Yusril Ihza Mahendra Piagam Jakarta 22 Juni 1945
LIVE - Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta
Piagam Jakarta, Dibalik Hilangnya 7 Kata Yang Mengandung Syariat Islam
Piagam Jakarta: Debat Abadi Dasar Negara | Buka Data
POLITIK ISLAMISASI:
PERDEBATAN IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA
Sumber :
(99+) POLITIK ISLAMISASI: PERDEBATAN IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA | Savran Billahi - Academia.edu
Penelitian ini membahas jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan faktor-faktor
yang melatarbelakangi negara dan sejumlah kekuatan politik menggunakan isu-isu
Islam dalam percaturan politik di Indonesia. Penelitian ini juga menganalisasi
proses politik islamisasi itu berlangsung dan implikasi dari model kebijakan
politik islamisasi itu bagi perkembangan demokrasi, kebebasan sipil dan prinsip
bernegara yang pluralis.
Dalam proses pembentukan negara bangsa (nation building) seperti Indonesia,
politik yang menggunakan preferensi Islam dan cita-cita Islam menjadi persoalan
serius di Indonesia sebagai negara majemuk, baik agama, suku, maupun bahasa. Indonesia
menghadapi masalah fundamental dalam menentukan arah bangsa, yakni perumusan
dasar negara. Persoalan mendasar itu lebih lagi dihadapkan dengan varian corak
pemikiran mengenai rumusan bangsa, yang kemudian mengerucut menjadi polarisasi,
dan perdebatan pemikiran atas pilihan menggabungkan Islam atau kebangsaan dalam
suatu konstitusi negara.
Tak terbantahkan, bahwa mayoritas penduduk di Indonesia
beragama Islam. Agama samawi terakhir ini menjadi identitas masyarakat
Indonesia yang tidak bisa dipisah dari identitas keindonesiaan. Karenanya wajar
bila kekuatan-kekuatan sosial dan politik, termasuk negara, menjadikan Islam
untuk menjustifikasi dasar perjuangan dan kepentingannya dalam pergulatan
politik.
Para pemimpin bangsa, baik pada masa Orde Lama (Soekarno), Orde Baru (Soeharto), maupun Orde Reformasi (B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo), telah berupaya mencarikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah fundamental krusial itu. Dengan varian yang berbeda-beda, mereka mengeluarkan kebijakan politik islamisasi yang kadang memojokkan dan kadang menguntungkan umat Islam.
1. Agama dan Negara pada Pra Kemerdekaan dan Orde Lama
1.1 Soekarno versus M. Natsir
Masalah hubungan agama (Islam) dan negara secara historis
dapat ditelusuri pada polemik Soekarno dan Natsir sebelum kemerdekaan. Kedua
tokoh bangsa ini mewakili kecenderungan kuat pendapat dua golongan besar di
Indonesia, yaitu nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Debat mereka bukan
hanya menyangkut dua orang tokoh, tapi mewakili dua kelompok utama dalam
politik Indonesia; partai politik nasionalis-sekuler (PNI—Soekarno) dan partai
politik Islam (Masyumi—Natsir).[1] Perbedaan
pandangan mereka merefleksikan pertarungan ideologis[2]; apakah
negara yang akan dibangun harus didasarkan pada agama atau non-agama.
Polemik
itu diawali oleh publikasi artikel Soekarno yang membahas hubungan Islam dengan
negara dalam Pandji Islam di Medan,
terutama sekitar tahun 1938 sampai 1940. Soekarno, antara lain, menulis “Me-“muda”-kan
Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara?”, “Masjarakat
Onta dan Masjarakat Kapal Udara”, “Islam “Sontolojo”, dan lainnya.[3] Soekarno
menulis, “Islam dipisahkan dari negara, agar supaja Islam mendjadi merdeka, dan
negarapun mendjadi merdeka. Agar supaja Islam berdjalan sendiri. Agar supaja
Islam subur, dan negarapun subur pula.”[4]
Dari berbagai tulisannya, Soekarno menginginkan
pembaharuan dalam Islam. Untuk memperkuat argumentasinya, ia merujuk pada
pengalaman negara Turki di bawah pemerintahan Kemal Attaturk yang memisahkan agama
(Islam) dengan negara. Pemisahan Islam dengan negara di Turki semata-mata
bertujuan untuk membebaskan Islam dari berbagai penyelewengan kelembagaan
negara yang dapat menyempitkan makna Islam. Islam dan negara perlu dipisahkan
karena Islam tidak memiliki preferensi politik yang siap pakai. Menurut
Soekarno, untuk pembangunan negeri dibutuhkan pengetahuan keduniawian dengan
sistem pendidikan sekuler. Jadi, untuk memakmurkan dunia semata-mata untuk
dunia, terlepas dari agama.[5]
Pada sisi lain, Soekarno sebenarnya berusaha
mengakomodasi Islam di dalam lembaga legislatif.[6] Ketika menjelaskan
dasar ketiga—mufakat, perwakilan, dan permusyawaratan—dalam pidato Lahirnya
Pancasila, Soekarno menegaskan,
Untuk pihak Islam, inilah tempat jang terbaik
untuk memelihara agama. Kita, sajapun adalah orang Islam .... Dan hati Islam
Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusjawaratan.
Dengan tjara mufakat, kita perbaiki segala hal, djuga keselamatan agama, jaitu
dengan djalan pembitjaraan atau permusjawaratan didalam Badan Perwakilan
Rakjat.
Apa-apa jang belum memuaskan, kita bitjarakan
didalam permusjawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk
mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakjat, apa-apa jang kita rasa perlu bagi perbaikan. Djikalau
memang kita Islam, marilah kita bekerdja sehebat-hebatnja, agar-supaja sebagian
jang terbesar dari pada kursi-kursi badang perwakilan rakjat jang kita adalah,
diduduki oleh utusan-utusan Islam ....[7]
Tulisan-tulisan Soekarno ini dianggap berisiko besar bagi
perkembangan Islam di Indonesia. Menanggapi Soekarno, para wakil Islam seperti A. Hassan menulis
pandangan tandingannya di majalah Al-Lisan,
A. Muchlis[8] dalam Pandji Islam, dan T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy di dalam Lasjkar Islam. Bahkan
Natsir, tokoh yang menjadi “teman” berdebat Soekarno, mengkritisi ulasan
Soekarno melalui beberapa tulisan yang mengulas persatuan agama dan negara.[9]
Dalam tulisannya, Natsir menegaskan,
Tetapi yang sering orang lupakan, jikalau
membicarakan urusan agama dan negara ini ilah, dalam pengeritan Islam yang
dinamakan agama itu, bukanlah semata-mata yang disebut peribadatan dalam
istilah sehari-hari itu saja, seperti shalat dan puasa itu, tetapi yang
dinamakan agama menurut pengertian Islam meliputi semua kaidah-kaidah,
hudud-hudud dalam mu’amalah dalam masyarakat
menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam itu.
Semua aturan-aturan itu dalam garis besarnya
terhimpun dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Tetapi al-Qur’an dan
Sunnah Nabi itu tidak bertentangan dan tidak berkaki sendiri untuk menjaga
supaya peraturan-peraturannya itu dijalankan oleh manusia.
Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan
patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan
tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan
dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah Saw kepada kaum
muslimin.[10]
Silang pendapat antara Soekarno dan Natsir ini
menggambarkan, bahwa kalangan nasionalis-sekuler meyakini jalan terbaik adanya
pemisahan agama dan politik dalam urusan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya, kalangan nasionalis muslim menegaskan perlunya penyatuan agama dan
negara dalam urusan kenegaraan.
Perbedaan pendapat antara keduanya itu lebih tepat merupakan perdebatan bebas dalam memahami kedudukan Islam pada negara. Namun tidak salah bila perdebatan itu disebut sebagai proto dari persilangan pendapat mengenai dasar negara Indonesia pada masa-masa formatif, sebab, pemikiran dan aktor-aktor utamanya tidak jauh berbeda. Polemik yang berlangsung menjelang 1930-an sampai awal 1940-an itu sebenarnya kelanjutan dari perbedaan pendapat dari kedua kelompok yang berbeda itu sejak masa penjajahan Belanda,[11] yang hingga kini masih berlanjut.
1.2 Perumusan Dasar Negara: Dari BPUPKI
sampai KNIP
Perdebatan mengenai agama (Islam) dan negara masuk ranah
insitutisi politik dapat dilihat dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945. Sidang
pertama BPUPKI itu membahas dasar negara sebagai masalah pokok; apakah negara Indonesia
yang akan didirikan berdasarkan agama (Islam) atau tidak?
Silang pendapat mengenai dasar negara ini terpolarisasi
menjadi dua kelompok mainstrem, sebagaimana diakui Supomo yang
dikatakannya pada 31 Mei 1945. Ia memaparkan,
Memang di sini terlihat ada dua paham ialah;
paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia
didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh
Tuan Muhammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan
negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan; bukan negara Islam.[12]
Seperti disebutkan Supomo, kelompok pertama disebut ahli
agama yang berhasrat mendirikan negara berdasarkan Islam. Pada sidang 31 Mei
1945, kalangan agama ini mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Di dalam
BPUPKI, kelompok nasionalis muslim ini hanya diwakili 15 orang—gabungan
tokoh-tokoh reformis, tradisionalis, dan konservatif yang jelas-jelas memilis
Islam sebagai dasar negara. Jumlah tersebut memang tidak dominan bila dibanding
kelompok kedua yang disebut nasionalis sekuler—karena memisahkan urusan negara
dan agama—yang diwakili 45 orang yang memilih dasar kebangsaan.[13]
Kelompok kedua ini tidak menerima gagasan kelompok ahli agama itu.
Dalam pidato yang disampaikan pada 1 Juni 1945, saat mengusulkan
lima dasar bagi Indonesia, Soekarno menyinggung Islam sebagai agama mayoritas. Saat
memaparkan sila ketiga, misalnya, ia berpendapat bahwa Islam dapat menempatkan power-nya di dalam Badan Perwakilan
Rakyat.
Untuk pihak Islam, inilah tempat jang terbaik
untuk memelihara agama. Kita, sajapun adalah orang Islam …. Apa-apa jang belum
memuaskan, kita bitjarakan di dalam permusjawaratan. Badan perwakilan inilah
tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan
kepada pemimpin-pemimpin rakjat, apa-apa jang kita rasa perlu perbaikan.
Djikalau memang kita Islam, marilah kita bekerdja sehebat-hebatnja, agar supaja
sebagian jang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan rakjat jang kita
adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam.[14]
Salah satu alasan kuat mengapa Soekarno tidak memihak
kepada golongan Islam, dapat ditinjau dari pernyataan dalam pidatonya,
Malahan saja jakin, djikalau hal jang
demikian itu njata terdjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam
benar-benar hidup didalam djiawa rakjat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90%, utusan
adalah orang Islam, ulama-ulama Islam. Maka saja berkata, baru djikalau
demikian, baru djikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam
jang hanja diatas bibir sadja. Kita berkata, 90% dari kita beragama Islam,
tetapi lihatlah di dalam sidang ini, berapa persen jang memberikan suaranja
kepada Islam? Maaf seribu maaf, saja tanja hal itu! bagi saja hal itu adalah
bukti, bahwa Islam belum sehidup-hidupnja didalam kalangan rakjat.[15]
Pernyataan itu memperlihatkan adanya dua spekulasi yang
mendorong Soekarno lebih memilih ide kebangsaan berada dalam konstitusi negara
dibandingkan Islam. Pertama, Soekarno
tampaknya menganggap Islam di Indonesia masih lemah. Jumlah penduduk muslim
yang besar di Indonesia bukan jaminan menjadikan Islam sebagai dasar negara.
‘Perpecahan’ suara antar anggota sidang yang mayoritas beragama Islam merupakan
bukti sederhana penguat pernyataan itu, sehingga muncul pertanyaan selanjutnya,
bila Islam saja ‘pecah’, bagaimana orang-orang Indonesia yang beragama lain
menerima Islam sebagai dasar negara? Soekarno tampaknya ingin ‘mengorbankan’
Islam demi persatuan bangsa.
Kedua, Soekarno menganggap, bila Islam
menjadi dasar negara, Indonesia melakukan lompat fase. Secara tersirat, ia sebenarnya
tidak menolak gagasan mempersatukan Islam dalam negara. Menurut dia, untuk
mencapai tahap itu perlu membumikan Islam ke dalam hati masyarakat Indonesia
terlebih dahulu. Soekarno menganggap Islam belum hidup pada masyarakat
Indonesia, sehingga fase yang diperlukan untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negara adalah menghidupkan Islam di dalam sanubari masyarakat. Sembari menunggu
tahap itu selesai, ia mengajukan lima sila itu. Pendeknya, ketidaksiapan masyarakat terhadap Islam
menjadi pertimbangan Soekarno menolak gagasan Islam sebagai dasar negara.
Pidato Soekarno yang panjang tanpa teks—yang dikenal
kemudian sebagai lahirnya Pancasila, itu mendapat sambutan luar biasa dari
anggota sidang BPUPKI. Hatta mengatakan, “... di antara anggota yang sudah siap
untuk menjawab pertanyaan dr. Radjiman adalah Soekarno”.[16] Suatu
ungkapan yang menunjukkan pujian dan penerimaan atas gagasan yang diberikan
Soekarno. Dengan munculnya Pancasila dalam sejarah pembuatan konsitusi
Indonesia, maka Islam pertama kali berhadapan dengan Pancasila.
Perbedaan pendapat tentang dasar negara antara kelompok
nasionalis muslim dan nasionalis sekuler membuat beberapa anggota BPUPKI
mengambil inisiatif untuk menyelesaikannya dengan cara mufakat. Sebelum sidang
kedua berlangsung, 38 anggota BPUPKI membentuk panitia kecil beranggotakan
sembilan orang, yang terdiri dari empat orang wakil golongan Islam, yaitu Agus
Salim, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir, dan lima
wakil golongan nasionalis, Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Ahmad
Soebardjo, dan Muhammad Yamin.
Panitia Sembilan ini, termasuk Maramis sebagai
satu-satunya yang beragama Kristen, berhasil mencapai suatu mufakat antara para
nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Menurut Soekarno,
.... Panitia kecil menyetujui
sebulat-bulatnya rancangan preambul yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat
.... Mari saja bacakan usul rancangan pembukaan itu kepada tuan-tuan ..., maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara
Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan—perwakilan serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[17]
Preambul yang disepakati Panitia Sembilan pada 22 Juni
1945 ini dikenal dengan Piagam Jakarta—sebuah nama yang tampaknya diperkenalkan
pertama kali oleh M. Yamin. Setelah mufakat itu, Soekarno dalam pidato pada
sidang paripurna BPKUPI yang disampaian pada 10 Juli 1945 dengan tegas
menekankan betapa beratnya tugas panitia kecil itu sehubungan dengan adanya
perbedaan pendapat antara dua kelompok anggota. Soekarno mengatakan,
Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.
Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam dan
golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari
kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama
dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala
memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.[18]
Pemufakatan antara kelompok nasionalis muslim dan
nasionalis sekuler itu hanya berumur sehari. Latuharhari—anggota BPUPKI yang
beragama Protestan, menyatakan keberatannya atas tujuh kata tersebut, yang
kemudian diikuti beberapa anggota lainnya seperti Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat. Sebagai pemimpin pertemuan itu, Soekarno mengingatkan bahwa
preambul itu merupakan hasil kompromi kelompok nasionalis muslim dan nasionalis
sekuler yang dimufakati dengan susah payah.
Perdebatan
mengenai Islam dan negara kembali dibahas pada sidang panitia pertama yang
dikepalai Soekarno. Rapat panitia perancang hukum dasar itu membentuk suatu
Panitia Kecil, yang terdiri atas Dr. Soepomo sebagai ketua, Mr. Ahmad
Soebardjo, Agus Salim, Mr. AA. Maramis, Mr. Singgih, Dr. Sukiman, dan Mr.
Wongsonegoro sebagai anggota. Mereka bekerja untuk membuat laporan mengenai
rancangan Undang-Undang Dasar, yang kemudian diserahkan kepada panitia
penghalus bahasa dan akhirnya dibahas di sidang pleno.
Dari
hasil laporan panitia kecil itu, terdapat dua pasal yang menjadi pemicu silang
pendapat antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler, yaitu pasal
4 dan pasal 28. Pada pasal 4 ayat 2 tentang Presiden tertulis: “Yang dapat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli”. Sementara
pasal 28 tentang Agama tercantum: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya
masing-masing”.
Untuk
masalah tersebut, Wahid Hasyim mengusulkan dua hal penting. Pertama, untuk pasal
4 ayat 2 tersebut sebaiknya diberi tambahan kalimat “yang beragama Islam”.
Menurut tokoh NU ini, membangun hubungan antara pemerintah dan masyarakat
adalah penting bagi Islam. Bila presiden yang memimpin adalah orang Islam, maka
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya akan berpengaruh terhadap Islam.[19] Untuk
pasal 28, ia mengusulkan bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan tetap
menjamin kebebasan pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai agamanya
masing-masing. Salah satu tokoh yang mendukung usulan untuk menambah kalimat
“yang beragama Islam” adalah KH Masjkur. Tetapi usul ini ditolak Agus Salim.
Dengan lugas ia mengomentari usulan Wahid Hasyim:
Dengan ini kompromi antara golongan
kebangsaan dan Islam mentah lagi, apakah hal ini tidak bisa serahkan kepada
Badan Permusyawaratan Rakyat? Jika Presiden harus orang Islam, bagaimana halnya
terhadap Wakil Presiden, duta-duta, dan sebagainya. Apakah artinya janji kita
untuk melindungi agama lain?[20]
Komentar
yang disampaikan Agus Salim itu disandarkan pada pernyataannya ketika
menanggapi interupsi dari Laturharhari atas Piagam Jakarta seperti di
penjelasan sebelumnya. Agus Salim meyakini bahwa Piagam Jakarta akan menjamin
perlindungan agama lain. Dalam perdebatan pasal ini, Supomo tampil
mempertahankan rancangan pasal yang telah dirumuskan Panitia Kecil. Menurut
Supomo, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dan itu adalah
jaminan bahwa presiden yang memimpin Indonesia adalah seorang muslim, sehingga
ia menganggap tambahan itu tidak perlu. Peringatan Supomo itu juga didukung
Soekarno, yang disampaikan pada 15 Juli 1945, ia menegaskan, dengan melihat
perspektif yang sama dengan Supomo, yaitu kependudukan, bahwa Presiden
Indonesia tentu orang Islam. Ia kembali mengulang, bahwa rumusan yang telah
dihasilkan adalah suatu gentleman’s
agreement. Mendengar pernyataan Soekarno itu, sambil memukul meja, Abdul
Kahar Muzakkir menolaknya. Ia menganggap Soekarno tidak merangkul Islam. Ki
Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, bahkan memulai salah satu
pembicaraannya dengan kata-kata: "Saya berlindung kepada Allah terhadap setan
yang merusak."[21]
Diskusi
alot itu membuat Radjiman Wedyoningrat selaku ketua sidang melemparkan usulan
untuk melakukan pemungutan suara. Gambaran dari suatu kondisi perdebatan yang
kompleks. Namun, usul itu tidak disetujui beberapa kalangan, termasuk Ahmad
Sanusi karena dianggap sebagai keputusan yang tergopoh-gopoh. Sidang pun
dihentikan Radjiman.
Esoknya, perdebatan itu mencapai klimaksnya ketika
Soekarno berpidato. Ia mengimbau seluruh peserta sidang, terutama golongan
nasionalis sekuler untuk berkorban. Katanya,
... yang saya usulkan ialah baiklah kita
terima, bahwa di dalam Undang-Undang Dasar dituliskan bahwa “Presiden Republik
Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam… karena
bagaimanapun kita yang hadir di sini, dikatakan 100 persen telah yakin, bahwa
justru karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 persen
atau 95 persen beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang
menjadi Presiden Indonesia tentulah yang beragama Islam.[22]
Setelah
para peserta sidang tidak keberatan atas persoalan-persoalan pada sidang itu,
dan tepatnya setelah Soekarno berpidato seperti yang disebutkan sebelumnya,
Radjiman selaku ketua menutup sidang seraya mempersilahkan para anggotanya
untuk berdiri, “jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi saya ulangi,
Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya.” Kata-kata
terakhir Radjiman itu diterima dengan suara bulat dan disambut dengan tepuk
tangan.[23] Dengan
demikian, rumusan rancangan batang tubuh yang diajukan di awal sidang mengalami
perubahan, yaitu Pasal tentang Presiden, “Presiden ialah orang Indonesia asli”,
ditambah kalimat “yang beragama Islam”, dan untuk pasal 28, tetap “negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dan, kalimat kompromsi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bertahan sampai sidang BPUPKI selesai.
Meskipun
badan ini merupakan bentukan Jepang melalui legal-formal Letnan Jenderal
Kumakichi Harada, namun apa yang dihasilkan dari sidang itu adalah buah dari
konsesus para wakil golongan di Indonesia, yang terpolarisasi antara golongan
nasionalis muslim dan nasionalis sekuler, sehingga konsep yang didapat adalah
murni dicapai oleh orang Indonesia. Dengan hasil sidang BPUPKI, secara formal
Indonesia telah memiliki konsep mengenai negara.
Namun,
hasil kompromi itu kembali goyah saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dibentuk. Pada 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidangnya, dan Piagam
Jakarta kembali dipersoalkan. Pada tanggal tersebut disahkan Rancangan
Undang-Undang Dasar hasil sidang BPUPKI menjadi Undang-Undang Dasar bagi
Indonesia sebagai negara yang baru merdeka setelah dilakukan beberapa
perubahan, antara lain;
1. Kata “Mukaddimah diganti dengan
kata “Pembukaan”
2. Dalam Preambul (Piagam Jakarta),
anak kalimat “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah
orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam”
dicoret.
4. Sejalan dengan perubahan yang
kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[24]
Keempat perubahan itu disampaikan
Hatta di depan para peserta sidang. Mengenai hal ini, Hatta menuliskan
pengakuannya bahwa dirinya didatangi seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)—yang
mengaku wakil Protestan dan Katolik, dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen
di dalam pendudukan Kaigun, yang sebagian besarnya berdomisili di wilayah timur
Indonesia, tidak akan bergabung dengan Indonesia kecuali jika beberapa unsur
dari Piagam Jakarta (yakni “ ... kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, Islam sebagai negara, dan persyaratan bahwa Presiden harus
seorang Muslim) dihapuskan. Dalam pandangan mereka, kerangka konstitusional
semacam itu akan mengundang diambilnya langkah-langkah yang diskriminatif.[25]
Sebagai tokoh yang selalu
menyuarakan persatuan bangsa, saran dari pejabat angkatan laut Jepang itu tentu
membuat kegelisahan tersendiri dalam diri Hatta.
Perkataanja
itu berpengaruh djuga atas pandangan saja. Tergambar di muka saja perdjuangan
saja jang lebih dari 25 tahun lamanja, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk
mentjapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia
jang baru sadja dibentuk akan petjah kembali dan mungkin terdjadjah lagi karena
suatu hal jang sebenarnja dapat diatasi? Kalau Indonesia petjah, pasti daerah
di luar Djawa dan Sumatera akan dikuasi kembali oleh Belanda dengan mendjalankan
politik devide et impera?[26]
Pada tahap inilah, kompromi antara
golongan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim kembali terjadi. Dalam waktu
yang singkat, sebelum sidang dimulai, kurang dari lima belas menit, Hatta
melobi para wakil Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo,
dan Teuku Mohammad Hasan). Mereka mencapai mufakat menerima perubahan-perubahan
yang diusulkan Hatta.[27]
Pertemuan dan kesepakatan Hatta dengan
wakil-wakil Islam itu menimbulkan pertanyaan bagi kalangan muslim. Dalam
konteks peristiwa itu, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa para wakil
Islam itu bisa dengan cepat menyepakati perubahan-perubahan itu, padahal pada
sidang BPUPKI mereka tidak kenal lelah untuk mempertahankannya?
Ada beberapa dugaan kuat mengenai
mengapa para pemimpin kelompok Islam menerima penghapusan Piagam Jakarta.
Pertama, penerimaan atas kalimat “Yang Maha Esa”, Wahid Hasyim mengatakan,
kalimat itu sesuai dengan Tauhid dalam Islam.[28] Kedua,
situasi pada masa itu mengharuskan para pendiri republik ini untuk bersatu
menghadapi masalah lain.[29] Soekarno
juga menyatakan bahwa saat itu adalah masa-masa darurat, sehingga perlu cepat menetapkan
Undang-Undang Dasar Negara. Secara umum, Hatta menyampaikan, “supaja kita
djangan petjah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat
jang menusuk hati kaum Kristen dan menggantinja dengan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.[30] Dengan kata lain, Hatta dan para wakil
Islam yang ikut berunding dengan mengedepankan persatuan bangsa, meskipun harus
menerima penghilangan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Beberapa kalangan nasionalis
muslim sangat menyayangkan perubahan yang terjadi di sidang PPKI. Salah satunya
adalah Abikusno. Ia menganggap perubahan itu merupakan keputusan sepihak,
karena pihak Islam dikesampingkan dari keanggotaan. Ia menulis kekecewaannya
dengan perasaan yang mendalam, “di dalam badan mana kami tidak ikut duduk
sebagai anggota, maka setiap kata Islam dan setiap kalimat yang memuat Islam
dihilangkan adanya, baik dari Piagam Jakarta, yang dijadikan Mukaddimah UUD,
maupun dari UUD yang diresmikan”.[31] Agus
Salim dan A. Kahar Muzakkir yang menandatangani Piagam Jakarta tidak
diikutsertakan sebagai anggota sidang. Wahid Hasjim, satu-satunya wakil
nasionalis Islam penanda tangan Piagam Jakarta, yang diangkat sebagai Panitia
Persiapan juga tidak hadir dalam pertemuan.[32] Ini
berarti, dari wakil-wakil penanda tangan Piagam Jakarta, hanya wakil-wakil
nasionalis sekuler, yakni Soekarno, Hatta, dan Soebardjo, yang dilibatkan
proses perubahan tersebut.[33]
Namun, apa jadinya bila kalangan
nasionalis muslim bersikokoh dengan sikapnya yang mempertahankan Piagam
Jakarta. Berikut pengakuan KH Saifuddin Zuhri,[34]
Dihapuskannya
7 kata-kata dalam Piagam Jakarta itu boleh dibilang tidak “diributkan” oleh
ummat Islam, demi memelihara persatuan dan demi ketahanan perjuangan dalam
revolusi bangsa Indonesia, althans untuk menjaga kekompakan seluruh
potensi nasional mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berumur 1
hari. Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari ummat Islam Indonesia?
Jika pada tanggal 18 AGustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan ummat Islam
“ngotot” mempertahankan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah
akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah terjadi. Ummat Islam hanya
mengharapkan prospek-prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi
hikmah.
Meski demikian, perubahan tersebut telah menumbuhkan benih pertentangan sikap dan pemikiran yang tak kunjung berhenti antara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Namun, bagaimana pun tanggapan dari hasil itu, satu hal yang perlu dipahami, bahwa gagasan ‘pemisahan’ Islam dari konstitusi bukan berarti negara menjauhkan, atau memisahkan, dalam arti yang sebenarnya, dari Islam.
1.2 Perdebatan Dasar Negara di Konstituante
Perdebatan
mengenai posisi Islam di dalam negara tidak selesai sekalipun Kementerian Agama
dibentuk. Hubungan Islam dan negara terus dipersoalkan hingga Dewan Konstituante
terbentuk melalui pemilihan umum 1955. Amanah yang diembankan konstitusi
melalui pasal 134 UUDS 1950 kepada Dewan Konstituante adalah untuk membuat UUD
RI. Di Konstituate inilah, perdebatan tentang dasar negara terus berlanjut.
Dipelopori Partai Masyumi, kelompok Islam kembali
mengajukan gagasan mengenai Islam sebagai dasar ideologi negara melalui
Konstituante. Mereka tetap menginginkan berdirinya negara dengan dasar Islam
dengan beberapa alasan. Pertama, Islam berwatak holistik. Kedua, Islam lebih
unggul dari semua ideologi di dunia ini. Dan, ketiga, Islam dipeluk oleh
mayoritas penduduk di Indonesia.[35]
Untuk lebih meneguhkan pandangannya, mereka juga menyandarkan
beberapa alasan. Pertama, mereka
melihat dasar ini sebagai masalah yang mereka janjikan selama kampanye pemilu
1955. Tema kampanye mereka umumnya adalah bagaimana menjalankan ajaran agama
dalam negara dan masyarakat. Untuk itu, Prawoto Mangkusasmito, elite politik Masyumi,
menolak usul Hatta untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.[36] Kedua, mereka menganggap Konstituante
sebagai forum yang tepat bagi tiap kelompok atau fraksi untuk mengungkapkan
dasar dan cita-cita mereka. Ketiga, mereka
menganggap Konstituante sebagai forum dakwah untuk menyampaikan apa yang
sebenarnya dimaksud oleh Islam mengenai hubungannya dengan masyarakat dan
politik.
Melalui Konstituante, kelompok Islam yang diwakili M. Natsir,
Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan KH Masykur, kokoh
mempertahankan Islam sebagai dasar negara. Mereka memandang Pancasila sebagai ideologi
sekuler, tanpa sumber keagamaan yang jelas dan pasti. Sekalipun sila pertama
menyebut kepercayaan kepada satu Tuhan, perumusannya pada dasarnya karena pertimbangan
sosiologis, bukan didasarkan pada alasan keilahian Tuhan. Menurut Natsir,
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bagi umat Islam ibarat melompat dari
bumi tempat berpijak ke ruang hampa (vacuum).
Pandangan semacam itu tentu
saja ditolak kalangan nasionalis sekuler, yang tetap memandang Pancasila sebagai suatu konsesus
bersama. Mereka khawatir bila Islam ditetapkan sebagai dasar negara, maka
perpecahan akan menghantui negara, yang berarti pula diskriminasi secara
konstitusional dan pengkhianatan atas perjuangan. Mengingat secara
sosiologis-keagamaan Indonesia adalah negara yang majemuk, para wakil
nasionalis sekuler meragukan Islam menjadi dasar negara. Menanggapi pernyataan
Natsir, politisi PNI beragama Kristen, Arnold Mononutu, menyatakan bahwa bagi
umat Kristen bila Islam menjadi dasar negara, ibarat melompat dari bumi yang
tenang ke ruang kosong tak berhawa.[37]
Di tengah dua kutub yang saling berseberangan itu,
sebenarnya ada seorang tokoh di dalam lingkungan Masyumi yang menyuarakan
pandangan berbeda. Jusuf Wibisono berpikir bahwa sebaiknya dari semula
partai-partai Islam lebih bersifat luwes dan menerima Pancasila sebagai dasar
negara. Ia bukan tidak setuju dengan dasar Islam, tetapi ia melihat realitas
masyarakat Indonesia. Di samping kenyataan bahwa wakil-wakil Islam memang tidak
dominan di Konstituante, yang menurutnya dalam 20-an atau 30-an tahun jumlah wakil
Islam itu tidak akan bertambah sampai 2/3 mayoritas di dalam Konstituante. Ia
melihat bahwa kualitas para pemimpin Islam belum begitu tinggi untuk menarik
dukungan bagian terbesar rakyat. Ia juga melihat bahwa revolusi Indonesia,
pemerintah, dan angkatan bersenjata saat itu dipimpin orang-orang yang tidak
berideologi Islam. Daripada berjuang dengan menghadapi kebuntuan, Jusuf
Wibisono berpendapat bahwa lebih baik organisasi-organisasi Islam bekerja untuk
mendidik masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam daripada berpegang dengan penuh
semangat pada cita-cita Islam di ranah konstitusi simbolik.[38]
Selain pengusung Islam dan Pancasila sebagai dasar
negara, saat perdebatan berlangsung, perwakilan dari Partai Buruh dan Partai
Murba juga menyuarakan usulan lain, yakni sosial-ekonomi sebagai ideologi
negara. Menurut mereka, ideologi dan dasar negara berbeda, Pancasila dapat
diterima bila sila pertama diganti menjadi kebebasan beragama. Mereka juga
menganggap kelompok Islam memiliki kepentingan sendiri-sendiri, sehingga bukan
merupakan kelompok yang bersatu.
Meski demikian, pihak nasionalis muslim dan nasionalis sekuler
menolak gagasan sosial-ekonomi menjadi dasar negara. Pihak nasionalis muslim menganggap
sosial-ekonomi sudah masuk di dalam Islam, sedangkan wakil nasionalis sekuler menganggap
konsep itu sudah tertera jelas di Pancasila. Posisi mereka pun tidak begitu
dominan seperti kelompok nasionalis muslim dan nasionalis kebangsaan.
Dewan Konstituante pada akhirnya tidak berhasil
memformulasikan dasar negara yang disepakati bersama. Masing-masing kelompok
yang duduk di dalam Konstituante bersikeras mempertahankan pandangannya. Kata
sepakat sulit dicapai. Kenyataan politik ini, yaitu tarik ulur pemikiran yang
sedemikian rupa—mendorong Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali
ke UUD 1945. Meski sebenarnya, Konstituante telah menyelesaikan tugasnya 90
persen pada 18 Februari 1959, sebagaimana dikatakan Wilopo sebagai ketua
Kontituante yang melaporkan hasil kerjanya dalam sidang. Tugas-tugas itu
dikerjakan Panitia Perumus Konstitusi, yang berjumlah 18 orang dari setiap
fraksi, selama dua tahun sejak dibentuk
pada 11 November 1957.
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959—yang menetapkan
kembali ke UUD 1945, membubarkan Konstituanten, dan memulai sistem politik
Demokrasi Terpimpin, tetap menutup harapan kelompok nasionalis muslim
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Cita-cita politik Islam kandas, karena Pancasila
akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara.[39]
Realitas politik menunjukkan bahwa Demokrasi Terpimpin
yang dikendalikan Soekarno menyumbat saluran legal bagi kalangan nasionalis
muslim—terutama kelompok modern, khususnya elite politik Masyumi, untuk
mengemukakan ide dan aspirasi politik mereka. Kekuatan politik kalangan
nasionalis muslim semakin melemah ketika Soekarno menerapkan sistem Demokrasi
Terpimpin yang otoritarian. [40] Dan
akhirnya, kekuatan politik mereka semakin tak berdaya, bahkan mati, ketika
Masyumi dibubarkan Soekarno pada 1960, dengan alasan beberapa pemimpin
utamanya, seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, ikut terlibat
dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).[41] Para
pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologis di Indonesia
dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara Islam, dipenjarakan
karena oposisi terhadap pemerintah.
Nasib yang berbeda dialami kalangan muslim tradisional seperti NU, PSII, dan Perti. Partai-partai Islam diizinkan tetap hidup dalam sistem Demokrasi Terpimpin setelah mereka bersikap pragmatis dalam berpolitik. NU, misalnya, menyesuaikan diri dengan menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno.[42] NU dengan segera menata kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya Soekarno.
2. Agama dan Negara pada Periode Orde Baru: Hubungan yang Pasang Surut
Kenyataan politik pada masa Orde
Baru menunjukkan bahwa hubungan Islam dan negara tampak bersifat konfrontatif, revalitas,[43] atau
antagonistik.[44]
Itulah pola hubungan yang hegemonik antara Islam dan negara.[45]
Hubungan keduanya tampak tidak harmonis, renggang, saling bertolak belakang,
saling menolak, berlawanan, bermusuhan, dan saling meniadakan. Keduanya
berusaha mempertahankan posisinya masing-masing. Negara memiliki posisi
hegemonik, sedangkan Islam berada pada posisi marginal. Hubungan yang saling
berhadapan atau saling berlawanan ini cenderung menghasilkan ketegangan, bahkan
konflik yang sulit diatasi. Hubungan ‘tidak akur’ ini menjadi langkah
politik ‘penjinakan atau pelemahan’,[46]
‘persimpangan’[47],
‘peminggiran’,[48]
dan ‘politik alokasi’[49]
yang dilakukan Orde Baru terhadap Islam politik Indonesia.
Pemerintahan
Orde Baru sendiri mengeluarkan dan menggariskan dua kebijakan terhadap kelompok
nasionalis muslim:
memajukan kesalehan pribadi dan menentang “politisasi” agama. Agama sendiri,
khususnya Islam, diawasi secara ketat. Untuk menghadapi kelompok nasionalis
muslim, misalnya, Orde Baru
mengunakan taktik Snouck Hurgronye dengan cara memisahkan Islam sebagai satu
agama dan Islam sebagai satu pandangan hidup berpolitik yang bisa mengancam
stabilitas politik.[50]
Karena itu, Orde Baru menggunakan dua tindakan untuk menghadapi umat Islam,
yaitu melumpuhkan kepemimpinan yang ada, dan menolak komitmen Muslim dari
ambisi-ambisi politik—termasuk merehabilitasi Masyumi.
Kelompok-kelompok nasionalis muslim pada periode ini
cenderung mempertahankan bentuk-bentuk formal dalam menjalankan ajaran-ajaran
Islam. Mereka lebih mengutamakan praktik formal atau legal Islam secara taat
dan teguh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menekankan ideologisasi atau
politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.[51] Dalam
konteks politik, mereka menunjukkan orientasi yang cenderung mempertahankan
bentuk-bentuk pra-konsepsi politik Islam, misalnya, pentingnya partai politik
Islam, ungkapan, idiom-idiom, dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama,
landasan organisasi secara konstitusi Islam.[52]
Formalisme Islam didasarkan pada penekanan adanya
lembaga-lembaga politik sebagai badan formal untuk melaksanakan dan menjalankan
prinsip-prinsip Islam. Kecenderungan formalisme Islam dalam politik dalam
dilihat pada kelompok-kelompok Islam yang secara vokal ingin menghidupkan
kembali partai politik Islam (Masyumi), Piagam Jakarta, Islam sebagai asas
negara, negara Islam, dan lainnya. Arus formalistik juga dapat dilihat pada
sebagian kalangan Islam yang merasa tidak puas atas kebijakan pemerintah.
Mereka sangat kecewa atas campur tangan Orde Baru terhadap politik Islam. Orde
Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan bagi
partai-partai politik”,[53] terutama
partai politik Islam.
Realitas politik semacam itu dimulai pada awal
pemerintahan Orde Baru, yaitu ketika Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret
1966, yang dikenal dengan Supersemar, menggantikan Soekarno. Pembicaraan
hubungan kalangan nasionalis muslim dan sekuler ditandai terbentuknya Badan
Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) oleh 16 organisasi Islam pada 16 Desember 1965
yang berupaya merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan Soekarno.[54] Para
politisi Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin
Prawiranegara, dan Mohamad Roem, dan Hamka, menaruh harapan besar pada awal
pemerintahan Soeharto. Kelompok nasionalis muslim, terutama dari sayap
“modernis”, terobsesi untuk merehabilitasi Masyumi, sehingga kurang antisipatif
terhadap perkembangan politik saat itu.[55] Sikap pemerintah jelas, dengan dukungan
militer; tidak menerima rehabilitasi Masyumi sebagai partai politik dengan
alasan juridis, ketatanegaraan, dan psikologis. Militer dengan tegas menyatakan
akan mengambil tindakan tegas bagi siapa saja yang menyimpang dari Pancasila
dan UUD 1945. Orde Baru hanya
membebaskan para mantan elite politik Masyumi yang dipenjara Soekarno.[56]
Rezim Orde Baru khawatir dengan representasi konsituen
politik Islam di masa depan. Kekhawatiran itu tidak dipungkiri berpijak pada
pengalaman-pengalaman di masa sebelumnya, ketika partai-partai Islam menjadi
oposisi pemerintah dan beberapa kali melakukan kontak senjata, seperti pada
perlawanan Darul Islam, PRRI, dan pemberontakan-pemberontakan regional yang
dipelopori oleh dorongan ideologis-politis Islam. Pengalaman pahit ini
mempertegas Orde Baru menolok upaya rehabilitasi Masyumi. Penolakan Orde Baru untuk mengembalikan Islam ke arena
politik—seperti pernah dialami pada masa kejayaan Masyumi, memunculkan
kekecewaan mendalam di kalangan umat Islam.
Pada sisi lain, pemerintah sebenarnya juga sadar bahwa
bila hal itu dilakukan dengan berbagai tekanan represif semata, maka kalangan
nasionalis muslim akan semakin frustasi yang malah dapat menimbulkan tekanan
berbalik kepada pemerintah, dan tidak mustahil bersifat ekstrem. Untuk itu,
pemerintah Orde Baru akhirnya memberi izin pendirian partai politik baru yang
diperjuangkan para pemimpin Islam sejak pada 5 Februari 1968.[57]
Pemberian restu ini dengan beberapa catatan, antara lain, para mantan politisi
senior Masyumi tidak boleh menduduki posisi kepemimpinan di dalam struktur
kepengurusannya.
Sebenarnya, wadah politik baru dengan nama Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi) itu telah diprakarsai BKAM sejak 7 April 1967.[58] Setelah
mendapat izin Orde Baru, Parmusi menggelar kongres pertamanya di Malang, Jawa
Timur, pada 4-7 November 1968. Melalui kongres ini, Mohamad Roem—mantan Menteri
Luar Negeri, Wakil Perdana Menteri, dan pemimpin elite Masyumi, terpilih untuk
memimpin partai baru itu—yang tentu saja tidak direstui pemerintah Orde Baru. Proses
“sterilisasi” itu dapat dilihat dari Surat Keputusan Presiden No. 70/1968 pada
Februari 1968 mengenai pengesahan Djarnawi Hadikusuma sebagai ketua umum dan
Lukman Harun sebagai sekretaris jenderal. Karena dianggap memusuhi ABRI,
kepemimpinan Djarnawi dikudeta H. Djaelani Naro dan Imron Kadir (Naroka), yang
justru semakin memicu konflik internal partai. Keduanya saling memecat;
Djarnawi, dkk. memecat Naroka dan Naroka juga memecat Djarnawi dari keanggotaan
partai. Sekali lagi, pemerintah menjadi penyelamat partai, dengan mengeluarkan
SK No. 77 Tertanggal 20 November 10970, yang menunjuk orang ketiga, tokoh
Muhammadiyah H.M.S. Mintaredja—yang sebenarnya bukan anggota partai, menjadi
ketua umum.[59]
Kedua SK ini membuktikan bahwa pemerintah melakukan intervensi yang berlebih
terhadap partai Islam.[60]
Pemerintah Orde Baru tampaknya memang perlu melakukan
intervensi, karena sedang fokus menata pemerintahan yang solid. Stabilitas
politik dan ekonomi menjadi dambaan untuk melakukan pembangunan. Karenanya,
Orde Baru memerlukan dukungan kekuatan dari militer. Untuk menambah kekuatan, Orde
Baru juga membentuk Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) untuk
merangkul semua organisasi fungsional, dan menjadikannya sebagai mesin
politik Orde Baru.[61]
Dalam suasana politik semacam itulah, Parmusi dengan tiga
partai Islam lainnya: Partai Syarikat Islam Indonesia, NU, dan Pergerakan
Tarbiyah Islamiyah (Perti), serta lima partai lain: PNI, Partai Katolik, Partai
Kristen Indonesia, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
tertatih-tatih membenahi diri untuk mengikuti pemilihan umum 1971. Kekuatan
partai-partai politik ini dilumpuhkan oleh kekuatan Golkar yang mengusung tema
sentral dari kampanyenya: “Politik No, Pembangunan Yes”. Dan benar, partai-partai
politik tersebut kalah, dan Golkar keluar sebagai pemenang pemilu 1971.
Kemenangan Golkar itu mengejutkan banyak kalangan dan sekaligus menimbulkan
tanda tanya besar. [62]
Kegagalan rehabilitasi Masyumi dan munculnya konflik
internal Parmusi, dan dilengkapi penolakan Orde Baru terhadap legalisasi Piagam
Jakarta melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1968
dan pelarangan Kongres Umat Indonesia pada tahun yang sama membuktikan gagalnya
kalangan nasionalis muslim melakukan upaya perlawanan terhadap pemerintah Orde
Baru. Implikasi penolakan tersebut, antara lain, pertama, harapan kalangan nasionalis muslim segera menyusut dalam
upaya memainkan peran lebih besar di bawah pemerintahan Orde Baru segera
menyusut. Kekuatan kalangan nasionalis muslim semakin melemah dan bahkan tak
berdaya. Kedua, ini yang lebih
serius, realitas politik itu menumbuhkan sikap saling curiga dan memusuhi yang
jauh lebih dalam antara para pemimpin serta aktivis Islam politik dan elite pemerintah
Orde Baru.[63]
Upaya yang dilakukan Orde Baru pada masa awal itu
terhadap Islam bisa disamakan dengan penyingkiran komunis, dalam arti,
‘bersih-bersih’ ideologi yang berpotensi beroposisi. Sesuai dengan strategi
menciptakan stabilitas politik, pemerintah melakukan penyudutan atau
marjinalisasi terhadap ideologi-ideologi yang berseberangan dan dapat
menciptakan instabilitas politik, serta mengganggu pembangunan ekonomi.
‘Bersih-bersih’ ideologi ini, meskipun ditujukan untuk menciptakan stabilitas,
namun pada praktiknya tidak benar-benar menghentikan kalangan nasionalis muslim
untuk menjadikan Islam sebagai ideologi.
Sejak awal
berkuasa, Soeharto memang telah bertekad ‘bersih-bersih’ ideologi dengan
memperkenalkan Demokrasi
Pancasila (Pancasila
Democracy). Ia tidak ingin mengulangi kesalahan Soekarno yang
menerapkan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, yang dianggapnya
gagal. Soeharto berhasil ‘membubarkan PKI—artinya membunuh komunisme, dan tetap
menolak menghidupkan Masyumi—artinya tidak menghendaki Islam sebagai dasar
negara., Pada sisi lain, Orde Baru mewadahi aspirasi politik umat Islam melalui
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan hasil fusi beberapa partai
politik Islam. Orde Baru tidak
mampu “memvonis mati” Islam seperti yang dilakukannya kepada komunis. Sebelum
kebijakan fusi itu, partai-partai Islam pun masih “dibiarkan” bermanuver pada pemilu
1971, meski perolehan suaranya di bawah Golkar.
Untuk meneguhkan kebijakannya itu, Soeharto menegaskan
bahwa Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi seluruh kekuatan sosial dan
politik, baik partai politik Islam seperti PPP maupun organisasi keagamaan
seperti NU dan Muhammadiyah. Penerapan
Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan
politik di Indonesia dikemukakan Soeharto pertama kali dalam pidato
kenegaraannya pada 16 Agustus 1982. Soeharto berkali-kali mengatakan, bahwa
kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain Pancasila disetarakan dengan tindakan
subversi.[64] Penerapan kebijakan itu berdasarkan
pada peristiwa Lapangan Banteng yang kacau dalam pemilu 1982. Hal itu dibarengi
juga dengan keraguan pemerintah terhadap komitmen kelompok-kelompok sosial kegamaan
kepada Pancasila. Dalam pandangan Soeharto, “mereka tidak meyakini Pancasila
seratus persen”.[65]
Bahkan, Orde Baru menganggap Islam sebagai “teror” terhadap stabilitas
keamanan, politik, dan ekonomi bagi Indonesia yang sedang membangun.
Pada masa-masa
itu, Orde Baru menetapkan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara Pancasila,
bukan negara Islam sebagaimana diinginkan dan diperjuangkan partai politik
Islam.[66] Namun, sebagian kalangan
nasionalis muslim khawatir terhadap penetapan Pancasila sebagai asas tunggal.
Bagi mereka, penunggalan asas itu bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara
sekuler. [67]
Iklim
politik yang tidak “bersahabat” dengan politik Islam merupakan titik tolak
respon umat Islam yang reaksioner. Pemberlakuan asas tunggal Pancasila oleh
pemerintah kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia dikhawatirkan oleh
kalangan ini sebagai strategi untuk mende-Islamisasi. Kalangan ini
mencampuradukkan statemen politik dengan statemen teologis, sehingga sikap yang
diambil adalah menolak Pancasila, yang berarti mengambil posisi yang
berhadap-hadapan langsung dengan pemerintah sebagai pihak yang bersebrangan.
Acuan
dasar mereka adalah pernyataan Soeharto pada 1982, “Pancasila tidak akan
menjadi agama dan agama tidak akan di-Pancasila-kan”. Selain itu, beberapa
peraturan juga menjadi pemicu lahirnya respon reaksioner ini, seperti Rancangan
Undang-Undang Perkawinan dan perizinan tempat perjudian. Pemerintah juga ingin
menaikkan status aliran kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti
Islam dan Kristen. Reaksi keras dari kalangan nasionalis muslim ini memaksa
pemerintah untuk membatalkan rencana itu.
Perkembangan
itu sangat mengecewakan sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Kelompok
ini merasa, selain secara politis Islam dilemahkan, pada tahap tertentu hal itu
tidak mencerminkan sebagai negara penduduk muslim terbesar di dunia.
“Permusuhan” yang dilakukan oleh pemerintah kepada kalangan muslim direspon
sama oleh kelompok ini kepada pemerintah. Bagaikan sebuah bandul yang
dilemparkan kencang, ia berbalik kencang ke arah di mana ia dilemparkan.
Konsekuensi logis dari susahnya mencari titik temu,
karena kebijakan Orde Baru yang dianggap tidak menguntungkan umat Islam,
muncullah beberapa gerakan besar teror.[68]
Pertama, Komando Jihad yang dilakukan Haji Ismail Pranoto, yang dituduh
melakukan peledakan beberapa tempat ibadah pada sekitar 1976. Kedua, Front
Pembebasan Muslim Indonesia oleh
kelompok Hassan Tiro pada 1977. Ketiga, kelompok Abdul Qadir Djaelani
yang menyatakan dirinya sebagai penganut “Pola Perjuangan Revolusiner Islam
pada 1978. Keempat, Komando Jihad oleh kelompok Warman pada 1978, 1979, dan 1980.
Warman mengangkat dirinya sebagai
pewaris semangat Kartosuwirjo, pemimpin gerakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat.
Kelima, kelompok Imran Muhammad Zein yang
menggerakkan revolusi Islam di Indonesia pada 1980-1981. Ia melakukan
kegiatan-kegiatan konfrotasi fisik dengan kalangan militer, khususnya di
Cisendo, Jawa Barat, dan membajak pesawat penerbangan domestik (Garuda Woyla pada 28 Maret 1981)).[69]
Peristiwa-peristiwa ini diikuti beberapa insiden kekerasan yang sering
dialamatkan kepada aktivisme Muslim. Misalnya, pemboman Bank Central Asia (BCA)
Cabang Pecenongan di Jakarta pada 4 Oktober 1984 dan pemboman Candi Borobudur di
Jawa Tengah. Mereka melampiaskan kekecewaannya dalam bentuk kekerasan terhadap
kebijakan pemerintahan.
Kebijakan asas tunggal Pancasila juga memicu reaksi keras
dengan meletusnya Peristiwa Tanjung Priok, Jakarta. Saat itu, ribuan massa
berangkat dari Jalan Sindang menuju Kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara. Di
bawah pimpinan Amir Biki, seorang pengusaha dan mantan aktivis Angkatan 1966,
mereka menuntut agar empat rekan mereka dibebaskan dari tahanan. Keempat teman
mereka itu ditahan pada 12 September 1984 karena dituduh membakar motor seorang
Babinsa, Sersan Hermanu, yang diuber-uber masyarakat karena memasuki sebuah
mushala tanpa membuka alas kaki.[70]
Massa
yang beringas tersebut dihadang oleh aparat keamanan sehingga bentrokan fisik
tidak dapat dihindari. Segera terdengar letusan senjata api dan berjatuhlah
korban di pihak pengunjuk rasa, termasuk pemimpinnya, Amir Biki. Dalam
keterangan pers setelah kejadian tersebut, Pangab L.B. Moerdani tidak
menyebutkan jumlah korban yang pasti. Banyak korban yang tidak diketahui
jenazahnya. Yang dikembalikan kepada keluarganya hanya Amir Biki.[71] Kemelut
itu merupakan gambaran yang sangat jelas dari dua pihak, yaitu kalangan nasionalis
muslim dan kalangan nasional sekuler di dalam pemerintahan, yang saling
berhadap-hadapan. Pemicu utamanya adalah penolakan Pancasila sebagai asas
tunggal, yang sebelum hari bentrokan telah dikompor-kompori oleh para
penceramah bahwa menolak Pancasila adalah jihad
fi sabilillah. Untuk itu, gerakan massa ini menghasilkan suatu ikrar
bersama yang dinamakan “ikrar umat Islam Jakarta” yang berisi penolakan asas
tunggal Pancasila.
Peristiwa
sejenis juga terjadi di Sumatera, yaitu Peristiwa GPK Warsidi di Lampung (6 Februari 1989) dan Barisan Jubah Putih di Aceh.
Tidak berbeda dengan peristiwa Tanjung Priok, kedua gerakan massa tersebut
ingin mengubah dasar negara menjadi berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Lebih
jauh lagi, para aktivisnya ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII),
bahkan Barisan Jubah Putih bercita-cita menegakkan “Islam Dunia”. Gerakan ini
meletus saat 1989, ketika mereka membunuh beberapa anggota ABRI. Meskipun
beberapa korban dari kalangan militer, representatif dari pemerintah,
berjatuhan, ketiga gerakan tersebut merupakan gerakan yang gagal. Sifatnya yang
reaksioner, menjadikan respon-respon tersebut bagaikan kembang api,
menggemparkan, tetapi cepat hilang.
Kemunculan kelompok-kelompok ini adalah hasil dari dua
hal, yakni tindakan pemerintah yang terlalu ofensif terhadap Islam, sehingga
komunitas Islam merasa disudutkan dan dinamika internal komunitas Islam yang
bermaksud melindung Islam dari segala proses politik yang dilakukan pemerintah.
Beberapa dari mereka menganggap proses politik yang terjadi merupakan rekayasa
pemerintah untuk mengakumulasi kekuasaan, dalam hal ini Islam dianggap sebagai
korban. Lebih jauh, depolitisasi Islam oleh pemerintah dianggap kelompok ini
sebagai deislamisasi secara keseluruhan.
Pada
periode awal hingga akhir 1980-an berlangsung hubungan yang bersifat konfrontatif antara sebagian
kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler yang diwakili pemerintah Orde
Baru. Pola hubungan yang saling berlawanan itu tidak terlalu dominan pada
periode ini, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu tidak
melibatkan organisasi Islam besar, seperti Muhammadiyah dan NU.
Pada
periode berikutnya, khususnya pada akhir 1980-an hingga 1990-an, hubungan kalangan nasionalis
muslim dan nasionalis sekuler (Orde Baru) lebih bersifat reaktif-kritis atau
resiprokal-kritis,[72] atau
simbiotik.[73]
Inilah pola hubungan yang timbal-balik, saling mempelajari dan saling memahami
secara kritis. Pada periode-periode tersebut, hubungan kalangan nasionalis
muslim dan sekuler tidak lagi konfrontatif. Kedua belah pihak berdiri pada
posisi masing-masing dengan pandangan kritis. Mereka tidak saling menyalahkan
atau tidak saling menyudutkan. Masing-masing menggali potensi positifnya
sendiri-sendiri, sehingga menjadi kekuatan untuk membangun bangsa dan negara.
Pada masa-masa ini, hubungan kalangan nasionalis
muslim dan sekuler mengarah kepada
tumbuhnya kesadaran untuk saling mengerti kekuatannya masing-masing. Orde Baru
mulai memandang kalangan Islam yang mayoritas sebagai modal dan faktor yang
tidak mungkin diabaikan dalam pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan terencana.
Peran kalangan nasionalis muslim tidak layak dimarginalisasikan, karena dapat
mendorong suksesnya pembangunan. ‘Pemojokan’ peran kalangan nasionalis muslim merupakan
tindakan kontroproduktif bagi pembangunan.
Untuk itu, keputusan-keputusan politik yang diambil
Orde Baru didasarkan kepada pemahaman mereka terhadap kepentingan kalangan nasionalis
muslim. Begitu juga kalangan nasionalis muslim yang memposisikan Orde Baru
sebagai mitra untuk mengembangkan Islam di Indonesia. Kebijakan dan keputusan
politik Orde Baru dipandang kalangan nasionalis muslim sebagai pendorong untuk
memajukan Islam. Kedua belah pihak menyadari keberadaan masing-masing yang
“berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hubungan yang “sama rata dan sama
imbang” ini didasarkan dan diperkuat dengan sikap kritis masing-masing pihak,
yang cenderung menghasilkan kesepahaman kedua pihak.
Kelompok-kelompok nasionalis muslim pada masa-masa
tersebut cenderung menekankan pada tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai
Islam dalam aktivitas politik, bukan hanya manifestasinya yang formal—baik
dalam ide-ide maupun lembaga-lembaga politik.[74] Bagi
mereka, substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada
formalitas dan simbolisme keberagamaan yang bersifat tektual dari teks-teks agama
(al-Qur’an dan al-Hadits). Mereka yang sering disebut substansialis ini berusaha mengembangkan nilai-nilai keagamaan seperti
keadilan dan egelitarianisme, bukan menonjolkan simbol atau formal,[75] dalam
panggung politik nasional Indonesia.
Bagi mereka, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai
Islam yang instrinsik—khususnya dalam politik Indonesia, lebih penting dan
sangat terbuka untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi
masyarakat Indonesia. Mereka yakin, bahwa melaksanakan prinsip-prinsip Islam
sama artinya dengan merealisasikan dan mewujudkan prinsip-prinsip Pancasila,[76] yang
diterima kalangan Islam—khususnya NU, sebagai asas tunggal organisasi
sosial-keagamaan dan politik, pada 1983. Dalam prinsip-prinsip Islam juga
terdapat nilai-nilai sikap saling menghargai dan menghormati sesama anggota
masyarakat—seperti terlihat pada pola hubungan ini. Dengan demikian, kalangan nasionalis
muslim substansialis sebenarnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
universal.
Pada intinya, pada tahun-tahun itu, sebagian besar
kalangan nasionalis muslim menerima Pancasila sebagai asas tunggul yang
dianggapnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mereka merujuk
sikapnya itu kepada pernyataan Soeharto yang menyebutkan bahwa Pancasila sebagai
asas organisasi kemasyarakatan tidak bertujuan untuk mengurangi arti dan
peranan agama dalam kehidupan bangsa.
Untuk menyakinkan kalangan nasionalis muslim,
Munawir Sjadzali selaku menteri agama pada masa itu mengemukakan beberapa nilai
dasar Pancasila yang sejalan dengan ajaran Islam, yang dapat dijadikan sebagai
pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai dasar Pancasila itu,
antara lain, keseimbangan antara kesejahteran ukhwawi dan kebahagiaan duniawi, pengakuan
atas hak dan kewajiban—baik individu maupun kelompok, persamaan antara sesama
manusia, pemerataan keadilan, permusyawaratan dalam penyelesaian masalah,
kepemimpinan sebagai amanah dan tanggung jawab, dan kepatuhan dan ketaatan
terhadap pemimpin.[77] Penerimaan Pancasila sebagai
dasar negara membuktikan keluwesan dan ketinggian ajaran Islam yang universal.
Pada akhirnya,
organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah menerima Pancasila
sebagai dasar negara. Dalam muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur,
yang dihadari Soeharto sebagai presiden, NU mengukuhkan pendiriannya untuk
menerima Pancasila sebagai landasar dasar organisasi NU. Dalam deklarasi yang
merupakan hasil muktamar itu disebutkan, bahwa Pancasila adalah dasar dan
falsafah negara, bukan agama—dan tidak dapat menggantikan posisi agama dan
tidak dapat menggantikan kedudukan agama; sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa,
mencerminkan tauhid dalam pengertian keimanan dalam Islam, dan penerimaan dan
pengalaman Pancasila sebagai wujud untuk menjalankan syariah agama. Untuk itu, NU
berkewajiban mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.[78]
Dalam muktamar ke-41 pada 1985 di
Solo, Jawa Tengah, Muhammadiyah menerima asas tunggal Pancasila. Meski
demikian, tujuan dan orientasi Muhammmadiyah tidak mengalami perubahan. Dalam
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, pasal 2 disebutkan bahwa Pancasila
merupakan asas satu-satu organisasi. Hal ini sejalan dengan hasil sidang tanwir
pada 1983, bahwa Muhammadiyah menerima Pancasila dengan tidak mengubah asas
Islam. Dalam pasal 1 tentang identitas Muhammadiyah ditekankan bahwa
“Persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi
mungkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah”.
Partai
politik Islam, yang diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga menerima pemberlakuan
asas tunggal Pancasila pada muktamar ke-1 1984 tanpa melalui proses yang
berlarut-larut. Setahun berikutnya, melalui SK No. 798/KPTS/10/1985, gambar
Ka’bah sebagai lambang partai diganti dengan bintang bersudut lima. Pergantian
dan perubahan itu menjadikan PPP sebagai “partai terbuka”, dan seharusnya juga
menerima non-muslim menjadi anggota dan kader-kader partai. Slogan dalam setiap
kampanye, bahwa “orang Islam wajib memilih Ka’bah” pada gilirannya tidak dapat
digunakan lagi.
Persoalan
asas tunggal Pancasila juga merembet pada organisasi kemahasiswaan. Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) menerima Pancasila sebagai asas organisasi dengan proses
yang sangat alot, pada 1985. Keputusan itu menimbulkan pertentangan di kalangan
kader HMI. HMI pun pecah menjadi dua; HMI Dipo (Diponegoro—yaitu Jalan
Diponegoro) dan HMI MPO (Majelis Penyelat Organisasi). Adapun Pelajar Islam Indonesia
(PII), secara bulat menyuarakan tidak menerima asas tunggal Pancasila, sehingga
keberadaannya secara formal tidak diakui pemerintah.
Intervensi Orde Baru dalam penetapan Pancasila sebagai
asas tunggal bagaikan “mesin buldozer” yang “menggusur” asas Islam bagi kelompok-kelompok
nasionalis muslim. Secara sistematis, Orde Baru memisahkan agama (Islam) dari
negara dengan disertai upaya meyakinkan kalangan nasionalis muslim bahwa
Pancasila menjamin kehidupan beragama.[79] Kalangan
nasionalis muslim “dipaksa” menerima Pancasila.
Gambaran politik tersebut jelas membuktikan bahwa
kalangan nasionalis muslim terpecah dalam menghadapi kebijakan Orde Baru,
khususnya terkait dengan penetapan asas tunggal Pancasila. Pertama, kalangan
yang mengatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Karena itu,
Pancasila harus dilaksanakan dan diamalkan dengan sungguh-sungguh. Kedua,
kalangan yang mengatakan bahwa agama diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
Sebab itu, agama tidak boleh dikesampingkan dalam menegakkan Pancasila.[80] Atau,
dalam bahasa lain, pada kurun waktu itu, kalangan nasionalis muslim terbelah
dalam dua kubu dengan populasi yang lebih bervariasi. Yaitu, kalangan integrasionis
konformis, yaitu para elite muslim bersedia masuk ke dalam pemerintahan dan
menjadi bagian Golkar, dan kalangan integrasionis non-konformis, yaitu para
elite muslim yang hanya mau duduk di dalam kepengurusan partai Islam. Dan,
kalangan isolasionis konformis, yaitu mereka tidak percaya kepada lembaga
keislaman yang mapan maupun kepada arus utama politik namun menerima sistem
sosial dan pemerintahan, dan isolasionis non-komformis yaitu mereka yang
menolak lembaga keislaman dan arus utama politik serta sistem sosial dan
pemerintahan.[81]
Hubungan kalangan nasionalis muslim dan sekuler (Orde
Baru) kemudian berubah pada awal hingga akhir periode 1990. Periode ini
meninggalkan masa-masa “menegangkan” antara keduanya. Orde Baru mulai
“merangkul” aspirasi kalangan nasionalis muslim. Begitu juga mereka bersedia
bekerja sama dan menjadi bagian pemerintah Orde Baru. Artikulasi yang dilakukan
mereka menampilkan struggle with in atau
“bekerja dari dalam (negara)”.[82]
Hubungan keduanya bersifat akomodatif atau integratif
simbiosis,[83]
yaitu hubungan yang saling memahami, menyempurnakan, melengkapai, dan
menguntungkan, dan menghindari ketegangan dan konflik antarkedua pihak.
Keduanya menjalin hubungan yang serasi dan harmonis. Kalangan nasionalis tidak
lagi dianggap sebagai ancaman bagi Orde Baru, dan pemerintahan Orde Baru tidak
menjadi penghambat islamisasi di Indonesia.
Hubungan semacam itu tampak jelas pada sikap Orde
Baru yang semakin responsive terhadap umat Islam. Buktinya, pemerintah
mengeluarkan banyak kebijakan yang sejalan dengan kebutuhan umat Islam.
Setidaknya ada empat jenis bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah semakin
akamodatif.[84]
Pertama, akomodasi struktural yang dibuktikan semakin banyak pemikir dan
aktivias Islam ke dalam struktur lembaga politik. Mereka masuk dalam lembaga
politik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Misalnya, mereka mengalihkan dukungannya kepada
Golkar dan kemudian bersedia menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan di MPR
RI.[85] Mereka
juga masuk dalam pemerintahan, khususnya menjadi menteri. Beberapa menteri berasal
dari kalangan aktivis HMI seperti Akbar Tanjung, Abdul Latief, Mar’ie Muhammad,
danTarmizi Taher. Yang lainnya seperti Saadillah Mursid, Azwar Anas,
Syarifuddin Baharsyah, dan Saleh Afiff. Menteri-mentei lainnya juga dikenal
dekat dengan Islam, Yogie S. Memet, Sujudi, dan Ibrahim Hasan yang acapkali
menjadi mubalig dalam acara-acara pengajian. Inilah gejala politik yang disebut
“priyayisasi santri”, yaitu masuknya orang-orang berlatar belakang keagamaan
“santri” ke dalam pemerintahan dan “santrisasi priyayi” yaitu peningkatan
pemahaman dan pengamalan keagamaan pejabat-pejabat negara. [86]
Akomodasi struktural juga ditandai pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)[87], yang berasal dari inisiatif pemerintah
Orde Baru. Wadah para cendekiawan muslim ini terbentuk secara resmi melalui
forum ilmiah “Simposium Nasional Cendekiawan Muslim Membangun Masyarakat Abad
XXI” di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, pada 6-8 Desember 1990.
Forum ilmiah nasional ini dibuka langsung Presiden Soeharto, dan ditutup oleh
Wakil Presiden Sudharmono, yang dihadiri beberapa menteri. Pendirian ICMI
didukung sejumlah cendekiawan muslim bergelar gurubesar dan doktor. Melalui
organisasi kecendekiawanan ini, tokoh-tokoh Islam, baik di dalam maupun di luar
birokrasi pemerintahan Orde Baru bertemu. “Aliansi” itu pun dinilai oleh banyak
kalangan, baik dalam bentuk sambutan hangat, maupun nada skeptis.
Kedua, akomodasi legislatif, yaitu adanya
beberapa produk undang-undang yang disahkan lembaga legislatif (DPR) yang
mengakomodasi kepentingan umat Islam. Misalnya, Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN).
Awalnya, kelompok nasionalis muslim menentang keras beberapa pasal yang
dianggap merugikan kepentingan pendidikan Islam. Melalui lobi yang
terus-menerus, UUPN akhirnya diberlakukan pada 1989. Pendidikan agama diakui
sebagai subsistem pendidikan nasional dan pengajaran agama wajib diajarkan pada
instansi-instansi pendidikan dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Hampir bersamaan, terjadi juga penghapusan pelarangan penggunaan pakaian
muslimah di sekolah-sekolah umum, pembentukan Badan Amil Zakaf, Infaq dan
Shadaqah (BAZIS), penghapusan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
Perkembangan positif itu terus berlanjut. Beberapa bulan
berikutnya, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) disahkan menjadi
UUPA. RUUPA itu diajukan Departeman Agama, melalui Munawir Sjadzali selaku
menteri agama, ke DPR RI. Pengesahan RUUPA ini mengokohkan status dan fungsi peradilan
agama di lingkungan Departemen Agama dalam memutuskan masalah perkawinan,
warisan, dan wakaf yang disengketakan umat Islam. Pengadilan agama memiliki
kekuatan hukum lebih mengikat dan berhak melaksanakan keputusan-keputusannya
sendiri. Dengan demikian, kepastian hukum bagi umat Islam lebih terjamin,dalam
arti sesuai pada hukum-hukum yang bersumber dari Islam.
Proses pembahasan RUUPA menghadapi tantangan yang tidak
ringan. Pro dan kontra tentang RUUPA berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Kalangan nasionalis sekuler dan non-muslim berusaha menggagalkan pembahasan RUU
tersebut. Pembahasan RUUPA dikaitkan dengan penegakan kembali Piagam Jakarta
yang dapat “mengganggu” asas tunggal Pancasila. Dalam pernyataannya, Soeharto
dengan tegas menyebutkan, RUUPA tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta.
Setelah pernyataan dari Soeharto, pembahasan RUUPA berjalan lebih mulus, dan
setelah enam bulan, RUU itu disahkan menjadi.
Ketiga, akomodasi infrastruktural, yaitu
kesediaan Orde Baru membentuk, mengembangkan, dan menggalakkan upaya-upaya
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kalangan Islam. Pemerintah Orde Baru merangkul
kelompok nasionalis muslim melalui program-program sosial dan ekonomi yang
sangat dibutuhkan umat Islam. Misalnya, program seribu dai ke daerah-daerah
terpencil. Soeharto mempersiapkan dai-dai berkompeten untuk dikirim dan disebar
ke daerah-daerah yang dihuni sebagian besar transmigran. Kedua program ini,
oleh kalangan nasionalis muslim, dianggap mendorong islamisasi di Indonesia. Begitu
pula pembentukan Yayasan Amal Bakti Muslim Indonesia (YABMP). Melalui YABMP,
Soeharto membangun ratusan masjid di pelosok-pelosok di penjuru tanah air.
Sampai 1992, YABMP telah membangun 439 masjid, kemudian pada 1994 bertambah
menjadi 634 masjid. Melalui YABMP pula, Soeharto melakukan pengadaan ribuan
al-Qur’an. Pada 1988, YABMP menyediakan pengadaan 192.000 al-Qur’an, dan pada
1993 melonjak menjadi 622.557 al-Qur’an. Di bidang ekonomi, untuk pertama kalinya di
Indonesia, pemerintah Orde Baru mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada
1991. Pendirian bank tanpa bunga ini sebenarnya diprakarsai Majelis Ulama
Indonesia (MUI), yang diawali dari lokakarya
di Bogor, Jawa Barat, dan dimatangkan pada Munas MUI (1990). Untuk
merealisasikan rencana itu, MUI melobi beberapa pejabat pemerintah. B.J.
Habibie selaku menteri riset dan teknologi merespon positif rencana itu.
Dukungan juga diberikan Soeharto. Dalam waktu singkat, sekitar dua bulan, dana
untuk pendirian BMI terkumpul 64,1 miliar—sumbangan Soeharto sebesar 3 miliar,
dan dengan dana itu berdirilah bank syariah yang menjadi pionir bagi pendirian
bank-bank syariah pada masa selanjutnya.
Dan keempat, akomodasi kultural, yaitu penerimaan Orde Baru terhadap idiom-idiom Islam ke dalam kotakata instrumen-instrumen politik dan ideologi negara. Akomodasi semacam ini dibuktikan dengan jelas dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal di Jakarta pada 1991 dan 1995. Melalui festival ini, berbagai ekspresi kebudayaan ditampilkan. Karya-karya seni, arsitektur, kaligrafi, film, musik, dan tari yang bernuansa islami digelar dan dipamerkan.
3. Agama dan Negara di Indonesia pada Orde
Reformasi
3.1. Kompetisi Politik Terbuka: Antusiasme
Partai-Partai Politik Islam
Antuasiaisme
politik pasca Soeharto dipicu dari romantisme sejarah politik tahun 1950-an. Hampir
serupa dengan peserta pemilu 1955, partai politik peserta pemilu 1999 dapat
dikelompokkan empat kategori; partai berbasis keagamaan, partai religius
demokratis, partai nasional pragmatis, dan partai nasionalis demokratis. Namun,
pada dasarnya, partai-partai yang berdiri pasca Orde Baru dapat dibagi secara
ideologis menjadi dua kelompok besar; partai nasionalis agama dan nasionalis
sekuler.[88]
Partai-partai itu saling berkompetesi dan berebut suara dari para pemilih.
Partai-partai nasionalis agama (Islam) tidak hanya vis-à-vis dengan partai-partai nasionalis sekuler, tetapi juga
berhadapan dengan partai-partai Islam lainnya.
Partai-partai politik Islam peserta pemilu1999 dapat
dirujuk pada peserta pemilu 1955; yaitu Masyumi, NU, dan Partai Syarikat Islam
Indonesia. Dari Masyumi terbelah menjadi Partai Masyarakat Baru (PMB), Partai
Politik Islam Masyumi (PPIM), Paetai Masyumi Baru, Partai Umat Islam (PUI), dan
Partai Bulan Bintang (PBB). Dari tubuh NU terfragmentasi menjadi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan
Ummat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Dari PSII
lahir partai kembar; PSII dan PSII 1905. Selain “warisan” Orde Lama, peserta
pemilu 1999 juga diikuti partai warisan Orde Baru, seperti PPP. Sisanya
merupakan partai baru, yaitu Partai Keadilan (PK), Partasi Cinta Damai, Partai
Abul Yatama (PAY), Partai Indonesia Baru (PIB), dan lainnya.[89] Selain
berdasarkan diri pada ideologi dan simbol keislaman, partai peserta pemilu 1999
juga didasarkan pada basis dukungan umat Islam, misalnya Partai Amanat
Nasional, selain PKB tentunya.
Fenomena
itu memperlihatkan bahwa fragmentasi dalam politik Islam pasca Orde Baru tidak
lagi berpola klasik antara subkultur tradisionalis versus modernis. Masing-masing
subkultur juga mengalami keterbelahan menjadi substansialis dan formalis. Kalangan
formalis, sebagaimana labelnya, merupakan kelompok yang menginginkan Islam
tetap dijadikan ideologi partai. Kalangan substansialis menginginkan Islam tak
perlu lagi diformalkan seperti di Orde Lama, tetapi cukup menjiwai misi dan
program partai.
Realitas
politik itu dapat dilihat pada lingkungan NU. Misalnya, kalangan formalis NU
membentuk PKU dan PNU, dan kalangan substansialis bergabung dalam PKB.
Pengotakan itu juga terjadi pada kaum modernis. Kalangan formalis berramai-ramai
membentuk PK, PBB, dan lain-lain, dan kalangan substansialis membentuk partai
inklusif model PAN. Bahkan seiring perkembangan waktu, antara subkultur
tradisionalis dan modernis telah terjadi “dialog” panjang yang memungkinkan
terjadinya proses pendekatan kedua aliran. Apalagi di lingkungan subkultur
tradisionalis, banyak lahir pemikir pemimpin berpendidikan tinggi, sehingga
pola pikir mereka tidak layak disebut sebagai tradisionalis. Fenomena ini
menyebabkan sebagian kalangan enggan memilah kaum santri dalam dua subkultur
tradisionalis dan modernis.[90]
Setelah
melalui persaingan yang sangat ketat, sama dengan hasil pemilu 1955,
partai-partai berideologi Islam dan berbasis massa Islam kalah berhadapan
dengan partai nasionalis sekuler seperti PDI Perjuangan—sebagai jelmaan PNI
pada pemilu 1955. Hal ini dapat dilihat dari berikut yang menunjukkan partai-partai peraih kursi dan
suara pada pemilu legislatif 1999 yang disahkan KPU Pusat, sesuai urutan; PDI
Perjuangan (154 kursi/35,689.073
[33.74] suara), Partai Golkar (120
kursi/23.741.740 [22.44%] suara), PPP (59 kursi/11.329.905 [10.71% ] suara),
PKB (51 kursi/13.333.982 [12.61% ] suara), PAN (35 kursi/7.528.956 [7.12% ]
suara), PBB (13 kursi/2.049.709 [1.94% ] suara), PK (7 kursi/1.436.565 [1.36% ]
suara), PNU (5 kursi/679.179 [0,64% ] suara), dan partai-partai lainnya yang
hanya memperoleh 1-2 kursi.[91]
Kekalahan
partai kalangan nasionalis muslim itu berlanjut pada pemilu legislatif 2004. Menurut data yang
dikeluarkan KPU Pusat, ada tujuh partai besar yang berhasil memperoleh kursi/suara
dalam pemilu legislatif 2004. Yaitu, sesuai urutan; Partai Golkar (128 kursi/24.480.757 [21.58%] suara),
PDI Perjuangan (109 kursi/21.026.629 [18,53%] suara), PKB (52 kursi/11.989.564
[10,57%] suara), PPP (58 kursi/9.248.764 [8,15%] suara), Partai Demokrat (57
kursi/8.455.225 [7,45%] suara), PKS (45 kursi/8.325.020 [7,34%] suara), dan PAN
(25 kursi/7.303.324 [6,44%] suara).
Nasib serupa juga terjadi pada pemilu legislatif 2009. Data yang dikeluarkan KPU Pusat membuktikan kekalahan partai
kalangan nasionalis muslim. Berikut sembilan partai besar yang berhasil lolos dari parliamentary
threshold dan memperoleh kursi/suara
pada pemilu legislatif 2009, sesuai urutan; Partai Demokrat (150
kursi/21.703.137 [ 20,85 %] suara), Partai
Golkar (107 kursi/15.037.757 [14,45 %] suara), PDI Perjuangan (95 kursi/14.600.091 [14,03%] suara), PKS (57 kursi/8.206.955 [7,88%] suara), PAN (43 kursi/6.254.580
[6,01%]
suara), PPP (37 kursi/5.533.214 [5,32%] suara), PKB (27 kursi/5.146.122
[4,94%]
suara), Partai
Gerindra (26 kursi/4.646.406 [4,46%] suara), dan Partai Hati Nurani Rakyat—Hanura (18 kursi/3.922.870 [3,77%] suara). Lihat KPU Pusat, yang dipublikasikan
pada Sabtu, 9 Mei 2009.
Pada pemilu legislatif 2014 juga menunjukkan data yang
sama pada pemilu-pemilu sebelumnya. Partai kalangan nasionalis muslim juga
mengalami kekalahan. Berikut data yang disahkan KPU Pusat, yaitu PDI Perjuangan
(109 kursi/23.681.471 [18,95%] suara), Partai Golkar
(91
kursi/18.432.312 [14,75%] suara), Partai Gerakan Indonesia Raya—Gerindra (73
kursi/14.760.371 [11,81%] suara), Partai Demokrat (61 kursi/12.728.913 [10,19%] suara), PKB (47
kursi/11.298.950 [9,04%] suara), PAN (49
kursi/9.481.621 [7,59%] suara), PKS (40
kursi/8.480.204 [6,79%] suara), Partai Nasdem (35
kursi/8.402.812 [6,72%] suara), PPP (39
kursi/8.157.488 [6,53%] suara), dan Partai Hati Nurani Rakyat—Hanura (16 kursi/6.579.498 [5,26%] suara). Ada dua partai
peserta pemilu 2014 yang tidak memperoleh kursi: PBB (0 kursi/1.825.750 [1,46%]
suara), dan PKPI (0 kursi/1.143.094 [0,91%] suara).
Secara umum, dari pemilu legislatif 1999, 2004, 2009, hingga
2014, partai berideologi Islam dan berbasis umat Islam tidak pernah berada di
urutan pertama dalam perolehan suara maupun kursi. Sama dengan pemilu 1955,
partai-partai kalangan nasionalis muslim ini dikalahkan partai-partai
nasionalis sekuler. Dari empat pemilu itu, partai berideologi Islam diwakili
PPP, PKS—yang sebelumnya PK, dan PBB. Karena tidak lolos ikut pemilu 2004, PK
berubah menjadi PKS. PBB, yang merupakan ‘reinkarnasi Masyumi, malah tidak
meraih kursi pada pemilu 2014. Artinya, dalam empat kali pemilu, partai
berideologi Islam diwakili PPP dan PKS. Adapun partai berbasis umat Islam
diwakili PKB dan PAN. Dengan demikian, dari pemilu 1999 hingga 2014, ada empat
partai dari kalangan nasionalis muslim yang bertahan; yaitu PPP, PKS/PK
(ideologis Islam), PKB, dan PAN (berbasis umat Islam). Bila ditelisik sejarah
pemilu 1955, maka PPP dan PKB dapat dikatakan diidentikkan partai tradionalis
(NU), dan PKS/PK dan PAN dapat diidentikkan dengan partai modernis (Masyumi).
Yang jelas, partai-partai ini “teruji” dalam masa-masa transisi yang penting
dalam kehidupan berpolitik di Indonesia.
3.2. Dari Persimpangan Reformasi:
Penegakkan Khilafah Islamiyah di
Indonesia
Selain
memunculkan partai-partai politik Islam yang semakin marak, Orde Reformasi juga
melahirkan gerakan-gerakan keagamaan yang berpegang teguh untuk menegakkan
syariat Islam, dan bahkan cenderung ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.
Kemunculan mereka terus meluas dan bertambah secara endemik.[92] Fenomena
di era keterbukaan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan
Islam—di luar partai politik, yang pernah terjadi pada pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru.
Keberadaan kelompok-kelompok ini yang marak pasca Orde
Baru bisa dimaklumi karena di masa reformasilah mereka bisa secara bebas muncul
dan menyuarakan keinginan mereka. Mereka lebih tegas dala menyuarakan penerapan
syariat Islam atau mendirikan negara Islam.[93] Dengan
kenyataan seperti itu, reformasi sebenarnya telah memberi jalan terbuka
munculnya kelompok-kelompok Islam ini. Reformasi menjadi pijakan konstitusional
untuk menyalurkan suara-suara mereka.
Dengan menyuarakan ide-ide dan kepentingan untuk
penerapan syariat dan pendirian negara Islam di Indonesia, masyarakat
mencitrakan gerakan mereka cukup fundamentalis, dan bahkan radikalis. Kendati
demikian, perlu dijelaskan dalam pembahasan ini bahwa istilah ‘radikal’
sebenarnya tidak sepenuhnya mampu menggambarkan fenomena ini. Selain “fundamentalis
dan radikalis”, kelompok ini mendapat cap bermacam-macam dari masyarakat,
antara lain, revivalis, ekstremis, fanatis, militan, dan bahkan teroris. Hal
itu merupakan akumulasi dari kesatuan kompleksitas dari fenomena yang terjadi
di masyarakat. Untuk itu, gerakan ini tidak dipungkiri memiliki tempat
tersendiri dalam diskursus sosial politik kontemporer di Indonesia.
Secara
umum, gerakan-gerakan Islam itu didasarkan pada beberapa ideologi.[94] Pertama, mereka berpandangan bahwa Islam
adalah agama yang komprehensif dan bersifat total, yang mengatur pandangan
hidup. Karenanya, bagi kelompok ini, Islam sebagai wahyu Ilahi tidak bisa
dipisahkan dari masalah-masalah kehidupan politik, hukum, dan masyarakat. Islam
mengatur kehidupan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
Kedua, mereka menolak dengan tegas ideologi
masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materialistis, yang tentu saja
bertentangan dengan Islam. Menurut mereka, masyarakat muslim, termasuk di
Indonesia, telah berpaling mengikuti ideologi Barat yang sekuler dan
materialistis itu. Untuk itu, mereka telah gagal membangun masyarakat ideal.
Ketiga, mereka mengajak para jamaahnya
untuk ‘kembali kepada Islam. Ajakan ini dimaksudkan agara para pengikutnya bisa
melakukan perubahan sosil yang dilandaskan sepenuhnya kepada ajaran-ajaran
Islam yang otentik dan murni, yaitu kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi.
Keempat, mereka menolak peraturan-peraturan
dari tradisi Barat—sebagai warisan kolonialisme, yang berkembang di dalam
masyarakat muslim. Penolakan ini sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap
ideologi Barat. Untuk mengganti peraturan-peraturan dari Barat itu, mereka menginginkan
penegakan hukum (syariat) Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang
dijalankan.
Kelima, mereka menerima modernisasi, sains
dan teknologi—dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama dan
tidak merusak kebenaran yang sudah final. Mereka menentang
penyimpangan-penyimpangan abad modern. Dalam konteks sains dan teknologi,
kelompok ini menggunakannya sebagai alat atau ‘senjata’ untuk memperkuat basis
sosial masyarakat Islam dan bahkan menjadi alat untuk melawan Barat. Sekali
lagi, hal ini sebagai konsekuensi logis atas penolakan mereka terhadap ideologi
Barat. Namun, pada sisi lain, mereka cenderung tetap mengagung-agungkan
kejayaan Islam di masa lalu.
Keenam, mereka menekankan pentingnya aspek
pengorganisasian ataupun pembentukan kelompok yang kuat untuk mewujudkan
proses-proses islamisasi di dalam masyarakat muslim, termasuk di Indonesia.
Meski organisasi atau kelompok mereka kecil, namun karena dibangun di atas fondasi
ideologi yang kuat dan didukung anggota kelompok yang terdidik dan terlatih,
maka upaya-upaya islamisasi diyakin bisa terwujud.
Dengan keenam landasan ideologi tersebut, gerakan-gerakan
Islam yang berkembang di Indonesia berupaya menggantikan negara NKRI menjadi
negara Islam. Mereka ingin menjalankan syariat Islam secara kaffah di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa gerakan-gerakan Islam semacam itu
bermunculan bersamaan dengan masa-masa keterbukakan pasca Orde Baru. Paling
tidak ada dua faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan Islam yang
cenderung fundemantalis, radikalis, bahkan dikaitkan dengan kekerasan. Pertama,
faktor internal, yaitu terjadinya transformasi doktrin dan pemahaman keagamaan
di kalangan mereka. Kedua, faktor eksternal, yaitu perkembangan kehidupan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya, baik dalam skala domestik maupun
internasional.[95]
Kedua faktor ini saling terkait, yang dimulai pada awal
tahun 1980-an. Saat itu, kalangan generasi muda muslim mulai bersemangat
melihat kembali kepada Islam. Antusiasme dan gairah mereka tidak lepas dari
perkembangan sosial politik yang berkembang di beberapa dunia Islam, terutama
pasca Revolusi Islam di Iran. Pada saat yang sama juga tersebar buku-buku
bacaan keagamaan yang ditulis beberapa intelektual Islam yang berpandangan
radikal, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Abu al-A’la al-Maududi, hingga
Yusuf al-Qaradhawi. Faktor ini juga muncul karena ketertindasan umat Islam di
beberapa negara, seperti Palestina dan Afghanistan. Tindakan dan perilaku
Israel terhadap Palestina yang tidak seimbang memicu munculnya sikap
solidaritas internasional umat. Sentimen ketidakadilan atas sikap dunia Barat
terhadap Israel terhadap Palestina tidak seimbang dengan sikap dan tanggapan
yang keras kepada Irak. Tidak mengherankan jika masalah Palestina salah satu
faktor solidaritas yang dapat menimbulkan sikap radikal. Jadi, isu solidaritas
terhadap penderitaan umat Islam di belahan bumi lain juga faktor yang penting
dalam menumbuhkan sikap radikalisme.[96]Perang
Afghanistan juga mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama
kelompok-kelompok Islam dari beberapa negara Islam untuk memerangi tentang
Soviet. Momentun peperangan di Afghanistan menjadi ladang subur untuk bertemu
dengan berbagai organisasi atau aliran keagamaan, misalnya kelompok Wahhabi
atau Ahl al-Hadits, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbul Islam. Dari interaksi itu,
mereka terinspirasi dan menimba banyak ilmu, termasuk tentang kemiliteran.
Dari sisi teologis, kelompok ini diinspirasikan oleh
pemahaman tekstual agama yang mereka pahami cenderung terlepas dari konteks
sosial. Romantisisme kejayaan Islam pada masa lalu pun lebih dilihat sebagai
“kejayaan”, bukan diletakkan kepada konteks sosial dunia global pada saat itu.
Dalam hal ini, mereka memposisikan diri sebagai kaum “benar” yang “tertindas”,
sehingga cara untuk mendudukan yang “benar” dalam posisi yang “seharusnya”
(kekuasaan politik) adalah menentang pemerintahan yang ada. Oleh sebab itu,
kelompok ini tidak “bermain” dalam sistem politik yang berlaku, karena bila
menggunakan struggle with in mereka
menganggap juga turut memberikan pembenaran terhadap pemerintahan yang ada.
Dilihat dari sisi kesejarahan, munculnya gerakan-gerakan
Islam semacam itu di Indonesia sebenarnya bukanlah fenomena baru. Pada masa
kemerdekaan, kemunculan gerakan semacam ini ditandai dengan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII). Kemudian muncul kembali pada masa Orde Baru, dengan beberapa
peristiwa di daerah-daerah karena dipicu oleh hasil ketidakpuasan atau ketidakselarasan
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang justri menyudutkan umat Islam,
sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Gerakan-gerakan itu berlanjut setelah kran kebebasan
terbuka selebar-lebarnya pada 1998. Beberapa kelompok tersebut, antara lain, Jamaah
Salafiah, Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Front Pemuda Islam Surakarta
(FPIS), Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI), Laskar Jihad, dan Gema
Pembebasan. Masing-masing kelompok memiliki latar belakang dan kepentingan yang
berbeda, dan juga ada persamaannya.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), misalnya, memilih
untuk melakukan advokasi pengimplentasian syariat Islam di Indonesia dengan
membangun wacana publik lewat tulisan-tulisan, baik penerbitan, media massa
maupun internet. Mereka juga aktif bergerak melalui lobi-lobi politik ke
partai-partai politik Islam untuk memperjuangkan Piagam Jakarta lewat
sidang-sidang parlemen. Sebagai ajang sosialisasi, MMI juga aktif melakukan
seminar-seminar, baik di lingkungan kampus ataupun masjid-masjid tentang
pelaksanaan syariat di Indonesia. Dengan sikap politik dan juga akademis, MMI
seringkali berbeda pandangan dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad.
Secara ide mereka bertemu, namun mereka berbeda dalam penerapannya.[97]
Gerak-gerik MMI itu dapat dipahami sebagai gambaran mengenai tujuannya agar
syariah Islam dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam
pemerintahan nasional maupun internasional.
Hal tersebut berbeda dengan FPI[98] yang
dari awal sudah bertujuan sebagai kelompok pemberantas maksiat. Sebagai
implementasi —dan juga penafsiran— amar
ma’ruf nahi munkar, FPI kerapkali mendatangi tempat-tempat maksiat, seperti
rumah hiburan malam, lokalisasi pelacuran, kafe-kafe minuman keras, dan
sebagainya, untuk melakukan penutupan secara paksa, bahkan beberapa kali
melakukan pengrusakan. FPI lahir atas keprihatinan para pendirinya melihat
kemaksiatan dan kemungkaran yang semakin marak di Indonesia. Untuk itu,
penamaan yang dipilih menggunakan kata “pembela” Islam. Menurut Habieb Rizieq
Syihab, da’i muda pimpinan FPI, umat Islam dan nilai-nilai Islam perlu dibela,
sehingga motto yang terpatri bagi gerakan mereka adalah “Hidup Mulia atau Mati
Syahid”.
Kelompok yang secara tegas ingin mewujudkan khilafah islamiyah melalui “jalur”
politik adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).[99]
Pemaknaan “jalur” ini bukan dimaksudkan masuk dan berjuang melalui sistem
politik yang ada di Indonesia, namun menyatakan dirinya sebagai partai politik
yang merupakan subsistem dari kepentingan politik internasional. Sejak
dideklarasikan pertama kali, HTI memang merupakan turunan dari Hizbut Tahrir
yang berpusat di Palestina. Kendati menyatakan sebagai organisasi politik, HTI
tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai partai politik yang mengikuti
pemilu. Untuk itu, jelas, HTI memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan
partai-partai politik Islam yang ikut andil dalam pemilu.
Gerakan-gerakan tersebut, khususnya yang berkembang di
tengah suasana eforia kebebasan, jelas berideologi dengan basis ajaran agama
(Islam). Gerakan ini bersumber dari gagasan keagamaan Islam. Sebenarnya pada
periode yang sama, di Indonesia terdapat gerakan-gerakan lainnya yang cenderung
berideologi dengan basis non-agama (sekuler). Dalam kategori ini terdapat empat
kelompok gerakan, yang jelas-jelas bersumber pada pemikiran Barat.
Gerakan-gerakan berideologi sekuler itu pada dasarnya memiliki
aspek spektrum yang luas; mulai dari ideologi berbasis pemikiran kanan hingga
kini. Masing-masing kategori memiliki varian yang saling berbeda, dan bahkan
saling bertentangan. Gerakan kalangan kiri radikal di Indonesia, misalnya, bisa
dilihat pada berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sedangkan kalangan kiri
moderat umumnya tumbuh di kalangan gerakan mahasiswa dan lembaga swadaya
masyarakat. Mereka menjadi bagian dari gerakan kiri internasional. Adapun gerakan-gerakan
yang berideologi kanan dapat dibedakan antara kanan-konservatif dan
kanan-liberal.[100]
Di tengah arus keterbukaan pasca Orde Baru,
gerakan-gerakan berideologi Islam dan berideologi sekuler berebut mendapatkan
simpati masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam.
Daftar Bacaan
Abdullah,
Masykuri, Islam dan Demokrasi: Respon
Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta:
Kencana, 2015.
Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis
Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta: Darul Falah,
1419.
Alam, Wawan
Tunggul, ed., Bung Karno: Demokrasi
Tertpimpin Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato) Jakarta: Gramedia,
2001.
-----, Bung Karno: Menggali Pancasila (Kumpulan
Pidato), Jakarta: Gramedia, 2000
Al-Brebesy,
Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur & Amien Rais tentang
Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Ali, As’ad
Said, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi:
Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis, Jakarta: LPS3ES, 2013.
Ali, Fachry dan
Iqbal Abdurrauf Saimima, “PPP, Merosotnya Aliran dalam Persatuan Pembangunan”,
dalam Farchan Bulkian (pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia,
Jakarta, LP3ES, 1988.
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di
Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Amir, Zainal
Abidin, Peta Islam Politik
Pasca-Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003.
Anwar, M.
Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, Desember 1995
Azra, Azyumardi, Islam
Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000.
Budiardjo
Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Bulkian,
Farchan (pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta,
LP3ES, 1988,.
Effendy,
Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina,
1998.
Anshari, Endang
Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945,
Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
Fauzi,
Nasrullah Ali-, dkk., ICMI Antara Status
Quo dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, 1995.
Haq, Prof. Dr.
Hamka, MA, Pancasila 1 Juni & Syariat Islam Jakarta: RMBooks, 2011.
Hatta,
Mohammad, Sekitar Proklamasi 17 Agustus
1945 Jakarta: Tintamas, 1969.
Husaini, Dr
Adian, Pancasila Bukan untuk Menindasa Hak Konsitusional Umat Islam, Jakarta:
Gema Insani, 2009.
Indra, Muhammad
Ridhwan dan Sophian Marthabaya, Peristiwa-peristiwa
di Sekitar Proklamasi, Jakarta: Sinar Grafika, 1987
Jamhari dan
Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2004
Jenkis, David, Suharto and His Generals: Indonesian
Military Politics 1975-1983, Ithaca: Monograph Series, Publication No. 64,
Cornell Modern Indonesian Project, Cornell University, 1984.
Jurdi,
Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam
Indonesia: Pertautan Negara, Khilfah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
K.H., Ramadhan
dan G. Dwupayana, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta:
PT Citra lamtoro Gung Persada, 1989.
Karim, M.
Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999
-----, Perjalanan Partai Politik di Indonesia
Sebuah Potret Pasang-Surut, Jakarta: Rajawali Press
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi
Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Lubis, M.
Ridwan, Sukarno & Modernisme Islam, Depok: Komunitas Bambu, 2010
Maarif, Ahmad
Syafii, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan
dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996.
Mashad, Dhurorudin, Akar
Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008)
Mubarak, M.
Zaki, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek
Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2008.
Muhammad, Abrar,
ICMI dan Harapan Umat, Jakarta: YPI
Ruhama, 1991.
Natsir, M., Agama dan Negara dalam Perspektif Islam,
Jakarta: Media Da’wah, 1422/2001.
-----, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942,Jakarta: LP3ES, 1982.
-----, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan, 1984.
-----, Partai Islam di Pentas Nasional Kisah dan
Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 Bandung: Mizan, 2000.
Salim GP,
Arskal, Partai Islam dan Relasi
Agama-Negara, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1999
Sitompul,
Einar, NU dan Pancasila, Jakarta:
Sinar Harapan, 1992.
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta:
Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid I
Soekarno, Lahirnja Pantja-Sila dan Undang-Undang Dasar
1945 Berikut Piagam Djakarta, Djakarta-Bandung-Semarang, Tridaja, t.t.
Suhelmi, Ahmad,
Soekarno Versus Natsir: Kemenangan
Barisan Megawati Reinkranasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah,
1420/1999
Syam, Firdaus, MA, Amien Rais:
Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, November 2003.
Syamsuddin, M.
Din, Etika Agama dan Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2000.
-----, Islam dan Politik: Era Orde Baru, Ciputat:
Logos, 2001
Thaba, Abdul
Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde
Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Thaha, Idris, Demokrasi
Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta:
Teraju, 2005
Thalib, M. dan
Haris Fadjar, Pembaharuan Pemikiran Islam
di Indonesia: Dialog Soekarnoo Hasan, Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1988
Tjokrosujoso,
Abikusno, Umat Islam Indonesia Menghadapi
Pemilihan Umum, Jakarta: Endang, t.t.
Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Yamin, Moh., Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar I-III, Jakarta:
Jajasan Prapanca, 1959.
Yatim, Badri, Soekarno,
Islam, dan Nasionalisme, Ciputat: Logos, 1999.
[1] Baca Maswadi Rauf, “Islam dan
Politik: Sebuah Debat yang tidak Pernah Selesai” dalam pengantar buku Ahmad
Suhelmi, Soekarno Versus Natsir:
Kemenangan Barisan Megawati Reinkranasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul
Falah, 1420/1999), viii.
[2] Pergulatan ideologis antara dua
kelompok ini dapat dipahami munculnya silang pendapat yang berkepanjangan
antara tokoh-tokoh nasionalis muslim seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad
Hassan, dan Mohammad Natsir dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler seperti
Soekarno dan Tjipto Mangungkusumo. Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkranasi
Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1420/1999), 4.
[3] Baca Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta:
Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid I, 369-493.
[4] Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari
Negara?” dalam Dibawah Bendera
Revolusi, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid
I, 405.
[5] M. Thalib dan Haris Fadjar, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia:
Dialog Soekarno-Hasan, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1988), 10-11.
[6] Mengenai pandangan Soekarno
tentang Islam, baca M. Ridwan Lubis, Sukarno & Modernisme Islam,
(Depok: Komunitas Bambu, 2010) dan Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan
Nasionalisme (Ciputat: Logos, 1999).
[7] Soekarno, Lahirnja Pantja-Sila dan Undang-Undang Dasar 1945 Berikut Piagam
Djakarta, (Djakarta-Bandung-Semarang, Tridaja, t.t.), 20. Tentang
pidato-pidato Soekarno yang membahas Pancasila secara lengkap, baca Wawan
Tunggul Alam, ed., Bung Karno: Menggali
Pancasila (Kumpulan Pidato) (Jakarta: Gramedia, 2000 dan Wawan Tunggul
Alam, ed., Bung Karno: Demokrasi
Tertpimpin Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato) (Jakarta: Gramedia,
2001).
[8] Disebutkan A. Muchlis adalah M.
Natsir, pada waktu belum dikenal banyak orang.
[9] Tulisan-tulisan Natsir tentang
persatuan agama (Islam) dan negara dapat dibaca pada M. Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), khususnya dalam Bagian V “Persatuan Agama dengan Negara”, 431-489. Dengan
judul sama, tulisan-tulisan ini dimuat ulang dalam M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam,
(Jakarta: Media Da’wah, 1422/2001), khususnya Bagian Ketiga, 75-114.
[10] M. Natsir, “Arti Agama dalam
Negara” dalam Capita Selecta,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 436-437 dan M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Media Da’wah,
1422/2001), 78-79.
[11] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), 338-339
[12] Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar I-III, (Jakarta: Jajasan Prapanca, 1959), 115.
[13] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah
Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), 28.
[14]
Soekarno, Lahirnja Pantjasila, 21.
[15] Ibid., 21.
[16] Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tinta Mas, 1978), 20.
[17] Anshari, Piagam Jakarta, 29-30.
[18] Ibid., 29.
[19] Ibid.
[20] Ibid., 33.
[21]
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/religi-nusantara/16/06/04/o86dip385-kiprah-ajengan-ahmad-sanusi-dan-kh-wahid-hasyim-dalam-sidang-bpupki-part2
[22] Anshari, Piagam Jakarta, 41.
[23] Ibid., 42
[24] Ibid., 47.
[25] Hatta, Memoir, 458. Baca juga Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional Kisah dan Analisis Perkembangan Politik
Indonesia 1945-1965 (Bandung: Mizan, 2000), 42.
[26] Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta:
Tintamas, 1969), 58-59.
[27] Hatta, Memoir, 459. Lihat pula Prof. Dr. Hamka Haq, MA, Pancasila 1
Juni & Syariat Islam (Jakarta: RMBooks, 2011), 37.
[28] Muhammad Ridhwan Indra dan
Sophian Marthabaya, Peristiwa-peristiwa
di Sekitar Proklamasi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1987), 183.
[29] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 91.
[30] Hatta, Sekitar Proklamasi, 59.
[31] Abikusno Tjokrosujoso, Umat Islam Indonesia Menghadapi Pemilihan
Umum, (Jakarta: Endang, t.t.), 11
[32] Anshari, Piagam Jakarta, 53.
[33] Muhammad Yamin dan A.A. Maramis,
dua wakil nasionalis kebangsaan tidak diundang untuk mengikuti persidangan
Panitia Persiapan, sebagaimana Abikoesno, Agus Salim, dan A. Kahar Muzakkir.
Dua wakil Islam yang diundang, yakni Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikoesoemo,
mendapat tekanan psikologis untuk membahas finalisasi perubahan itu. Namun,
perlu diperhatikan Kasman Singodimedjo baru menjadi anggota tambahan saat pagi
hari menjelang sidang, dan ia bukan anggota BPUPKI, sehingga tidak menguasai
proses perubahan itu. Sementara, Ki Bagus Hadikoesoemo bukan wakil pendantangan
Piagam Jakarta, sehingga ia mendapat tekanan psikologis yang besar mewakili
eksponen perjuangan Islam.
[34] Dr Adian Husaini, Pancasila
Bukan untuk Menindasa Hak Konsitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani,
2009), 50-51.
[35] Effendy, Islam dan Negara, 104 dan 107.
[36] Noer, Partai Islam, 285.
[37] Effendy, Islam dan Negara, 109.
[38] Ibid., 286-287.
[39] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru, (Ciputat:
Logos, 2001), 46
[40] Ahmad Syafii Maarif, Islam
dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante,
(Jakarta: LP3ES, 1996), 185.
[41] Effendy, Islam dan Negara, 110-111
[42] Maarif, Islam dan Pancasila,187.
[43] Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap
Pemikiran Politik Gus Dur & Amien Rais tentang Negara, (Jakarta:
Rajawali Pers, November 1999), 44.
[44] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), 20 dan 240.
[45] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran
dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde
Baru, (Jakarta: Paramadina, Desember 1995),
ix. Sedangkan Thaba menyebut hubungan itu berlangsung antara 1967-1982.
Lihat Thaba, Islam dan Negara, 20 dan 240.
[46] Effendy, Islam dan Negara,
3 dan 111.
[47] Kajian secara rinci dan utuh
bisa dilihat dalam Abdullah, Islam dan
Demokrasi.
[48] M. Rusli Karim, Negara dan
Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
[49] Lihat bahasan lengkap dalam Syamsuddin,
Islam dan Politik.
[50] Karim, Negara dan Peminggiran,
94-96.
[51] Anwar, Pemikiran dan Aksi
Islam Indonesia, 144-146.
[52] Syamsuddin, Islam dan Politik,
152.
[53] Effendy, Islam dan Negara,
116.
[54] Thaba, Islam dan Negara, 246 dan Syamsuddin, Islam dan Politik, 34.
[55] Dr. M. Din Syamsuddin, Etika
Agama dan Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), 17.
[56] Idris Thaha, Demokrasi
Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, (Jakarta:
Teraju, 2005), 186.
[57] Ibid., 247.
[58] Ibid. Dalam buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 113-114, disebutkan, bahwa Parmusi berdiri
pada 20 Februari 1968 di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman
Hakim—keduanya aktivis Muhammadiyah. Effendy mengutip pernyataannya itu dari
buku Kenneth E. Ward, The Foundation of
the Partai Muslimin Indonesia, (Ithca: Modern Indonesian Project, Southeast
Asia Program, Cornell Univesity, 1970). Lihat pula Masykuri Abdullah, Islam dan Demokrasi: Respon Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Jakarta: Kencana,
2015), 244.
[59] Ibid., 249.
[60] Syamsuddin, Islam dan Politik, 50.
[61] Effendy, Islam dan Negara, 116.
[62] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia
Sebuah Potret Pasang-Surut, (Jakarta: Rajawali Press), 168-170.
[63] Thaba, Islam dan Negara, 115.
[64] Fachry Ali dan Iqbal Abdurrauf
Saimima, “PPP, Merosotnya Aliran dalam Persatuan Pembangunan”, dalam Farchan
Bulkian (pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, (Jakarta,
LP3ES, 1988) 254-255.
[65] David Jenkis, Suharto and His Generals: Indonesian
Military Politics 1975-1983, (Ithaca: Monograph Series, Publication No. 64,
Cornell Modern Indonesian Project, Cornell University, 1984), 158.
[66] Ramadhan K.H. dan G. Dwupayana, Soeharto,
Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT Citra lamtoro Gung
Persada, 1989), 369.
[67] Deliar Noer, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, (Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan, 1984), 107.
[68] M. Zaki Mubarak, Genealogi
Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi,
(Jakarta: LP3ES, 2008), 67.
[69] Effendy, Islam dan Negara,123.
[70] Thaba, Islam dan Negara, 275.
[71] Ibid., 275-276.
[72] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran
dan Aksi Islam Indonesia, x. Sedangkan Thaba menyebut hubungan itu
berlangsung antara 1967-1982. Lihat Thaba, Islam dan Negara, 26 dan 262.
[73] Lihat Abdurrahman Wahid, “Relasi
Kuasa Agama-Negara: Perspektif Historis dan Sosiologis”, dalam SANTRI,
no. 04/II/September 1996. Lihat juga, Firdaus Syam, MA, Amien Rais: Politisi
yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
November 2003),157. Firdaus menyebutkan bahwa hubungan Islam dan Orde Baru
berpola interaksi simbiosis.
[74] Syamsuddin, Islam dan Politik,
156.
[75] Azyumardi Azra, Islam
Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), 145.
[76] Anwar, Pemikiran dan Aksi
Islam Indonesia, 155-157
[77] Ibid., 264.
[78] Einar Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1992), 167-168.
[79] Karim, Perjalanan Partai Politik, 246.
[80] Noer, Islam, Pancasila, 107.
[81] Ibid., 224-225.
[82] Thaba, Islam dan Negara.
[83] Syam, Amien Rais,195.
[84] Lihat penjelasan dan pembahasan
rinci Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, terutama hlm.273-310.
[85] Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 226.
[86] Thaba, Islam dan Negara, 321.
[87] Lengkapnya baca M. Syafi’i
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia.
[88] Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam Versus
Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1419), khususnya 14-16.
[89] Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2003), 9.
[90] Dhurorudin Mashad, Akar
Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), 17.
[91] Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi
Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Maret 2004), 55 dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 450.
[92] Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 120.
[93] Turmudi dan Sihbudi Islam dan Radikalisme, 120.
[94] Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2004), 4-6.
[95] Mubarak, Genealogi Islam
Radikal, 349-351.
[96] Jamhari dan Jahroni, Gerakan Salafi, 18.
[97] Selengkapnya baca Jamhari dan
Jahroni, Gerakan Salafi, khususnya
47-84, Turmudi dan Sihbudi Islam dan Radikalisme, 248-261, dan
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik
Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilfah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 383-400.
[98] Ibid., khususnya 129-160.
[99] Ibid., khususnya 161-204, Turmudi dan Sihbudi Islam
dan Radikalisme, 267-278, dan Jurdi, Pemikiran
Politik Islam, 409-220.
[100]As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis, (Jakarta: LP3ES, 2013).
Sumber Lain :
·
ABEL
HERDI DESWAN PUTRA-FSH.pdf (uinjkt.ac.id)
·
13210512_Publik.pdf
(iiq.ac.id)
·
Penjelasan
Habib Rizieq soal Tesis Miliknya Terkait Pancasila (detik.com)
·
Pancasila
Bukan Penghalang Penerapan Aturan Syariat Islam - Kompas.id
·
57819-ID-perda-berbasis-syariah-dan-hubungan-nega.pdf
(neliti.com)
·
Membaca
Pengaruh Pancasila: Dari Sudut Tulisan Habib Rizieq – I (erfansoebahar.web.id)
·
View
of REVISITING TRANSFORMATIVE ISLAM (metrouniv.ac.id)
·
(PDF)
Syariat Islam dalam Perspektif Negara Hukum Berdasar Pancasila
(researchgate.net)
·
Microsoft
Word - peluang dan tantangan pid Islam - 1.docx (pa-unaaha.go.id)
·
FPI,
Pancasila dan NKRI Bersyariah (mediaindonesia.com)
·
Bung
Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan... - UNUD | Universitas Udayana
·
1163-1458782335.pdf
(oaji.net)
·
Eksistensi
dan Penerapan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia - Klinik Hukumonline
·
Islam-dan-Ideologi-Pancasila-Sebuah-Dialektika-2012.pdf
(uai.ac.id)
·
Berita
BPIP | Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa
·
23.pdf
(mahkamahagung.go.id)
·
MES:
Ekonomi Syariah Bentuk Pengamalan Nilai Pancasila | Republika Online
·
101803-ejurnal
aminullah.pdf (unu.ac.id)