HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Selasa, 09 Mei 2023

POLITIK ISLAMISASI : PERDEBATAN IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA

 








POLITIK ISLAMISASI:

PERDEBATAN IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA

Sumber :

(99+) POLITIK ISLAMISASI: PERDEBATAN IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA | Savran Billahi - Academia.edu

Penelitian ini membahas jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi negara dan sejumlah kekuatan politik menggunakan isu-isu Islam dalam percaturan politik di Indonesia. Penelitian ini juga menganalisasi proses politik islamisasi itu berlangsung dan implikasi dari model kebijakan politik islamisasi itu bagi perkembangan demokrasi, kebebasan sipil dan prinsip bernegara yang pluralis.

Dalam proses pembentukan negara bangsa (nation building) seperti Indonesia, politik yang menggunakan preferensi Islam dan cita-cita Islam menjadi persoalan serius di Indonesia sebagai negara majemuk, baik agama, suku, maupun bahasa. Indonesia menghadapi masalah fundamental dalam menentukan arah bangsa, yakni perumusan dasar negara. Persoalan mendasar itu lebih lagi dihadapkan dengan varian corak pemikiran mengenai rumusan bangsa, yang kemudian mengerucut menjadi polarisasi, dan perdebatan pemikiran atas pilihan menggabungkan Islam atau kebangsaan dalam suatu konstitusi negara.

Tak terbantahkan, bahwa mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam. Agama samawi terakhir ini menjadi identitas masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisah dari identitas keindonesiaan. Karenanya wajar bila kekuatan-kekuatan sosial dan politik, termasuk negara, menjadikan Islam untuk menjustifikasi dasar perjuangan dan kepentingannya dalam pergulatan politik.

Para pemimpin bangsa, baik pada masa Orde Lama (Soekarno), Orde Baru (Soeharto), maupun Orde Reformasi (B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo), telah berupaya mencarikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah fundamental krusial itu. Dengan varian yang berbeda-beda, mereka mengeluarkan kebijakan politik islamisasi yang kadang memojokkan dan kadang menguntungkan umat Islam.

1. Agama dan Negara pada Pra Kemerdekaan dan Orde Lama

1.1 Soekarno versus M. Natsir

Masalah hubungan agama (Islam) dan negara secara historis dapat ditelusuri pada polemik Soekarno dan Natsir sebelum kemerdekaan. Kedua tokoh bangsa ini mewakili kecenderungan kuat pendapat dua golongan besar di Indonesia, yaitu nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Debat mereka bukan hanya menyangkut dua orang tokoh, tapi mewakili dua kelompok utama dalam politik Indonesia; partai politik nasionalis-sekuler (PNI—Soekarno) dan partai politik Islam (Masyumi—Natsir).[1] Perbedaan pandangan mereka merefleksikan pertarungan ideologis[2]; apakah negara yang akan dibangun harus didasarkan pada agama atau non-agama.

            Polemik itu diawali oleh publikasi artikel Soekarno yang membahas hubungan Islam dengan negara dalam Pandji Islam di Medan, terutama sekitar tahun 1938 sampai 1940. Soekarno, antara lain, menulis “Me-“muda”-kan Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara?”, “Masjarakat Onta dan Masjarakat Kapal Udara”, “Islam “Sontolojo”, dan lainnya.[3] Soekarno menulis, “Islam dipisahkan dari negara, agar supaja Islam mendjadi merdeka, dan negarapun mendjadi merdeka. Agar supaja Islam berdjalan sendiri. Agar supaja Islam subur, dan negarapun subur pula.”[4]

Dari berbagai tulisannya, Soekarno menginginkan pembaharuan dalam Islam. Untuk memperkuat argumentasinya, ia merujuk pada pengalaman negara Turki di bawah pemerintahan Kemal Attaturk yang memisahkan agama (Islam) dengan negara. Pemisahan Islam dengan negara di Turki semata-mata bertujuan untuk membebaskan Islam dari berbagai penyelewengan kelembagaan negara yang dapat menyempitkan makna Islam. Islam dan negara perlu dipisahkan karena Islam tidak memiliki preferensi politik yang siap pakai. Menurut Soekarno, untuk pembangunan negeri dibutuhkan pengetahuan keduniawian dengan sistem pendidikan sekuler. Jadi, untuk memakmurkan dunia semata-mata untuk dunia, terlepas dari agama.[5]

Pada sisi lain, Soekarno sebenarnya berusaha mengakomodasi Islam di dalam lembaga legislatif.[6] Ketika menjelaskan dasar ketiga—mufakat, perwakilan, dan permusyawaratan—dalam pidato Lahirnya Pancasila, Soekarno menegaskan,

Untuk pihak Islam, inilah tempat jang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sajapun adalah orang Islam .... Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusjawaratan. Dengan tjara mufakat, kita perbaiki segala hal, djuga keselamatan agama, jaitu dengan djalan pembitjaraan atau permusjawaratan didalam Badan Perwakilan Rakjat.

 

Apa-apa jang belum memuaskan, kita bitjarakan didalam permusjawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakjat, apa-apa jang kita rasa perlu bagi perbaikan. Djikalau memang kita Islam, marilah kita bekerdja sehebat-hebatnja, agar-supaja sebagian jang terbesar dari pada kursi-kursi badang perwakilan rakjat jang kita adalah, diduduki oleh utusan-utusan Islam ....[7]

Tulisan-tulisan Soekarno ini dianggap berisiko besar bagi perkembangan Islam di Indonesia. Menanggapi Soekarno,  para wakil Islam seperti A. Hassan menulis pandangan tandingannya di majalah Al-Lisan, A. Muchlis[8] dalam Pandji Islam, dan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam Lasjkar Islam. Bahkan Natsir, tokoh yang menjadi “teman” berdebat Soekarno, mengkritisi ulasan Soekarno melalui beberapa tulisan yang mengulas persatuan agama dan negara.[9]

Dalam tulisannya, Natsir menegaskan,

Tetapi yang sering orang lupakan, jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ilah, dalam pengeritan Islam yang dinamakan agama itu, bukanlah semata-mata yang disebut peribadatan dalam istilah sehari-hari itu saja, seperti shalat dan puasa itu, tetapi yang dinamakan agama menurut pengertian Islam meliputi semua kaidah-kaidah, hudud-hudud dalam mu’amalah dalam masyarakat  menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam itu.

 

Semua aturan-aturan itu dalam garis besarnya terhimpun dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Tetapi al-Qur’an dan Sunnah Nabi itu tidak bertentangan dan tidak berkaki sendiri untuk menjaga supaya peraturan-peraturannya itu dijalankan oleh manusia.

 

Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah Saw kepada kaum muslimin.[10]

Silang pendapat antara Soekarno dan Natsir ini menggambarkan, bahwa kalangan nasionalis-sekuler meyakini jalan terbaik adanya pemisahan agama dan politik dalam urusan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, kalangan nasionalis muslim menegaskan perlunya penyatuan agama dan negara dalam urusan kenegaraan.

Perbedaan pendapat antara keduanya itu lebih tepat merupakan perdebatan bebas dalam memahami kedudukan Islam pada negara. Namun tidak salah bila perdebatan itu disebut sebagai proto dari persilangan pendapat mengenai dasar negara Indonesia pada masa-masa formatif, sebab, pemikiran dan aktor-aktor utamanya tidak jauh berbeda. Polemik yang berlangsung menjelang 1930-an sampai awal 1940-an itu sebenarnya kelanjutan dari perbedaan pendapat dari kedua kelompok yang berbeda itu sejak masa penjajahan Belanda,[11] yang hingga kini masih berlanjut. 

1.2 Perumusan Dasar Negara: Dari BPUPKI sampai KNIP

Perdebatan mengenai agama (Islam) dan negara masuk ranah insitutisi politik dapat dilihat dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945. Sidang pertama BPUPKI itu membahas dasar negara sebagai masalah pokok; apakah negara Indonesia yang akan didirikan berdasarkan agama (Islam) atau tidak?

Silang pendapat mengenai dasar negara ini terpolarisasi menjadi dua kelompok mainstrem, sebagaimana diakui Supomo yang dikatakannya pada 31 Mei 1945. Ia memaparkan,

Memang di sini terlihat ada dua paham ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Muhammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan; bukan negara Islam.[12]

Seperti disebutkan Supomo, kelompok pertama disebut ahli agama yang berhasrat mendirikan negara berdasarkan Islam. Pada sidang 31 Mei 1945, kalangan agama ini mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Di dalam BPUPKI, kelompok nasionalis muslim ini hanya diwakili 15 orang—gabungan tokoh-tokoh reformis, tradisionalis, dan konservatif yang jelas-jelas memilis Islam sebagai dasar negara. Jumlah tersebut memang tidak dominan bila dibanding kelompok kedua yang disebut nasionalis sekuler—karena memisahkan urusan negara dan agama—yang diwakili 45 orang yang memilih dasar kebangsaan.[13] Kelompok kedua ini tidak menerima gagasan kelompok ahli agama itu.

Dalam pidato yang disampaikan pada 1 Juni 1945, saat mengusulkan lima dasar bagi Indonesia, Soekarno menyinggung Islam sebagai agama mayoritas. Saat memaparkan sila ketiga, misalnya, ia berpendapat bahwa Islam dapat menempatkan power-nya di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Untuk pihak Islam, inilah tempat jang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sajapun adalah orang Islam …. Apa-apa jang belum memuaskan, kita bitjarakan di dalam permusjawaratan. Badan perwakilan inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakjat, apa-apa jang kita rasa perlu perbaikan. Djikalau memang kita Islam, marilah kita bekerdja sehebat-hebatnja, agar supaja sebagian jang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan rakjat jang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam.[14]

Salah satu alasan kuat mengapa Soekarno tidak memihak kepada golongan Islam, dapat ditinjau dari pernyataan dalam pidatonya,

Malahan saja jakin, djikalau hal jang demikian itu njata terdjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup didalam djiawa rakjat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90%, utusan adalah orang Islam, ulama-ulama Islam. Maka saja berkata, baru djikalau demikian, baru djikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam jang hanja diatas bibir sadja. Kita berkata, 90% dari kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini, berapa persen jang memberikan suaranja kepada Islam? Maaf seribu maaf, saja tanja hal itu! bagi saja hal itu adalah bukti, bahwa Islam belum sehidup-hidupnja didalam kalangan rakjat.[15]

Pernyataan itu memperlihatkan adanya dua spekulasi yang mendorong Soekarno lebih memilih ide kebangsaan berada dalam konstitusi negara dibandingkan Islam. Pertama, Soekarno tampaknya menganggap Islam di Indonesia masih lemah. Jumlah penduduk muslim yang besar di Indonesia bukan jaminan menjadikan Islam sebagai dasar negara. ‘Perpecahan’ suara antar anggota sidang yang mayoritas beragama Islam merupakan bukti sederhana penguat pernyataan itu, sehingga muncul pertanyaan selanjutnya, bila Islam saja ‘pecah’, bagaimana orang-orang Indonesia yang beragama lain menerima Islam sebagai dasar negara? Soekarno tampaknya ingin ‘mengorbankan’ Islam demi persatuan bangsa.

Kedua, Soekarno menganggap, bila Islam menjadi dasar negara, Indonesia melakukan lompat fase. Secara tersirat, ia sebenarnya tidak menolak gagasan mempersatukan Islam dalam negara. Menurut dia, untuk mencapai tahap itu perlu membumikan Islam ke dalam hati masyarakat Indonesia terlebih dahulu. Soekarno menganggap Islam belum hidup pada masyarakat Indonesia, sehingga fase yang diperlukan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara adalah menghidupkan Islam di dalam sanubari masyarakat. Sembari menunggu tahap itu selesai, ia mengajukan lima sila itu. Pendeknya,  ketidaksiapan masyarakat terhadap Islam menjadi pertimbangan Soekarno menolak gagasan Islam sebagai dasar negara.

Pidato Soekarno yang panjang tanpa teks—yang dikenal kemudian sebagai lahirnya Pancasila, itu mendapat sambutan luar biasa dari anggota sidang BPUPKI. Hatta mengatakan, “... di antara anggota yang sudah siap untuk menjawab pertanyaan dr. Radjiman adalah Soekarno”.[16] Suatu ungkapan yang menunjukkan pujian dan penerimaan atas gagasan yang diberikan Soekarno. Dengan munculnya Pancasila dalam sejarah pembuatan konsitusi Indonesia, maka Islam pertama kali berhadapan dengan Pancasila.

Perbedaan pendapat tentang dasar negara antara kelompok nasionalis muslim dan nasionalis sekuler membuat beberapa anggota BPUPKI mengambil inisiatif untuk menyelesaikannya dengan cara mufakat. Sebelum sidang kedua berlangsung, 38 anggota BPUPKI membentuk panitia kecil beranggotakan sembilan orang, yang terdiri dari empat orang wakil golongan Islam, yaitu Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir, dan lima wakil golongan nasionalis, Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Ahmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin.

