al-Imam
Asy-Syafi’i”, dan lain-lain.
Adapula yang berpendapat bahwa Al-Muharror
adalah mukhtashor dari kitab Al-Ghazzali yang bernama Al-Khulashoh. Kitab Al-Ghazzali yang bernama Al
Khulashoh adalah ringkasan dari Mukhtashor Al-Muzani dengan penataan ulang sistematikanya dan tambahan-tambahan. Keliru yang
menyangka Al-Khulashoh adalah ringaksan dari Al-Wajiz. Pandangan bahwa
Al-Muharror adalah ringkasan Al-Khulashoh adalah pendapat Abdullah bin Husain
Bilfaqih dalam kitabnya Mathlab Al-Aiqodh. Ini juga pendapat Muhammad Az-Zuhaili sebagaimana tersebut dalam
artikelnya, “Al-Ghozzali Al-Faqih Wa Kitabuhu Al-Wajiz”.
Adapun pendapat yang saya condongi adalah
pandangan yang mengatakan bahwa Al-Muharror itu kitab mustaqill (independen). Artinya tidak berasal dari
kitab yang lain. Bukan mukhtashor Al-Wajiz dan juga bukan mukhtashor
Al-Khulashoh. Al-Muharror adalah kitab yang ditulis secara mandiri, murni dari
hasil penelitian Ar-Rofi’i pada saat melakukan penelitian besar-besaran dalam
kerja tahrir/tanqih
madzhab Asy-Syafi’i.
Pandangan ini, yakni bahwa Al-Muharror
adalah kitab mustaqill adalah pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami. Pendapat Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam hal ini patut mendapatkan perhatian karena beliau adalah
muharrir madzhab Asy-Syafi’i fase kedua
sebagaimana pernah saya ulas dalam artikel saya yang berjudul “Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli,
Pelanjut Asy-Syaikhan”. Adapun penyebutan kitab Al-Muharror
dengan istilah mukhtashor maka hal itu dikarenakan efisiennya lafaz yang
dipakai, bukan karena hasil ringkasan dari kitab lain. Ibnu Hajar Al-Haitami
berkata,
وَتَسْمِيَتُهُ مُخْتَصَرًا لِقِلَّةِ لَفْظِهِ لَا
لِكَوْنِهِ مُلَخَّصًا مِنْ كِتَابٍ بِعَيْنِهِ
Artinya: “…Penamaan (Al-Muharror) dengan istilah mukhtashor adalah
karena minimnya lafaznya, bukan karena Al-Muharror adalah hasil ringkasan kitab
tertentu…” (Tuhfatu Al-Muhtaj, juz 1 hlm 133)
Adapun argumentasi mengapa kitab
Al-Muharror lebih tepat dipahami sebagai kitab mustaqill adalah hal-hal berikut
ini,
Pertama, Ar-Rofi’i tidak pernah menyatakan dalam muqoddimah Al-Muharror bahwa
kitabnya adalah bentuk mukhtashor dari Al-Wajiz. Padahal biasanya pengarang
akan menerangkan dulu posisi kitabnya dalam muqoddimah sebagaimana An-Nawawi
yang menerangkan posisi Minhaju Ath-Tholibin sebagai mukhtashor dari Al-Muharror. Pengantar Ar-Rofi’i untuk Al-Muharror berbunyi sebagai berikut,
وأستوفقك لما هَمَمتُ به من نظمِ مُختَصرٍ
في الأحكام ، مُحَرَّرٍ عن الحشو والتطويل ، ناصّ على ما رجحه المعظم من الوجوه
والأقاويل ، مُفَرغ في قالَب، مُهَذَّبِ الجُملة والتَّفصيل ، مُخَمِّرِ التَّفريع
والتأصيل
Artinya:
“…(Ya Allah) aku meminta taufiq kepada-Mu untuk memudahkan apa yang aku
niatkan, yakni membuat kitab ringkasan dalam hukum, yang dibebaskan dari
penjelasan bertele-tele nan panjang, mencatat ijtihad-ijtihad dan klaim
pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh para ulama yang mendalam ilmunya, yang
disajikan dengan ukuran yang pas (tidak kurang dan tidak berlebih), yang
diungkapkan dalam kalimat dan perincian yang jelas, yang sudah berbentuk matang
dalam hal penjelasan variasi dan prinsip dasar…”
Kedua, An-Nawawi tidak pernah menyebut Al-Muharror sebagai mukhtashor
Al-Wajiz, padahal An-Nawawi adalah syaikh Asy-Syafi’iyyah yang sangat tinggi
perhatiannya terhadap kitab Al-Muharror
Ketiga, Tidak ada seorangpun pensyarah Minhaju Ath-Tholibin yang menyatakan
bahwa Al-Muharror adalah mukhtashor Al-Wajiz
Keempat, Ulama yang menulis biografi Ar-Rofi’i tidak ada yang menulis bahwa
Al-Muharror adalah mukhtashor Al-Wajiz
Kelima, Kitab-kitab indeks tidak ada yang menyebut bahwa Al-Muharror adalah
mukhtashor Al-Wajiz padahal perhatian mereka cukup tinggi terhadap kitab
Al-Wajiz.
Wallahua’lam.
رحم الله الرافعي رحمة
واسعة
اللهم
اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
8)
MINHAJ ATH-THOLIBIN, KITAB AN-NAWAWI YANG FENOMENAL
Minhaj Ath-Tholibin, Kitab An-Nawawi :
·
منهاج الطالبين وعمدة
المتقين (archive.org)
·
كتاب منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه - المكتبة
الشاملة (shamela.ws)
·
منهاج الطالبين وعمدة
المتقين (archive.org)
·
منهاج الطالبين وعمدة
المفتين (ط: المنهاج) - النووي - طريق الإسلام (islamway.net)
Oleh: Ust. Muafa
MINHAJ
ATH-THOLIBIN, KITAB AN-NAWAWI YANG FENOMENAL - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Di antara kitab fenomenal di kalangan ulama syafi’iyyah adalah kitab Minhaj Ath-Tholibin
(منهاج الطالبين)
karya An-Nawawi.
Kitab ini populer, luas manfaatnya, banyak dikaji, dibicarakan,
didiskusikan, diajarkan, dibuatkan syarah (penjelasan panjang), disusunkan hasyiyah (catatan pinggir), sampai digubahkan nadhom (puisi).
Demikian besarnya perhatian ulama-ulama
syafi’iyyah sampai Abdullah Al-Habsyi dalam kitabnya yang berjudul Jami’
Asy-Syuruh Wa Al-Hawasyi menyebut lebih dari 300 karya dibuat untuk
menjelaskan, menguraikan, dan memberi catatan pinggir untuk kitab ini. Ahmad Ar-Rifa’i bahkan mengklaim syarah terhadap kitab ini mencapai
angka 1000 lebih!
Sekedar memberi gambaran, di antara
ratusan syarah Minhaj Ath-Tholibin itu sebagiannya terkenal di Indonesia, misalnya kitab-kitab berikut
ini:
·
Kanzu
Ar-Roghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli. Dari kitab
ini lahir dua Hasyiyah yaitu Hasyiyah Qolyubi dan Hasyiyah ‘Amiroh
·
Fathu
Al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshori. Asalnya,
Zakariyya meringkas Minhaj Ath-Tholibin dalam kitab yang bernama Manhaj Ath-Thullab. Lalu beliau mengarang syarah untuk kitab ringkasannya sendiri dan
diberi nama Fathu Al-Wahhab. Dari kitab Fathu Al-Wahhab ini lahir Hasyiyah
Al-Bujairimi
·
Tuhfatu
Al-Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami
·
Mughni
Al-Muhtaj karya Al-Khothib Asy-Syirbini
·
Nihayatu
Al-Muhtaj karya Ar-Romli
Tentu saja, tidak mungkin sebuah kitab
mendapat perhatian setinggi ini jika tidak memiliki tingkat abstraksi yang juga
sangat tinggi.
Bagaimana ceritanya Minhaj Ath-Tholibin mencapai kedudukan setinggi ini?
Barangkali kita akan lebih mudah memahami
jika mencoba mengulik dan mengusut asal usul alias “nasab” kitab ini seraya
memperhatikan kedudukan An-Nawawi di kalangan ulama Syafi’iyyah.
Telah kita bahas sebelumnya bahwa An-Nawawi
adalah bintang cemerlang dalam madzhab Asy-Syafi’i karena jasanya dalam
melakukan tahrir madzhab
(menyeleksi ijtihad ulama syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada madzhab
syafi’i) untuk menyempurnakan pekerjaan Ar-Rofi’i. An-Nawawi dan Ar-Rofi’i
diberi gelar penghormatan Asy-Syaikhan
(dua syaikh/guru) sebagai apresiasi atas jasa besar ini. (lihat Ar
Rofi’dan An Nawawi, dua Pendekar Ulama Syafi’iyyah). Di
manapun dalam kitab-kitab ulama syafi’iyyah, jika disebut syaikhan, maka yang
dimaksud adalah Ar-Rofi’i dan An-Nawawi.
Dengan kedudukan seperti ini, wajar jika
karya apapun An-Nawawi yang terkait representasi madzhab Asy-Syafi’i akan
diberi perhatian lebih dibandingkan ulama syafi’iyyah yang lain.
Minhaj At-Tholibin sebenarnya adalah bentuk mukhtashor (ringkasan) dari karya Ar-Rofi’i yang bernama Al-Muharror. Kitab Al-Muharror itu sendiri adalah versi ringkas hasil penelitian Ar-Rofi’i setelah
melakukan tahrir madzhab dengan mengkaji kitab-kitab syafi’iyyah mutaqoddimin sebelum beliau.
Jadi, bisa kita bayangkan, Ar-Rofi’i telah mengkaji kitab-kitab seperti Al-Hujjah, Al-Umm, Ar-Risalah, Muktashor Al-Muzani, Nihayatu Al-Mathlab,
Bahru Al-Madzhab, Al-Hawi Al-Kabir, Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, At-Tanbih,
Al-Muhadzdzab, At-Ta’liqot..dst yakni semua kitab-kitab syafi’iyyah
mutaqoddimin, kemudian beliau meneliti ulang ijtihad-ijtihad ulama syafi’iyyah
yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut agar bisa dinilai, mana yang sesuai
dengan kaidah ijtihad Asy-Syafi’i, juga meneliti ulang kebenaran klaim-klaim
ijtihad Asy-Syafi’i. Setelah tuntas, hasil penelitiannya dituangkan dan ditulis
ulang dalam bentuk abstrak (ringkasan) dan diberi nama Al-Muharror.
Kitab Al-Muharror yang sudah ringkas ini diperas dan dipadatkan lagi oleh An-Nawawi
menjadi kitab Minhaj Ath-Tholibin dengan tambahan hasil penelitian beliau sendiri. Dengan demikian kitab Minhaj Ath-Tholibin adalah cerminan
abstrak dari sebuah abstrak. Bukan sembarang abstrak, tetapi abstrak yang
disusun dengan penguasaan menyeluruh terhadap madzhab syafi’i. Oleh karena itu,
wajar jika kitab ini memiliki tingkat abstraksi yang sangat tinggi.
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
9)
MENGENAL KITAB ROUDHOTU ATH-THOLIBIN KARYA AN-NAWAWI
Roudhotu Ath-Tholibin Karya An-Nawawi :
·
روضة الطالبين (ط. عالم المكتبات) -
المكتبة الوقفية للكتب المصورة
PDF (waqfeya.net)
·
روضة الطالبين : Yedali : Free Download, Borrow, and
Streaming : Internet Archive
·
روضة الطالبين - النووي - ت. كوشك : matnawi : Free Download, Borrow, and
Streaming : Internet Archive
·
كتاب روضة الطالبين وعمدة المفتين - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
·
تحميل كتاب روضة
الطالبين وعمدة المفتين - ط عالم المكتبات ل الإمام النووي pdf (ketabpedia.com)
Oleh : Ust. Muafa
MENGENAL
KITAB ROUDHOTU ATH-THOLIBIN KARYA AN-NAWAWI - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Nama lengkap kitab ini berdasarkan
manuskrip-manuskrip yang terdapat pada Al-Maktabah Adh-Dhohiriyyah di Damaskus,
Suriah adalah “Roudhotu Ath-Tholibin Wa ‘Umdatu Al-Muftin”(رَوْضَةُ
الطَّالِبِيْنَ وَعُمْدَةُ الْمُفْتِيْنَ).
Penamaan versi Haji Kholifah dalam Kasyfu Adh-Dhunun yang menyebutnya “Roudhotu Ath-Tholibin Wa ‘Umdatu Al-Muttaqin”
ditinggalkan karena tidak sesuai dengan manuskrip-manuskrip tersebut.
Asal kitab ini adalah hasil ringkasan
An-Nawawi dari kerja tahrir madzhab Ar-Rofi’i yang bernama Fathu Al-‘Aziz. Dengan kata lain, Roudhotu Ath-Tholibin adalah mukhtashor Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu Al-Kabir.
Kita tahu, Fathu Al-‘Aziz sendiri adalah karya Ar-Rofi’i yang merupakan syarah
dari kitab Al-Wajiz
karya Al-Ghazzali. Al-Wajiz itu sendiri adalah mukhtashor Al-Wasith karya Al-Ghazzali. Al-Wasith adalah
bentuk mukhtashor dari Al-Basith
karya Al-Ghazzali. Al-Basith adalah hasil mukhtashor Nihayatu Al-Mathlab karya Al-Juwaini. Nihayatu Al-Mathlab
adalah syarah Mukhtashor Al-Muzani karya Al-Muzani. Kitab Mukhtashor Al-Muzani bisa dianggap mukhtashor
dari kitab Al-Umm
karya Asy-Syafi’i. Jadi, bisa dikatakan bahwa kitab Roudhotu Ath-Tholibin
adalah kitab yang “sanadnya bersambung” sampai kitab Al-Umm.
An-Nawawi menulis Roudhotu Ath-Tholibin
sebelum menulis Minhaju Ath-Tholibin. Dari sisi ukuran ketebalan, tentu saja Roudhotu Ath-Tholibin lebih
tebal, karena kitab asalnya juga tebal. Minhaju Ath-Tholibin lebih tipis karena
merupakan mukhtashor kitab Ar-Rofi’i yang bernama Al-Muharror yang ukurannya jauh lebih kecil daripada Fathu
Al-‘Aziz.
Roudhotu Ath-Tholibin ditulis An-Nawawi
dengan uraian yang bersifat pertengahan, yakni ditulis dengan gaya tidak
terlalu ringkas (yang malah bisa menimbulkan ambiguitas) dan tidak terlalu
panjang (sehingga malah berbentuk seperti syarah).
Secara umum, sebagai konsekuensi tulisan
berbentuk mukhtashor, An-Nawawi membuang penyebutan dalil pada hampir seluruh
pembahasan dalam kitab ini kecuali sedikit saja. Hal-hal
yang samar diperjelas dan semua pendapat ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah berusaha
dihimpun selengkap mungkin, bahkan termasuk pendapat-pendapat yang ghorib. An-Nawawi juga banyak menambah
bahasan-bahasan cabang dan pelengkap. Di beberapa tempat, An-Nawawi terkadang
sedikit mengoreksi Ar-Rofi’i.
Sistematika Roudhotu Ath-Tholibin secara
umum sama dengan Kitab Fathu Al-‘Aziz kecuali dalam beberapa tempat karena
tujuan tertentu. Beberapa persoalan yang tidak dijelaskan An-Nawawi dalam kitab
ini, dijelaskan beliau di kitabnya yang lain yaitu Al-Majmu’. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kitab Roudhotu Ath-Tholibin
bukan hanya hasil kerja ikhtishor, tetapi juga kerja tartib (sistematisasi) dan tanqih (editing).
Kitab Roudhotu Ath-Tholibin memiliki
pengaruh yang sangat besar di kalangan Asy-Syafi’iyyah. Demikian besarnya
pengaruh Roudhotu Ath-Tholibin di tengah-tengah penganut madzhab Asy-Syafi’i,
sampai-sampai Ibnu An-Naqqosy berkomentar,
النَّاس الْيَوْم رافعية لَا شافعية ونووية لَا نبوية
Artinya: “…zaman sekarang, orang-orang adalah pengikut Ar-Rofi’i bukan Asy-Syafi’i
dan menjadi pengikut An-Nawawi, bukan Nabi…” (Ad-Duror Al-Kaminah Fi A’yan
Al-Mi-ah Ats-Tsaminah, juz 5 hlm 327)
Maksudnya, kaum muslimin di zaman Ibnu
An-Naqqosy karena sedemikian besarnya perhatian mereka terhadap kitab Fathu
Al-‘Aziz karya Ar-Rofi’i dan bertaklid pada tarjih-tarjihnya seakan-akan
menjadi pengikut Ar-Rofi’i bukan Asy-Syafi’i. Mereka -juga- karena sedemikian
besarnya perhatian mereka terhadap kitab Roudhotu Ath-Tholibin yang merupakan
mukhtashor Fathu Al-‘Aziz itu dan bertaklid pada tarjih-tarjihnya, seakan-akan
menjadi pengikut An-Nawawi bukan Nabi. Bahkan
adapula yang level fanatisnya mencapai tingkatan luar biasa sampai meyakini
bahwa siapapun yang menyalahkan An-Nawawi maka ia kafir!
Di antara hal yang menunjukkan pentingnya
kitab ini dikalangan Asy-Syafi’iyyah adalah banyaknya kitab-kitab yang dikarang
untuk meringkas kitab ini, mensyarahi, memberinya hasyiyah, dan lain-lain. Contoh ulama yang membuat mukhtashor untuk Roudhotu Ath-Tholibin adalah
Ibnu Al-Muqri’ (wafat 837 H). Beliau membuat mukhtashor yang diberi nama Roudhu Ath-Tholib (روض الطالب).
Kitab ini disyarahi oleh Zakariyya Al-Anshori dalam sebuah kitab yang bernama Asna Al-Matholib (أسنى المطالب).
Kitab Asna Al-Matholib ini kemudian dibuatkan Hasyiyah oleh Syihabuddin
Ar-Romli dalam sebuah kitab yang dikenal dengan nama Hasyiyah Ar-Romli. Ada pula ulama yang membuatkan syarah untuknya. Di
antaranya adalah syarah yang bernama Al-Muhimmat Fi Syarhi
Ar-Roudhoh Wa Ar-Rofi’i (المهمات في شرح الروضة والرافعي)
karya Al-Isnawi (wafat 772 H). Dari kitab ini lahir banyak kitab lain
yang mayoritas saat ini masih berbentuk manuskrip.
Adapula syarah Roudhotu Ath-Tholibin karya
Al-Muzajjad yang bernama Al-‘Ubab (العباب).
Kitab ini dihasyiyahi oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam sebuah kitab yang
bernama Al-I’ab (الإيعاب)
yang masih berupa manuskrip.
Adapula ulama yang meneliti hal-hal unik
yang bisa menjadi fitnah bagi orang awam jika tidak dijelaskan. Misalnya karya
Az-Zarkasyi yang bernama Khobaya Az-Zawaya (خبايا الزوايا).
Kitab ini memfokuskan diri mengumpulkan pembahasan-pembahasan tertentu yang
ditulis Asy-Syaikhan dalam kitab Fathu Al-‘Aziz dan Roudhotu Ath-Tholibin
secara “sisipan”. Orang yang tidak mendalami karya Asy-Syaikan bisa berburuk
sangka bahwa beliau berdua ilmunya tidak luas karena tidak membahas topik-topik
tersebut. Nah, Az-Zarkasyi mengumpulkan pembahasan-pembahasan seperti ini dalam
satu kitab untuk membuktikan bahwa pembahasan tersebut sudah diulas dalam dua
kitab Asy-Syaikhan itu, meskipun ditempatkan pada judul tema yang tidak
berbicara tentang pembahasan tersebut.
رحم
الله الشيخين رحمة واسعة
اللهم
اجعلنا من من محبي العلماء الصالحين
10)
MENGENAL KITAB “MANHAJU ATH-THULLAB” KARYA ZAKARIYYA AL-ANSHORI
Manhaju Ath-Thullab” Karya Zakariyya
Al-Anshori :
·
منهج الطلاب في فقه
الإمام الشافعي
(archive.org)
·
كتاب منهج الطلاب في فقه الإمام الشافعي رضي الله عنه -
المكتبة الشاملة
(shamela.ws)
·
منهج الطلاب في الفقه
الشافعي للعلامة زكريا الأنصاري
(alukah.net)
·
منهج الطلاب في فقه
الإمام الشافعي
(archive.org)
Oleh : Ust. Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
MENGENAL
KITAB “MANHAJU ATH-THULLAB” KARYA ZAKARIYYA AL-ANSHORI - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Nama yang diberikan pengarang untuk kitab ini
adalah “Manhaju Ath-Thullab” (منهج الطلاب). Makna “manhaj” adalah jalan yang jelas, lafaz “thullab” adalah bentuk jamak dari tholib yang bermakna santri/penuntut ilmu. Dilihat
dari pemberian namanya, ada kesan pengarang memaksudkan kitab ini ditulis untuk
konsumsi pemula yang ingin mempelajari mazhab Asy-Syafi’i.
Kitab ini tergolong mukhtashor fikih dalam
mazhab Asy-Syafi’i. Lebih jelasnya lagi, kitab ini adalah ringkasan/mukhtashor
dari kitab mukhtashor An-Nawawi yang bernama “Minhaj Ath-Tholibin”. Jadi kitab “Manhaj Ath-Thullab” bisa dikatakan sebagai mukhtashor dari
mukhtashor. Hanya saja Zakariyya Al-Anshori bukan semata-mata meringkas, tetapi
juga menambahi beberapa hal, mengganti pendapat yang tidak mu’tamad dengan
pendapat mu’tamad, dan membuang pembahasan ikhtilaf. Dari sisi nama, antara
sumber yang diringkas dengan hasil ringkasannya sebenarnya semakna. Maksudnya,
nama “Manhaj Ath-Thullab” sebenarnya semakna dengan “Minhaj Ath-Tholibin”
karena lafaz “manhaj” semakna dengan “minhaj” sebagaimana lafaz “thullab”
semakna dengan “tholibin”.
Pengarangnya bernama Zakariyya Al-Anshori,
sang Syaikhul Islam yang tersohor di kalangan Asy-Syafi’iyyah. Nama lengkap
beliau Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshori. Lahirnya tahun
823 H. Moyangnya ada hubungan dengan penduduk Madinah, sehingga beliau berjuluk
Al-Anshori. Keilmuannya sangat luas sehingga beliau digelari Syaikhul Islam.
Saat Ibnu Hajar Al-Haitami membuat kitab yang menghimpun biografi guru-gurunya,
beliau menulis Zakariyya Al-Anshori dalam urutan pertama karena bagi
Al-Haitami, Zakariyya Al-Anshori-lah guru terhebatnya. Usianya lebih dari 100
tahun. Usia yang panjang yang penuh berkah. (Saya pernah membuat tiga catatan
terkait Zakariyya Al-Anshori, yaitu, “Memahami Gelar Syaikhul Islam”, “Mengapa Zakariyya Al-Anshori “Kalah Pamor”
Dengan Murid-Muridnya?”, Dan “Urutan “Kekuatan” Kitab-Kitab Zakariyya
Al-Anshori”)
Setelah selesai penulisan kitab ini,
sejumlah ulama melihat ketinggian nilai kitab ini sehingga berminat untuk
memperjelas dan mensyarahnya. Pertama kali yang mensyarah adalah Zakariyya
Al-Anshori sendiri, yakni dalam kitab beliau yang dinamai “Fathu Al-Wahhab”. Motivasi pembuatan syarah ini adalah
permintaan kawan-kawan dan murid-murid beliau yang ingin agar beliau membuat
karangan untuk memperjelas kandungan isi “Manhaj
Ath-Thullab”.
Setelah itu, dari kitab “Fathu Al-Wahhab” ini tergeraklah sejumlah ulama untuk
membuat hasyiyahnya. Di antara mereka adalah Al-Jamal (w. 1204 H). Beliau
membuat hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab” yang kemudian terkenal dengan nama “Hasyiyah Al-Jamal”. Sebagian kaum muslimin menyebutnya “Hasyiyah Al-‘Ujaili”. Adapun nama formal yang diberikan
Al-Jamal sendiri adalah “Futuhat Al-Wahhab bi Taudhihi Syarhi
Manhaji Ath-Thullab”. Sebagian ulama ada yang membuat
mukhtashor untuk hasyiyah ini. Manuskripnya ditemukan di perpustakaan Vatikan.
Hanya saja nama ulama yang membuat mukhtashor ini masih majhul. Judul
manuskripnya adalah “Mukhtashor Futuhat Al-Wahhab bi Taudhihi
Syarhi Manhaji Ath-Thullab”.
Selain Al-Jamal, ulama yang membuat
hasyiyah untuk kitab “Fathu Al-Wahhab” adalah Al-Bujairimi (w. 1221 H). Di
masyarakat, karya beliau dikenal dengan nama “Hasyiyah
Al-Bujairimi”. Di titik ini kita perlu sedikit jeli.
Jika disebut “Hasyiyah Al-Bujairimi” maka yang dimaksud adalah hasyiyah karya Al-Bujairimi yang mensyarah
kitab “Fathu Al-Wahhab”. Adapun jika disebut “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib” maka yang dimaksud adalah hasyiyah Al-Bujairimi yang mensyarah kitab “Al-Iqna’” karya Al-Khothib Asy-Syirbini yang
merupakan syarah dari matan Abu Syuja’. Dua kitab ini, yakni “Hasyiyah Al-Bujairimi” dan “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib”
adalah dua kitab yang berbeda. Kitab “Hasyiyah Al-Bujairimi’ memiliki nama
formal yang diberikan pengarang yaitu “At-Tajrid
li Naf’i Al-‘Abid”.
Selain dua hasyiyah ini ada pula
hasyiyah-hasyiyah yang lain untuk kitab “Fathu Al-Wahhab” itu. Di antaranya
“Hasyiyah Sulthon Al-Mizahi” (w. 1075 H), “Hasyiyah Az-Zayyadi” (w. 1024 H),
“Hasyiyah Ibnu Qosim Al-‘Abbadi” (w. 992 H), dan lain-lain. Hanya saja dari
sekian hasyiyah ini, yang terkenal dan telah dicetak ada dua yaitu “Hasyiyah Al-Jamal” dan “Hasyiyah
Al-Bujairimi” yang telah diuraikan di atas.
Selain disyarah oleh pengarangnya sendiri
dalam kitab “Fathu Al-Wahhab”, kitab “Manhaju Ath-Thullab” juga mendapatkan
banyak perhatian di kalangan para ulama. Ada yang membuatkan syarah untuknya
dan ada yang membuatkan hasyiyah.
Di antara syarahnya adalah kitab “Ihsanu
Al-Wahhab” karya Ahmad Al-Mishri, “Syarah Asy-Syabini”, “Kasyfu An-Niqob ‘An
Manhaji Ath-Thullab” karya Al-Wina-i (w. 1211 H), “Nata-ij Al-Albab/ Hasyiyah
Al- Barrodi”, “Mabhaju Ar-Righob”, “Hasyiyah Al-Birmawi” (w. 1106 H), “Hasyiyah
Asy-Syaubari” (w. 1069 H), “Hasyiyah Ibnu Qosim Al-‘Abbadi (w. 992 H),
“Hasyiyah Ath-Thoblawi” (w. 1014 H), “Hasyiyah Al-Ithfaihi”, “Hasyiyah
Al-Jauhari”, “Hasyiyah Asy-Syabromallisi” (w. 1087 H), dan lain-lain.
Sejumlah penerbit tercatat pernah
mempublikasikan kitab “Manhaj Ath-Thullab”. Di antaranya, penerbit Al-Maktabah
Al-Adabiyyah di Kairo, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah di Beirut, Mushthofa Al-Baby
Al-Halabi yang diletakkan pada catatan pinggir untuk kitab “Minhaj
Ath-Tholibin”, Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arobiyyah yang diletakkan pada catatan
pinggir untuk kitab “Fathu Al-Wahhab”, dan lain-lain.
Penerbit Al-Maktabah Al-Adabiyyah mencetak
kitab “Manhaju Ath-Thullab” atas jasa tahqiq sejumlah ulama Al-Azhar dengan
ketebalan 272 halaman.
Zakariyya Al-Anshori wafat di Kairo pada
tahun 926 H dan dikebumikan di dekat makam imam Asy-Syafi’i.
رحم
الله زكريا الأنصاري رحمة واسعة
اللهم
اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
11)
MENGAPA KITAB QURROTU AL-‘AIN TERKENAL DI INDONESIA?
Qurrotu
Al-‘Ain :
·
فتح المعين بشرح قرة
العين بمهمات الدين
(archive.org)
·
كتاب فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين - المكتبة
الشاملة (shamela.ws)
·
فتح المعين بشرح قرة
العين بمهمات الدين
(almeshkat.net)
·
فتح المعين بشرح قرة
العين بمهمات الدين (ط: ابن حزم) - طريق الإسلام (islamway.net)
Oleh:
Ust. Muafa
MENGAPA
KITAB QURROTU AL-‘AIN TERKENAL DI INDONESIA? - IRTAQI | كن عبدا لله وحده
Nama lengkap kitab ini adalah Qurrotu Al-‘Ain Bimuhimmati Ad-Din (قرة العين بمهمات الدين).
Nama singkatnya Qurrotu Al-‘Ain. Kitab ini adalah kitab fikih bermadzhab
syafi’i. Jangan sampai dikelirukan dan disalah-identifikasikan dengan kitab Qurrotu Al-‘Uyun (قرة العيون),
karena Qorrotu Al-‘Uyun adalah kitab tentang adab jimak/berhubungan suami istri. Meskipun dua
kitab ini cukup dikenal di sejumlah pondok pesantren-pondok pesantren di
Indonesia, hanya saja kitab Qurrou Al’Ain yang lebih terkenal, terutama kitab turunannya yang bernama Fathu Al-Mu’in (فتح المعين).
Kitab Qurrotu
Al-‘Ain ini dikarang oleh ulama India yang
bernama Al-Malibari
(versi lain menyebut Al-Mallibari, Al-Mulaibari, Al-Malabari, dan
Al-Milyabari). Nama lengkapnya Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Ma’bari
Al-Malibari Al-Fannani. Di antara karya terkenalnya di Indonesia adalah kitab Irsyadu Al-‘Ibad Ila Sabili Ar-Rosyad.
Beliau wafat pada tahun 1028 H.
Kitab Qurrotu Al-‘Ain tergolong mukhtashor/matan (pengertian mukhtashor dan berbagai macam
kitab fikih yang lain bisa dibaca di Mengenal Berbagai Macam Gaya Penulisan
Kitab Fikih). Kitab ini terhitung sangat ringkas karena
hanya berjumlah sekitar 40 halaman saja. Kendati demikian isinya sangat padat
dan komprehensif dalam menuangkan kesimpulan kesimpulan hukum fikih yang
mengatur kehidupan manusia. Meski ringkas, kitab ini memiliki tingkat abstraksi
yang cukup tinggi.
Mengapa kitab Qurrotu
Al-‘Ain terkenal di Indonesia, terutama kitab
turunannya yang bernama Fathu Al-Mu’in?
Jika kita lacak sejarah seraya memperhatikan
kandungan kitab Qurrotu Al-‘Ain termasuk Fathu Al-Mu’in, kita akan mendapati
fakta-fakta yang bisa dijadikan dasar teori untuk menjelaskan fenomena
popularitas ini.
Zainuddin Al-Malibari, pengarang Qurrotu
Al-‘Ain ini, meskipun orang India, di masa mudanya beliau mendapatkan nikmat
dari Allah untuk belajar dien
ke tanah suci. Di sana, beliau berkesempatan belajar secara langsung kepada
guru besar ulama Syafi’iyyah pelanjut Asy-Syaikhan, yakni Ibnu Hajar
Al-Haitami. Jadi, Zainuddin Al-Malibari adalah murid langsung Ibnu Hajar
Al-Haitami dan mengambil banyak ilmu darinya, terutama menyerap ilmu yang
dituangkan dalam karya besarnya yang bernama Tuhfatu
Al-Muhtaj.
Bukan hanya itu saja, bahkan Zainuddin
Al-Malibari juga berkesempatan mengambil fatwa dari guru besar ulama
syafi’iyyah yang lain yang bernama Syamsuddin Ar-Romli. Telah kita ketahui
bersama bahwa Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli adalah dua pendekar ulama
syafi’iyyah pelanjut Asy-Syaikhan dalam melakukan tahrir
madzhab (uraian lebih detail tentang Ibnu Hajar
Al-Haitami dan Ar-Romli bisa dibaca Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli Pelanjut
Asy-Syaikhan).
Lebih dari itu, Zainuddin Al-Malibari juga
berkesempatan belajar kepada Al-Khothib Asy-Syirbini, pengarang Mughni
Al-Muhtaj. Asy-Syirbini,
meskipun tidak seterkenal Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli, tetapi beliau
memiliki kualitas ilmu fikih yang selevel dengan Ibnu Hajar Al-haitami dan
Ar-Romli.
Dengan latar belakang ini, sekarang kita
bisa memahami seperti apa ilmu yang dihimpun oleh Zainuddin Al-Malibari. Ilmu fikih Syafi’iyyah yang dimiliki Zainuddin
Al-Malibari adalah hasil rangkuman dan abstraksi fikih di zaman fikih
Syafi’iyyah sudah dianggap matang dan nyaris sempurna!. Oleh karena itu, wajar,
jika kitab Qurrotu Al-‘Ain ini mendapat perhatian tinggi di berbagai negeri
Islam, terutama di Indonesia, karena memiliki keistimewaan meringkas dan
mempermudah belajar fikih Asy-Syafi’i dalam bentuk yang sudah merangkum hampir
semua pembahasan fikih yang sudah ditahqiq dan ditanqih
mulai zaman Ar-Rofi’i, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Haitami sampai Ar-Romli.
Di masa selanjutnya, perhatian tinggi
terhadap kitab Qurrotu Al’Ain ini membuat lahir kitab-kitab baru yang menjadi
“anak turunannya” yang juga menjadi populer di negeri ini. Di antaranyanya
adalah lahir kitab Fathu Al-Mu’in yang dikarang oleh Zainuddin Al-Malibari
sendiri, yang ditulis sebagai syarah dari kitab Qurrotu Al’Ain. Nampaknya, kitab Fathu Al-Mu’in ini yang lebih dikenal santri-santri di
sejumlah pondok pesantren daripada kitab induknya.
Selain itu muncul pula syarah Qurrotu
Al’Ain yang dikarang oleh ulama Jawa yang bernama Muhammad Nawawi bin Umar
Al-Jawi. Syarah tersebut bernama Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi
Al-Mubtadi-in, atau lebih dikenal dengan nama singkat; Nihayatu Az-Zain.
Kemudian, kitab Fathu Al-Mu’in tadi
melahirkan sejumlah Hasyiyah.
Di antaranya adalah Hasyiyah karya As-Sayyid Al-Bakri yang bernama I’anatu Ath-Tholibin. Termasuk juga
Hasyiyah karya As-Saqqof yang bernama Tarsyihu Al-Mustafidin. Demikian pula
Hasyiyah karya ‘Ali Bashobrin yang bernama I’anatu Al-Musta’in. Selain
Hasyiyah, ada pula ulama India yang membuatkan mandhumah untuk Fathu Al-Mu’in. Beliau adalah Al-Fadhfari yang mengarang
mandhumah untuk Fathu Al-Mu’in dan diberi nama An-Nadhmu Al-Wafi Fi Al-Fiqhi
Asy-Syafi’i.
Dengan demikian, dari kitab Qurrotu
Al-‘Ain karya Zainuddin Al-Malibari ini, lahir kitab-kitab terkenal sebagai
berikut,
1. Fathu Al-Mu’in (فتح المعين)
2. Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadi-in
(نهاية الزين في إرشاد المبتدئين)
3. I’anatu Ath-Tholibin (إعانة الطالبين)
4. Tarsyihu Al-Mustafidin (ترشيح المستفيدين)
5. I’anatu Al-Musta’in (إعانة المستعين)
6. An-Nadhmu Al-Wafi Fi Al-Fiqhi Asy-Syafi’i
(النظم الوفي في الفقه الشافعي)
رحم الله زين الدين المليباري رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين