HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Jumat, 29 Juli 2022

Filsafat dan Logika Rocky Gerung

      



TEORI SOSIOLOGI

 1.      PENDAHULUAN

Apakah sosiologi itu? bagaimana latar belakang munculnya ? apa manfaat mempelajari ?

Munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu, selain merupakan hasil dari proses empiricall-historis, juga merupakan hasil dari proses perkembangan pemikiran filosofis. Fenomena empiris yang melatarbelakangi situasi sosial-politik di Eropa Barat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18 sangat mempengaruhi perkembangan sosiologis,disamping munculnya pandangan-pandangan filosofis tentang positivisme, yaitu mencari penjelasan semua gejala alam dan sosial dengan mengacu pada deskripsi dan hukum ilmiah.

Penjelasan yang bersifat historis dan filosofis, mengantarkan pada pemahaman tentang pokok bahasan sosiologi yang membedakan dengan ilmu sosial lainnya, yang akan memberikan jawaban tentang hakekat dari sosiologi. Kompleksitas permasalahan yang mendorong lahirnya pemikiran sosiologi telah memberikan sumbangan yang besar bagi keragaman cara pandang, sehingga sosiologi dinyatakan sebagai ilmu dengan paradigma majemuk (’a multiple paradigm science’).

1.1             Sejarah Sosiologi Sebagai Sebuah Ilmu

Menurut Berger dan Berger, pemikiran sosiologi berkembang ketika masyarakat menghadapi ’ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap benar dan seharusnya, yang menjadi pegangan manusia’ (threats to the taken-for-granted world). Maksudnya yaitu, suatu keadaan masyarakat dimana tatanan sosial (’social order’) yang diyakini oleh sebagian besar anggota masyarakat terancam oleh berbagai bentuk perubahan.

Sampai abad ke-18 Eropa Barat didominasi oleh sistem feodalisme yang sangat elitis dan mapan. Perkembangan yang terjadi kemudian, mengikuti tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, adalah munculnya kesadaran bahwa dominasi feodalisme sangat menghambat perkembangan kelompok intelektual serta kelas menengah. Bangkitnya kelas menengah mewarnai sebuah proses perubahan jangka panjang, seperti tumbuhnya kapitalisme,perubahan sosial dan politik, meningkatnya individualisme, serta lahirnya ilmu pengetahuan modern. Dua revolusi penting pada abad ke-18, ialah (1) Revolusi Industri, (2) Revolusi Perancis (Laeyendecker, 1983:11-43).

Gejolak sosial dan politik yang terjadi pada masa itu telah menggoncang masyarakat Eropa, serta menggoyahkan tatanan sosial yang lama mapan. Faktor ini merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara serentak di beberapa negara Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), Pada masa inilah peran para tokoh sosiologi klasik berawal. Mendorong para pemikir dan intelektual mencari jawaban yang rasional, serta menemukan formula yang mampu menguraikan semua gejala sosial yang muncul. Lahirlah kemudian pemikiran cemerlang tentang masyarakat, perubahan sosial serta konflik sosial dari tokoh-tokoh seperti, Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920). Mereka ini kemudian diakui oleh para tokoh sosiologi abad 20 (tokoh sosiologi modern) sebagai perintis awal serta peletak dasar pemikiran sosiologi, sebagai ’the founding fathers’, dan oleh Lewis Coser dianggap sebagai ’masters of sociological thought’, yang memberikan sumbangan penting bagi lahir dan berkembangnya sosiologi sebagai sebuah ilmu.

Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan sosiologi, dalam bukunya : ’Course de Philosophie Positive’.Yang berisi pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati tiga tahap. Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, tahap positif, yaitu manusia mencari penjelasan gejala alam maupun sosial mangacu pada deskripsi ilmiah.

Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif mendasarkan pada cara berpikir ilmiah, bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan kajian harus bermanfaat, serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang digunakan dalam metode positif adalah :1) pengamatan, 2) perbandingan, 3) eksperimen, 4) metode historis. Penjelasan tentang hubungan antar manusia atau gejala-gejala masyarakat harus melalui rasionalisasi yang positif. Kegiatan kajian sosiologi yang tidak menggunakan metode pengamatan, perbandingan, eksperimen, ataupun historis.

Auguste Comte memang mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya. Namun demikian, Emile Durkheim menempati posisi penting dalam mengembangkan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting adalah pada usahanya dalam merumuskan obyek studi sosiologi, dan memberikan rumusan penting dalam metode untuk mendekati dan mengamati obyek studi.

Pandangan Comte yang masih abstrak tentang filsafat positif kemudian diperjelas oleh Durkheim dengan meletakkan sosiologi di atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan berpengaruh adalah Suicide (1968) dan The Rule of Sociological Method (1965). Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Melalui karya ini Durkheim menegaskan bahwa obyek studi sosiologi adalah fakta sosial (social fact), yang untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan The Rule of Sociological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi.

1.2     Pokok Bahasan Dalam Sosiologi

Untuk membangun pemahaman tentang ruang lingkup serta pokok bahasan sosiologi. Dengan memahami Istilah sosiologi yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani socius (kawan) dan logos (ilmu), lalu dinyatakan bahwa obyek formal sosiologi adalah hubungan antar orang.

Pengertian sosiologi sering juga dikacaukan dengan pekerjaan sosial (social worker). Sebenarnya sosiologi tidak dapat secara langsung menjawab kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dalam arti tidak mempersiapkan secara khusus profesi sebagai penyuluh atau counselling, atau membantu memecahkan persoalan pribadi. Namun demikian bukan berarti sosiologi tidak mempunyai kontribusi dalam usaha memecahkan persoalan semacam itu. Sosiologi telah membangun banyak teori yang berpijak pada asumsi-asumsi dasar dan perspektif tertentu, serta memiliki metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat evaluasi, interpretasi dan bahkan juga prediksi.

Perhatian sosiologi terhadap fenomena sosial yang terjadi tidak semata-mata membuat deskripsi, atau merentang perbedaan dan persamaan karakteristik fenomena sosial yang berkembang, akan tetapi juga memperlihatkan tendensi-tendensi atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sosiologi mampu menerangkan dan menafsirkan apa yang ada di balik fenomena sosial tersebut berdasarkan teori atau penelitian, dan tidak memberikan penilaian berdasarkan baik dan buruk pada sebuah tindakan sosial. Sehingga, tindakan sosial tertentu yang bagi orang awam terasa aneh, tidak wajar atau menyimpang, melalui sosiologi dapat menjadi sesuatu yang menarik, dan dapat ditelusuri pangkal-tolak kemunculannya dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Hal ini merupakan bukti obyektivitas sosiologi sebagai sebuah ilmu.

Beberapa contoh definisi sosiologi adalah, kajian ilmiah tentang man’s social life (kehidupan sosial), atau tentang human relationships and their consequences (hubungan antar orang dan konsekuensi-konsekuensinya), dan juga tentang social behaviour (tindakan sosial). Tentunya semua definisi ini benar adanya, namun kerapkali dianggap kurang rinci dan masih belum mampu membedakan sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tidak mudahnya menarik definisi sebuah disiplin ilmu kemasyarakatan, dalam hal ini sosiologi, bisa dipahami karena, pertama, apa yang ditangkap dan dikonstruksi oleh seorang ahli tentang disiplin tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan fokus perhatiannya ketika itu; yang kedua, begitu banyaknya faktor yang berperan dan berubah pada masalah sosial yang tumbuh dalam masyarakat sehingga orientasi pokok kajian sebuah disiplin menjadi sulit diselaraskan.

Water dan Crook menyatakan (Sunyoto Usman, 2004:hal 6-7) bahwa : “Sociology is the systematic analysis of the structure of social behaviour” (sosiologi adalah analisis yang sistematis tentang struktur tindakan sosial). Dalam definisi ini terdapat sedikitnya empat elemen penting. Pertama, pokok kajian adalah tindakan sosial, dan bukan tindakan individual. Tindakan sosial berarti tindakan yang diorientasikan pada orang lain, mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan akibat dari tindakan orang lain (ada hubungan timbal balik). Kedua, tindakan sosial yang dipelajari adalah tindakan yang berstruktur. Struktur disini berarti pola atau regulasi. Oleh karena itu analisis sosiologi dapat mengidentifikasi akar, proses, dan implikasi dari tindakan sosial yang diamati. Dalam konteks ini, sosiologi bukanlah semata-mata memberikan penjelasan deskriptif, tetapi berusaha memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial, sosiologi berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu (scientific thought), dan bukan berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya berlaku khusus (common sense). Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis, artinya dalam memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan diri sebagai disiplin yang mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Beberapa diskusi mengenai pokok bahasan sosiologi memberi gambaran bahwa ternyata cakupan dan ruang lingkup perhatian sosiologi cukup luas, meliputi mikrososiologi dan makrososiologi (menurut Inkeles, dalam Kamanto Sunarto:2004,hal.18-21). Mikrososiologi disebut juga sebagai ’the sociology of everyday life situation’, atau sosiologi kehidupan sehari-hari, yang mengkhususkan diri pada fenomena antar individu disaat mereka berinteraksi tatap muka, bertindak dan berkomunikasi. Sedangkan makrososiologi disebut sebagai the ’sociology of social structures’ atau sosiologi struktur sosial, yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan serta hubungan antar bagian dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang melebihi kumpulan individu yang membentuknya. Diantara mikrososiologi dan makrososiologi, ada lingkup pokok bahasan yang disebut mesososiologi yang lebih menekankan pada institusi sosial. Dengan demikian Alex Inkeles menyatakan bahwa sosiologi memiliki tiga pokok bahasan yang khas, yaitu hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.

Hubungan antara metode, teori dan paradigma Sosiologi, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

                             

 

 

 

 

No

 

Paradigma

Gambaran dasar pokok permasalahan

 

Teori

 

Metode

 

Eksemplar

 

1

 

FAKTA SOSIAL

Obyek :

  • Eksternal
  • Memaksa
  • Umum
  • Riil

STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN KONFLIK

Metode Survei dengan Kuesioner dan wawancara

EMILE DURKHEIM :

The Rules of Sociological Method, Suicide

 

 

2

 

 

DEFINISI SOSIAL

Subyek :

  • internal
  • bebas
  • khusus

·       TINDAKAN (Weber, Parsons),

·       INTERAKSIONISME SIMBOLIK (Weber, Mac Iver, Mead, Cooley, Thomas, Blumer)

·       SOSIOLOGI FENOMENOLOGI (Weber, Schutz, Garfinkel)

Pengamatan, verstehen

MAX WEBER : Tindakan Sosial

 

3

 

PERILAKU SOSIAL

Perilaku manusia deterministik : penghargaan dan hukuman

PERILAKU (Burgers & Bushell, Homans)

Eksperimen

B.F.SKINNER : Perilaku Sosial

 

Durkheim membangun konsep fakta sosial yang kemudian diterapkannya dalam mempelajari gejala bunuh diri, dan dimaksudkan untuk memisahkan sosiologi dari arena psikologi dan filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial harus dinyatakan sebagai sesuatu yang berada diluar individu dan bersifat memaksa. Ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni : struktur sosial dan pranata sosial. Paradigma ini memandang tindakan individu sebagai tindakan yang ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.

Eksemplar paradigma definisi sosial adalah karya Max Weber tentang ’tindakan sosial’. Weber tertarik pada makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakan mereka, dan tidak tertarik untuk mempelajari fakta sosial yang bersifat makro seperti struktur sosial dan pranata sosial. Bagi Weber yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Paradigma ini secara pasti memandang individu sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri, sementara struktur dan pranata sosial hanya merupakan kerangka tempat proses pendefinisian sosial dan proses interaksi berlangsung.

Paradigma perilaku sosial menetapkan pokok persoalan sosiologi adalah perilaku atau tingkahlaku dan kemungkinan perulangannya, serta memusatkan perhatiannya kepada hubungan saling pengaruh antara individu dan lingkungannya, atau dengan kata lain tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan. Pandangan ini lebih mengarahkan pendekatannya pada psikologi, dimana Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviourisme ke dalam sosiologi. Teori, gagasan, dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behaviour.

Pengetahuan tentang adanya tiga paradigma ini tidak berkaitan dengan penganutan dalam mempelajari konsep-konsep dan teori-teori sosiologi. Pada kenyataannya, sosiologi modern berkembang melampaui perbedaan-perbedaan ini. Berbagai komponen dalam masing-masing paradigma saling menyesuaikan diri ke arah hubungan yang harmonis. Eksemplar pada suatu paradigma tertentu mendapat pengakuan dari hampir semua orang. Keseluruhan pendekatan teoritis dalam masing-masing paradigma diakui sebagai persamaan yang mendasar, meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi teoritis. Metode yang disukai oleh masing-masing paradigma jelas sekali saling terpaut dengan masing-masing paradigma. Menjadi jelas disini bahwa dalam mempelajari sosiologi dan melakukan pendekatan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi, seorang pelajar sosiologi harus memahami benar tentang keragaman konsep yang muncul, serta pendekatan-pendekatan yang nampaknya bertentangan, serta kemungkinan adanya perbedaan paradigma yang mungkin menjadi penyebabnya.


2.2            TEORI DAN RAGAM TIPE TEORI SOSIOLOGI

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarahnya telah terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau fenomena sosial yang hadir dalam kehidupan masyarakat kita.  Hal ini ditandai dengan keberhasilan sosiologi sebagai cabang ilmu, yang tampil ditengah-tengah persaingan pengaruh antara psikologi dan filsafat untuk membedah fenomena sosial.  Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sosiologi belum seutuhnya mampu melepaskan pengaruh dengan dua cabang ilmu yang telah disebutkan sebelumnya (Ritzer, 2004).

Dalam tugas sebelumnya telah diuraikan, bahwa syarat terpenting dari ilmu pengetahuan adalah mampu membuka atau mempertanyakan realitas yang ada (ontologi) dan mengetahui mengapa realitas itu terjadi (epistimologi).  Dengan mempertanyakan kejadian atau fenomena sosial (ontologi) dan mengetahui mengapa fenomena sosial tersebut terjadi (epistimologi), maka sosiologi telah membuktikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan sebagaimana cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Sebagai ilmu pengetahuan, tentunya sosiologi mempunyai seperangkat teori untuk membuka tabir atas realitas sosial yang terjadi dan memepertanyakan mengapa realitas sosial itu terjadi.  Beragam teori pun hadir dengan latar belakang paradigma yang berbeda-beda.  Dalam kaitannya dengan itu, kita mengenal beragam teori dalam sosiologi, seperti: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori tindakan sosial, dan lain-lain.  Pertanyaannya kemudian adalah ;

(1)   apakah yang dimaksud dengan teori itu?

(2)   bagaimana proses pembentukan teori dalam sosiologi? dan

(3) bagaimana landasan kategorisasi atau pemetaan teori-teori dalam sosiologi?

 

2.1            Pembentukan Teori dan Defenisi Teori Sosiologi

Sebelum menjawab pertanyaan pertama dalam tulisan ini, alangkah baiknya kita terlebih dahulu memahami bagaimana proses pembentukan suatu teori.  Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari beberapa komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang tersusun ini merupakan komponen ilmu yang hakiki.  Adapun komponen yang dimaksud, yakni: fenomena, konsep, fakta, dan teori.  Jika dianalisis lebih lanjut bahwa ketiga komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya membentuk teori merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang lahir akan terus dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab fenomena yang sesungguhnya.

Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-konsep.  Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena.  Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa yang dinamakan variabel.  Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.  Jadi variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk mengetahui fenomena yang hadir.

Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya.  Keterhubungan antar konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta.  Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan fakta-fakta yang lainnya.  Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori.  Atau dengan kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomen-fenomena.

Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma, 2004) yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris.  Selanjutya Poloma (2004) menambahkan bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau variabel setepat-tepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah.  Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit dasar teori sosiologi adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa pembentukan suatu teori sosiologi tidak lepas atau sangat terkait dengan cara berfikir (logika) yang dibangun oleh seorang ilmuwan sosial untuk menjawab pertanyaan atas suatu realita sosial.  Dalam ilmu filsafat, dikenal dua cara berfikir (logika) sebagai ”tipe ideal” (meminjam istilah Max Weber) untuk mengetahui suatu teori dalam menjawab realita atau fenomena sosial.  Tipe ideal yang dimaksud adalah bahwa pembentukan teori berangkat dari logika induktif (induktive logical) dan logika deduktif (deductive logical) yang mempunyai perbedaan satu sama lain.  Cara berfikir induktif berangkat dari fakta empiris yang diperoleh melalui pengamatan dalam membentuk suatu hukum atau teori sosiologi.  Ini berbeda dengan cara berfikir deduktif yang menempatkan hukum atau teori sosiologi sebagai untuk memprediksi dan mengeksplanasi kejadian atau fenomena sosial.  Meski demikian, antara fakta yang ada dan prediksi maupun eksplanasi mempunyai keterhubungan dalam membuka ”tabir” atas kejadian atau fenomena sosial.

Tipe ideal sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 dapat dilacak diawal-awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.  Sebagai Bapak Sosiologi, Aguste Comte dengan teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tingkatan (tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik) yang berangkat dari ”filasafat positif” (Ritzer dan Goodman, 2003) merupakan pembentukan teori yang didasari atas deduktive logical, dimana mengembangkan fisika sosial sebagaimana model ilmu-ilmu pasti atau ”hard science”.

Pendapat ini, kemudian dibantah oleh Durkheim yang mana mentikberatkan sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada fakta sosial (empirisme).  Berangkat dari penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial, Durkheim kembali menegaskan bahwa fakta sosial menurutnya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi sasaran penyeledikan filsafat.  Atau dengan kata lain, dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari dalam sosiologi, berarti menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin empiris dan berdiri sendiri dari pengaruh filsafat (Ritzer, 2004).

2.2             Pemetaan Tipe Teori dalam Sosiologi

Memetakan tipe teori dalam sosiologi bukanlah hal yang mudah.  Perbedaan cara befikir akan menentukan posisi teori sosiologi ke dalam tipe tertentu.  Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dua sosiolog barat, yakni Randal Collins (1988) dan William Skidmore (1979).

Dalam bukunya yang berjudul ”Theoretical Sociology”, Collins mencoba memetakan teori sosiologi ke dalam tiga aras, yakni makro, meso, dan mikro.  Menurutnya teori sosiologi aras makro merupakan teori yang topik kajiannya menempatkan waktu dan ruang mempunyai pengaruh terhadap manusia.   Unit analisis dari sosiologi makro ini adalah masyarakat sebagai suatu sistem sosial.  Adapun yang dimaksud Collins dalam teori sosiologi makro ini adalah teori evolusi, teori sistem, teori fungsionalis, teori ekonomi politik, teori konflik, dan perubahan sosial.

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori sosiologi aras meso muncul karena pertanyaan mendasar tentang hubungan timbang balik antara mikro dan makro teori.  Dalam hal ini, teori sosiologi pada aras meso berusaha menjambatani antar teori makro dan mikro terutama yang berupa kontroversi.  Adapun yang termasuk ke dalam teori ini adalah teori jaringan yang mana berusaha menghubungkan teori makro dan mikro melalui situasi dan struktur sosial dibandingkan dengan ciri-ciri individu.  Selain itu, teori sosiologi yang masuk pada aras meso, meliputi: teori jaringan yang menjelaskan efek jaringan dari tindakan individu dan kepecayaannya, jaringan dan ekonomi, dan jaringan kekuasaan.

Sementara itu, teori sosiologi aras mikro merupakan teori yang memfokuskan pada topik kajian ruang dan waktu dalam ukuran yang lebih kecil dimana individu dan interaksinya yang didasari oleh prilaku dan kesadaran.  Akan tetapi, Collins menambahkan bahwa unit mikro tidak memiliki batas yang jelas dengan mempertanyakan bagaimana keberadaan individu terhadap individu lain terhadap kelompoknya.  Adapun yang termasuk ke dalam teori sosiologi mikro ini adalah teori ritual interaksi (Durkheim dan Goffman), teori status sosial (Goffman), dan teori pertukaran, dan teori relasi sosial.

Pemetaan teori sosiologi yang diungkapkan oleh Collins (1988), berbeda jauh dengan apa yang dikemukakan oleh Skidmore (1979).  Menurut Skidmore bahwa tipe teori dalam sosiologi dapat dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni: teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif (perspective).  Teori deduktif merupakan teori yang dibangun dari tujuan yang bersifat umum tentang suatu subyek atau fenomena atau pertistiwa yang meliputi hukum-hukum.  Skidmore memberikan contoh bahwa setiap kejadian atau peristiwa X senantiasa mempengaruhi terjadinya kejadian atau peristiwa Y (sebab-akibat) atau sebaliknya.

Tentunya kejadian atau peristiwa X maupun Y yang merupakan sebab-akibat tidak terjadi begitu saja, melainkan didasari oleh hukum atau teori yang ada sebelumnya.  Teori ini, kemudian yang ditunkan dalam bentuk tujuan umum tentang subyek kumpulan hukum-hukum (proposisi-proposisi).  Dari kumpulan hukum-hukum ini, kemudian menghasilkan apa yang dinamakan hipotesa.

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori berpola (pattern theory) tidak menekankan pada pemikiran teori deduktif, dimana dimensi vertikal tidak menjadi penting, melainkan logikanya didasarkan atas ”lateral”.  Penekanan atas logika tersebut, mendorong teori ini lebig bertujuan menghubungkan pemikiran secara teori dengan realita yang ada.  Atau dengan kata lain, teori ini lebih berdasarkan atas fakta sosial atau empirisme dalam membangun teorinya.  Skidmore (1979) memberikan contoh teori ego dan super-ego yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.

Adapun tipe teori yang terakhir menurut Skidmore adalah perspektif.  Meski penjelasan Skidmore tidak terlalu jelas, akan tetapi yang menarik untuk dikemukakan dalam tipe ini adalah bahwa pesepektif sesungguhnya terpisah dari teori berpola (pattren theory) dan teori deduktif (deductive theory), yang mana bukan dari jenis subyeknya, melainkan lebih dari derajat subyek.  Selanjutnya menurut Skidmore bahwa perspektif tidak lain merupakan kumpulan ide-ide yang penting sebagai pembentuk teori.  Dalam hal ini, Skidmore (1979) memberikan contoh teori simbolik-interaksi yang dapat dikatakan sebagai perspektif.

Merujuk pembagian tipe yang dikemukakan oleh Skidmore di atas, penulis kemudian mencoba membedakan tiga tipe teori sosiologi menurut Skidmore merujuk dari unit analisis, sifat logika yang dibangun, dan aras teori.

Berangkat dari dua pendapat di atas (Skidmore, 1979 dan Collins, 1988), pertanyaan kemudian adalah bagaimana posisi penulis dalam pemetaan tipe teori dalam sosiologi?  Menjawab pertanyaan ini, penulis sangat sadari bukanlah pekerjaan yang mudah karena pemetaan teori harus didasarkan atas argumentasi yang kuat untuk meletakkan suatu teori sosiologi dalam tipe tertentu.  Meski demikian, dua pendapat sosiolog sebelumnya ditambah dengan Ritzer (2005) dengan paradigma terpadunya yang membagi teori ke dalam 4 kelompok besar (makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif) memberikan gambaran kepada penulis untuk mencoba melakukan pemetaan tipe teori sosiologi.

Pemetaan tipe teori yang akan dilakukan ini, tidak serta ”meninggalkan” pendapat sebelumnya, melainkan mencoba mengelaborasinya ke dalam pembagian tipe yang mudah dipahami.  Adapun pembagian tipe teori sosiologi yang penulis maksud adalah menggambungkan pendapat yang dikemukakan oleh Collins (1988), Skidmore (1979), dan tipe ideal dalam pembentukan teori.  Dengan menggunakan sistem kuadran, penulis menempatkan dua garis yang saling menyilang (X dan Y) sebagai garis kontinum yang membedakan antara aras teori dengan tipe ideal pembentukan teori.

Aras teori berpijak pada pendapat Collins, yang kemudian penulis reduksi menjadi dua aras, yakni makro dan mikro.  Alasan mengapa teori aras meso yang dikemukakan Collins, tidak penulis masukkan karena didasarkan atas dua argumentasi, yakni: pertama, teori pada aras meso sebagaimana dikemukakan Collins (1988) hanya menekankan perbedaan unit analisis antara makro dan mikro.  Akan tetapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, pemikiran teori aras meso tetap berpijak pada pemikiran yang bersumber dari induktif dan deduktif; dan kedua, meminjam pembagian sosiologi oleh Sanderson (2003) yang mengemukakan bahwa teori sosiologi pada prinsipnya dikategorikan menjadi dua bagian sesuai dengan kajian analitiknya.  Adapun kategori yang dimaksud, yaitu: sosiologi makro dan sosiologi mikro[1].  Dengan demikian, teori aras makro-mikro merupakan satu garis kontinum yang saling berhubungan (garis sumbu X).

[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar.  Ilmu ini memusatkan berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya, seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan bentuk sistem keagamaannya.  Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.  Sedangkan sosiologi mikro adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.

 

Sementara itu, untuk tipe ideal pembentukan teori yang penulis maksud adalah cara berfikir filsafat yang bersumber dari dua, yakni deduktif dan induktif.  Pernyataan ini senada dengan pendapat Skidmore yang membedakan tipe teori menjadi 3 bagian, yakni teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif (perspective).  Dalam pembuatan tipe teori sosiologi ini, teori perspektif yang dikemukakan Skidmore, tidak penulis masukkan karena cenderung sudah mewakili dua teori sebelumnya.  Dengan demikian, deduktive theory (cara berfikir deduktif) dan pattern theory (cara berfikir induktif) merupakan satu garis kontinum atau garis sumbu Y.

Berangkat dari pemetaan teori yang disajikan di atas, dengan jelas terlihat bahwa tipe teori sosiologi dapat dibedakan ke dalam 4 bagian, yakni:

1)      Mikro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya.  Dalam tipe ini, satuan analisisnya adalah individu dan kelompok sosial.

2)      Mikro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari fakta sosial (emperisme).  Adapun tipe analisisnya adalah individu dan kelompok sosial;

3)      Makro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya.  Satuan analisis dari tipe teori ini adalah masyarakat sebagai sistem sosial dan dapat pula organisasi sosial; dan

4)      Makro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari fakta sosial (emperisme).  Satuan analisisnya adalah masyarakat atau sistem sosial.

Dengan demikian, beragam teori sosiologi yang ada dapat dimasukkan ke dalam empat pembagian teori yang telah disebutkan sebelumnya.  Atau dengan kata lain, terdapat empat sel dalam matriks yang akan diisi sesuai dengan pembagian tipe teori sosiologi yang telah disebutkan sebelumnya. Perkembangan teori sosiologi hingga kini banyak tergolong ke dalam tipe teori makro-induktif dan mikro-induktif dibandingkan dengan teori makro-deduktif dan mikro-deduktif.  Bukti ini semakin menunjukkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berangkat dari fakta sosial (empirisme) yang berbeda jauh dengan psikologi sosial dan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.

3.     TEORI SOSIOLOGI

Kata teori sering kali memberikan arti yang berbeda-beda kepada setiap orang. Ada yang menghubungkan teori dengan hal-hal yang tidak realistis dan jauh dari kenyataan. Ada juga orang yang menganggap teori tidak sejalan dengan hal-hal praktis. Mereka berpikir apa gunanya teori kalau fakta sudah diketahui?.

Teori merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan, “Mengapa?” Mengapa begini dan mengapa begitu? Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan berteori, pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai situasi sosial dapat dijawab. Karena itu, sebelum berbicara tentang teori-teori sosiologi, maka ada baiknya diuraikan secara singkat tentang apa itu teori, fungsi teori, pentingnya studi teori sosiologi, serta pengklasifikasian teori sosiologi.

 

3.1      Definisi dan Fungsi Teori

Apa yang dimaksud teori? Turner dan Kornblum (Sunarto, 2000: 225) menjelaskan hal-hal yang terkait dengan teori. Menurut Turner teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi. Sedangkan Kornblum mengemukakan bahwa teori merupakan seperangkat jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati. Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor yang dijelaskan dengan faktor penyebab.

Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.

Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara lain untuk (Zamroni, 1992: 4):

1.      sistematisasi pengetahuan;

2.      menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol sosial

3.      mengembangkan hipotesa

 

3.2             Pentingnya Studi Teori Sosiologi

Studi tentang teori-teori sosiologi tidak dimulai di ruang-ruang kelas. Teori bisa lahir dari kehidupan sehari-hari. Sadar atau tidak, dalam kehidupan keseharian, semua orang berteori, yakni dengan memberikan interpretasi atas kenyataan-kenyataan tertentu.

Kita sebagai pengkaji sosiologi berkesempatan untuk mengamati realitas sosial masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Suatu aktivitas yang mesti dilakukan, hal ini sebagai landasan kegiatan yang lain, untuk dapat melakukan analisis secara baik (social observer).

Hasil pengamatan yang teratur digunakan sebagai alat analisis atas peristiwa, situasi tertentu yang terjadi di sekitar kita maupun yang ada di luar sana. Pada kesempatan ini seorang pengkaji sosiologi melakukan analisa berdasarkan perspektif-perspektif yang dipilihnya, bahkan sampai pada teori yang dibangunnya (social analitical).

Setelah kegiatan analisis barulah ditingkatkan pada kegiatan kritik. Maksudnya pengkaji sosiologi dapat mengkritik realitas kemasyarakat berdasarkan hasil pengamatan dan analisisnya. Kritik ini tentu diarahkan kepada suatu situasi atau keadaan masyarakat yang dicita-citakan untuk kebaikan bersama (social critical).

Untuk mempercepat terwujudnya realitas masyarakat yang dicita-citakan inilah diperlukan rekayasa sosial (social engeneering). Dalam rekayasa sosial ini seorang pengkaji sosiologi membutuhkan power, kekuatan dan kekuasaan untuk mengajak baik secara persuasif maupun rekayasa.

 

3.3    Klasifikasi Teori Sosiologi

Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6 (2006) meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat dilihat klasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986) dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer dalam bukunya membagi sebagai berikut:

1)      Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi Tahun-Tahun Awal)

Periode ini ditandai oleh munculnya aliran Sosiologi Perancis dengan tokoh-tokoh: Saint-Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Sosiologi Jerman dengan tokoh-tokoh: Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel. Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer. Serta Sosiologi Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto.

2)      Teori Sosiologi Modern.

Teori-teori ini merupakan pengembangan dari aliran-aliran Sosiologi Klasik. Aliran-aliran utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi: Sosiologi Amerika, Fungsionalisme, Teori Konflik, Teori Neo-Marxis, Teori Sistem, Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, Fenomenologi, Teori Pertukaran, Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis Modern, Teori Modernitas Kontemporer, Strukturalisme, dan Post-Strukturalisme

3)      Teori Sosial Post-Modern.

Aliran teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para teoritisi yang tergabung dalam aliran ini antara lain: Michael Foucoult, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Paul Virilio, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Jurgen Habermas, Zygmunt Bauman, David Harvey, Daniel Niel Bell, Fredric Jameson.

Klasifikasi lain juga dikemukakan Ritzer (1992) dalam karyanya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda). Di dalamnya teori sosiologi diklasifikasikan berdasarkan paradigma. Paradigma adalah sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan. Menurut Ritzer, sosiologi dibagi menjadi 3 paradigma, yaitu:

1. Paradigma Fakta Sosial, meliputi Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiogi Makro;

2. Paradigma Definisi Sosial, meliputi Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik, dan Fenomenologi;

3. Paradigma Perilaku Sosial, meliputi Teori Pertukaran Sosial dan Teori Sosiologi Perilaku.

Klasifikasi berbeda juga dilakukan oleh Collins (Sunarto, 2000: 227) dengan mengacu pada pemikiran sosiologi seabad lalu yang diidentifikasi berdasarkan luas ruang lingkup pokok bahasan, yaitu:

1. Teori Sosiologi Makro, yaitu teori-teori yang difokuskan pada analisis proses sosial berskala besar dan jangka panjang, meliputi teori tentang: evolusionisme, sistem, konflik, perubahan sosial, dan stratifikasi

2. Teori Sosiologi Mikro, yaitu teori yang diarahkan untuk analisis rinci tentang apa yang dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia dalam pengalaman sesaat, mencakup teori tentang interaksi, diri, pikiran, peran sosial, definisi situasi, konstruksi sosial terhadap realitas, strukturalisme, dan pertukaran sosial.

3. Teori Sosiologi Meso, mencakup teori tentang hubungan makro-mikro, jaringan, dan organisasi.

Hal serupa juga dilakukan oleh para sosiolog, seperti Jack Douglas (1973), Broom dan Selznick (1977), Doyle Paul Johnson (1981), yang membagi teori sosiologi menjadi dua kelompok besar yakni Sosiologi Makro dan Sosiologi Mikro (Sunarto, 2007: 18).

 

3.4             Teori-Teori Sosiologi

Dalam tulisan ini akan disajikan beberapa teori sosiologi yang penting, sering digunakan para sosiolog untuk membedah suatu fenomena sosial. Dalam penyajian ini akan diklasifikasikan menurut kelahiran teori itu sendiri, yakni periode Sosiologi Klasik, Sosiologi Modern, dan Sosiologi Postmodern. Perlu dipahami bahwa lahirnya teori sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial penciptanya pada saat itu, sehingga untuk menyebut suatu teori tertentu pasti tidak bisa lepas dari nama tokoh penciptanya. 

3.4.1    Teori Sosiologi Klasik

a. Auguste Comte: Sosiologi Positivis

Auguste Comte (1798-1857) sangat prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat saat berlangsungnya Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial untuk menandingi pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan destruktif. Positivisme mengklaim telah membangun teori-teori ilmiah tentang masyarakat melalui pengamatan dan percobaan untuk kemudian mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial. Aliran positivis percaya akan kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara objektif mengenai struktur sosial.

Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga disebutnya sebagai sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu alam agar motivasi manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya fisika atau kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu dominan yang mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial).

Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap kekuatan dewa), melalui tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak), hingga tahap positivistik (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya organisme, berkembang dari sederhana menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan sosial.

 

b. Emile Durkheim: Sosiologi Struktural

Untuk menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917) berbicara mengenai kesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society (1893). Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan pada masyarakat yang kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki Solidaritas Organik .

Selanjutnya dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method (1895), Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial, yaitu fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol individu untuk berpikir dan bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti struktur-struktur tertentu dalam masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat mengontrol tindakan individu dan dapat dipelajari secara objektif, seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial terbagi menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan lembaga sosial).

Dua tahun kemudian melalui Suicide (1897), Durkheim berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab sosial (fakta sosial) dengan pola-pola bunuh diri. Dalam karya itu disimpulkan ada 4 macam tipe bunuh diri, yakni bunuh diri egoistik (masalah pribadi), altruistik (untuk kelompok), anomik (ketiadaan kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim berpendapat bahwa faktor derajat keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial) sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.

Melalui karya-karyanya, Durkheim selalu berpijak pada fungsi kolektif sebagai bentuk aktivitas sosial, fakta sosial, dan kesatuan moral. Durkheim mewakili kutub struktural dari perdebatan “struktural” versus “tindakan sosial” atau perdebatan “konsensus” versus “konflik” yang berlangsung sepanjang sejarah sosiologi.

 

c. Karl Marx: Sosiologi Marxis

Karl Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme historis percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas. Marx memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi (kaum borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang dieksploitasi (kaum proletar).

Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah sejarah konflik kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Di samping itu juga ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat

Proposisi utama Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah bentuk organisasi sosial yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh para pemilik modal. Kelas borjuis kapitalis mengambil keuntungan dari para pekerja dan kaum proletar. Mereka secara agresif mengembangkan dan membangun teknologi produksi. Dengan demikian kapitalisme menciptakan sebuah sistem yang mendunia.

Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan. Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur (kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).

Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan sosial yang telah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut (Osborne, 1996: 50):

a.       Semua masyarakat dibangun atas dasar konflik.

b.      Penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi.

c.       Masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah faktor dominan.

d.      Perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak, tetapi dapat dilihat dari hubungan manusia dengan organisasi ekonomi.

e.       Individu dibentuk oleh masyarakat, tetapi dapat mengubah masyarakat melalui tindakan rasional yang didasarkan atas premis-premis ilmiah (materialisme historis).

f.       Bekerja dalam masyarakat kapitalis mengakibatkan keterasingan (alienasi).

g.      Dengan berdiri di luar masyarakat, melalui kritik, manusia dapat memahami dan mengubah posisi sejarah mereka.

h.      Melalui kritik ilmiah dan aksi revolusioner, masyarakat dapat dibangun kembali.

Sosiologi Marxis ini selanjutnya dikembangkan oleh tokoh-tokoh abad XX, seperti Gramsci, Adorno, Althusser, dan Habermas.

 

d. Herbert Spencer: Sosiologi Evolusioner

Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.

Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-faire dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.

 

e. Max Weber: Sosiologi Weber

Max Weber (1864-1920) tidak sependapat dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan kekuatan pokok perubahan sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber menyatakan bahwa kebangkitan pandangan religius tertentu– dalam hal ini Protestanisme– yang membawa masyarakat pada perkembangan kapitalisme. Kaum Protestan dengan tradisi Kalvinis menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini, mereka menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan menginvestasikan surplusnya agar mendapat modal lebih banyak lagi.

Pandangan lain yang disampaikan Weber adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Inilah yang disebut sebagai memahami Tindakan Sosial. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat, ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini disebut verstehen (pemahaman).

Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi. Menurut Weber, peradaban Barat adalah semangat Barat yang rasional dalam sikap hidup. Rasional menjelma menjadi operasional (berpikir sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi adalah proses yang menjadikan setiap bagian kecil masyarakat terorganisir, profesional, dan birokratif. Meski akhirnya Weber prihatin betapa intervensi negara terhadap kehidupan warga kian hari kian besar.

Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik.

 

f. Georg Simmel: Filsafat Uang

Georg Simmel (1858-1919) sangat terkenal karena karyanya yang spesifik tentang tindakan dan interaksi individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe orang berinteraksi, kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil lainnya. Karya-karya Simmel ini nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi di Amerika.

Karya yang terkenal dari Simmel adalah tentang Filsafat Uang. Simmel sebagai sosiolog cenderung bersikap menentang terhadap modernisasi dan sering disebut bervisi pesimistik. Pandangannya sering disebut Pesimisme Budaya. Menurut Simmel, modernisasi telah menciptakan manusia tanpa kualitas karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri. Sebagai contoh, begitu teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga kerja secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin modern teknologi, maka kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung malas.

Di sisi lain, gejala monetisasi di berbagai faktor kehidupan telah membelenggu masyarakat terutama dalam hal pembekuan kreativitas orang, bahkan mampu mengubah kesadaran. Mengapa? Uang secara ideal memang alat pembayaraan, tetapi karena kekuatannya, uang menjadi sarana pembebasan manusia atas manusia. Artinya uang sudah tidak dipahami sebagai fungsi alat, tetapi sebagai tujuan. Kekuatan kuantitatifnya telah mampu mengukur berbagai jarak sosial yang membentang antar individu, seperti cinta, tanggung jawab, dan bahkan mampu membebaskan atas kewajiban dan hukuman sosial. Barang siapa memiliki uang dialah yang memiliki kekuatan.

 

g. Ferdinand Tonnies: Klasifikasi Sosial

Ferdinand Tonnies (1855-1936) mengkaji bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan sosial dan organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial. Menurut Tonnies, masyarakat itu bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban) atau gesselschaft (asosiasi/ patembayan).

Masyarakat gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial tertutup, pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas hubungan kekeluargaan dan kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan tipikal masyarakat pra-industri atau masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat gesselschaft, hubungan kekeluargaan telah memudar, hubungan sosial cenderung impersonal dengan pembagian kerja yang rumit. Bentuk seperti ini terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat perkotaan. Tema dasar Tonnies adalah hilangnya komunitas dan bangkitnya impersonalitas. Ini menjadi penting dalam kajian tentang masyarakat perkotaan.

 

3.4.2    Teori Sosiologi Modern

a. Sosiologi Amerika: Mazhab Chicago

Sosiologi menjadi populer di Amerika Serikat (AS) karena proses perubahan sosial yang sangat pesat. Hal itu disebabkan masyarakat AS yang pragmatis dan kapitalis. Sosiologi Amerika berbeda dengan Sosiologi Eropa yang memiliki akar ilmiah. Sosiologi di AS berkonsentrasi pada kajian empiris yang menangkap detail-detail faktual atas apa yang sebenarnya terjadi. Melalui studi tersebut lahir tokoh-tokoh seperti Lester W Ward (1841-1913) yang menulis tentang hukum-hukum dasar kehidupan sosial, Dubois (1868-1963) dan Jane Adams (1860-1935) yang melakukan survei investigasi yang menggambarkan kondisi masyarakat, seperti masalah diskriminasi ras, perbudakan, dan kondisi perkampungan kumuh.

Studi tentang kondisi riil masyarakat terus berkembang seiring dibukanya Jurusan Sosiologi di Universitas Chicago. Sosiolog Chicago memproklamirkan studi yang sama sekali baru terhadap suatu proses sosial dengan mengkaji masyarakat secara kelompok kecil, karena masyarakat tumbuh dengan pesat dan multietnis. Aliran ini terkenal dengan Mazhab Chicago, yang secara spesifik memfokuskan diri pada bagaimana persepsi individu terhadap situasi pembentukan budaya dan respon kelompok. Beberapa tokoh penting aliran Chicago adalah: Robert Ezra Park (1864-1944) dengan pendekatan ekologisnya, Louis Wirth (1897-1952) dengan Teori Urbanisme, George Herbert Mead (1863-1931) menciptakan Teori Diri dan konsep Sosialisasi, Charles Horton Cooley melontarkan Teori Looking Glass-Self atau Cermin Diri. Sosiologi Amerika pada masa ini juga bisa dikatakan sebagai periode peralihan dari pemikiran sosiologi klasik ke modern.

 

b. Teori Fungsionalisme Struktural

Teori/Perspektif ini menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes dan keseimbangan (equilibrium).

Dalam teori/perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Dengan kata lain, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitandan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pada bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Para tokoh dalam perspektif fungsionalis: Talcott Parsons (1937), Kingsley Davis (1937), dan Robert K. Merton (1957)

Talcott Parsons (1902-1979) mensistemasi rumusan-rumusan terdahulu tentang pendekatan fungsionalis terhadap sosiologi. Parsons mengawali dari masalah aturan yang dikemukakan filsuf terdahulu Thomas Hobbes (1585-1679). Hobbes mengatakan bahwa manusia mungkin secara alamiah saling mencakar satu sama lain kecuali jika dikontrol dan dikekang secara sosial.

Berpijak dari pandangan itu, Parsons mengembangkan Teori Sistem (1951) yang menguraikan panjang lebar tentang apa yang disebut prasyarat fungsional bagi keberlangsungan sebuah masyarakat. Prasyarat tersebut adalah A-G-I-L:

a) Adaptation (adaptasi): bagaimana sebuah sistem beradaptasi dengan lingkungannya. Konsep ini dikaitkan dengan faktor ekonomi.

b) Goal Attainment (pencapaian tujuan): menentukan tujuan yang kepadanya anggota masyarakat diarahkan. Konsep ini dikaitkan dengan faktor politik.

c) Integration (integrasi): kebtuhan untuk mempertahankan keterpaduan sosial. Konsep ini dikaitkan dengan faktor sosial.

d) Laten-Pattern Maintenance (pemeliharaan pola): sosialisasi atau reproduksi masyarakat agar nilai-nilai tetap terpelihara. Konsep ini dikaitkan dengan faktor budaya.

Ide Parsons mengenai Teori Sistem adalah bahwa masyarakat merupakan sistem yang mengatur diri sendiri. Perubahan dalam satu bagian dari sistem akan menghasilkan reaksi dan kompensasi pada bagian yang lain. Agar masyarakat dapat bertahan, diperlukan unsur-unsur prasyarat fungsional yang saling mendukung, yaitu: kontrol sosial, sosialisasi, adaptasi, sistem kepercayaan (agama), kepemimpinan, reproduksi, stratifikasi sosial, dan keluarga.

 

c. Teori Konflik

Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung terhadap Teori Fungsionalisme Struktural. Para teoritisi konflik melihat bahwa masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas. Bertentangan dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap.

Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu yang lama perspektif konflik diabaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini perspektif tersebut telah dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956) dan yang lain Ralph Dahrendorf (1959), Randall Collins, dan Jonathan Turner.

Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif, para teoretisi konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, dimana orang-orang muncul sebagai penentang – kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.

Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. Mereka mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama’ yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai seta peraturan mereka terhadap semua orang.

Menurut para teoretisi konflik, para fungsionalis gagal mengajukan pertanyaan, “secara fungsional bermanfaat untuk siapa”. Para teoretisi konflik menuduh para fungsionalis berasumsi bahwa “keseimbangan yang serasi” bermanfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan merugikan sebagian lainnya. Para teoretisi konflik memandang keseimbangan suatu masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil mengetahui bagaimana kelompok yang dominan telah membungkam mereka yang dieksploitasi. Para teoretisi konflik mengajukan pertanyaan seperti “Bagaimana pola saat ini timbul dari perebutan antara kelompok-kelompok yang bertentangan, yang masing-masing mencari keuntungan sendiri?”, “Bagaimana kelompok dari kelas yang dominan mencapai dan mempertahankan hak istimewa mereka?”, “Bagaimana mereka memanipulasi lembaga-lembaga masyarakat (sekolah, gereja, media massa) untuk melindungi hak istimewa mereka?”, “Siapa yang beruntung dan siapa yang menderita dari struktur sosial saat ini?”, “Bagaimana masyarakat bisa dibentuk lebih adil dan lebih manusiawi?”.

 

d. Teori Neo-Marxis: Teori Kritis

Teori kritis memandang bahwa kenetralan teori tradisional/klasik sebagai kedok pelestarian keadaan yang ada (mempertahankan statusquo). Padahal menurut Teori Kritis, realitas yang ada itu adalah realitas semu yang menindas, oleh karena itu harus disibak, dibongkar dengan jalan mempertanyakan mengapa sampai menjadi realitas yang demikian. Teori kritik lahir untuk membuka seluruh selubung ideologis yang tak rasional yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern.

Berpikir kritis adalah berpikir dialektis, yaitu berbikir secara totalitas timbal balik. Totalitas berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur saling bernegasi (mengingkari atau diingkari), berkontradiksi (melawan atau dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai atau diperantarai). Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat (Sindhunata, 1983).

Pemanfaatan Teori Kritis dalam pembangunan sebagai wujud dari perubahan sosial tentunya mempunyai prasyarat. Pertama, harus curiga dan kritis terhadap masyarakat. Kedua, harus berpikir secara historis (mencari sebab-musababnya). Ketiga, tidak memisahkan antara teori dan praktis.

Berbicara teori kritis tidak terlepas dari aliran pemikiran Mazhab Frankfurt. Kelompok teori kritis Jerman ini terabaikan ketika mereka menulis pada tahun 1930-1940-an tetapi mulai diperhatikan sekitar tahun 1960-an. Mereka melibatkan diri dalam persoalan bahwa masyarakat tidak memperlihatkan perkembangan revolusioner sederhana seperti yang diramalkan Marx. Mazhab Frankfurt ini beranggotakan tokoh-tokoh “kiri” yang terkenal, antara lain: Felix Weil, Friedrich Pollock, Max Horkheimer, Karl Wittfogel, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dan Erich Fromm.

1) Herbert Marcuse: One Dimensional Man

Herbert Marcuse (1898-1979) merupakan anggota Mazhab Frankfurt yang setengah hati. Menjadi terkenal selama tahun 1960-an karena dukungannya terhadap gerakan radikal dan anti-kemapanan. Dia pernah dijuluki “kakek terorisme”, merujuk pada kritiknya tentang masyarakat kapitalis, One Dimensional Man (1964) yang berargumen bahwa kapitalisme menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu, kesadaran palsu, dan budaya massa yang memperbudak kelas pekerja.

2) Jurgen Habermas: Komunikasi Rasional

Setelah tahun 1960-an, sosiologi makin menyadari pentingnya faktor kebudayaan dan komunikasi dalam menganalisis masyarakat. Jurgen Habermas (1929- ) menggabungkan kesadaran baru dengan Mazhab Frankfurt. Habermas membicarakan komunikasi rasional dan kemungkinan keberadaannya dalam masyarakat kapitalis. Dalam karyanya The Theory of Communicative Action (1981), Habermas mengemukakan analisis kompleks tentang masyarakat kapitalis dan cara-cara yang mungkin untuk melawan melalui emansipasi komunikatif dan moral.

3) Antonio Gramsci: Hegemoni

Antonio Gramsci (1891-1937), seorang sosiolog Italia adalah seorang pemikir kunci dalam pendefinisian ulang perdebatan mengenai kelas dan kekuasaan. Konsepnya tentang Hegemoni menjadi diskusi tentang kompleksitas masyarakat modern. Gramsci menyatakan bahwa kaum Borjuis berkuasa bukan karena paksaan, melainkan juga dengan persetujuan, membentuk aliansi politik dengan kelompok-kelompok lain dan bekerja secara ideologis untuk mendominasi masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat berada dalam keadaan tegang terus-menerus.

Ide mengenai hegemoni (memenangkan kekuasaan berdasarkan persetujuan masyarakat) sangat menarik karena pada kenyataannya individu selalu bereaksi terhadap dan mendefinisi ulang masyarakat dan kebudayaan tempat mereka berada. Ide-ide Gramsci selanjutnya banyak berpengaruh pada studi kebudayaan dan budaya populer.

 

 

e. Teori Aksi

Teori ini mengikuti sepenuhnya karya Max Weber yang mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1940, dengan beberapa karya sosiolog. Seperti Florian Znaniecki, Robert M. Mac Iver, Talcot Parsons, dan Robert Hinkle. Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson, sebagai berikut:

a) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.

b) Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan

c) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik,prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.

d) kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya.

e) Manusia memilih, menilai, mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.

f) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan

g) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukanj pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif, seperti metode verstehen, imajinasi, symphatetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience)

Talcot Parsons, merupakan pengikut Weber yang utama sebagaimana para pengikut Teori Aksi yang lain menginginkan adanya pemisahan antara Teori Aksi dan Aliran Behaviorisme. Istilah yang dipilih adalah “action” bukan “behavior” karena memiliki konotasi yang berbeda. “Behavior” secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku (respons) dengan rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan “action” menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu.

Parsons menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut:

a) Adanya individu sebagai aktor

b) Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu

c) Aktor mempnyai alternatif cara,alat serta teknik untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu

d) Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagaian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya: jenis kelamin dan tradisi

e) Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, nrma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan (voluntarisme).

 

f. Teori Interaksionisme Simbolik

Perspektif ini tidak menyarankan teori-teori besar tentang masyarakat karena istilah “masyarakat”, “negara”, dan “lembaga masyarakat” adalah abstraksi konseptual saja, sedangkan yang dapat ditelaah secara langsung hanyalah orang-orang dan interaksinya saja.

Para ahli interaksi simbolik seperti G.H. Mead, C.H. Cooley, dan John Dewey memusatkan perhatiannya terhadap interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa orang-orang berinteraksi terutama dengan menggunakan simbol-simbol yang mencakup tanda, isyarat, dan yang paling penting, melalui kata-kata secara tertulis dan lisan. Suatu kata tidak memiliki makna yang melekat dalam kata itu sendiri, melainkan hanya suatu bunyi, dan baru akan memiliki makna bila orang sependapat bahwa bunyi tersebut mengandung suatu arti khusus.

Charles Horton Cooley (1846-1929) memandang bahwa hidup manusia secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis manusia tiada beda, tapi secara sosial tentu sangat berbeda. Perkembangan historislah yang menyebabkan demikian. Dalam analisisnya mengenai perkembangan individu, Cooley mengemukakan teori yang dikenal dengan Looking Glass-Self atau Teori Cermin Diri. Menurutnya di dalam individu terdapat tiga unsur: 1) bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat kita; 2) bayangan mengenai pendapat orang lain mengenai diri kita; dan 3) rasa diri yang bersifat positif maupun negatif.

George Herbert Mead (1863-1931), salah satu tokoh sentra interaksionisme simbolik menggambarkan pembentukan diri” atau tahap sosialisasi dalam ilustrasi pertumbuhan anak, dimana terdapat tiga tahap pertumbuhan anak, yakni 1) tahap bermain (play stage); 2) tahap permainan (game stage); dan 3) tahap mengambil peran orang lain (taking role the other).

Manusia tidak bereaksi terhadap dunia sekitar secara langsung, mereka bereaksi terhadap makna yang mereka hubungkan dengan benda-benda dan kejadian-kejadian sekitar mereka, lampu lalu lintas, antrian pada loket karcis, peluit seorang polisi dan isyarat tangan. W.I. Thomas (1863-1947), mengungkapkan tentang definisi suatu situasi, yang mengutarakan bahwa kita hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat situasinya. Bila seorang laki-laki mendekat dan mengulurkan tangan kanannya, kita mengartikannya sebagai salam persahabatan, bila mendekat dengan tangan mengepal situasinya akan berlainan. Kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dan bereaksi dengan tepat, dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan.

Para ahli dalam bidang perspektif interaksi modern, seperti Erving Goffman (1959) dan Herbert Blumer (1962) menekankan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara langsung, sebaliknya mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang itu.” Dalam perilaku manusia, “kenyataan” bukanlah sesuatu yang tampak. Kenyataan dibangun dalam alam pikiran orang-orang sewaktu mereka saling menilai dan menerka perasaan serta gerak hati satu sama lain. Apakah seseorang adalah teman atau musuh, atau seorang yang asing bukanlah karakteristik dari orang tersebut. Baik buruknya dia, diukur oleh pandangan tentang dia.

Perspektif interaksionis simbolis memusatkan perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya. Para ahli perspektif interaksi telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalam studi terhadap kelompok-kelompok besar dan lembaga-lembaga sosial.

 

 

g. Teori Fenomenologi

Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan bermasyarakat itu dapat terbentuk.

Alfred Schutz sebagai salah seorang tokoh teori ini bertolak dari pandangan Weber, berpendirian bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor.

Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subjektivitas yang disebutnya antar subjektivitas. Konsep ini menunjuk pada pemisahan keadaan subjektif dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi.

 

h. Etnometodologi

Etnometodologi adalah sebuah aliran sosiologi Amerika yang lahir tahun 1960-an dan dimotori oleh Harold Grafinkel (1917). Etnometodologi lebih memperhitungkan kenyataan bahwa kelompok sosial mampu memahami dan menganalisis dirinya sendiri (Coulon, 2008). Etnometodologi adalah sebuah analisis terhadap metode yang dipakai manusia untuk merealisasikan kegiatan sehari-harinya. Etnometodologi merupakan ilmu tentang etnometode, sebuah prosedur yang disebut Grafinkel sebagai “penalaran sosiologi praktik”.

Etnometodologi bergerak dengan konsep-konsep khasnya, seperti indeksikalitas, reflektivitas, akuntabilitas, subjektivitas, pengambilan data yang lebih terbatas pada manuskrip yang belum diterbitkan, catatan kuliah, atau catatan harian penelitian.

 

 

i. Teori Pertukaran Sosial

1) Teori Pertukaran

Tokoh utama teori ini adalah George C. Homans dan Peter M. Blau. Teori ini dibangun sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial. Homans mengakui menyerang paradigma fakta sosial secara langsung. Tetapi Homan mengakui bahwa fakta sosial berperan penting terhadap perubahan tingkah laku yang bersifat psikologi yang menentukan bagi munculnya fakta sosial baru berikutnya. Menurut Homan sebenarnya yang menjadi faktor utama dan mendasar adalah variabel yang bersifat psikologi.

Teori ini mendasarkan sistem deduksinya pada prinsip-prinsip psikologi yaitu: 1) Tindakan sosial dilihat equivalen dengan tindakan ekonomis; 2) Dalam rangka interaksi sosial, aktor mempertimbangkan juga keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio). Proposisi yang perlu diperhatikan adalah:

·         Makin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh maka makin besar kemungkinan sesuatu tingkahlaku akan diulang

·         Demikian sebaliknya. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan diperoleh semakin kecil kemungkinan tingkah laku serupa akan diulang

·          Adanya hubungan berantai antara berbagai stimulus dan antara berbagai tanggapan.

2) Teori Sosiologi Perilaku

Sosiologi Perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara sejarah reaksi lingkungan atau akibat dan sifat perilaku kini. Teori ini mengatakan bahwa akibat perilaku tertentu di masa lalu menentukan perilaku masa kini. Dengan demikian dapat diprediksi apakah aktor akan menghasilkan perilaku yang sama dalam situasi kini.

3) Teori Pilihan Rasional

Teori Pilihan Rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau maksud yang akan melakukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan. Teori ini tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan digunakan untuk mencapai tujuan sesuai pilihan aktor.

Menurut pandangan teori ini, minimal ada dua hal yang dapat mempengaruhi pilihan atau bersifat memaksa terhadap tindakan yang dilakukan aktor. Pertama, keterbatasan sumber; dan kedua, paksaan lembaga sosial. Tokoh teori ini adalah Friedman dan Hechter.

j. Teori Feminisme

Kaum feminis menyatakan bahwa penjelasan sosiologi hanya mereproduksi ide bahwa gender bersifat alamiah dan bahwa wanita memenuhi peran sosial yang relevan. Feminisme pada hakikatnya adalah wanita yang menghendaki kesetaraan dalam hal akses terhadap pendidikan, pekerjaan, penghasilan, politik, dan kekuasaan. Kritik utama kaum feminis atas sosiologi dapat diringkas sebagai berikut:

a) Riset sosiologi selalu dikonsentrasikan para pria;

b) Riset ini kemudia digeneralisasikan kepada seluruh populasi;

c) Wilayah-wilayah yang menyangkut wanita, seperti reproduksi telah diabaikan;

d) Riset bebas-nilai sebenarnya berarti riset yang buta jenis kelamin, dan wanita ditampilkan dalam cara pandang yang tidak berimbang;

e) Jenis kelamin dan gender tidak dipandang sebagai variabel penting dalam menganalisis masyarakat, padahal sangat penting.

Secara historis, wanita selalu dianggap tidak sehebat pria. Baru dalam lima dasa warsa belakangan ini sajalah wanita secara aktual mencapai semacam pengakuan kesetaraan, meski masih terbatas. Kritik kaum feminis atas masyarakat didasarkan pada ide bahwa sebenarnya manusia dilahirkan dalam keadaan sama, dan cara masyarakat mengorganisasilah yang menimbulkan siskriminasi.

Secara aktual dalam bidang pendidikan ditemukan bahwa wanita yang diberi kesempatan yang sama dengan pria sebenarnya dapat berprestasi lebih baik dalam hampir semua mata pelajaran. Ini agak mengkhawatirkan bagi pria karena kesempatan kerja bagi mereka menjadi berkurang, sementara teknologi mutakhir kini makin menyisihkan kekuatan otot sebagai penggerak produksi ekonomi. Program yang dianjurkan feminisme untuk merekonstruksi sosiologi mencakup hal-hal berikut ini (Osborne, 1996: 122):

a) Menempatkan gender di pusat seluruh analisis, sejajar dengan kelas dan ras;

b) Mengkritik perspektif pria dalam seluruh teori sosiologi, yang berarti menganalisis sikap-sikap yang telah membentuk cara pandang para sosiolog;

c) Menganalisis hubungan antara wilayah publik dan domestik sebagai hal penting dalam memahami bagaimana masyarakat berfungsi;

d) Memeriksa dengan teliti seluruh teori sosiologi.

K. Teori Sosiologi Feminis

Teori ini berkembang dari teori feminis pada umumnya, sebuah cabang ilmu baru tentang wanita yang mencoba menyediakan sistem gagasan mengenai kehidupan manusia yang melukiskan wanita sebagai objek dan subjek, sebagai pelaku dan yang mengetahui. Pengaruh gerakan feminis kontemporer terhadap sosiologi telah mendorong sosiologi untuk memusatkan perhatian pada masalah hubungan jender dan kehidupan wanita. Banyak teori sosiologi kini yang membahas masalah ini.

Pertanyaan-pertanyaan feminis dapat diklasifikasikan menurut empat pertanyaan mendasar:

a) Dan bagaimana dengan perempuan?

b) Mengapa situasi perempuan seperti sekarang ini?

c) Bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial?

d) Bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan?

Jawaban atas pertanyaan ini menghasilkan teori-teori feminis.

Tokoh-tokoh feminisme yang terkenal antara lain: Patricia Hill Collins (Teori Interseksionalitas), Janet Chafetz (Teori Konflik Analitik), Kathryn B. Ward (Teori Sistem Dunia), Margaret Fuller, Frances Willard, Jane Addams, Charlotte Perkins Gilman (Feminisme Kultural), Helene Cixous, Luce Irigaray (Analisis Fenomenologis dan Eksistensial), Jessie Bernard (Feminisme Liberal),

 

k. Strukturalisme

Setelah pergeseran Neo-Marxis dalam sosiologi, datanglah gelombang kedua teori strukturalis yang menulis ulang cara-cara ditanamkannya determinasi sosial dan agen sosial.

Strukturalisme dipelopori oleh perintis linguistik, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengawali dengan kajian tentang bahasa tetapi berakhir dengan kajian atas segala sesuatu sebagai struktur. Teori semiotika atau studi atas tanda-tanda dimulai dari aksioma terkenal bahwa bahasa adalah sistem yang terstruktur, kebudayaan kemudian diuji sebagai sistem terstruktur yang sama, dan selanjutnya masyarakat secara keseluruhan.

Pada akhirnya kita semua terjebak dalam bahasa dan kita memperoleh budaya melalui bahasa. Kita adalah makhluk yang berbicara. Oleh karena itu untuk memahami sebuah budaya, kita harus mengerti struktur yang berfungsi di dalamnya dan pola dasar yang membentuknya.

Tokoh strukturalis yang terkenal di antaranya adalah Roland Barthes yang menganalisis tentang tanda-tanda dalam budaya populer. Pentingnya media massa dalam menyebarkan pandangan ideologis tentang dunia didasarkan pada kemampuannya untuk membuat tanda, citra, penanda, bekerja dalam cara tertentu.

 

3.4.3    Teori Sosial Postmodern

Teori sosial postmodern lahir dari para pemikir aliran postmodernisme. Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalan memenuhi janji-janjinya. Pemikir postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia, metanarasi, totalitas, dan sebagainya.

Postmodernisme cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern, seperti: emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman pribadi, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik (Ritzer, 2006: 19).

Banyak tokoh-tokoh postmodernisme yang sering diperbincangkan dalam kancah teori sosial karena karyanya yang unik dan menghebohkan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Jacques Derrida (Gramatologi dan Utusan), Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Skizoanalisis), Jacques Lacan (Imaginer, Simbolik, Nyata), Paul Virilio (Dramologi), Ulrich Beck (Modernitas dan Resiko), Jurgen Habermas (Modernitas: Proyek Yang Tak Selesai), Daniel Bell (Masyarakat Post-Industri), Fredric Jameson (Logika Kultural Kapitalisme Akhir), dan Anthony Giddens (Lokomotif Modernitas dan Teori Strukturasi)

 

a. Michael Foucault: Kekuasaan dan Wacana

Perhatian Faucault (1926-1984) terpusat pada bagaimana pengetahuan dihasilkan dan digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan wacana terkait dengan pengetahuan. Radikalisme Faucault adalah bagian dari apa yang disebut kecenderungan posmodern dalam sosiologi, yaitu penolakan atas teori besar (metanarasi) tentang masyarakat dan sejarah.

Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan

 

b. Jean Baudrillard: Simulacra

Menurut Baudrillard, masyarakat itu tidak ada. Jika ada, ia sepenuhnya tersusun dari tanda-tanda atau simulasi (yang juga diistilahkan dengan simulacra) karena kita hidup dalam jenis masyarakat pascaindustri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa komunikasi televisual dan tanda-tandanya telah begitu mendominasi realitas global sehingga orang-orang sangat kesulitan untuk memutuskan mana kenyataan sebenarnya.

Baudillard berpandangan bahwa apa disebut realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana yang secara cepat dan keras menggantikan pengalaman manusia dan realitas. Iklan adalah salah satu kendaraan utama simulasi ini. Simulasi juga cenderung memikirkan hidup untuk mereka sendiri, melebih-lebihkan kenyataan atas sesuatu.

 

c. Jean Francois Lyotard: Narasi Besar

Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita tentang sejarah dan masyarakat yang diungkap oleh Marxisme dan ahli lain, harus diabaikan dalam dunia postmodern, majemuk, dan polivokal ini. Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia itu sendiri pada tingkat kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal.

 

4.     RAGAM PARADIGMA DALAM PENELITIAN SOSIOLOGI

Pertanyaan penting untuk dikemukakan sebelum mengetahui lebih jauh ragam paragidma dalam penelitian sosiologi adalah apakah definisi paradigma dan peranannya? dan sejauhmana paradigma penting bagi seorang ilmuwan sosial?

Menjawab dua pertanyaan di atas, bukanlah hal yang gampang disebabkan beberapa hal, pertama, paradigma didefinisikan secara beragam dari para ilmuwan sosial sehingga perlu diketahui secara jelas epistimologi dan ontologi dari pendefinisian paradigma tersebut, kedua, penyusunan definisi paradigma syarat dengan muatan nilai (aksiologi) sehingga mempunyai pengaruh secara pribadi maupun komunal bagi mereka yang menggunakannya, dan ketiga, paradigma menentukan posisi seorang ilmuwan sosial dalam berpijak menanggapi kondisi sosial dimana ia berada.

Meski demikian, dalam tulisan ini, akan dikemukakan dua pendapat tentang paradigma. Ritzer (2004) mendefinisikan paradigma sebagai gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu.  Paradigma membantu menemukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.  Selanjutnya Ritzer (2004) menekankan bahwa paradigma menggolongkan, menetapkan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang ada di dalamnya.

Senada dengan definisi di atas, Guba dan Lincoln (1994), mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat keyakinan yang mendasar (atau metafisik) tentang persoalan pokok atau prinsip utama.  Ditambahkan bahwa paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya.

Berangkat dari dua pendapat di atas, maka dengan jelas pertanyaan kedua terjawab dimana paradigma bagi seorang ilmuwan sosial penting untuk menetapkan atau menentukan posisi paradigmatiknya dalam membedah atau menganalisis kondisi sosial disekitarnya.

Untuk itu, tulisan ini dibuat untuk menunjukkan beragam paradigma yang hadir dalam lingkungan ilmu sosial, diantara mengacu pada pembedaan paradigma menurut Denzin dan Lincoln (2000), Jurgen Habermas (1990), Ritzer (2004), Gibson Burrel dan Gareth Morgan (1994), dan posisi penulis terhadap ragam paradigma tersebut.


4.1    Ragam Paradigma dalam Sosiologi

Dalam buknya yang berjudul ” Handbook of qualitative research (second edition)”,  Denzin dan Linclon (2000) membedakan lima paradigma ilmu, yaitu: (1) positivisme (positivism); (2) post-positivisme (postpositivism); (3) teori kritik (critical theory); (4) konstruktivisme (constructivism); dan (5) partisipatoris (participatory).  Pembedaan kelima paradigma ini, didasarkan pada ontologi, epistimologi, dan metodologi dari masing-masing paradigma.

Hal yang berbeda dengan Habermas (1990), dimana dalam epistimologinya mengungkapkan bahwa ilmu memiliki sifat bebas nilai sehingga tidak dapat dipisahkan dari nilai dan teori tidak dapat dipisahkan dari praktek.  Selanjutnya Habermas membedakan tiga jenis ilmu berdasarkan kepentingan atau fungsinya, yaitu: pertama, empiris analisitis, adalah membangun hubungan-hubungan kausal yang mendasar dalam kepentingan untuk mengontrol alam.  Ilmu-ilmu ini dengan kepentingan teknis menghasilkan informasi yang akan menambah penguasaan teknis manusia.  Kedua, historis hermeneutis, adalah kebutuhan manusia dalam melakukan komunikasi yang penuh pengertian.  Ilmu-ilmu ini ditujukan untuk kepentingan praktis dan menghasilkan interpretasi yang memungkinkan suatu orientasi bagi tindakan praktis manusia ke dalam kehidupan bersama; dan ketiga, sosial kritis ditujukan untuk kepentingan emansipatoris yang menghasilkan analisis yang membebaskan kesadaran manusia dari kungkungan dominasi kekuasaan dan struktural. Selanjutnya, perbedaan pembagian paradigma juga dijelaskan oleh Ritzer (2004) dan Burrel dan Morgan (1979).  Menurut Ritzer, paradigma sosiologi dapat dipetakan menjadi bagian, yakni fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.

Selain itu, Ritzer mencoba mengumukakan alasan paradigma yang lebih terintegratif dalam sosiologi dari yang sudah ada.  Menurutnya, kunci utama dari paradigma terintegrasi ini adalah gagasan mengenai tingkat-tingkat analisis.  Tingkat analisis sosial ini menggunakan dua kntinum, yakni berdasarkan skala fenomena sosial yang terjadi berupa mikroskopik dan makroskopik, dan kontinum berdasarkan atas dimensi obyektif-subyektif dari analisis sosial.

Sedangkan Gibson Burrel dan Gareth Morgan (1979) memetakan paradigma sosiologi menggunakan dua kata kunci analisis, yakni sifat ilmu dalam dimensi obyektif dan subyektif, serta dimensi keteraturan dan perubahan radikal.  Dalam pendekatan subyektif, ontologi yang dikembangkan adalah nominalis (kenyataan ada dalam diri) dengan epistimologi antipositivisme dan metodologi ideografik.  Untuk pendekatan obyektif menganut ontologi realisme, epistimologi positivisme, dan metodologi nomoetik.

Sementara itu, dimensi keteraturan sosial menekankan pada status quo, keteraturan sosial, konsensus, kohesi, integrasi sosial, solidaritas, dan pemenuhan kepuasan.  Sedangkan dimensi perubahan radikal menekankan pada perubahan radikal itu sendiri, konflik struktural, cara dominasi, kontradiksi, emansipasi, deprivation, dan mengutamakan kejadian potensial yang diharapkan akan terjadi.  Adapun kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan empat pemetaan paradigma, yaitu: (1) paradigma humanis radikal (radical humanist paradigm); (2) paradigma strukturalis radikal (radical strukturalist paradigm); (3) paradima interpretatif (interpretative paradigm); dan paradigma fungsionalis (fungsionalist paradigm).

Hal yang berbeda tentang pembagian paradigma dalam sosiologi juga dijelaskan oleh Poloma (2004).  Merujuk dari perkembangan teori-teori sosiologi kontemporer, Poloma membagi 3 teori-teori sosiologi yang tidak lain mewakili pandangan sosiologi dunia.  Adapun ketiga pembagian tersebut, yakni teori naturalis dan positivis, teori humanistis atau interpretatif, dan teori evaluatif.


 PENUTUP

Teori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga/pelaku sosial pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan antara teori-teori besar (grand theory) dan teori yang cakupannya tidak seluas itu.

Sosiologi dalam dunia praksis tidak hanya meneliti masalah sosial untuk membangun proposisi dan teori tetapi sosiologi bukanlah seperangkat doktrin yang kaku dan selalu menekan apa yang seharusnya terjadi tetapi sebagai sudut pandang atau ilmu atau ilmu yang selalu mencoba “mengupas” realitas guna mengungkap fakta realitas yang tersembunyi dibalik realitas yang tampak.

Untuk selalu membedah dan mengembangkan teori sosiologi, seorang pengamat sosial atau sosiolog dituntut selalu tidak percaya pada apa yang tampak sekilas dan selalu mencoba menguak serta membongkar apa yang tersembunyi (laten) di balik realitas nyata (manifes) karena sosiologi berpendapat bahwa dunia bukanlah sebagaimana yang tampak tetapi dunia yang sesungguhnya baru bisa dipahami jika dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan.

 

 

Referensi

Burrell, G. & G. Morgan, Sociological paradigms and organizational analysis, Arena,1994.

Johnson, Doyle Paul,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta : Gramedia

Laeyendecker,L, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta : Gramedia

Ritzer, George,1985, Sosiologi - Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali

Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI

Usman, Sunyoto, Sosiologi – Sejarah, Teori dan Metodologi,2004, Yogyakarta: CIRED

Asriwandari,Hesti. 2008,Multi paradigma dalam Sosiologi sebuah penantar, UNRI

Collins, R., Theoretical Sociology, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Prbl., 1988.

Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.

Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Skidmore, W., Theoretical Thinking in Sociology, Cambridge: Cambridge University Press, 1979.

Soetrisno dan Hanafie, SR., Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, 2007.

Stinchcombe, A. L., Constructing Social Theories, New York: Harcourt, Brance and World, Inc., 1986.

Turner, J. H., The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998.


[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar.  Ilmu ini memusatkan berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya, seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan bentuk sistem keagamaannya.  Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.  Sedangkan sosiologi mikro adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cabin, Philipe & Jean Francois Dortier (ed). 2004. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Coulon, Alain. 2008. Etnometodologi. Yogyakarta: Lengge-Genta Press.

Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1992. Sosiologi Jilid 2. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Henslin, James N. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Alih Bahasa: Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga.

Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2. Terjemahan Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nugroho, Heru. 1993. Kritik Sebagai Metode dalam Penelitian Sosial. Yogyakarta: Fisipol UGM.

Osborne, Richard. 2001. Filsafat untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.

Osborne, Richard & Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi For Begginers. Bandung: Mizan

Poloma, Margareth M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.

Priyono, B. Herry. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta: KPG

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka

Ritzer, George.1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers.

Ritzer, George. 2006. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Penyadur: Alimandan. Jakarta: Kencana

Santoso, Listiyono, Dkk. 2006. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruz Media

Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: LPFE-UI

Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: CIRed-Jejak Pena.

Veeger, Karel J. 1997. Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama – APTIK.

Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (second edition), Thousand Oaks: Sage Publ. Inc., 2000.

Habermas, J., Ilmu dan teknologi sebagai ideology, Jakarta: LP3ES, 1990.

Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.

Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.