Panitia Sembilan ini, termasuk Maramis sebagai satu-satunya yang beragama Kristen, berhasil mencapai suatu mufakat antara para nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Menurut Soekarno,

.... Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat .... Mari saja bacakan usul rancangan pembukaan itu kepada tuan-tuan ..., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan—perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[17]

Preambul yang disepakati Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 ini dikenal dengan Piagam Jakarta—sebuah nama yang tampaknya diperkenalkan pertama kali oleh M. Yamin. Setelah mufakat itu, Soekarno dalam pidato pada sidang paripurna BPKUPI yang disampaian pada 10 Juli 1945 dengan tegas menekankan betapa beratnya tugas panitia kecil itu sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat antara dua kelompok anggota. Soekarno mengatakan,

Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita. Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.[18]

Pemufakatan antara kelompok nasionalis muslim dan nasionalis sekuler itu hanya berumur sehari. Latuharhari—anggota BPUPKI yang beragama Protestan, menyatakan keberatannya atas tujuh kata tersebut, yang kemudian diikuti beberapa anggota lainnya seperti Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Sebagai pemimpin pertemuan itu, Soekarno mengingatkan bahwa preambul itu merupakan hasil kompromi kelompok nasionalis muslim dan nasionalis sekuler yang dimufakati dengan susah payah.

            Perdebatan mengenai Islam dan negara kembali dibahas pada sidang panitia pertama yang dikepalai Soekarno. Rapat panitia perancang hukum dasar itu membentuk suatu Panitia Kecil, yang terdiri atas Dr. Soepomo sebagai ketua, Mr. Ahmad Soebardjo, Agus Salim, Mr. AA. Maramis, Mr. Singgih, Dr. Sukiman, dan Mr. Wongsonegoro sebagai anggota. Mereka bekerja untuk membuat laporan mengenai rancangan Undang-Undang Dasar, yang kemudian diserahkan kepada panitia penghalus bahasa dan akhirnya dibahas di sidang pleno.

            Dari hasil laporan panitia kecil itu, terdapat dua pasal yang menjadi pemicu silang pendapat antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler, yaitu pasal 4 dan pasal 28. Pada pasal 4 ayat 2 tentang Presiden tertulis: “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli”. Sementara pasal 28 tentang Agama tercantum: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”.

            Untuk masalah tersebut, Wahid Hasyim mengusulkan dua hal penting. Pertama, untuk pasal 4 ayat 2 tersebut sebaiknya diberi tambahan kalimat “yang beragama Islam”. Menurut tokoh NU ini, membangun hubungan antara pemerintah dan masyarakat adalah penting bagi Islam. Bila presiden yang memimpin adalah orang Islam, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya akan berpengaruh terhadap Islam.[19] Untuk pasal 28, ia mengusulkan bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan tetap menjamin kebebasan pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing. Salah satu tokoh yang mendukung usulan untuk menambah kalimat “yang beragama Islam” adalah KH Masjkur. Tetapi usul ini ditolak Agus Salim. Dengan lugas ia mengomentari usulan Wahid Hasyim:

Dengan ini kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi, apakah hal ini tidak bisa serahkan kepada Badan Permusyawaratan Rakyat? Jika Presiden harus orang Islam, bagaimana halnya terhadap Wakil Presiden, duta-duta, dan sebagainya. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?[20]

            Komentar yang disampaikan Agus Salim itu disandarkan pada pernyataannya ketika menanggapi interupsi dari Laturharhari atas Piagam Jakarta seperti di penjelasan sebelumnya. Agus Salim meyakini bahwa Piagam Jakarta akan menjamin perlindungan agama lain. Dalam perdebatan pasal ini, Supomo tampil mempertahankan rancangan pasal yang telah dirumuskan Panitia Kecil. Menurut Supomo, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dan itu adalah jaminan bahwa presiden yang memimpin Indonesia adalah seorang muslim, sehingga ia menganggap tambahan itu tidak perlu. Peringatan Supomo itu juga didukung Soekarno, yang disampaikan pada 15 Juli 1945, ia menegaskan, dengan melihat perspektif yang sama dengan Supomo, yaitu kependudukan, bahwa Presiden Indonesia tentu orang Islam. Ia kembali mengulang, bahwa rumusan yang telah dihasilkan adalah suatu gentleman’s agreement. Mendengar pernyataan Soekarno itu, sambil memukul meja, Abdul Kahar Muzakkir menolaknya. Ia menganggap Soekarno tidak merangkul Islam. Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, bahkan memulai salah satu pembicaraannya dengan kata-kata: "Saya berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak."[21]

            Diskusi alot itu membuat Radjiman Wedyoningrat selaku ketua sidang melemparkan usulan untuk melakukan pemungutan suara. Gambaran dari suatu kondisi perdebatan yang kompleks. Namun, usul itu tidak disetujui beberapa kalangan, termasuk Ahmad Sanusi karena dianggap sebagai keputusan yang tergopoh-gopoh. Sidang pun dihentikan Radjiman.

Esoknya, perdebatan itu mencapai klimaksnya ketika Soekarno berpidato. Ia mengimbau seluruh peserta sidang, terutama golongan nasionalis sekuler untuk berkorban. Katanya,

... yang saya usulkan ialah baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang-Undang Dasar dituliskan bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam… karena bagaimanapun kita yang hadir di sini, dikatakan 100 persen telah yakin, bahwa justru karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 persen atau 95 persen beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah yang beragama Islam.[22]

            Setelah para peserta sidang tidak keberatan atas persoalan-persoalan pada sidang itu, dan tepatnya setelah Soekarno berpidato seperti yang disebutkan sebelumnya, Radjiman selaku ketua menutup sidang seraya mempersilahkan para anggotanya untuk berdiri, “jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi saya ulangi, Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya.” Kata-kata terakhir Radjiman itu diterima dengan suara bulat dan disambut dengan tepuk tangan.[23] Dengan demikian, rumusan rancangan batang tubuh yang diajukan di awal sidang mengalami perubahan, yaitu Pasal tentang Presiden, “Presiden ialah orang Indonesia asli”, ditambah kalimat “yang beragama Islam”, dan untuk pasal 28, tetap “negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dan, kalimat kompromsi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bertahan sampai sidang BPUPKI selesai.

            Meskipun badan ini merupakan bentukan Jepang melalui legal-formal Letnan Jenderal Kumakichi Harada, namun apa yang dihasilkan dari sidang itu adalah buah dari konsesus para wakil golongan di Indonesia, yang terpolarisasi antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler, sehingga konsep yang didapat adalah murni dicapai oleh orang Indonesia. Dengan hasil sidang BPUPKI, secara formal Indonesia telah memiliki konsep mengenai negara.

            Namun, hasil kompromi itu kembali goyah saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk. Pada 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidangnya, dan Piagam Jakarta kembali dipersoalkan. Pada tanggal tersebut disahkan Rancangan Undang-Undang Dasar hasil sidang BPUPKI menjadi Undang-Undang Dasar bagi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka setelah dilakukan beberapa perubahan, antara lain;

1.      Kata “Mukaddimah diganti dengan kata “Pembukaan”

2.      Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

3.      Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.

4.      Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[24]

Keempat perubahan itu disampaikan Hatta di depan para peserta sidang. Mengenai hal ini, Hatta menuliskan pengakuannya bahwa dirinya didatangi seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)—yang mengaku wakil Protestan dan Katolik, dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen di dalam pendudukan Kaigun, yang sebagian besarnya berdomisili di wilayah timur Indonesia, tidak akan bergabung dengan Indonesia kecuali jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta (yakni “ ... kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, Islam sebagai negara, dan persyaratan bahwa Presiden harus seorang Muslim) dihapuskan. Dalam pandangan mereka, kerangka konstitusional semacam itu akan mengundang diambilnya langkah-langkah yang diskriminatif.[25]

Sebagai tokoh yang selalu menyuarakan persatuan bangsa, saran dari pejabat angkatan laut Jepang itu tentu membuat kegelisahan tersendiri dalam diri Hatta.

Perkataanja itu berpengaruh djuga atas pandangan saja. Tergambar di muka saja perdjuangan saja jang lebih dari 25 tahun lamanja, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mentjapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia jang baru sadja dibentuk akan petjah kembali dan mungkin terdjadjah lagi karena suatu hal jang sebenarnja dapat diatasi? Kalau Indonesia petjah, pasti daerah di luar Djawa dan Sumatera akan dikuasi kembali oleh Belanda dengan mendjalankan politik devide et impera?[26]

Pada tahap inilah, kompromi antara golongan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim kembali terjadi. Dalam waktu yang singkat, sebelum sidang dimulai, kurang dari lima belas menit, Hatta melobi para wakil Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan). Mereka mencapai mufakat menerima perubahan-perubahan yang diusulkan Hatta.[27]

Pertemuan dan kesepakatan Hatta dengan wakil-wakil Islam itu menimbulkan pertanyaan bagi kalangan muslim. Dalam konteks peristiwa itu, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa para wakil Islam itu bisa dengan cepat menyepakati perubahan-perubahan itu, padahal pada sidang BPUPKI mereka tidak kenal lelah untuk mempertahankannya?

Ada beberapa dugaan kuat mengenai mengapa para pemimpin kelompok Islam menerima penghapusan Piagam Jakarta. Pertama, penerimaan atas kalimat “Yang Maha Esa”, Wahid Hasyim mengatakan, kalimat itu sesuai dengan Tauhid dalam Islam.[28] Kedua, situasi pada masa itu mengharuskan para pendiri republik ini untuk bersatu menghadapi masalah lain.[29] Soekarno juga menyatakan bahwa saat itu adalah masa-masa darurat, sehingga perlu cepat menetapkan Undang-Undang Dasar Negara. Secara umum, Hatta menyampaikan, “supaja kita djangan petjah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat jang menusuk hati kaum Kristen dan menggantinja dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[30] Dengan kata lain, Hatta dan para wakil Islam yang ikut berunding dengan mengedepankan persatuan bangsa, meskipun harus menerima penghilangan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Beberapa kalangan nasionalis muslim sangat menyayangkan perubahan yang terjadi di sidang PPKI. Salah satunya adalah Abikusno. Ia menganggap perubahan itu merupakan keputusan sepihak, karena pihak Islam dikesampingkan dari keanggotaan. Ia menulis kekecewaannya dengan perasaan yang mendalam, “di dalam badan mana kami tidak ikut duduk sebagai anggota, maka setiap kata Islam dan setiap kalimat yang memuat Islam dihilangkan adanya, baik dari Piagam Jakarta, yang dijadikan Mukaddimah UUD, maupun dari UUD yang diresmikan”.[31] Agus Salim dan A. Kahar Muzakkir yang menandatangani Piagam Jakarta tidak diikutsertakan sebagai anggota sidang. Wahid Hasjim, satu-satunya wakil nasionalis Islam penanda tangan Piagam Jakarta, yang diangkat sebagai Panitia Persiapan juga tidak hadir dalam pertemuan.[32] Ini berarti, dari wakil-wakil penanda tangan Piagam Jakarta, hanya wakil-wakil nasionalis sekuler, yakni Soekarno, Hatta, dan Soebardjo, yang dilibatkan proses perubahan tersebut.[33]

Namun, apa jadinya bila kalangan nasionalis muslim bersikokoh dengan sikapnya yang mempertahankan Piagam Jakarta. Berikut pengakuan KH Saifuddin Zuhri,[34]

Dihapuskannya 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta itu boleh dibilang tidak “diributkan” oleh ummat Islam, demi memelihara persatuan dan demi ketahanan perjuangan dalam revolusi bangsa Indonesia, althans untuk menjaga kekompakan seluruh potensi nasional mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berumur 1 hari. Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari ummat Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18 AGustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan ummat Islam “ngotot” mempertahankan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah terjadi. Ummat Islam hanya mengharapkan prospek-prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi hikmah.

Meski demikian, perubahan tersebut telah menumbuhkan benih pertentangan sikap dan pemikiran yang tak kunjung berhenti antara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Namun, bagaimana pun tanggapan dari hasil itu, satu hal yang perlu dipahami, bahwa gagasan ‘pemisahan’ Islam dari konstitusi bukan berarti negara menjauhkan, atau memisahkan, dalam arti yang sebenarnya, dari Islam.

1.2 Perdebatan Dasar Negara di Konstituante

            Perdebatan mengenai posisi Islam di dalam negara tidak selesai sekalipun Kementerian Agama dibentuk. Hubungan Islam dan negara terus dipersoalkan hingga Dewan Konstituante terbentuk melalui pemilihan umum 1955. Amanah yang diembankan konstitusi melalui pasal 134 UUDS 1950 kepada Dewan Konstituante adalah untuk membuat UUD RI. Di Konstituate inilah, perdebatan tentang dasar negara terus berlanjut.

Dipelopori Partai Masyumi, kelompok Islam kembali mengajukan gagasan mengenai Islam sebagai dasar ideologi negara melalui Konstituante. Mereka tetap menginginkan berdirinya negara dengan dasar Islam dengan beberapa alasan. Pertama, Islam berwatak holistik. Kedua, Islam lebih unggul dari semua ideologi di dunia ini. Dan, ketiga, Islam dipeluk oleh mayoritas penduduk di Indonesia.[35]   

Untuk lebih meneguhkan pandangannya, mereka juga menyandarkan beberapa alasan. Pertama, mereka melihat dasar ini sebagai masalah yang mereka janjikan selama kampanye pemilu 1955. Tema kampanye mereka umumnya adalah bagaimana menjalankan ajaran agama dalam negara dan masyarakat. Untuk itu, Prawoto Mangkusasmito, elite politik Masyumi, menolak usul Hatta untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.[36] Kedua, mereka menganggap Konstituante sebagai forum yang tepat bagi tiap kelompok atau fraksi untuk mengungkapkan dasar dan cita-cita mereka. Ketiga, mereka menganggap Konstituante sebagai forum dakwah untuk menyampaikan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Islam mengenai hubungannya dengan masyarakat dan politik.

Melalui Konstituante, kelompok Islam yang diwakili M. Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan KH Masykur, kokoh mempertahankan Islam sebagai dasar negara. Mereka memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler, tanpa sumber keagamaan yang jelas dan pasti. Sekalipun sila pertama menyebut kepercayaan kepada satu Tuhan, perumusannya pada dasarnya karena pertimbangan sosiologis, bukan didasarkan pada alasan keilahian Tuhan. Menurut Natsir, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bagi umat Islam ibarat melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa (vacuum).

Pandangan semacam itu tentu saja ditolak kalangan nasionalis sekuler, yang tetap memandang Pancasila sebagai suatu konsesus bersama. Mereka khawatir bila Islam ditetapkan sebagai dasar negara, maka perpecahan akan menghantui negara, yang berarti pula diskriminasi secara konstitusional dan pengkhianatan atas perjuangan. Mengingat secara sosiologis-keagamaan Indonesia adalah negara yang majemuk, para wakil nasionalis sekuler meragukan Islam menjadi dasar negara. Menanggapi pernyataan Natsir, politisi PNI beragama Kristen, Arnold Mononutu, menyatakan bahwa bagi umat Kristen bila Islam menjadi dasar negara, ibarat melompat dari bumi yang tenang ke ruang kosong tak berhawa.[37]

Di tengah dua kutub yang saling berseberangan itu, sebenarnya ada seorang tokoh di dalam lingkungan Masyumi yang menyuarakan pandangan berbeda. Jusuf Wibisono berpikir bahwa sebaiknya dari semula partai-partai Islam lebih bersifat luwes dan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Ia bukan tidak setuju dengan dasar Islam, tetapi ia melihat realitas masyarakat Indonesia. Di samping kenyataan bahwa wakil-wakil Islam memang tidak dominan di Konstituante, yang menurutnya dalam 20-an atau 30-an tahun jumlah wakil Islam itu tidak akan bertambah sampai 2/3 mayoritas di dalam Konstituante. Ia melihat bahwa kualitas para pemimpin Islam belum begitu tinggi untuk menarik dukungan bagian terbesar rakyat. Ia juga melihat bahwa revolusi Indonesia, pemerintah, dan angkatan bersenjata saat itu dipimpin orang-orang yang tidak berideologi Islam. Daripada berjuang dengan menghadapi kebuntuan, Jusuf Wibisono berpendapat bahwa lebih baik organisasi-organisasi Islam bekerja untuk mendidik masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam daripada berpegang dengan penuh semangat pada cita-cita Islam di ranah konstitusi simbolik.[38]

Selain pengusung Islam dan Pancasila sebagai dasar negara, saat perdebatan berlangsung, perwakilan dari Partai Buruh dan Partai Murba juga menyuarakan usulan lain, yakni sosial-ekonomi sebagai ideologi negara. Menurut mereka, ideologi dan dasar negara berbeda, Pancasila dapat diterima bila sila pertama diganti menjadi kebebasan beragama. Mereka juga menganggap kelompok Islam memiliki kepentingan sendiri-sendiri, sehingga bukan merupakan kelompok yang bersatu. 

Meski demikian, pihak nasionalis muslim dan nasionalis sekuler menolak gagasan sosial-ekonomi menjadi dasar negara. Pihak nasionalis muslim menganggap sosial-ekonomi sudah masuk di dalam Islam, sedangkan wakil nasionalis sekuler menganggap konsep itu sudah tertera jelas di Pancasila. Posisi mereka pun tidak begitu dominan seperti kelompok nasionalis muslim dan nasionalis kebangsaan. 

Dewan Konstituante pada akhirnya tidak berhasil memformulasikan dasar negara yang disepakati bersama. Masing-masing kelompok yang duduk di dalam Konstituante bersikeras mempertahankan pandangannya. Kata sepakat sulit dicapai. Kenyataan politik ini, yaitu tarik ulur pemikiran yang sedemikian rupa—mendorong Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Meski sebenarnya, Konstituante telah menyelesaikan tugasnya 90 persen pada 18 Februari 1959, sebagaimana dikatakan Wilopo sebagai ketua Kontituante yang melaporkan hasil kerjanya dalam sidang. Tugas-tugas itu dikerjakan Panitia Perumus Konstitusi, yang berjumlah 18 orang dari setiap fraksi,  selama dua tahun sejak dibentuk pada 11 November 1957.

Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959—yang menetapkan kembali ke UUD 1945, membubarkan Konstituanten, dan memulai sistem politik Demokrasi Terpimpin, tetap menutup harapan kelompok nasionalis muslim menjadikan Islam sebagai dasar negara. Cita-cita politik Islam kandas, karena Pancasila akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara.[39]

Realitas politik menunjukkan bahwa Demokrasi Terpimpin yang dikendalikan Soekarno menyumbat saluran legal bagi kalangan nasionalis muslim—terutama kelompok modern, khususnya elite politik Masyumi, untuk mengemukakan ide dan aspirasi politik mereka. Kekuatan politik kalangan nasionalis muslim semakin melemah ketika Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang otoritarian. [40] Dan akhirnya, kekuatan politik mereka semakin tak berdaya, bahkan mati, ketika Masyumi dibubarkan Soekarno pada 1960, dengan alasan beberapa pemimpin utamanya, seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, ikut terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).[41] Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologis di Indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara Islam, dipenjarakan karena oposisi terhadap pemerintah.

Nasib yang berbeda dialami kalangan muslim tradisional seperti NU, PSII, dan Perti. Partai-partai Islam diizinkan tetap hidup dalam sistem Demokrasi Terpimpin setelah mereka bersikap pragmatis dalam berpolitik. NU, misalnya, menyesuaikan diri dengan menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno.[42] NU dengan segera menata kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya Soekarno.

2. Agama dan Negara pada Periode Orde Baru: Hubungan yang Pasang Surut

Kenyataan politik pada masa Orde Baru menunjukkan bahwa hubungan Islam dan negara tampak bersifat konfrontatif, revalitas,[43] atau antagonistik.[44] Itulah pola hubungan yang hegemonik antara Islam dan negara.[45] Hubungan keduanya tampak tidak harmonis, renggang, saling bertolak belakang, saling menolak, berlawanan, bermusuhan, dan saling meniadakan. Keduanya berusaha mempertahankan posisinya masing-masing. Negara memiliki posisi hegemonik, sedangkan Islam berada pada posisi marginal. Hubungan yang saling berhadapan atau saling berlawanan ini cenderung menghasilkan ketegangan, bahkan konflik yang sulit diatasi. Hubungan ‘tidak akur’ ini menjadi langkah politik ‘penjinakan atau pelemahan’,[46] ‘persimpangan’[47], ‘peminggiran’,[48] dan ‘politik alokasi’[49] yang dilakukan Orde Baru terhadap Islam politik Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru sendiri mengeluarkan dan menggariskan dua kebijakan terhadap kelompok nasionalis muslim: memajukan kesalehan pribadi dan menentang “politisasi” agama. Agama sendiri, khususnya Islam, diawasi secara ketat. Untuk menghadapi kelompok nasionalis muslim, misalnya, Orde Baru mengunakan taktik Snouck Hurgronye dengan cara memisahkan Islam sebagai satu agama dan Islam sebagai satu pandangan hidup berpolitik yang bisa mengancam stabilitas politik.[50] Karena itu, Orde Baru menggunakan dua tindakan untuk menghadapi umat Islam, yaitu melumpuhkan kepemimpinan yang ada, dan menolak komitmen Muslim dari ambisi-ambisi politik—termasuk merehabilitasi Masyumi.

Kelompok-kelompok nasionalis muslim pada periode ini cenderung mempertahankan bentuk-bentuk formal dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Mereka lebih mengutamakan praktik formal atau legal Islam secara taat dan teguh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menekankan ideologisasi atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.[51] Dalam konteks politik, mereka menunjukkan orientasi yang cenderung mempertahankan bentuk-bentuk pra-konsepsi politik Islam, misalnya, pentingnya partai politik Islam, ungkapan, idiom-idiom, dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama, landasan organisasi secara konstitusi Islam.[52]

Formalisme Islam didasarkan pada penekanan adanya lembaga-lembaga politik sebagai badan formal untuk melaksanakan dan menjalankan prinsip-prinsip Islam. Kecenderungan formalisme Islam dalam politik dalam dilihat pada kelompok-kelompok Islam yang secara vokal ingin menghidupkan kembali partai politik Islam (Masyumi), Piagam Jakarta, Islam sebagai asas negara, negara Islam, dan lainnya. Arus formalistik juga dapat dilihat pada sebagian kalangan Islam yang merasa tidak puas atas kebijakan pemerintah. Mereka sangat kecewa atas campur tangan Orde Baru terhadap politik Islam. Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan bagi partai-partai politik”,[53] terutama partai politik Islam.

Realitas politik semacam itu dimulai pada awal pemerintahan Orde Baru, yaitu ketika Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, yang dikenal dengan Supersemar, menggantikan Soekarno. Pembicaraan hubungan kalangan nasionalis muslim dan sekuler ditandai terbentuknya Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) oleh 16 organisasi Islam pada 16 Desember 1965 yang berupaya merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan Soekarno.[54] Para politisi Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, dan Mohamad Roem, dan Hamka, menaruh harapan besar pada awal pemerintahan Soeharto. Kelompok nasionalis muslim, terutama dari sayap “modernis”, terobsesi untuk merehabilitasi Masyumi, sehingga kurang antisipatif terhadap perkembangan politik saat itu.[55] Sikap pemerintah jelas, dengan dukungan militer; tidak menerima rehabilitasi Masyumi sebagai partai politik dengan alasan juridis, ketatanegaraan, dan psikologis. Militer dengan tegas menyatakan akan mengambil tindakan tegas bagi siapa saja yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru hanya membebaskan para mantan elite politik Masyumi yang dipenjara Soekarno.[56]

Rezim Orde Baru khawatir dengan representasi konsituen politik Islam di masa depan. Kekhawatiran itu tidak dipungkiri berpijak pada pengalaman-pengalaman di masa sebelumnya, ketika partai-partai Islam menjadi oposisi pemerintah dan beberapa kali melakukan kontak senjata, seperti pada perlawanan Darul Islam, PRRI, dan pemberontakan-pemberontakan regional yang dipelopori oleh dorongan ideologis-politis Islam. Pengalaman pahit ini mempertegas Orde Baru menolok upaya rehabilitasi Masyumi. Penolakan Orde Baru untuk mengembalikan Islam ke arena politik—seperti pernah dialami pada masa kejayaan Masyumi, memunculkan kekecewaan mendalam di kalangan umat Islam.

Pada sisi lain, pemerintah sebenarnya juga sadar bahwa bila hal itu dilakukan dengan berbagai tekanan represif semata, maka kalangan nasionalis muslim akan semakin frustasi yang malah dapat menimbulkan tekanan berbalik kepada pemerintah, dan tidak mustahil bersifat ekstrem. Untuk itu, pemerintah Orde Baru akhirnya memberi izin pendirian partai politik baru yang diperjuangkan para pemimpin Islam sejak pada 5 Februari 1968.[57] Pemberian restu ini dengan beberapa catatan, antara lain, para mantan politisi senior Masyumi tidak boleh menduduki posisi kepemimpinan di dalam struktur kepengurusannya.

Sebenarnya, wadah politik baru dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) itu telah diprakarsai BKAM sejak 7 April 1967.[58] Setelah mendapat izin Orde Baru, Parmusi menggelar kongres pertamanya di Malang, Jawa Timur, pada 4-7 November 1968. Melalui kongres ini, Mohamad Roem—mantan Menteri Luar Negeri, Wakil Perdana Menteri, dan pemimpin elite Masyumi, terpilih untuk memimpin partai baru itu—yang tentu saja tidak direstui pemerintah Orde Baru. Proses “sterilisasi” itu dapat dilihat dari Surat Keputusan Presiden No. 70/1968 pada Februari 1968 mengenai pengesahan Djarnawi Hadikusuma sebagai ketua umum dan Lukman Harun sebagai sekretaris jenderal. Karena dianggap memusuhi ABRI, kepemimpinan Djarnawi dikudeta H. Djaelani Naro dan Imron Kadir (Naroka), yang justru semakin memicu konflik internal partai. Keduanya saling memecat; Djarnawi, dkk. memecat Naroka dan Naroka juga memecat Djarnawi dari keanggotaan partai. Sekali lagi, pemerintah menjadi penyelamat partai, dengan mengeluarkan SK No. 77 Tertanggal 20 November 10970, yang menunjuk orang ketiga, tokoh Muhammadiyah H.M.S. Mintaredja—yang sebenarnya bukan anggota partai, menjadi ketua umum.[59] Kedua SK ini membuktikan bahwa pemerintah melakukan intervensi yang berlebih terhadap partai Islam.[60]

Pemerintah Orde Baru tampaknya memang perlu melakukan intervensi, karena sedang fokus menata pemerintahan yang solid. Stabilitas politik dan ekonomi menjadi dambaan untuk melakukan pembangunan. Karenanya, Orde Baru memerlukan dukungan kekuatan dari militer. Untuk menambah kekuatan, Orde Baru juga membentuk Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) untuk merangkul semua organisasi fungsional, dan menjadikannya sebagai mesin politik  Orde Baru.[61]

Dalam suasana politik semacam itulah, Parmusi dengan tiga partai Islam lainnya: Partai Syarikat Islam Indonesia, NU, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), serta lima partai lain: PNI, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) tertatih-tatih membenahi diri untuk mengikuti pemilihan umum 1971. Kekuatan partai-partai politik ini dilumpuhkan oleh kekuatan Golkar yang mengusung tema sentral dari kampanyenya: “Politik No, Pembangunan Yes”. Dan benar, partai-partai politik tersebut kalah, dan Golkar keluar sebagai pemenang pemilu 1971. Kemenangan Golkar itu mengejutkan banyak kalangan dan sekaligus menimbulkan tanda tanya besar. [62]

Kegagalan rehabilitasi Masyumi dan munculnya konflik internal Parmusi, dan dilengkapi penolakan Orde Baru terhadap legalisasi Piagam Jakarta melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1968 dan pelarangan Kongres Umat Indonesia pada tahun yang sama membuktikan gagalnya kalangan nasionalis muslim melakukan upaya perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru. Implikasi penolakan tersebut, antara lain, pertama, harapan kalangan nasionalis muslim segera menyusut dalam upaya memainkan peran lebih besar di bawah pemerintahan Orde Baru segera menyusut. Kekuatan kalangan nasionalis muslim semakin melemah dan bahkan tak berdaya. Kedua, ini yang lebih serius, realitas politik itu menumbuhkan sikap saling curiga dan memusuhi yang jauh lebih dalam antara para pemimpin serta aktivis Islam politik dan elite pemerintah Orde Baru.[63]

Upaya yang dilakukan Orde Baru pada masa awal itu terhadap Islam bisa disamakan dengan penyingkiran komunis, dalam arti, ‘bersih-bersih’ ideologi yang berpotensi beroposisi. Sesuai dengan strategi menciptakan stabilitas politik, pemerintah melakukan penyudutan atau marjinalisasi terhadap ideologi-ideologi yang berseberangan dan dapat menciptakan instabilitas politik, serta mengganggu pembangunan ekonomi. ‘Bersih-bersih’ ideologi ini, meskipun ditujukan untuk menciptakan stabilitas, namun pada praktiknya tidak benar-benar menghentikan kalangan nasionalis muslim untuk menjadikan Islam sebagai ideologi.

 Sejak awal berkuasa, Soeharto memang telah bertekad ‘bersih-bersih’ ideologi dengan memperkenalkan Demokrasi Pancasila (Pancasila Democracy). Ia tidak ingin mengulangi kesalahan Soekarno yang menerapkan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, yang dianggapnya gagal. Soeharto berhasil ‘membubarkan PKI—artinya membunuh komunisme, dan tetap menolak menghidupkan Masyumi—artinya tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara., Pada sisi lain, Orde Baru mewadahi aspirasi politik umat Islam melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan hasil fusi beberapa partai politik Islam. Orde Baru tidak mampu “memvonis mati” Islam seperti yang dilakukannya kepada komunis. Sebelum kebijakan fusi itu, partai-partai Islam pun masih “dibiarkan” bermanuver pada pemilu 1971, meski perolehan suaranya di bawah Golkar.

Untuk meneguhkan kebijakannya itu, Soeharto menegaskan bahwa Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi seluruh kekuatan sosial dan politik, baik partai politik Islam seperti PPP maupun organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia dikemukakan Soeharto pertama kali dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982. Soeharto berkali-kali mengatakan, bahwa kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain Pancasila disetarakan dengan tindakan subversi.[64] Penerapan kebijakan itu berdasarkan pada peristiwa Lapangan Banteng yang kacau dalam pemilu 1982. Hal itu dibarengi juga dengan keraguan pemerintah terhadap komitmen kelompok-kelompok sosial kegamaan kepada Pancasila. Dalam pandangan Soeharto, “mereka tidak meyakini Pancasila seratus persen”.[65] Bahkan, Orde Baru menganggap Islam sebagai “teror” terhadap stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi bagi Indonesia yang sedang membangun.

 Pada masa-masa itu, Orde Baru menetapkan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam sebagaimana diinginkan dan diperjuangkan partai politik Islam.[66] Namun, sebagian kalangan nasionalis muslim khawatir terhadap penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Bagi mereka, penunggalan asas itu bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara sekuler. [67]

            Iklim politik yang tidak “bersahabat” dengan politik Islam merupakan titik tolak respon umat Islam yang reaksioner. Pemberlakuan asas tunggal Pancasila oleh pemerintah kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia dikhawatirkan oleh kalangan ini sebagai strategi untuk mende-Islamisasi. Kalangan ini mencampuradukkan statemen politik dengan statemen teologis, sehingga sikap yang diambil adalah menolak Pancasila, yang berarti mengambil posisi yang berhadap-hadapan langsung dengan pemerintah sebagai pihak yang bersebrangan.

            Acuan dasar mereka adalah pernyataan Soeharto pada 1982, “Pancasila tidak akan menjadi agama dan agama tidak akan di-Pancasila-kan”. Selain itu, beberapa peraturan juga menjadi pemicu lahirnya respon reaksioner ini, seperti Rancangan Undang-Undang Perkawinan dan perizinan tempat perjudian. Pemerintah juga ingin menaikkan status aliran kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti Islam dan Kristen. Reaksi keras dari kalangan nasionalis muslim ini memaksa pemerintah untuk membatalkan rencana itu.

            Perkembangan itu sangat mengecewakan sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Kelompok ini merasa, selain secara politis Islam dilemahkan, pada tahap tertentu hal itu tidak mencerminkan sebagai negara penduduk muslim terbesar di dunia. “Permusuhan” yang dilakukan oleh pemerintah kepada kalangan muslim direspon sama oleh kelompok ini kepada pemerintah. Bagaikan sebuah bandul yang dilemparkan kencang, ia berbalik kencang ke arah di mana ia dilemparkan.

Konsekuensi logis dari susahnya mencari titik temu, karena kebijakan Orde Baru yang dianggap tidak menguntungkan umat Islam, muncullah beberapa gerakan besar teror.[68] Pertama, Komando Jihad yang dilakukan Haji Ismail Pranoto, yang dituduh melakukan peledakan beberapa tempat ibadah pada sekitar 1976. Kedua, Front Pembebasan Muslim Indonesia oleh  kelompok Hassan Tiro pada 1977. Ketiga, kelompok Abdul Qadir Djaelani yang menyatakan dirinya sebagai penganut “Pola Perjuangan Revolusiner Islam pada 1978. Keempat, Komando Jihad oleh kelompok Warman pada 1978, 1979, dan 1980. Warman mengangkat dirinya sebagai pewaris semangat Kartosuwirjo, pemimpin gerakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat. Kelima, kelompok  Imran Muhammad Zein yang menggerakkan revolusi Islam di Indonesia pada 1980-1981. Ia melakukan kegiatan-kegiatan konfrotasi fisik dengan kalangan militer, khususnya di Cisendo, Jawa Barat, dan membajak pesawat penerbangan domestik (Garuda Woyla pada 28 Maret 1981)).[69] Peristiwa-peristiwa ini diikuti beberapa insiden kekerasan yang sering dialamatkan kepada aktivisme Muslim. Misalnya, pemboman Bank Central Asia (BCA) Cabang Pecenongan di Jakarta pada 4 Oktober 1984 dan pemboman Candi Borobudur di Jawa Tengah. Mereka melampiaskan kekecewaannya dalam bentuk kekerasan terhadap kebijakan pemerintahan.

Kebijakan asas tunggal Pancasila juga memicu reaksi keras dengan meletusnya Peristiwa Tanjung Priok, Jakarta. Saat itu, ribuan massa berangkat dari Jalan Sindang menuju Kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara. Di bawah pimpinan Amir Biki, seorang pengusaha dan mantan aktivis Angkatan 1966, mereka menuntut agar empat rekan mereka dibebaskan dari tahanan. Keempat teman mereka itu ditahan pada 12 September 1984 karena dituduh membakar motor seorang Babinsa, Sersan Hermanu, yang diuber-uber masyarakat karena memasuki sebuah mushala tanpa membuka alas kaki.[70]

            Massa yang beringas tersebut dihadang oleh aparat keamanan sehingga bentrokan fisik tidak dapat dihindari. Segera terdengar letusan senjata api dan berjatuhlah korban di pihak pengunjuk rasa, termasuk pemimpinnya, Amir Biki. Dalam keterangan pers setelah kejadian tersebut, Pangab L.B. Moerdani tidak menyebutkan jumlah korban yang pasti. Banyak korban yang tidak diketahui jenazahnya. Yang dikembalikan kepada keluarganya hanya Amir Biki.[71] Kemelut itu merupakan gambaran yang sangat jelas dari dua pihak, yaitu kalangan nasionalis muslim dan kalangan nasional sekuler di dalam pemerintahan, yang saling berhadap-hadapan. Pemicu utamanya adalah penolakan Pancasila sebagai asas tunggal, yang sebelum hari bentrokan telah dikompor-kompori oleh para penceramah bahwa menolak Pancasila adalah jihad fi sabilillah. Untuk itu, gerakan massa ini menghasilkan suatu ikrar bersama yang dinamakan “ikrar umat Islam Jakarta” yang berisi penolakan asas tunggal Pancasila.

            Peristiwa sejenis juga terjadi di Sumatera, yaitu Peristiwa GPK Warsidi di Lampung (6 Februari 1989) dan Barisan Jubah Putih di Aceh. Tidak berbeda dengan peristiwa Tanjung Priok, kedua gerakan massa tersebut ingin mengubah dasar negara menjadi berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Lebih jauh lagi, para aktivisnya ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), bahkan Barisan Jubah Putih bercita-cita menegakkan “Islam Dunia”. Gerakan ini meletus saat 1989, ketika mereka membunuh beberapa anggota ABRI. Meskipun beberapa korban dari kalangan militer, representatif dari pemerintah, berjatuhan, ketiga gerakan tersebut merupakan gerakan yang gagal. Sifatnya yang reaksioner, menjadikan respon-respon tersebut bagaikan kembang api, menggemparkan, tetapi cepat hilang.

Kemunculan kelompok-kelompok ini adalah hasil dari dua hal, yakni tindakan pemerintah yang terlalu ofensif terhadap Islam, sehingga komunitas Islam merasa disudutkan dan dinamika internal komunitas Islam yang bermaksud melindung Islam dari segala proses politik yang dilakukan pemerintah. Beberapa dari mereka menganggap proses politik yang terjadi merupakan rekayasa pemerintah untuk mengakumulasi kekuasaan, dalam hal ini Islam dianggap sebagai korban. Lebih jauh, depolitisasi Islam oleh pemerintah dianggap kelompok ini sebagai deislamisasi secara keseluruhan.

            Pada periode awal hingga akhir 1980-an berlangsung hubungan yang bersifat konfrontatif antara sebagian kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler yang diwakili pemerintah Orde Baru. Pola hubungan yang saling berlawanan itu tidak terlalu dominan pada periode ini, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu tidak melibatkan organisasi Islam besar, seperti Muhammadiyah dan NU.

            Pada periode berikutnya, khususnya pada akhir 1980-an hingga 1990-an, hubungan kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler (Orde Baru) lebih bersifat reaktif-kritis atau resiprokal-kritis,[72] atau simbiotik.[73] Inilah pola hubungan yang timbal-balik, saling mempelajari dan saling memahami secara kritis. Pada periode-periode tersebut, hubungan kalangan nasionalis muslim dan sekuler tidak lagi konfrontatif. Kedua belah pihak berdiri pada posisi masing-masing dengan pandangan kritis. Mereka tidak saling menyalahkan atau tidak saling menyudutkan. Masing-masing menggali potensi positifnya sendiri-sendiri, sehingga menjadi kekuatan untuk membangun bangsa dan negara.

Pada masa-masa ini, hubungan kalangan nasionalis muslim dan sekuler  mengarah kepada tumbuhnya kesadaran untuk saling mengerti kekuatannya masing-masing. Orde Baru mulai memandang kalangan Islam yang mayoritas sebagai modal dan faktor yang tidak mungkin diabaikan dalam pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan terencana. Peran kalangan nasionalis muslim tidak layak dimarginalisasikan, karena dapat mendorong suksesnya pembangunan. ‘Pemojokan’ peran kalangan nasionalis muslim merupakan tindakan kontroproduktif bagi pembangunan.

Untuk itu, keputusan-keputusan politik yang diambil Orde Baru didasarkan kepada pemahaman mereka terhadap kepentingan kalangan nasionalis muslim. Begitu juga kalangan nasionalis muslim yang memposisikan Orde Baru sebagai mitra untuk mengembangkan Islam di Indonesia. Kebijakan dan keputusan politik Orde Baru dipandang kalangan nasionalis muslim sebagai pendorong untuk memajukan Islam. Kedua belah pihak menyadari keberadaan masing-masing yang “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hubungan yang “sama rata dan sama imbang” ini didasarkan dan diperkuat dengan sikap kritis masing-masing pihak, yang cenderung menghasilkan kesepahaman kedua pihak.

Kelompok-kelompok nasionalis muslim pada masa-masa tersebut cenderung menekankan pada tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik, bukan hanya manifestasinya yang formal—baik dalam ide-ide maupun lembaga-lembaga politik.[74] Bagi mereka, substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan yang bersifat tektual dari teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits). Mereka yang sering disebut substansialis ini  berusaha mengembangkan nilai-nilai keagamaan seperti keadilan dan egelitarianisme, bukan menonjolkan simbol atau formal,[75] dalam panggung politik nasional Indonesia.

Bagi mereka, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang instrinsik—khususnya dalam politik Indonesia, lebih penting dan sangat terbuka untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia. Mereka yakin, bahwa melaksanakan prinsip-prinsip Islam sama artinya dengan merealisasikan dan mewujudkan prinsip-prinsip Pancasila,[76] yang diterima kalangan Islam—khususnya NU, sebagai asas tunggal organisasi sosial-keagamaan dan politik, pada 1983. Dalam prinsip-prinsip Islam juga terdapat nilai-nilai sikap saling menghargai dan menghormati sesama anggota masyarakat—seperti terlihat pada pola hubungan ini. Dengan demikian, kalangan nasionalis muslim substansialis sebenarnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.

Pada intinya, pada tahun-tahun itu, sebagian besar kalangan nasionalis muslim menerima Pancasila sebagai asas tunggul yang dianggapnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mereka merujuk sikapnya itu kepada pernyataan Soeharto yang menyebutkan bahwa Pancasila sebagai asas organisasi kemasyarakatan tidak bertujuan untuk mengurangi arti dan peranan agama dalam kehidupan bangsa.

Untuk menyakinkan kalangan nasionalis muslim, Munawir Sjadzali selaku menteri agama pada masa itu mengemukakan beberapa nilai dasar Pancasila yang sejalan dengan ajaran Islam, yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai dasar Pancasila itu, antara lain, keseimbangan antara kesejahteran ukhwawi dan kebahagiaan duniawi, pengakuan atas hak dan kewajiban—baik individu maupun kelompok, persamaan antara sesama manusia, pemerataan keadilan, permusyawaratan dalam penyelesaian masalah, kepemimpinan sebagai amanah dan tanggung jawab, dan kepatuhan dan ketaatan terhadap pemimpin.[77] Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara membuktikan keluwesan dan ketinggian ajaran Islam yang universal.

Pada akhirnya, organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai dasar negara. Dalam muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur, yang dihadari Soeharto sebagai presiden, NU mengukuhkan pendiriannya untuk menerima Pancasila sebagai landasar dasar organisasi NU. Dalam deklarasi yang merupakan hasil muktamar itu disebutkan, bahwa Pancasila adalah dasar dan falsafah negara, bukan agama—dan tidak dapat menggantikan posisi agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama; sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa, mencerminkan tauhid dalam pengertian keimanan dalam Islam, dan penerimaan dan pengalaman Pancasila sebagai wujud untuk menjalankan syariah agama. Untuk itu, NU berkewajiban mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.[78]

Dalam muktamar ke-41 pada 1985 di Solo, Jawa Tengah, Muhammadiyah menerima asas tunggal Pancasila. Meski demikian, tujuan dan orientasi Muhammmadiyah tidak mengalami perubahan. Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, pasal 2 disebutkan bahwa Pancasila merupakan asas satu-satu organisasi. Hal ini sejalan dengan hasil sidang tanwir pada 1983, bahwa Muhammadiyah menerima Pancasila dengan tidak mengubah asas Islam. Dalam pasal 1 tentang identitas Muhammadiyah ditekankan bahwa “Persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah”.

            Partai politik Islam, yang diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila pada muktamar ke-1 1984 tanpa melalui proses yang berlarut-larut. Setahun berikutnya, melalui SK No. 798/KPTS/10/1985, gambar Ka’bah sebagai lambang partai diganti dengan bintang bersudut lima. Pergantian dan perubahan itu menjadikan PPP sebagai “partai terbuka”, dan seharusnya juga menerima non-muslim menjadi anggota dan kader-kader partai. Slogan dalam setiap kampanye, bahwa “orang Islam wajib memilih Ka’bah” pada gilirannya tidak dapat digunakan lagi.

            Persoalan asas tunggal Pancasila juga merembet pada organisasi kemahasiswaan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menerima Pancasila sebagai asas organisasi dengan proses yang sangat alot, pada 1985. Keputusan itu menimbulkan pertentangan di kalangan kader HMI. HMI pun pecah menjadi dua; HMI Dipo (Diponegoro—yaitu Jalan Diponegoro) dan HMI MPO (Majelis Penyelat Organisasi). Adapun Pelajar Islam Indonesia (PII), secara bulat menyuarakan tidak menerima asas tunggal Pancasila, sehingga keberadaannya secara formal tidak diakui pemerintah.

Intervensi Orde Baru dalam penetapan Pancasila sebagai asas tunggal bagaikan “mesin buldozer” yang “menggusur” asas Islam bagi kelompok-kelompok nasionalis muslim. Secara sistematis, Orde Baru memisahkan agama (Islam) dari negara dengan disertai upaya meyakinkan kalangan nasionalis muslim bahwa Pancasila menjamin kehidupan beragama.[79] Kalangan nasionalis muslim “dipaksa” menerima Pancasila.

Gambaran politik tersebut jelas membuktikan bahwa kalangan nasionalis muslim terpecah dalam menghadapi kebijakan Orde Baru, khususnya terkait dengan penetapan asas tunggal Pancasila. Pertama, kalangan yang mengatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Karena itu, Pancasila harus dilaksanakan dan diamalkan dengan sungguh-sungguh. Kedua, kalangan yang mengatakan bahwa agama diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Sebab itu, agama tidak boleh dikesampingkan dalam menegakkan Pancasila.[80] Atau, dalam bahasa lain, pada kurun waktu itu, kalangan nasionalis muslim terbelah dalam dua kubu dengan populasi yang lebih bervariasi. Yaitu, kalangan integrasionis konformis, yaitu para elite muslim bersedia masuk ke dalam pemerintahan dan menjadi bagian Golkar, dan kalangan integrasionis non-konformis, yaitu para elite muslim yang hanya mau duduk di dalam kepengurusan partai Islam. Dan, kalangan isolasionis konformis, yaitu mereka tidak percaya kepada lembaga keislaman yang mapan maupun kepada arus utama politik namun menerima sistem sosial dan pemerintahan, dan isolasionis non-komformis yaitu mereka yang menolak lembaga keislaman dan arus utama politik serta sistem sosial dan pemerintahan.[81]

Hubungan kalangan nasionalis muslim dan sekuler (Orde Baru) kemudian berubah pada awal hingga akhir periode 1990. Periode ini meninggalkan masa-masa “menegangkan” antara keduanya. Orde Baru mulai “merangkul” aspirasi kalangan nasionalis muslim. Begitu juga mereka bersedia bekerja sama dan menjadi bagian pemerintah Orde Baru. Artikulasi yang dilakukan mereka menampilkan struggle with in atau “bekerja dari dalam (negara)”.[82]

Hubungan keduanya bersifat akomodatif atau integratif simbiosis,[83] yaitu hubungan yang saling memahami, menyempurnakan, melengkapai, dan menguntungkan, dan menghindari ketegangan dan konflik antarkedua pihak. Keduanya menjalin hubungan yang serasi dan harmonis. Kalangan nasionalis tidak lagi dianggap sebagai ancaman bagi Orde Baru, dan pemerintahan Orde Baru tidak menjadi penghambat islamisasi di Indonesia.

Hubungan semacam itu tampak jelas pada sikap Orde Baru yang semakin responsive terhadap umat Islam. Buktinya, pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan yang sejalan dengan kebutuhan umat Islam. Setidaknya ada empat jenis bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah semakin akamodatif.[84] Pertama, akomodasi struktural yang dibuktikan semakin banyak pemikir dan aktivias Islam ke dalam struktur lembaga politik. Mereka masuk dalam lembaga politik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Misalnya, mereka mengalihkan dukungannya kepada Golkar dan kemudian bersedia menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan di MPR RI.[85] Mereka juga masuk dalam pemerintahan, khususnya menjadi menteri. Beberapa menteri berasal dari kalangan aktivis HMI seperti Akbar Tanjung, Abdul Latief, Mar’ie Muhammad, danTarmizi Taher. Yang lainnya seperti Saadillah Mursid, Azwar Anas, Syarifuddin Baharsyah, dan Saleh Afiff. Menteri-mentei lainnya juga dikenal dekat dengan Islam, Yogie S. Memet, Sujudi, dan Ibrahim Hasan yang acapkali menjadi mubalig dalam acara-acara pengajian. Inilah gejala politik yang disebut “priyayisasi santri”, yaitu masuknya orang-orang berlatar belakang keagamaan “santri” ke dalam pemerintahan dan “santrisasi priyayi” yaitu peningkatan pemahaman dan pengamalan keagamaan pejabat-pejabat negara. [86]

Akomodasi struktural juga ditandai pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)[87], yang berasal dari inisiatif pemerintah Orde Baru. Wadah para cendekiawan muslim ini terbentuk secara resmi melalui forum ilmiah “Simposium Nasional Cendekiawan Muslim Membangun Masyarakat Abad XXI” di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, pada 6-8 Desember 1990. Forum ilmiah nasional ini dibuka langsung Presiden Soeharto, dan ditutup oleh Wakil Presiden Sudharmono, yang dihadiri beberapa menteri. Pendirian ICMI didukung sejumlah cendekiawan muslim bergelar gurubesar dan doktor. Melalui organisasi kecendekiawanan ini, tokoh-tokoh Islam, baik di dalam maupun di luar birokrasi pemerintahan Orde Baru bertemu. “Aliansi” itu pun dinilai oleh banyak kalangan, baik dalam bentuk sambutan hangat, maupun nada skeptis.

Kedua, akomodasi legislatif, yaitu adanya beberapa produk undang-undang yang disahkan lembaga legislatif (DPR) yang mengakomodasi kepentingan umat Islam. Misalnya, Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN). Awalnya, kelompok nasionalis muslim menentang keras beberapa pasal yang dianggap merugikan kepentingan pendidikan Islam. Melalui lobi yang terus-menerus, UUPN akhirnya diberlakukan pada 1989. Pendidikan agama diakui sebagai subsistem pendidikan nasional dan pengajaran agama wajib diajarkan pada instansi-instansi pendidikan dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hampir bersamaan, terjadi juga penghapusan pelarangan penggunaan pakaian muslimah di sekolah-sekolah umum, pembentukan Badan Amil Zakaf, Infaq dan Shadaqah (BAZIS), penghapusan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Perkembangan positif itu terus berlanjut. Beberapa bulan berikutnya, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) disahkan menjadi UUPA. RUUPA itu diajukan Departeman Agama, melalui Munawir Sjadzali selaku menteri agama, ke DPR RI. Pengesahan RUUPA ini mengokohkan status dan fungsi peradilan agama di lingkungan Departemen Agama dalam memutuskan masalah perkawinan, warisan, dan wakaf yang disengketakan umat Islam. Pengadilan agama memiliki kekuatan hukum lebih mengikat dan berhak melaksanakan keputusan-keputusannya sendiri. Dengan demikian, kepastian hukum bagi umat Islam lebih terjamin,dalam arti sesuai pada hukum-hukum yang bersumber dari Islam.

Proses pembahasan RUUPA menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pro dan kontra tentang RUUPA berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kalangan nasionalis sekuler dan non-muslim berusaha menggagalkan pembahasan RUU tersebut. Pembahasan RUUPA dikaitkan dengan penegakan kembali Piagam Jakarta yang dapat “mengganggu” asas tunggal Pancasila. Dalam pernyataannya, Soeharto dengan tegas menyebutkan, RUUPA tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta. Setelah pernyataan dari Soeharto, pembahasan RUUPA berjalan lebih mulus, dan setelah enam bulan, RUU itu disahkan menjadi.

Ketiga, akomodasi infrastruktural, yaitu kesediaan Orde Baru membentuk, mengembangkan, dan menggalakkan upaya-upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kalangan Islam. Pemerintah Orde Baru merangkul kelompok nasionalis muslim melalui program-program sosial dan ekonomi yang sangat dibutuhkan umat Islam. Misalnya, program seribu dai ke daerah-daerah terpencil. Soeharto mempersiapkan dai-dai berkompeten untuk dikirim dan disebar ke daerah-daerah yang dihuni sebagian besar transmigran. Kedua program ini, oleh kalangan nasionalis muslim, dianggap mendorong islamisasi di Indonesia. Begitu pula pembentukan Yayasan Amal Bakti Muslim Indonesia (YABMP). Melalui YABMP, Soeharto membangun ratusan masjid di pelosok-pelosok di penjuru tanah air. Sampai 1992, YABMP telah membangun 439 masjid, kemudian pada 1994 bertambah menjadi 634 masjid. Melalui YABMP pula, Soeharto melakukan pengadaan ribuan al-Qur’an. Pada 1988, YABMP menyediakan pengadaan 192.000 al-Qur’an, dan pada 1993 melonjak menjadi 622.557 al-Qur’an.  Di bidang ekonomi, untuk pertama kalinya di Indonesia, pemerintah Orde Baru mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991. Pendirian bank tanpa bunga ini sebenarnya diprakarsai Majelis Ulama Indonesia (MUI),  yang diawali dari lokakarya di Bogor, Jawa Barat, dan dimatangkan pada Munas MUI (1990). Untuk merealisasikan rencana itu, MUI melobi beberapa pejabat pemerintah. B.J. Habibie selaku menteri riset dan teknologi merespon positif rencana itu. Dukungan juga diberikan Soeharto. Dalam waktu singkat, sekitar dua bulan, dana untuk pendirian BMI terkumpul 64,1 miliar—sumbangan Soeharto sebesar 3 miliar, dan dengan dana itu berdirilah bank syariah yang menjadi pionir bagi pendirian bank-bank syariah pada masa selanjutnya.

Dan keempat, akomodasi kultural, yaitu penerimaan Orde Baru terhadap idiom-idiom Islam ke dalam kotakata instrumen-instrumen politik dan ideologi negara. Akomodasi semacam ini dibuktikan dengan jelas dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal di Jakarta pada 1991 dan 1995. Melalui festival ini, berbagai ekspresi kebudayaan ditampilkan. Karya-karya seni, arsitektur, kaligrafi, film, musik, dan tari yang bernuansa islami digelar dan dipamerkan. 

3. Agama dan Negara di Indonesia pada Orde Reformasi

3.1. Kompetisi Politik Terbuka: Antusiasme Partai-Partai Politik Islam

            Antuasiaisme politik pasca Soeharto dipicu dari romantisme sejarah politik tahun 1950-an. Hampir serupa dengan peserta pemilu 1955, partai politik peserta pemilu 1999 dapat dikelompokkan empat kategori; partai berbasis keagamaan, partai religius demokratis, partai nasional pragmatis, dan partai nasionalis demokratis. Namun, pada dasarnya, partai-partai yang berdiri pasca Orde Baru dapat dibagi secara ideologis menjadi dua kelompok besar; partai nasionalis agama dan nasionalis sekuler.[88] Partai-partai itu saling berkompetesi dan berebut suara dari para pemilih. Partai-partai nasionalis agama (Islam) tidak hanya vis-à-vis dengan partai-partai nasionalis sekuler, tetapi juga berhadapan dengan partai-partai Islam lainnya.

Partai-partai politik Islam peserta pemilu1999 dapat dirujuk pada peserta pemilu 1955; yaitu Masyumi, NU, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Dari Masyumi terbelah menjadi Partai Masyarakat Baru (PMB), Partai Politik Islam Masyumi (PPIM), Paetai Masyumi Baru, Partai Umat Islam (PUI), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dari tubuh NU terfragmentasi menjadi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Dari PSII lahir partai kembar; PSII dan PSII 1905. Selain “warisan” Orde Lama, peserta pemilu 1999 juga diikuti partai warisan Orde Baru, seperti PPP. Sisanya merupakan partai baru, yaitu Partai Keadilan (PK), Partasi Cinta Damai, Partai Abul Yatama (PAY), Partai Indonesia Baru (PIB), dan lainnya.[89] Selain berdasarkan diri pada ideologi dan simbol keislaman, partai peserta pemilu 1999 juga didasarkan pada basis dukungan umat Islam, misalnya Partai Amanat Nasional, selain PKB tentunya.

            Fenomena itu memperlihatkan bahwa fragmentasi dalam politik Islam pasca Orde Baru tidak lagi berpola klasik antara subkultur tradisionalis versus modernis. Masing-masing subkultur juga mengalami keterbelahan menjadi substansialis dan formalis. Kalangan formalis, sebagaimana labelnya, merupakan kelompok yang menginginkan Islam tetap dijadikan ideologi partai. Kalangan substansialis menginginkan Islam tak perlu lagi diformalkan seperti di Orde Lama, tetapi cukup menjiwai misi dan program partai.

            Realitas politik itu dapat dilihat pada lingkungan NU. Misalnya, kalangan formalis NU membentuk PKU dan PNU, dan kalangan substansialis bergabung dalam PKB. Pengotakan itu juga terjadi pada kaum modernis. Kalangan formalis berramai-ramai membentuk PK, PBB, dan lain-lain, dan kalangan substansialis membentuk partai inklusif model PAN. Bahkan seiring perkembangan waktu, antara subkultur tradisionalis dan modernis telah terjadi “dialog” panjang yang memungkinkan terjadinya proses pendekatan kedua aliran. Apalagi di lingkungan subkultur tradisionalis, banyak lahir pemikir pemimpin berpendidikan tinggi, sehingga pola pikir mereka tidak layak disebut sebagai tradisionalis. Fenomena ini menyebabkan sebagian kalangan enggan memilah kaum santri dalam dua subkultur tradisionalis dan modernis.[90]

            Setelah melalui persaingan yang sangat ketat, sama dengan hasil pemilu 1955, partai-partai berideologi Islam dan berbasis massa Islam kalah berhadapan dengan partai nasionalis sekuler seperti PDI Perjuangan—sebagai jelmaan PNI pada pemilu 1955. Hal ini dapat dilihat dari berikut yang menunjukkan partai-partai peraih kursi dan suara pada pemilu legislatif 1999 yang disahkan KPU Pusat, sesuai urutan; PDI Perjuangan (154 kursi/35,689.073  [33.74] suara), Partai Golkar (120 kursi/23.741.740 [22.44%] suara), PPP (59 kursi/11.329.905 [10.71% ] suara), PKB (51 kursi/13.333.982 [12.61% ] suara), PAN (35 kursi/7.528.956 [7.12% ] suara), PBB (13 kursi/2.049.709 [1.94% ] suara), PK (7 kursi/1.436.565 [1.36% ] suara), PNU (5 kursi/679.179 [0,64% ] suara), dan partai-partai lainnya yang hanya memperoleh 1-2 kursi.[91]

            Kekalahan partai kalangan nasionalis muslim itu berlanjut pada pemilu legislatif 2004. Menurut data yang dikeluarkan KPU Pusat, ada tujuh partai besar yang berhasil memperoleh kursi/suara dalam pemilu legislatif 2004. Yaitu, sesuai urutan; Partai  Golkar (128 kursi/24.480.757 [21.58%] suara), PDI Perjuangan (109 kursi/21.026.629 [18,53%] suara), PKB (52 kursi/11.989.564 [10,57%] suara), PPP (58 kursi/9.248.764 [8,15%] suara), Partai Demokrat (57 kursi/8.455.225 [7,45%] suara), PKS (45 kursi/8.325.020 [7,34%] suara), dan PAN (25 kursi/7.303.324 [6,44%] suara).

Nasib serupa juga terjadi pada pemilu legislatif 2009. Data yang dikeluarkan KPU Pusat membuktikan kekalahan partai kalangan nasionalis muslim. Berikut sembilan partai besar yang berhasil lolos dari parliamentary threshold dan memperoleh kursi/suara pada pemilu legislatif 2009, sesuai urutan; Partai Demokrat (150 kursi/21.703.137 [ 20,85 %] suara), Partai Golkar (107 kursi/15.037.757 [14,45 %] suara), PDI Perjuangan (95 kursi/14.600.091 [14,03%] suara), PKS (57 kursi/8.206.955 [7,88%] suara), PAN (43 kursi/6.254.580 [6,01%] suara), PPP (37 kursi/5.533.214 [5,32%] suara), PKB (27 kursi/5.146.122 [4,94%] suara), Partai Gerindra (26 kursi/4.646.406 [4,46%] suara), dan Partai Hati Nurani Rakyat—Hanura (18 kursi/3.922.870  [3,77%] suara). Lihat KPU Pusat, yang dipublikasikan pada Sabtu, 9 Mei 2009.

Pada pemilu legislatif 2014 juga menunjukkan data yang sama pada pemilu-pemilu sebelumnya. Partai kalangan nasionalis muslim juga mengalami kekalahan. Berikut data yang disahkan KPU Pusat, yaitu PDI Perjuangan (109 kursi/23.681.471 [18,95%] suara), Partai Golkar (91 kursi/18.432.312 [14,75%] suara), Partai Gerakan Indonesia Raya—Gerindra (73 kursi/14.760.371 [11,81%] suara), Partai Demokrat (61 kursi/12.728.913 [10,19%] suara), PKB (47 kursi/11.298.950 [9,04%] suara), PAN (49 kursi/9.481.621 [7,59%] suara), PKS (40 kursi/8.480.204 [6,79%] suara), Partai Nasdem (35 kursi/8.402.812 [6,72%] suara), PPP (39 kursi/8.157.488 [6,53%] suara), dan Partai Hati Nurani Rakyat—Hanura (16 kursi/6.579.498 [5,26%] suara). Ada dua partai peserta pemilu 2014 yang tidak memperoleh kursi: PBB (0 kursi/1.825.750 [1,46%] suara), dan PKPI (0 kursi/1.143.094 [0,91%] suara).

Secara umum, dari pemilu legislatif 1999, 2004, 2009, hingga 2014, partai berideologi Islam dan berbasis umat Islam tidak pernah berada di urutan pertama dalam perolehan suara maupun kursi. Sama dengan pemilu 1955, partai-partai kalangan nasionalis muslim ini dikalahkan partai-partai nasionalis sekuler. Dari empat pemilu itu, partai berideologi Islam diwakili PPP, PKS—yang sebelumnya PK, dan PBB. Karena tidak lolos ikut pemilu 2004, PK berubah menjadi PKS. PBB, yang merupakan ‘reinkarnasi Masyumi, malah tidak meraih kursi pada pemilu 2014. Artinya, dalam empat kali pemilu, partai berideologi Islam diwakili PPP dan PKS. Adapun partai berbasis umat Islam diwakili PKB dan PAN. Dengan demikian, dari pemilu 1999 hingga 2014, ada empat partai dari kalangan nasionalis muslim yang bertahan; yaitu PPP, PKS/PK (ideologis Islam), PKB, dan PAN (berbasis umat Islam). Bila ditelisik sejarah pemilu 1955, maka PPP dan PKB dapat dikatakan diidentikkan partai tradionalis (NU), dan PKS/PK dan PAN dapat diidentikkan dengan partai modernis (Masyumi). Yang jelas, partai-partai ini “teruji” dalam masa-masa transisi yang penting dalam kehidupan berpolitik di Indonesia.

 

3.2. Dari Persimpangan Reformasi: Penegakkan Khilafah Islamiyah di Indonesia

            Selain memunculkan partai-partai politik Islam yang semakin marak, Orde Reformasi juga melahirkan gerakan-gerakan keagamaan yang berpegang teguh untuk menegakkan syariat Islam, dan bahkan cenderung ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Kemunculan mereka terus meluas dan bertambah secara endemik.[92] Fenomena di era keterbukaan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan Islam—di luar partai politik, yang pernah terjadi pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.  

Keberadaan kelompok-kelompok ini yang marak pasca Orde Baru bisa dimaklumi karena di masa reformasilah mereka bisa secara bebas muncul dan menyuarakan keinginan mereka. Mereka lebih tegas dala menyuarakan penerapan syariat Islam atau mendirikan negara Islam.[93] Dengan kenyataan seperti itu, reformasi sebenarnya telah memberi jalan terbuka munculnya kelompok-kelompok Islam ini. Reformasi menjadi pijakan konstitusional untuk menyalurkan suara-suara mereka.

Dengan menyuarakan ide-ide dan kepentingan untuk penerapan syariat dan pendirian negara Islam di Indonesia, masyarakat mencitrakan gerakan mereka cukup fundamentalis, dan bahkan radikalis. Kendati demikian, perlu dijelaskan dalam pembahasan ini bahwa istilah ‘radikal’ sebenarnya tidak sepenuhnya mampu menggambarkan fenomena ini. Selain “fundamentalis dan radikalis”, kelompok ini mendapat cap bermacam-macam dari masyarakat, antara lain, revivalis, ekstremis, fanatis, militan, dan bahkan teroris. Hal itu merupakan akumulasi dari kesatuan kompleksitas dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Untuk itu, gerakan ini tidak dipungkiri memiliki tempat tersendiri dalam diskursus sosial politik kontemporer di Indonesia.

            Secara umum, gerakan-gerakan Islam itu didasarkan pada beberapa ideologi.[94] Pertama, mereka berpandangan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif dan bersifat total, yang mengatur pandangan hidup. Karenanya, bagi kelompok ini, Islam sebagai wahyu Ilahi tidak bisa dipisahkan dari masalah-masalah kehidupan politik, hukum, dan masyarakat. Islam mengatur kehidupan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.

Kedua, mereka menolak dengan tegas ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materialistis, yang tentu saja bertentangan dengan Islam. Menurut mereka, masyarakat muslim, termasuk di Indonesia, telah berpaling mengikuti ideologi Barat yang sekuler dan materialistis itu. Untuk itu, mereka telah gagal membangun masyarakat ideal.

Ketiga, mereka mengajak para jamaahnya untuk ‘kembali kepada Islam. Ajakan ini dimaksudkan agara para pengikutnya bisa melakukan perubahan sosil yang dilandaskan sepenuhnya kepada ajaran-ajaran Islam yang otentik dan murni, yaitu kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi.

Keempat, mereka menolak peraturan-peraturan dari tradisi Barat—sebagai warisan kolonialisme, yang berkembang di dalam masyarakat muslim. Penolakan ini sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap ideologi Barat. Untuk mengganti peraturan-peraturan dari Barat itu, mereka menginginkan penegakan hukum (syariat) Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang dijalankan.

Kelima, mereka menerima modernisasi, sains dan teknologi—dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama dan tidak merusak kebenaran yang sudah final. Mereka menentang penyimpangan-penyimpangan abad modern. Dalam konteks sains dan teknologi, kelompok ini menggunakannya sebagai alat atau ‘senjata’ untuk memperkuat basis sosial masyarakat Islam dan bahkan menjadi alat untuk melawan Barat. Sekali lagi, hal ini sebagai konsekuensi logis atas penolakan mereka terhadap ideologi Barat. Namun, pada sisi lain, mereka cenderung tetap mengagung-agungkan kejayaan Islam di masa lalu.

Keenam, mereka menekankan pentingnya aspek pengorganisasian ataupun pembentukan kelompok yang kuat untuk mewujudkan proses-proses islamisasi di dalam masyarakat muslim, termasuk di Indonesia. Meski organisasi atau kelompok mereka kecil, namun karena dibangun di atas fondasi ideologi yang kuat dan didukung anggota kelompok yang terdidik dan terlatih, maka upaya-upaya islamisasi diyakin bisa terwujud.

Dengan keenam landasan ideologi tersebut, gerakan-gerakan Islam yang berkembang di Indonesia berupaya menggantikan negara NKRI menjadi negara Islam. Mereka ingin menjalankan syariat Islam secara kaffah di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa gerakan-gerakan Islam semacam itu bermunculan bersamaan dengan masa-masa keterbukakan pasca Orde Baru. Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan Islam yang cenderung fundemantalis, radikalis, bahkan dikaitkan dengan kekerasan. Pertama, faktor internal, yaitu terjadinya transformasi doktrin dan pemahaman keagamaan di kalangan mereka. Kedua, faktor eksternal, yaitu perkembangan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, baik dalam skala domestik maupun internasional.[95]

Kedua faktor ini saling terkait, yang dimulai pada awal tahun 1980-an. Saat itu, kalangan generasi muda muslim mulai bersemangat melihat kembali kepada Islam. Antusiasme dan gairah mereka tidak lepas dari perkembangan sosial politik yang berkembang di beberapa dunia Islam, terutama pasca Revolusi Islam di Iran. Pada saat yang sama juga tersebar buku-buku bacaan keagamaan yang ditulis beberapa intelektual Islam yang berpandangan radikal, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Abu al-A’la al-Maududi, hingga Yusuf al-Qaradhawi. Faktor ini juga muncul karena ketertindasan umat Islam di beberapa negara, seperti Palestina dan Afghanistan. Tindakan dan perilaku Israel terhadap Palestina yang tidak seimbang memicu munculnya sikap solidaritas internasional umat. Sentimen ketidakadilan atas sikap dunia Barat terhadap Israel terhadap Palestina tidak seimbang dengan sikap dan tanggapan yang keras kepada Irak. Tidak mengherankan jika masalah Palestina salah satu faktor solidaritas yang dapat menimbulkan sikap radikal. Jadi, isu solidaritas terhadap penderitaan umat Islam di belahan bumi lain juga faktor yang penting dalam menumbuhkan sikap radikalisme.[96]Perang Afghanistan juga mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama kelompok-kelompok Islam dari beberapa negara Islam untuk memerangi tentang Soviet. Momentun peperangan di Afghanistan menjadi ladang subur untuk bertemu dengan berbagai organisasi atau aliran keagamaan, misalnya kelompok Wahhabi atau Ahl al-Hadits, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbul Islam. Dari interaksi itu, mereka terinspirasi dan menimba banyak ilmu, termasuk tentang kemiliteran.

Dari sisi teologis, kelompok ini diinspirasikan oleh pemahaman tekstual agama yang mereka pahami cenderung terlepas dari konteks sosial. Romantisisme kejayaan Islam pada masa lalu pun lebih dilihat sebagai “kejayaan”, bukan diletakkan kepada konteks sosial dunia global pada saat itu. Dalam hal ini, mereka memposisikan diri sebagai kaum “benar” yang “tertindas”, sehingga cara untuk mendudukan yang “benar” dalam posisi yang “seharusnya” (kekuasaan politik) adalah menentang pemerintahan yang ada. Oleh sebab itu, kelompok ini tidak “bermain” dalam sistem politik yang berlaku, karena bila menggunakan struggle with in mereka menganggap juga turut memberikan pembenaran terhadap pemerintahan yang ada.

Dilihat dari sisi kesejarahan, munculnya gerakan-gerakan Islam semacam itu di Indonesia sebenarnya bukanlah fenomena baru. Pada masa kemerdekaan, kemunculan gerakan semacam ini ditandai dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kemudian muncul kembali pada masa Orde Baru, dengan beberapa peristiwa di daerah-daerah karena dipicu oleh hasil ketidakpuasan atau ketidakselarasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang justri menyudutkan umat Islam, sebagaimana dipaparkan sebelumnya.

Gerakan-gerakan itu berlanjut setelah kran kebebasan terbuka selebar-lebarnya pada 1998. Beberapa kelompok tersebut, antara lain, Jamaah Salafiah, Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI), Laskar Jihad, dan Gema Pembebasan. Masing-masing kelompok memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda, dan juga ada persamaannya.

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), misalnya, memilih untuk melakukan advokasi pengimplentasian syariat Islam di Indonesia dengan membangun wacana publik lewat tulisan-tulisan, baik penerbitan, media massa maupun internet. Mereka juga aktif bergerak melalui lobi-lobi politik ke partai-partai politik Islam untuk memperjuangkan Piagam Jakarta lewat sidang-sidang parlemen. Sebagai ajang sosialisasi, MMI juga aktif melakukan seminar-seminar, baik di lingkungan kampus ataupun masjid-masjid tentang pelaksanaan syariat di Indonesia. Dengan sikap politik dan juga akademis, MMI seringkali berbeda pandangan dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad. Secara ide mereka bertemu, namun mereka berbeda dalam penerapannya.[97] Gerak-gerik MMI itu dapat dipahami sebagai gambaran mengenai tujuannya agar syariah Islam dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam pemerintahan nasional maupun internasional.

Hal tersebut berbeda dengan FPI[98] yang dari awal sudah bertujuan sebagai kelompok pemberantas maksiat. Sebagai implementasi —dan juga penafsiran— amar ma’ruf nahi munkar, FPI kerapkali mendatangi tempat-tempat maksiat, seperti rumah hiburan malam, lokalisasi pelacuran, kafe-kafe minuman keras, dan sebagainya, untuk melakukan penutupan secara paksa, bahkan beberapa kali melakukan pengrusakan. FPI lahir atas keprihatinan para pendirinya melihat kemaksiatan dan kemungkaran yang semakin marak di Indonesia. Untuk itu, penamaan yang dipilih menggunakan kata “pembela” Islam. Menurut Habieb Rizieq Syihab, da’i muda pimpinan FPI, umat Islam dan nilai-nilai Islam perlu dibela, sehingga motto yang terpatri bagi gerakan mereka adalah “Hidup Mulia atau Mati Syahid”.

Kelompok yang secara tegas ingin mewujudkan khilafah islamiyah melalui “jalur” politik adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).[99] Pemaknaan “jalur” ini bukan dimaksudkan masuk dan berjuang melalui sistem politik yang ada di Indonesia, namun menyatakan dirinya sebagai partai politik yang merupakan subsistem dari kepentingan politik internasional. Sejak dideklarasikan pertama kali, HTI memang merupakan turunan dari Hizbut Tahrir yang berpusat di Palestina. Kendati menyatakan sebagai organisasi politik, HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai partai politik yang mengikuti pemilu. Untuk itu, jelas, HTI memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan partai-partai politik Islam yang ikut andil dalam pemilu.

Gerakan-gerakan tersebut, khususnya yang berkembang di tengah suasana eforia kebebasan, jelas berideologi dengan basis ajaran agama (Islam). Gerakan ini bersumber dari gagasan keagamaan Islam. Sebenarnya pada periode yang sama, di Indonesia terdapat gerakan-gerakan lainnya yang cenderung berideologi dengan basis non-agama (sekuler). Dalam kategori ini terdapat empat kelompok gerakan, yang jelas-jelas bersumber pada pemikiran Barat.

Gerakan-gerakan berideologi sekuler itu pada dasarnya memiliki aspek spektrum yang luas; mulai dari ideologi berbasis pemikiran kanan hingga kini. Masing-masing kategori memiliki varian yang saling berbeda, dan bahkan saling bertentangan. Gerakan kalangan kiri radikal di Indonesia, misalnya, bisa dilihat pada berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sedangkan kalangan kiri moderat umumnya tumbuh di kalangan gerakan mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka menjadi bagian dari gerakan kiri internasional. Adapun gerakan-gerakan yang berideologi kanan dapat dibedakan antara kanan-konservatif dan kanan-liberal.[100]

Di tengah arus keterbukaan pasca Orde Baru, gerakan-gerakan berideologi Islam dan berideologi sekuler berebut mendapatkan simpati masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam.  

 

Daftar Bacaan

Abdullah, Masykuri, Islam dan Demokrasi: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015.

Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1419.

Alam, Wawan Tunggul, ed., Bung Karno: Demokrasi Tertpimpin Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato) Jakarta: Gramedia, 2001.

-----, Bung Karno: Menggali Pancasila (Kumpulan Pidato), Jakarta: Gramedia, 2000

Al-Brebesy, Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur & Amien Rais tentang Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Ali, As’ad Said, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis, Jakarta: LPS3ES, 2013.

Ali, Fachry dan Iqbal Abdurrauf Saimima, “PPP, Merosotnya Aliran dalam Persatuan Pembangunan”, dalam Farchan Bulkian (pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1988.

Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003.

Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, Desember 1995

Azra, Azyumardi, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000.

Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Bulkian, Farchan (pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1988,.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998.

Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Fauzi, Nasrullah Ali-, dkk., ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, 1995.

Haq, Prof. Dr. Hamka, MA, Pancasila 1 Juni & Syariat Islam Jakarta: RMBooks, 2011.

Hatta, Mohammad, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 Jakarta: Tintamas, 1969.

Husaini, Dr Adian, Pancasila Bukan untuk Menindasa Hak Konsitusional Umat Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009.

Indra, Muhammad Ridhwan dan Sophian Marthabaya, Peristiwa-peristiwa di Sekitar Proklamasi, Jakarta: Sinar Grafika, 1987

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2004

Jenkis, David, Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983, Ithaca: Monograph Series, Publication No. 64, Cornell Modern Indonesian Project, Cornell University, 1984.

Jurdi, Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilfah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

K.H., Ramadhan dan G. Dwupayana, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta: PT Citra lamtoro Gung Persada, 1989.

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

-----, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang-Surut, Jakarta: Rajawali Press

Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Lubis, M. Ridwan, Sukarno & Modernisme Islam, Depok: Komunitas Bambu, 2010

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996.

Mashad, Dhurorudin, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008)

Mubarak, M. Zaki, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.

Muhammad, Abrar, ICMI dan Harapan Umat, Jakarta: YPI Ruhama, 1991.

Natsir, M., Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Da’wah, 1422/2001.

-----, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta: LP3ES, 1982.

-----, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984.

-----, Partai Islam di Pentas Nasional Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 Bandung: Mizan, 2000.

Salim GP, Arskal, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1999

Sitompul, Einar, NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1992.

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid I

Soekarno, Lahirnja Pantja-Sila dan Undang-Undang Dasar 1945 Berikut Piagam Djakarta, Djakarta-Bandung-Semarang, Tridaja, t.t.

Suhelmi, Ahmad, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkranasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1420/1999

Syam, Firdaus, MA, Amien Rais: Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, November 2003.

Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dan Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2000.

-----, Islam dan Politik: Era Orde Baru, Ciputat: Logos, 2001

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005

Thalib, M. dan Haris Fadjar, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Dialog Soekarnoo Hasan, Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1988

Tjokrosujoso, Abikusno, Umat Islam Indonesia Menghadapi Pemilihan Umum, Jakarta: Endang, t.t.

Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.

Yamin, Moh., Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar I-III, Jakarta: Jajasan Prapanca, 1959.

Yatim, Badri, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, Ciputat: Logos, 1999.



[1] Baca Maswadi Rauf, “Islam dan Politik: Sebuah Debat yang tidak Pernah Selesai” dalam pengantar buku Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkranasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1420/1999), viii.

[2] Pergulatan ideologis antara dua kelompok ini dapat dipahami munculnya silang pendapat yang berkepanjangan antara tokoh-tokoh nasionalis muslim seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler seperti Soekarno dan Tjipto Mangungkusumo. Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkranasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1420/1999), 4.

[3] Baca Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid I, 369-493.

[4] Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara?” dalam Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid I, 405.

[5] M. Thalib dan Haris Fadjar, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Dialog Soekarno-Hasan, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1988), 10-11.

[6] Mengenai pandangan Soekarno tentang Islam, baca M. Ridwan Lubis, Sukarno & Modernisme Islam, (Depok: Komunitas Bambu, 2010) dan Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Ciputat: Logos, 1999).

[7] Soekarno, Lahirnja Pantja-Sila dan Undang-Undang Dasar 1945 Berikut Piagam Djakarta, (Djakarta-Bandung-Semarang, Tridaja, t.t.), 20. Tentang pidato-pidato Soekarno yang membahas Pancasila secara lengkap, baca Wawan Tunggul Alam, ed., Bung Karno: Menggali Pancasila (Kumpulan Pidato) (Jakarta: Gramedia, 2000 dan Wawan Tunggul Alam, ed., Bung Karno: Demokrasi Tertpimpin Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato) (Jakarta: Gramedia, 2001).

[8] Disebutkan A. Muchlis adalah M. Natsir, pada waktu belum dikenal banyak orang.

[9] Tulisan-tulisan Natsir tentang persatuan agama (Islam) dan negara dapat dibaca pada M. Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), khususnya dalam Bagian V “Persatuan Agama dengan Negara”, 431-489. Dengan judul sama, tulisan-tulisan ini dimuat ulang dalam M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Media Da’wah, 1422/2001), khususnya Bagian Ketiga, 75-114.

[10] M. Natsir, “Arti Agama dalam Negara” dalam Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 436-437 dan M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Media Da’wah, 1422/2001), 78-79.

[11] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), 338-339

[12] Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar I-III, (Jakarta: Jajasan Prapanca, 1959), 115.

[13] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 28.

[14] Soekarno, Lahirnja Pantjasila, 21.

[15] Ibid., 21.

[16] Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tinta Mas, 1978), 20.

[17] Anshari, Piagam Jakarta, 29-30.

[18] Ibid., 29.

[19] Ibid.

[20] Ibid., 33.

[21] http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/religi-nusantara/16/06/04/o86dip385-kiprah-ajengan-ahmad-sanusi-dan-kh-wahid-hasyim-dalam-sidang-bpupki-part2

[22] Anshari, Piagam Jakarta, 41.

[23] Ibid., 42

[24] Ibid., 47.

[25] Hatta, Memoir, 458. Baca juga Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Mizan, 2000), 42.

[26] Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta: Tintamas, 1969), 58-59.

[27] Hatta, Memoir, 459. Lihat pula Prof. Dr. Hamka Haq, MA, Pancasila 1 Juni & Syariat Islam (Jakarta: RMBooks, 2011), 37.

[28] Muhammad Ridhwan Indra dan Sophian Marthabaya, Peristiwa-peristiwa di Sekitar Proklamasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), 183.

[29] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 91.

[30] Hatta, Sekitar Proklamasi, 59.

[31] Abikusno Tjokrosujoso, Umat Islam Indonesia Menghadapi Pemilihan Umum, (Jakarta: Endang, t.t.), 11

[32] Anshari, Piagam Jakarta, 53.

[33] Muhammad Yamin dan A.A. Maramis, dua wakil nasionalis kebangsaan tidak diundang untuk mengikuti persidangan Panitia Persiapan, sebagaimana Abikoesno, Agus Salim, dan A. Kahar Muzakkir. Dua wakil Islam yang diundang, yakni Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikoesoemo, mendapat tekanan psikologis untuk membahas finalisasi perubahan itu. Namun, perlu diperhatikan Kasman Singodimedjo baru menjadi anggota tambahan saat pagi hari menjelang sidang, dan ia bukan anggota BPUPKI, sehingga tidak menguasai proses perubahan itu. Sementara, Ki Bagus Hadikoesoemo bukan wakil pendantangan Piagam Jakarta, sehingga ia mendapat tekanan psikologis yang besar mewakili eksponen perjuangan Islam. 

[34] Dr Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindasa Hak Konsitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2009), 50-51. 

[35] Effendy, Islam dan Negara, 104 dan 107.

[36] Noer, Partai Islam, 285.

[37] Effendy, Islam dan Negara, 109.

[38] Ibid., 286-287.

[39] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru, (Ciputat: Logos, 2001), 46

[40] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), 185.

[41] Effendy, Islam dan Negara, 110-111

[42] Maarif, Islam dan Pancasila,187.

[43] Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur & Amien Rais tentang Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, November 1999), 44.

[44] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 20 dan 240.

[45] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, Desember 1995),  ix. Sedangkan Thaba menyebut hubungan itu berlangsung antara 1967-1982. Lihat Thaba, Islam dan Negara, 20 dan 240.

[46] Effendy, Islam dan Negara, 3 dan 111.

[47] Kajian secara rinci dan utuh bisa dilihat dalam Abdullah, Islam dan Demokrasi.

[48] M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).

[49] Lihat bahasan lengkap dalam Syamsuddin, Islam dan Politik.

[50] Karim, Negara dan Peminggiran, 94-96.

[51] Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 144-146.

[52] Syamsuddin, Islam dan Politik, 152.

[53] Effendy, Islam dan Negara, 116.

[54] Thaba, Islam dan Negara, 246 dan Syamsuddin, Islam dan Politik, 34.

[55] Dr. M. Din Syamsuddin, Etika Agama dan Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), 17.

[56] Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, (Jakarta: Teraju, 2005), 186.

[57] Ibid., 247.

[58] Ibid. Dalam buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 113-114, disebutkan, bahwa Parmusi berdiri pada 20 Februari 1968 di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Hakim—keduanya aktivis Muhammadiyah. Effendy mengutip pernyataannya itu dari buku Kenneth E. Ward, The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia, (Ithca: Modern Indonesian Project, Southeast Asia Program, Cornell Univesity, 1970). Lihat pula Masykuri Abdullah, Islam dan Demokrasi: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Jakarta: Kencana, 2015), 244.

[59] Ibid., 249.

[60] Syamsuddin, Islam dan Politik, 50.

[61] Effendy, Islam dan Negara, 116.

[62] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang-Surut, (Jakarta: Rajawali Press), 168-170.

[63] Thaba, Islam dan Negara, 115.

[64] Fachry Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimima, “PPP, Merosotnya Aliran dalam Persatuan Pembangunan”, dalam Farchan Bulkian (pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1988) 254-255.

[65] David Jenkis, Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983, (Ithaca: Monograph Series, Publication No. 64, Cornell Modern Indonesian Project, Cornell University, 1984), 158.

[66] Ramadhan K.H. dan G. Dwupayana, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT Citra lamtoro Gung Persada, 1989), 369.

[67] Deliar Noer, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), 107.

[68] M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2008), 67.

[69] Effendy, Islam dan Negara,123.

[70] Thaba, Islam dan Negara, 275.

[71] Ibid., 275-276.

[72] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, x. Sedangkan Thaba menyebut hubungan itu berlangsung antara 1967-1982. Lihat Thaba, Islam dan Negara, 26 dan 262.

[73] Lihat Abdurrahman Wahid, “Relasi Kuasa Agama-Negara: Perspektif Historis dan Sosiologis”, dalam SANTRI, no. 04/II/September 1996. Lihat juga, Firdaus Syam, MA, Amien Rais: Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, November 2003),157. Firdaus menyebutkan bahwa hubungan Islam dan Orde Baru berpola interaksi simbiosis.

[74] Syamsuddin, Islam dan Politik, 156.

[75] Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), 145.

[76] Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, 155-157

[77] Ibid., 264.

[78] Einar Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1992), 167-168.

[79] Karim, Perjalanan Partai Politik, 246.

[80] Noer, Islam, Pancasila, 107.

[81] Ibid., 224-225.

[82] Thaba, Islam dan Negara.

[83] Syam, Amien Rais,195.

[84] Lihat penjelasan dan pembahasan rinci Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, terutama hlm.273-310.

[85] Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 226.

[86] Thaba, Islam dan Negara, 321.

[87] Lengkapnya baca M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia.

[88] Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1419), khususnya 14-16.

[89] Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), 9.

[90] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), 17.

[91] Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Maret 2004), 55 dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 450.

[92] Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 120.

[93] Turmudi dan Sihbudi Islam dan Radikalisme, 120.

[94] Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), 4-6.

[95] Mubarak, Genealogi Islam Radikal, 349-351.

[96] Jamhari dan Jahroni, Gerakan Salafi, 18.

[97] Selengkapnya baca Jamhari dan Jahroni, Gerakan Salafi, khususnya 47-84, Turmudi dan Sihbudi Islam dan Radikalisme, 248-261, dan Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilfah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 383-400.

[98] Ibid., khususnya 129-160.

[99] Ibid., khususnya 161-204, Turmudi dan Sihbudi Islam dan Radikalisme, 267-278, dan Jurdi, Pemikiran Politik Islam, 409-220.

[100]As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis, (Jakarta: LP3ES, 2013).


Sumber Lain :

 

·       Tesis-Ilmiah-M-Habib-Rizieq-Shihab-tentang-Pancasila-dan-Penegakan-Syariat-Islam-di-Indonesia-1.pdf (astalog.com)

·         UM Students' Repository

·         ABEL HERDI DESWAN PUTRA-FSH.pdf (uinjkt.ac.id)

·         13210512_Publik.pdf (iiq.ac.id)

·         BAB I.pdf (uinbanten.ac.id)

·         Penjelasan Habib Rizieq soal Tesis Miliknya Terkait Pancasila (detik.com)

·         Pancasila Bukan Penghalang Penerapan Aturan Syariat Islam - Kompas.id

·         57819-ID-perda-berbasis-syariah-dan-hubungan-nega.pdf (neliti.com)

·         Untitled (uii.ac.id)

·         Membaca Pengaruh Pancasila: Dari Sudut Tulisan Habib Rizieq – I (erfansoebahar.web.id)

·         View of REVISITING TRANSFORMATIVE ISLAM (metrouniv.ac.id)

·         The Relevance of Pancasila Values with Islam, Dispelling the Issue of Islam as the Enemy of Pancasila (Study of Contemporary Issues in Islamic Education) | Asrin | International Seminar and Conference on Islamic Studies (ISCIS) (uinsu.ac.id)

·         Menteri Agama RI: Nilai dalam Sila-Sila Pancasila Sejalan dengan Ajaran Semua Agama (lemhannas.go.id)

·         (PDF) Syariat Islam dalam Perspektif Negara Hukum Berdasar Pancasila (researchgate.net)

·         Microsoft Word - peluang dan tantangan pid Islam - 1.docx (pa-unaaha.go.id)

·           (unej.ac.id)

·         FPI, Pancasila dan NKRI Bersyariah (mediaindonesia.com)

·         Bung Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan... - UNUD | Universitas Udayana

·         1163-1458782335.pdf (oaji.net)

·         1255 (uin-suka.ac.id)

·         Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia - Klinik Hukumonline

·         Islam-dan-Ideologi-Pancasila-Sebuah-Dialektika-2012.pdf (uai.ac.id)

·         Legislasi Hukum Islam di Indonesia Studi Formalisasi Syariat Islam (Dr. H. Sahid HM, M.Ag.) (z-lib.org).pdf (situbondokab.go.id)

·         OKE.pdf (ar-raniry.ac.id)

·         Berita BPIP | Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa

·         23.pdf (mahkamahagung.go.id)

·         Kepala BPIP Jelaskan Hubungan Islam dan Pancasila Melalui Perspektif Maqashid Syariah | Republika Online

·         MES: Ekonomi Syariah Bentuk Pengamalan Nilai Pancasila | Republika Online

·         101803-ejurnal aminullah.pdf (unu.ac.id)

·         Pandangan Islam Terhadap Pancasila, NKRI dan Nasionalisme - Official Website ITB Ahmad Dahlan (itb-ad.ac.id)

·         pdf (peraturan.go.id)

·         PANCASILA DAN AJARAN ISLAM: MENEGASKAN KEMBALI ARGUMEN PENERIMAAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA | Setiawan | Muẚṣarah: Jurnal Kajian Islam Kontemporer (uin-antasari.ac.id)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: