Menyoal Terjemahan Kemenag atas Kata 'Istawa' dalam Al-Qur’an
Pada tahun 2019, Kementerian Agama mengeluarkan edisi
penyempurnaan terjemahan Al-Qur’an yang kini dapat diunduh secara online.
Sebagaimana judulnya, secara umum edisi penyempurnaan ini memiliki akurasi yang
lebih cermat dalam memilih kata yang pas sebagai terjemah ayat-ayat Al-Qur’an
yang begitu kompleks. Terjemahan edisi baru ini disosialisasikan pada tahun ini
(2020) melalui serangkaian event yang salah satunya berupa webinar. Penulis
berkesempatan mengisi salah satu webinar tersebut pada tanggal 31 Agustus 2020
yang secara khusus diamanatkan untuk membahas tentang Pemaknaan Ayat-ayat Mutasyabihat Perspektif
Ahlussunnah wal Jama'ah. Di antara yang
penulis sorot saat itu adalah penerjemahan kata istawa yang ternyata
tetap mengikuti tradisi lama dalam terjemahan-terjemahan berbahasa Indonesia
lainnya, yakni menerjemah kata istawa sebagai bersemayam. Meskipun populer, terjemahan ini problematik ketika dilihat dari
perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) yang notabene
mayoritas ulama. Karena terbatasnya waktu saat itu, maka penulis ingin mengulas
problem ini dalam bentuk artikel sehingga lebih leluasa.
Sebenarnya sebelumnya penulis telah menulis soal ini, tetapi kali ini
penulis akan mencoba membahas lebih mendalam dengan mempertimbangkan lebih
banyak hal sehingga dapat membuktikan mengapa kata “bersemayam” sebagai terjemah dari
kata “istawa” sebenarnya tidak perlu dipertahankan dari edisi satu ke edisi
selanjutnya. Dengan kata lain, tradisi lama pemilihan diksi “bersemayam” ini sebenarnya tidak
perlu “disakralkan” dalam terjemah Al-Qur’an berbahasa Indonesia. Berbagai
pertimbangannya adalah sebagaimana berikut:
Allah Tidak
Boleh Disifati Duduk Atau Bertempat
Sebagaimana diketahui dari aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, sifat Allah
tidak boleh dikarang atau dibuat-buat tanpa dasar. Semua istilah yang
disematkan pada Allah haruslah mempunyai dalil yang sahih agar bisa diterima.
Sedangkan istilah “Allah duduk” sama sekali tidak ada dalam satu pun dalil sahih sehingga otomatis tidak
boleh dipakai. Bahkan Imam Syafi’i dalam salah satu pernyataannya yang dinukil
oleh Qadli Husain menganggap
kafir orang yang mengatakan bahwa Allah duduk :
ومن كفرناه من
أهل القبلة: كالقائلين بخلق القرآن، وبأنه لا يعلم المعدومات قبل وجودها، ومن لا
يؤمن بالقدر، وكذا من يعتقد أن الله جالس على العرش؛ كما حكاه القاضي الحسين هنا
عن نص الشافعي.[1]
“Orang yang kami kafirkan dari
kalangan orang yang shalat adalah: mereka yang berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tak mengetahui sesuatu
sebelum terjadinya, juga orang yang tak percaya takdir, demikian juga orang yang
mengatakan bahwa Allah duduk di atas Arasy. Seperti diriwayatkan oleh Qadli Husain dari penjelasan gamblang Imam
Syafi’i”. (Ibnu ar-Rif’ah, Kifâyat al-Nabîh Fî Syarh at-Tanbîh, juz IV,
halaman 23).
Kata yang digugat keras oleh Imam Syafi’i tersebut adalah kata “jalasa” yang berarti duduk.
Sudah maklum bahwa Imam Syafi’i tidak pernah menggugat kata “istawa” sebab itu adalah teks
yang digunakan oleh Al-Qur’an, bahkan dapat dengan mudah dijumpai
pernyataannya—dan pernyataan seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama'ah lainnya—yang
menyatakan bahwa Allah istawa atas Arasy. Namun lain cerita ketika kata istawa diganti dengan
kata jalasa, maka bukan hanya vonis haram bahkan vonis kafir yang
keluar, meskipun vonis kafir ini bisa didiskusikan kembali.
Selain tidak berlandaskan dalil sahih, makna duduk adalah sebuah aktivitas
fisik yang melibatkan pose tubuh yang menekuk di bagian pantat dengan kepala
berada di atas (tidak berbaring) dan berada di atas alas tertentu (tidak
bergelantungan). Dalam KBBI, kata duduk bermakna “meletakkan tubuh atau letak
tubuhnya dengan bertumpu pada pantat”. Tanpa adanya
pantat, maka mustahil akan ada duduk sehingga tidak ada yang mengatakan cicak
duduk, ikan duduk, bola duduk, dan sebagainya. Dengan demikian, nuansa jismiyah
dan kaitannya dengan pantat dalam kata duduk ini tidak bisa dihilangkan,
padahal sudah maklum bahwa aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut
mayoritas ulama sangat menolak penyematan sifat-sifat jismiyah pada Allah. Yang merasa wajar bila Allah berupa jisim dan bersifat jismiyah hanyalah sekte minoritas seperti Mujassimah atau Hasyawiyah saja. Selain
mereka, baik Ahlussunnah wal Jama'ah, Syi’ah, Muktazilah, Jahmiyah hingga para
filsuf, semuanya menentang keras sifat jismiyah ini sebab merupakan aib
yang menodai sifat kesempurnaan Tuhan.
Demikian pula dengan bertempat, aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah sangat
masyhur dengan kredo bahwa Allah tidak bertempat sebab Ia terlepas dari ruang
dan waktu. Dalam sebuah hadits sahih, Nabi Muhammad menyatakan:
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ
شَيْءٌ غَيْرُهُ[2]
“Allah
sudah ada dan tidak ada apa pun selain Dia” (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadits itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Allah telah ada
sebelum segala sesuatu, bahkan sebelum waktu dan tempat apa pun tercipta. Keberadaan Allah tidak memerlukan adanya tempat apa pun
untuk menyangganya atau ruang untuk menampungnya. Penulis telah menulis dalil-dalil bahwa Allah tak bertempat di kanal NU
Online ini sebelumnya dengan judul “Dalil-dalil
Al-Qur’an dan Hadits Bahwa Allah Tak Bertempat”[3]. Karena itu, penjelasannya tidak perlu diulangi di sini. Intinya, konsep
bahwa Tuhan bertempat di suatu lokasi atau koordinat tertentu bukanlah aqidah
Ahlussunnah wal Jama'ah sebab keyakinan bahwa Allah tidak bertempat adalah konsensus Ahlussunnah wal Jama'ah.
Ironisnya, kata bersemayam yang dipilih sebagai terjemah kata istawa menurut KBBI mempunyai
makna: (1) duduk, (2) berkediaman; tinggal (3) tersimpan; terpatri (dalam
hati). Semua makna ini jelas merupakan makna yang tertolak dalam perspektif
Ahlussunnah wal Jama'ah. Seandainya dalam salah satu makna terjemahnya ada
makna yang dapat diterima, maka terjemahan itu dapat dibenarkan. Misalnya dalam
menerjemah kata يد dalam ayat al-Fath: 10 dengan kata tangan[4], dalam KBBI kata tangan mempunyai tiga arti, yakni: (1) anggota badan
dari siku sampai ke ujung jari atau dari pergelangan sampai ujung jari, (2)
sesuatu yang digunakan sebagai atau menyerupai tangan, (3) kekuasaan; pengaruh;
perintah[5]. Makna ketiga tersebut masih bisa diterima oleh Ahlussunnah karena tidak
terkait dengan makna jismiyah. Namun lain ceritanya dengan kata bersemayam yang seluruh maknanya tidak
ada yang bisa diterima sehingga pemilihan kata ini sebagai terjemah sifat Allah
tidak dapat dibenarkan dalam kacamata Ahlussunnah. Lain lagi apabila kita
memakai standar di luar Ahlussunnah yang menganggap wajar apabila Allah disebut
julûs (duduk
bersemayam) atau istiqrâr (bertempat). Dengan kata lain, mereka yang bersikukuh
memilih menggunakan kata bersemayam dituntut untuk membuktikan bahwa ada makna
dari kata ini yang dapat diterima oleh Ahlussunnah wal Jama'ah ketika
disematkan pada Allah. Namun sampai saat ini kata ini tidak memuat makna apa
pun selain makna-makna yang berhubungan dengan pantat dan jisim.
Istawa Mempunyai Beragam Arti
Perlu diketahui bahwa kata istawa
dalam bahasa asalnya tidak hanya mempunyai arti duduk bersemayam melainkan ada
banyak arti lain yang juga dimiliki oleh kata ini yang dipergunakan dalam
berbagai konteks yang berbeda. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, entri istawa
tidak pernah didapati hanya memuat satu makna saja. Qamûs al-Wasîth
misalnya menyebutkan artinya antara lain: istaqâma (tegak), i’tadala (lurus), istaqarra
(bertempat/berkediaman), ‘alâ (meninggi), sha’ida (naik). tasâwâ (sama), tamma (sempurna), nadlija (matang), tawalla (menguasai), malaka (merajai) dan qashada (menuju). (Ibrahim
Mustafa, dkk, Mu’jam al-Wasîth, 466[6]). Dalam kamus klasik al-Mishbâh al-Munir disebutkan bahwa kata ini
juga dapat bermakna sebuah kiasan (kinâyah)
dari at-tamalluk (menjadi raja) ketika diungkapkan
dalam contoh “Dia istawa atas singgasana kerajaan” meskipun dia tidak
duduk secara fisik di atas singgasana. (al-Fayumi, al-Mishbâh al-Munîr Fi
Gharîb Syarḥ al-Kabîr, II, 298[7]).
Apabila kita melihat kitab tafsir, maka ragam makna yang luas ini juga
disebutkan. Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya menyatakan:
وَقَدْ بَيَّنَّا أَقْوَالَ
الْعُلَمَاءِ فِيهَا فِي الْكِتَابِ (الْأَسْنَى فِي شَرْحِ أَسْمَاءِ اللَّهِ
الْحُسْنَى وَصِفَاتِهِ الْعُلَى) وَذَكَرْنَا فِيهَا هُنَاكَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ
قَوْلًا. وَالْأَكْثَرُ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ وَالْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُ إِذَا
وَجَبَ تَنْزِيهُ الْبَارِي سُبْحَانَهُ عَنِ الْجِهَةِ وَالتَّحَيُّزِ[8]
“Telah kami jelaskan
dalam kitab al-Asnâ Fi Syarḥ Asmâ’ al-Husnâ Wa Shifâtihi al-‘Ula bahwa
istawa mempunyai 14 makna. Yang terbanyak dari ulama terdahulu dan kontemporer
bahwasanya wajib menyucikan Allah dari arah dan batasan fisik.” (al-Qurthubi, Tafsîr
al-Qurthubi, VII, 219)
Ibnu Batthal, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bârî juga
menjelaskan beragam makna istawa beserta kelompok mana yang
memakainya sebagai berikut:
قَالَ بن بَطَّالٍ اخْتَلَفَ
النَّاسُ فِي الِاسْتِوَاءِ الْمَذْكُورِ هُنَا فَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ
مَعْنَاهُ الِاسْتِيلَاءُ بِالْقَهْرِ وَالْغَلَبَةُ[9] ... وَقَالَتِ الْجِسْمِيَّةُ مَعْنَاهُ الِاسْتِقْرَارُ
وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ السُّنَّةِ مَعْنَاهُ ارْتَفَعَ وَبَعْضُهُمْ مَعْنَاهُ
عَلَا وَبَعْضُهُمْ مَعْنَاهُ الْمُلْكُ وَالْقُدْرَةُ ... وَقِيلَ مَعْنَى
الِاسْتِوَاءِ التَّمَامُ وَالْفَرَاغُ مِنْ فِعْلِ الشَّيْءِ ... فَعَلَى هَذَا
فَمَعْنَى اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ أَتَمَّ الْخَلْقَ وَخَصَّ لَفْظَ الْعَرْشِ
لِكَوْنِهِ أَعْظَمَ الْأَشْيَاءِ وَقِيلَ إِنَّ عَلَى فِي قَوْلِهِ عَلَى
الْعَرْشِ بِمَعْنَى إِلَى فَالْمُرَادُ عَلَى هَذَا انْتَهَى إِلَى الْعَرْشِ
أَيْ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْعَرْشِ لِأَنَّهُ خَلَقَ الْخلق شَيْئا بعد شَيْء[10]
“Ibnu Batthal berkata:
Orang-orang berbeda pendapat tentang istiwa’ yang disebutkan di sini.
Muktazilah berkata bahwa maknanya istîlâ’ (menguasai) dengan paksa dan
pengalahkan ... Aliran Jismiyyah (Mujassimah) mengatakan maknanya adalah
menetap/tinggal. Sebagian Ahlussunnah mengatakan maknanya irtafa’a
(terangkat), sebagian mereka memaknainya ‘alâ (Mahatinggi), sebagian
lagi memaknainya kekuasaan dan kemampuan... dan dikatakan juga bahwa maknanya
adalah kesempurnaan dan selesai dari melakukan sesuatu ... berdasarkan ini
berarti makna istawa atas Arasy adalah Allah menyempurnakan penciptaan atas
Arasy. Arasy disebut secara khusus karena ia adalah sesuatu yang paling besar.
Dikatakan juga bahwa kata ‘ala (atas) dalam ayat tersebut bermakna Ila
(hingga) sehingga artinya adalah penciptaannya berhenti hingga Arasy—dalam arti
hal yang berkenaan dengan Arasy—sebab Allah menciptakan sesuatu satu persatu.”
(Ibnu Hajar,
Fath al-Bârî, XIII, 406)
Beragam makna istawa tersebut sebenarnya juga dipakai oleh
Terjemahan Kemenag, baik dalam edisi lama atau pun edisi baru. Dalam menerjemah
an-Najm: 6 misalnya, kata istawa diterjemah sebagai menampakkan diri
dengan rupa yang asli:
ذُو مِرَّةٍ
فَاسْتَوَى
“Lagi mempunya keteguhan. Lalu Ia
(Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli”[11].
Demikian juga dalam al-Qashash: 14 kata istawa diterjemah sebagai sempurna
yang dalam konteks Nabi Musa saat itu adalah sempurna akalnya:
وَلَمَّا بَلَغَ
أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى
“Setelah dia (Musa) dewasa dan
sempurna akalnya....”[12]
Adapun dalam Al-Fath: 29, kata istawa dalam edisi lama diterjemah
sebagai tegak lurus sedangkan dalam edisi baru diterjemah sebagai tumbuh:
وَمَثَلُهُمْ فِي
الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى
عَلَى سُوقِهِ
“Itu adalah sifat-sifat mereka (yang
diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan
tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas
batangnya.( Qur’an
Kemenag)
Beragam makna di atas cocok dengan makna-makna istawa yang ada dalam
kamus bahasa Arab. Terjemahan “sempurna akalnya” dalam al-Qashash: 14 berasal
dari makna tamma (sempurna). Demikian pula terjemahan Al-Fath: 29
yang dalam edisi lama bermakna tegak lurus berasal dari makna istaqâma
(tegak) atau i’tadala (lurus). Adapun makna tumbuh berasal dari makna nadlija
(matang). Sedangkan terjemahan an-Najm: 6 tidak menggunakan terjemah literal
(harfiyah) melainkan menggunakan terjemah tafsiriyah atau terjemah yang berupa
tafsir. Secara literal, kata istawa dalam ayat tersebut bermakna berdiri
(qâma) namun saat itu Jibril memang sambil menampakkan wujud aslinya
(Muhammad al-Amin, Hadâ’iq ar-Rûh wa ar-Raihân, XXVIII, 109[13]).
Banyak dari makna tersebut yang bisa diterapkan sebagai terjemah harfiyah
kata istawa dalam kalimat “istawa atas Arasy”. Makna menguasai
Arasy, merajai Arasy, Mahatinggi atas Arasy adalah makna-makna yang dapat
disepakati semua golongan tanpa ada satu pun yang membantahnya. Tak ada satu
pun muslim yang akan mengatakan bahwa Allah tidak berkuasa atas Arasy, tidak
merajai Arasy atau tidak Mahatinggi.
Demikian juga kata istawa dapat dijelaskan secara tafsiriyah bahwa
kalimat itu bermakna kiasan untuk menunjukkan bahwa Allah telah selesai dan
sempurna menciptakan alam semesta dengan penciptaannya atas Arasy atau kiasan
bahwa Allah berkuasa penuh atas Arasy selaku makhluk terbesar sebagai simbol
bahwa Ia berkuasa penuh atas seluruh alam. Pemaknaan semacam ini lebih mudah
disepakati seluruh kaum muslimin dari berbagai kelompok sebab semuanya beriman
bahwa Allah adalah al-Qahhar (Yang Maha Menundukkan segala sesuatu) dan al-Muqtadir
(Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu), daripada dimaknai “bersemayam” yang
berarti duduk atau bertempat tinggal yang hanya akan disepakati kelompok
Mujassimah saja.
Terjemahan Kemenag Mengakomodasi Takwil
Salah satu yang menjadi alasan beberapa pihak untuk mempertahankan kata bersemayam sebagai terjemah kata istawa adalah anggapan bahwa terjemah selain itu dianggap sebagai takwil (pemaknaan konotatif) sedangkan terjemah yang baik sedapat mungkin dilakukan secara literal dengan menggunakan makna denotatif. Namun masalahnya, Kemenag memakai takwil berulang kali dalam berbagai tempat yang juga sama-sama membahas tentang sifat-sifat Allah. Dalam surat Thaha: 39, kata ‘ain yang secara literal adalah mata ternyata diterjemah sebagai pengawasan sehingga ‘ain-Ku di sana diartikan pengawasan-Ku (Qur’an Kemenag). Tidak ada catatan kaki atau tanda kurung dalam terjemahan ini yang menunjukkan bahwa ini dianggap sebagai terjemahan yang telah sempurna sehingga tak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Alasan pemilihan diksi pengawasan alih-alih mata tentu saja agar makna ayat itu tidak ambigu.
Sedikit berbeda, dalam al-Fath: 10, kata “yadullah” yang secara literal berarti tangan Allah ternyata diterjemah tetap sebagai tangan. Akan tetapi diberi catatan kaki panjang yang isinya: “Ini termasuk ayat-ayat sifat. Ahli Tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini. Sebagian menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘tangan’ pada ayat ini adalah ‘kekuatan dan kekuasaan’ Allah. Sebagian lainnya menafsirkan ‘tangan Allah’ dengan pengawasan Allah akan janji setia yang diberikan oleh beberapa orang kepada Nabi Muhammad saw.”[14]
Terjemahan ‘ain sebagai kekuasaan dan catatan kaki panjang atas makna kata “tangan Allah” di atas adalah takwil. Apabila dalam ayat-ayat ini, dan ayat lainnya, Kemenag menggunakan takwil pada ayat sifat, maka mengapa tidak melakukan hal yang sama pada kata istawa dalam kalimat istawa atas Arasy? Tentu ini sebuah keanehan.
Penyebutkan pemaknaan non-literal sebagai takwil ini pun sebenarnya tidak patut untuk dipermasalahkan sebab ini hanyalah klasifikasi ilmiah dari sebagian ulama. Sebagian lainnya tidak menggunakan klasifikasi ini sehingga mereka tidak menyebut pemahaman seperti ini sebagai takwil, namun sebagai kiasan yang lumrah digunakan oleh orang Arab yang berbeda dari takwil. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah dalam tafsirnya:
منهاج للغزالي ذكره في بعض كتبه، وهو " إلجام العوام عن علم الكلام "، وقد ذكر فيه أن بعض هذه الألفاظ التي توهم التشبيه هي استعمال مجازي مشهور، وليس تأويلا[15]
“Metode al-Ghazali dalam sebagian kitabnya, yakni Iljâm al-‘Awâm ‘an Ilmi al Kalâm, ia telah menyebutkan bahwa beberapa kata yang mengesankan penyerupaan Allah dengan makhluk (tasybîh) adalah penggunaan majasi yang masyhur dan
bukan termasuk takwil.” (Abu Zahrah, Zahrat al-Tafâsîr, II, 1115)
Beberapa pihak beralasan bahwa menerjemah istawa sebagai bersemayam telah
tepat sebab telah diberi catatan kaki yang menunjukkan kesucian Allah dari keserupaan dari makhluk atau pun paham-paham menyimpang seperti yang diyakini kelompok Mujassimah. Catatan kaki tersebut berbunyi:
‘Bersemayam di atas ʻArasy’ adalah satu sifat Allah Swt. yang wajib diimani
sesuai dengan keagungan Allah Swt. dan kesucian-Nya.”. (catatan kaki
al-A’raf:54)(
Qur’an Kemenag)
Catatan pendek di atas tidak memadai untuk menyucikan Allah menurut
perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah sebab tidak secara konkret menegasikan makna
yang menimbulkan kesalahpahaman pembaca. Ketika dinyatakan bahwa bersemayam
wajib diimani sesuai keagungan dan kesucian Allah, pertanyaannya adalah apakah
ada bersemayam yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah? Telah dibahas
sebelumnya bahwa makna kata bersemayam adalah duduk, berkediaman, tinggal atau
terpatri. Makna manakah yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya dalam
perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah?
Catatan “sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah” tidak serta merta menjadikan
makna yang salah menjadi benar. Ketika misalnya dalam ayat al-A’raf: 51 Allah
menyatakan bahwa Ia melupakan orang kafir di hari kiamat nanti[16], maka tidak serta merta dapat kita maknai bahwa di hari kiamat nanti Allah
kehilangan sebagian ingatannya dengan hilang ingatan yang sesuai dengan
keagungan dan kesucian-Nya. Catatan semacam ini tidak dapat begitu saja dapat
mengubah pemaknaan yang salah menjadi benar.
Akan lebih memadai apabila catatan kaki tersebut dengan tegas menyebutkan
makna istawa sebagaimana disebutkan dalam tafsir-tafsir Ahlussunnah wal
Jama'ah sebagaimana disinggung sebelumnya. Apabila memang dirasa begitu sulit
melakukan itu, meskipun sebenarnya tidak sulit, setidaknya disebutkan bahwa istawa
di situ tidak bermakna bertempat tinggal, bukan dalam arti terbatas dalam
ruang, tidak pula duduk dan semacamnya ketika kata ini terkait dengan makhluk.
Terjemahan
Bukanlah Ayat Mutasyabihat
Sebagian pihak berapologi bahwa terjemahan kata istawa memang tidak
akan memuaskan semua pihak sehingga wajar apabila dianggap bermasalah sebab
ayat itu sendiri pun juga mempunyai problem yang sama. Pernyataan semacam ini
selain tidak etis untuk digunakan untuk mengomentari kalamullah juga
menyiratkan bahwa terjemahan seolah setara dengan ayat Al-Qur’an. Sudah maklum
bahwa ayat Al-Qur’an terbagi menjadi ayat-ayat muhkamat, yakni ayat-ayat
yang maknanya jelas dan ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang
maknanya samar atau mengandung keserupaan. Perlu dicatat bahwa para ulama
menggunakan istilah “samar” bukan “bermasalah” sebab pada hakikatnya tidak ada
satu pun ayat yang bermasalah. Yang bermasalah tidak lain hanyalah pemahaman
manusia yang membacanya yang bisa berbeda satu sama lain dalam hal keluasan
pemahamannya.
Hal ini berarti bahwa tidak pada tempatnya menyamakan antara produk wahyu
yang tak lain teks Al-Qur’an dengan produk pemahaman manusia yang berupa kata
terjemahan. Seluruh kaum muslimin wajib hukumnya mengimani bahwa Allah istawa
‘ala al-arsy tanpa sedikit pun melakukan gugatan atasnya sebab itu adalah
firman Allah. Namun lain cerita dengan terjemahan yang mengatakan bahwa Allah
“bersemayam di atas Arasy”, tak ada satu pun kaum muslimin yang wajib mengimani
terjemahan ini sebagai sifat Allah yang boleh dipertanyakan, berbeda dari apa
yang dinyatakan dalam catatan kaki ayat al-A’raf versi terjemahan Kemenag di
atas. Keberadaan ayat-ayat dalam kategori mutasyabihat dalam Al-Qur’an
tidak serta merta dapat menjadi alasan untuk menyodorkan kata lain atau istilah
lainnya yang mutasyabihat juga. Hanya Allah saja yang berhak memberikan
istilah yang wajib diimani apa adanya tanpa dipertanyakan.
Berbicara tentang sisi tasyâbuh atau kesamaran makna dalam kalimat istawa
‘ala al-arsy juga menyisakan satu keunikan tersendiri. Berbagai terjemah
Al-Qur’an berbahasa Indonesia kerap menerjemahkannya sebagai “bersemayam di
atas Arasy”. Kata al-arsy dibiarkan tanpa diterjemah sehingga terkesan
ada kesamaran makna yang begitu kental hingga ia tidak dialihbahasakan. Padahal
al-arsy adalah benda yang notabene adalah makhluk Allah. Ia bukanlah
sesuatu yang mesti dipahami secara abstrak sebab maknanya dalam bahasa Arab
sangat jelas. Adakalanya ia bermakna sebagai singgasana raja (sarîr al-malik)
dan adakalanya ia bermakna sebagai atap (saqf). Bisa jadi kedua makna
ini sama-sama dimaksud dalam ayat tersebut sehingga memilih salah satu atau
keduanya sebagai terjemah sama sekali tidak masalah.
Sebaliknya, kata istawa yang
terkait langsung dengan Allah sehingga begitu samar dan misterius justru
dialihbahasakan menjadi “bersemayam” yang notabene adalah duduk atau
bertempat tinggal. Andai mau dipilih satu kata untuk tidak diterjemah,
seharusnya kata inilah yang dibiarkan apa adanya sebab perbedaan pendapat
tentangnya begitu banyak dan rumit. Sebagian ulama mengartikan bahwa itu adalah
sifat bagi Dzat Allah yang tidak boleh dibahas maknanya tetapi hanya ditetapkan
lafaznya saja (Lihat dua karya Ibnu Qudamah, Lum’at al-i’tiqâd[17] dan Tahrîm an-Nadhar Fi Kutub
al-Kalâm[18]). Sebagian lainnya mengartikannya
sebagai sifat bagi Dzat Allah yang boleh dimaknai tetapi mereka berbeda
pendapat tentang penentuan maknanya sebagaimana disinggung sebelumnya dan
dibahas dalam begitu banyak kitab tafsir. Di sisi lain ada juga kelompok ulama
yang memaknai istawa
bukan sebagai sifat Dzatiyah tetapi sebagai tindakan Allah (sifat fi’liyyah).
Mereka pun berbeda pendapat apakah tindakan tersebut khusus berlaku pada Arasy
saja sebagaimana dinyatakan oleh Sufyan ats-Tsauri dan al-Asy’ari yang berkata
bahwa istawa adalah suatu tindakan Allah atas Arasy ataukah ia merupakan
tindakan berlaku pada seluruh makhluk sedangkan Arasy disebut sebagai perwakilan sebagaimana dinyatakan an-Nasafi dalam tafsirnya?[19]
Ada juga ulama yang menganggap bahwa yang istawa bukanlah Allah tetapi
penciptaan semesta oleh Allah (istawa khalquhu), ini adalah pendapat
Ibnu al-A’rabi. Sebagian lagi mengartikannya sebagai sempurnanya urusan Allah (istawa
amruhu) , ini adalah pendapat al-Hasan (Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhîth Fi
at-Tafsîr, V, 65)[20]. Banyaknya penafsiran ini terhadap
satu kata istawa cukup menjadi alasan kuat agar kata ini tidak
dialihbahasakan tetapi dibiarkan apa adanya sebagai istawa dengan
memberikan catatan kaki yang relevan agar pembaca dapat memahaminya.
Terjemahan
Kata على yang Tidak Tepat
Problem lainnya dari terjemahan istawa ‘ala al-arsy adalah pada kata
على yang diterjemah menjadi di atas. Penerjemahan dengan “di
atas” hanya digunakan ketika membahas satu benda/orang yang bertempat di atas
benda lainnya, misalnya dalam kalimat al-kitâb ‘alâ al-maktab yang
artinya bukunya di atas meja. Ketika maknanya sama sekali tidak menunjukkan
tempat, seperti saat kata ini berada setelah kata kerja transitif, maka kata على tidak diterjemah dengan “di
atas” melainkan dapat diterjemah dengan kata “atas” atau dihilangkan begitu
saja, misalnya: Dalam ayat al-Fatihah: 7, kalimat alladzîna an’amta
‘alaihim dalam terjemahan Kemenag edisi penyempurnaan diterjemah sebagai
“orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”[21], bukan “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat di atas mereka”.
Demikian juga dalam al-Baqarah:7, kalimat khatama Allâh ‘alâ qulûbihim wa
‘alâ sam’ihim diterjemah sebagai “Allah telah mengunci hati dan pendengaran
mereka”[22], bukan “Allah telah mengunci di atas hati dan di atas pendengaran mereka”.
Terjemah Kemenag yang menghilangkan kata على ini dalam sangat baik dan
cermat.
Sayangnya kata على dalam istawa ‘ala al-arsy bukannya dihilangkan juga
semisal dengan terjemah “Menguasai Arasy”, tetapi malah diterjemah “di atas” yang menunjukkan lokasi
atau tempat. Padahal dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah makna atau kesan
lokasi atau tempat ini wajib dihilangkan dari Allah.
Menentukan Makna Dhahir Kata Istawa
Sebagian pihak mengatakan bahwa makna dhahir dari istawa
memang duduk bersemayam. Makna dhahir yang dimaksud di sini adalah makna
yang jelas dapat dipahami orang secara umum ketika kata ini didengar.
Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar sebab makna dhahir sangat
ditentukan oleh objek yang dibahas dan bagaimana konteks kalimat yang
membahasnya. Misalnya kata istawa dalam ayat Al-Fath: 29 فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ, sepintas saja orang yang mengerti bahasa arab tahu bahwa
maksud ayat itu adalah tunas yang menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya
tanpa ada makna duduk di sana. Demikian juga dalam kalimat اِسْتَوَى الفاكِهَةُ , pembaca akan paham bahwa
maknanya adalah buahnya telah masak. Apabila konteksnya adalah kedewasaan
seperti dalam kalimat اسْتَوَى فلانٌ, maka pembaca akan paham bahwa maksudnya adalah Si Fulan telah
sempurna masa mudanya.
Adapun apabila objek yang dibahas adalah manusia dan konteksnya adalah
menaiki sesuatu, maka makna istawa memang duduk atau bersemayam. Makna
duduk atau bersemayam ini dapat dilihat dengan jelas dalam hadits berikut ini:
عَنْ عَلِيِّ
بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ شَهِدْتُ عَلِيًّا أُتِيَ بِدَابَّةٍ لِيَرْكَبَهَا فَلَمَّا
وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الرِّكَابِ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ ثَلَاثًا فَلَمَّا اسْتَوَى
عَلَى ظَهْرِهَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ
“Dari Abu Ishaq dari Ali bin Rabi'ah, ia berkata: Aku menyaksikan Ali
diberi hewan untuk ia tunggangi, kemudian tatkala ia telah meletakkan kakinya
di dalam sanggurdi, ia mengucapkan: Bismillâh tiga kali, dan ketika
telah duduk/bersemayam di atas punggungnya ia mengucapkan: al-hamdu lillâh.”
(HR. Tirmidzi)
Karena itulah, maka wajar apabila az-Zurqani berkata:
فأول ما اتفقوا
عليه صرفها عن ظواهرها المستحيلة واعتقاد أن هذه الظواهر غير مرادة للشارع قطعا
كيف وهذه الظواهر باطلة بالأدلة القاطعة وبما هو معروف عن الشارع نفسه في محكماته؟[23]
"Yang pertama disepakati para ulama adalah memalingkannya dari makna
lahiriahnya (dhahir) yang mustahil bagi Allah dan meyakini
bahwa secara pasti makna-makna dhahir ini tidak dikehendaki oleh Syari’
(Allah dan Rasulullah). Bagaimana tidak, makna-makna dhahir ini batil
dengan dalil-dalil yang pasti dan dengan apa yang telah diketahui dari Syari’
sendiri dalam ayat-ayat muhkamatnya.” (az-Zurqani, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm
al-Qur’ân, II, 286)
Yang ia maksud dengan pernyataan itu adalah makna dhahir “istawa”
yang berlaku pada manusia tidaklah dimaksudkan berlaku juga pada Allah sebab
itu mustahil, dan ini merupakan kesepakatan ulama. Dengan kata lain, karena
makna dhahir “istawa” bagi manusia adalah duduk atau bersemayam,
maka makna istawa bagi Allah bukanlah duduk, bertempat atau bersemayam.
Ia juga mustahil disebut sebagai fase kematangan Tuhan sebab tak mungkin Tuhan
mempunyai fase-fase. Seluruh dhahir semacam ini tertolak karena Allah
tidak serupa dengan apa pun (laisa kamitslihi syai’).
Adapun makna dhahir yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah
sebagaimana dibahas sebelumnya, maka makna-makna tersebut dapat diterima. Imam
az-Zarkasyi sebagai berikut:
أن كل ما ورد في
الكتاب والسنة الصحيحة من الصفات اللائقة بجلاله، نعتقد ظاهر المعنى[24]
"Keterangan yang shahih dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang
sifat-sifat Allah yang layak bagi-Nya, kita meyakini dhahir maknanya.”
(az- Zarkasyi, Tasynîf al-Masâmi’ Bi Jam’i al-Jawâmi’, IV, 676).
Karena itulah, Adz-Dhahabi mengatakan bahwa kata zâhir mempunyai dua
makna yang berbeda:
قُلْتُ: قَدْ
صَارَ الظَّاهِرُ اليَوْم ظَاهِرَيْنِ: أَحَدُهُمَا حق، والثاني باطل، فالحق أن
يَقُوْلَ: إِنَّهُ سمِيْع بَصِيْر، مُرِيْدٌ متكلّم، حَيٌّ عَلِيْم، كُلّ شَيْء
هَالك إلَّا وَجهَهُ، خلق آدَمَ بِيَدِهِ، وَكلَّم مُوْسَى تَكليماً، وَاتَّخَذَ
إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَأَمثَال ذَلِكَ، فَنُمِرُّه عَلَى مَا جَاءَ،
وَنَفهَمُ مِنْهُ دلاَلَةَ الخِطَابِ كَمَا يَليق بِهِ تَعَالَى، وَلاَ نَقُوْلُ:
لَهُ تَأْويلٌ يُخَالِفُ ذَلِكَ. وَالظَّاهِرُ الآخر وَهُوَ البَاطِل،
وَالضَّلاَل: أَنْ تَعتَقِدَ قيَاس الغَائِب عَلَى الشَّاهد، وَتُمَثِّلَ البَارِئ
بِخلقه، تَعَالَى الله عَنْ ذَلِكَ، بَلْ صفَاتُهُ كَذَاته، فَلاَ عِدْلَ لَهُ،
وَلاَ ضِدَّ لَهُ، وَلاَ نظير له، ولا مثيل لَهُ، وَلاَ شبيهَ لَهُ، وَلَيْسَ
كَمثله شَيْء، لاَ فِي ذَاته، وَلاَ فِي صفَاته، وَهَذَا أمرٌ يَسْتَوِي فِيْهِ
الفَقِيْهُ وَالعَامِيُّ، وَاللهُ أَعْلَمُ.[25]
“Saya berpendapat bahwa
kata zâhir hari ini ada dua macam, yang pertama adalah benar dan yang
kedua adalah batil. Yang benar adalah berkata bahwa Allah Maha Mendengar,
Melihat, Berkehendak, Berfirman, Hidup, Mengetahui, segala sesuatu akan hancur
kecuali Wajh-Nya, Allah menciptakan Adam dengan Yad-Nya,
berfirman pada Musa dengan firman sebenarnya, menjadikan Ibrahim sebagai
kekasih, dan yang semisal itu. Maka kita membiarkan saja sebagaimana redaksi
aslinya dan kita memahaminya sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Ta’ala.
Dan, kita tak berkata bahwa itu punya takwil yang menyelisihi itu. Adapun zâhir
lainnya adalah yang batil dan sesat yaitu meyakini analogi hal yang ghaib
(sifat Allah) terhadap yang terlihat dan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Allah Mahasuci dari hal itu. Tetapi sifat-sifatnya seperti halnya Dzat-Nya,
sehingga tidak mempunyai saingan, tidak mempunyai lawan, tidak mempunyai
perbandingan, tidak mempunyai hal yang mirip, dan tidak mempunyai keserupaan.
Dan, tak ada satu pun yang sama dengan-Nya, tidak di dalam Dzat-Nya atau
sifat-sifatnya. Ini adalah perkara yang sama antara orang yang terpelajar dan
orang bodoh. Wallahu a’lam.” (adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, XIV,
332).
Dengan pemahaman yang tepat terhadap Allah, maka tidak ada satu pun makna dhahir
dari kalamullah yang akan bermakna yang tidak-tidak. Kaum muslimin secara umum
ketika mendengar ungkapan bahwa Allah ghadliba (murka) atau rahima
(mengasihi) terhadap suatu kaum, mereka akan memahaminya dengan jelas tanpa
terbesit dalam pikirannya makna emosi atau perubahan hormon dalam diri Allah;
Ketika mendengar ungkapan bahwa Allah nasiya (melupakan) suatu kaum,
maka mereka akan memahaminya sebagai Allah mengabaikan mereka atau tidak
memberikan rahmat kepada mereka, tanpa terbesit makna hilang ingatan; Demikian
pula ketika mereka mendengar ungkapan bahwa Allah istawa (menguasai/Mahatinggi),
maka mereka akan memahaminya dengan jelas sebagai kekuasaan atau dominasi
mutlak Allah atas seluruh makhluk tanpa ada yang terbesit dalam pikirannya
bahwa Allah berperang terlebih dahulu dengan Arasy hingga menang atau berpikir
bahwa Allah sedang duduk atau bertempat tinggal (bersemayam) di lokasi yang ada
di atas Arasy. Mereka pun tidak akan memahaminya sebagai ketinggian Allah
secara fisik di atas benda fisik lainnya yang bernama Arasy.
Sebab itulah, Imam Abul Hasan al-Asy’ari pernah berkata:
لأن القرآن على
ظاهره، ولا يزول عن ظاهره إلا بحجة، فوجدنا حجة أزلنا بها ذكر الأيدي عن الظاهر
إلى ظاهر آخر، ووجب أن يكون الظاهر الآخر على حقيقته لا يزول عنها إلا بحجة[26]
“Sebab Al-Qur’an seluruhnya atas
makna dhahir-nya. Makna dhahir tersebut tidak hilang kecuali
dengan hujjah. Maka kita dapati suatu hujjah yang dengannya kita
menghilangkan makna al-aydi (tangan-tangan) menuju makna dhahir
lainnya. Makna dhahir lainnya itu pun sesuai hakikatnya, tidak berpindah
dari makna hakikat tersebut kecuali dengan hujjah lainnya.” (Abu Hasan
al-Asy’ari, al-Ibânah, halaman 138)
Dengan demikian, mereka yang mengatakan bahwa makna dhahir istawa
adalah bersemayam sebetulnya sedang berpikir yang tidak-tidak tentang Allah
sehingga makna inilah yang muncul pertama kali di benaknya. Apabila ia membuang
jauh-jauh pikiran yang tidak-tidak ini, maka makna ini pun tidak akan muncul
sejak awal sebab berbicara tentang Allah berbeda jauh dengan berbicara tentang
manusia sehingga makna dhahir dalam seluruh ungkapan tentang Allah juga
berbeda sepenuhnya dengan makna dhahir dalam ungkapan tentang manusia.
Maksud Benar Tetapi Salah Diksi
Sebagai akhir, penulis sama sekali tidak hendak berkata ataupun
menyampaikan kesan bahwa para penerjemah Al-Qur’an secara umum beraqidah tidak
benar atau menjadi Mujassimah sebab menerjemah istawa sebagai
bersemayam, sama sekali tidak. Sebaliknya, penulis meyakini mereka semua adalah
orang-orang yang beraqidah lurus serta berjasa besar dalam penerjemahan mushaf
ke dalam Bahasa Indonesia sehingga dapat dipahami secara luas. Apalagi edisi
penyempurnaan 2019 secara umum mempunyai kecermatan dan ketelitian di atas
terjemahan versi sebelumnya. Akan tetapi masalahnya hanya pada level pemilihan
diksi yang kurang tepat untuk mengungkapkan keyakinan yang benar itu.
Dalam pembahasan aqidah, hal semacam ini kerap terjadi. Beberapa orang awam
biasa berkata bahwa Allah di mana-mana, secara aqidah ungkapan bernuansa ala
Jahmiyah ini bermasalah akan tetapi pengucapnya ketika ditanya ternyata
bermaksud pada pengawasan dan ilmu Allah ada di mana-mana. Tentu saja maksud
tersebut benar meskipun diksi yang ia pilih bermasalah. Sebagian lagi biasa
berkata bahwa Allah berada di atas langit, secara aqidah ungkapan bernuansa ala
Mujassimah ini juga bermasalah, akan tetapi ternyata ketika ditanya ternyata
maksudnya bukan Allah bertempat atau mempunyai batasan fisik/jismiyah melainkan
ungkapan sifat kemahatinggian Allah (sifat ‘uluw). Maksud ini pun benar
meskipun sepintas diksi yang ia gunakan bermasalah.
Hal semacam ini bukan hanya terjadi pada orang awam, beberapa tokoh
Hanabilah tercatat memaknai istawa sebagai istiqrâr. Kata istiqrâr
bermakna berkediaman, menetap atau tinggal. Kata ini setara dengan terjemahan
bersemayam yang dikritik dalam tulisan ini. Syekh Ibrahim bin Hasan al-Kaurani
menolak kritik para ulama Syafi’iyah atas pemaknaan Hanabilah tersebut.
Menurutnya, istiqrâr (bersemayam) bagi Allah bukanlah istiqrâr
bagi makhluk sebab Allah bukanlah jisim sehingga istiqrâr-nya juga
bukan istiqrâr-nya satu jisim di atas jisim lain. Konsekuensinya, ia
mengatakan bahwa istiqrâr-nya Allah tidak dapat diartikan yang
tidak-tidak. (Mahmud Syukri al-Alusi, Ghâyat al-Amânî Fi ar-Raddi ‘ala
an-Nabhânî, II, 123[27]). Penulis yakin bahwa kasus yang dibahas
sekarang sama seperti ini; Tidak ada penerjemah Al-Qur’an tersebut yang
berpikir yang tidak-tidak ketika mereka memilih diksi bersemayam tersebut. Dan,
dalam Webinar yang penulis ikuti bersama tim penerjemah tersebut memang
dikonfirmasi bahwa maksud mereka bukanlah makna yang tidak-tidak tersebut.
Namun masalahnya, kenapa memilih diksi tersebut ketika sudah nyata bahwa diksi
itu bukan satu-satunya diksi yang tersedia dan jelas bahwa syariat tidak datang
dengan diksi tersebut? Bukankah lebih baik memilih diksi yang tidak problematik
daripada mempertahankan diksi yang berpotensi menyebabkan pembaca salah paham?
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak alasan yang
betul-betul kuat untuk mempertahankan tradisi menerjemah istawa ‘ala
dengan kata bersemayam. Sudah waktunya Al-Qur’an terjemah berbahasa Indonesia
memakai diksi yang aman dari îhâm (potensi kesalahpahaman) dan menjadi
poin kesepakatan. Wallahu a’lam.
Abdul Wahab Ahmad, Peneliti Bidang
aqidah di PW Aswaja NU Center Jawa Timur
Sumber :
Menyoal
Terjemahan Kemenag atas Kata 'Istawa' dalam Al-Qur’an | NU Online
[1] Lihat
penjelasannya di link berikut ini ;
v ص24 - كتاب كفاية النبيه في شرح التنبيه - باب صفة
الأئمة - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
v ص44 - أرشيف ملتقى أهل الحديث - المجسم
كافر - المكتبة الشاملة الحديثة (al-maktaba.org)
v بيان أن الإمام الشافعي على التنـزيه في
مسئلة الإستواء | موقع سحنون (souhnoun.com)
v هل يصح تفسير الاستواء على العرش بالجلوس
أو القعود - الإسلام سؤال وجواب (islamqa.info)
v حكم التجسيم والمجسمة عند الشافعية - Shaykh Gilles
Sadek
v الشيخ محمد ناصر الالباني-سلسلة الهدى
والنور-569-2 (alathar.net)
v بيان حكم من ينسب لله مكانا (sunna.info)
v الحذر من المشبهة المجسمة الوهابية –
أكاديمية المنهاج (alminhajacademic.com)
v مقال مهم جدا في تكفير المجسم قا.. | VK
v فصل: ذكر قول الإمام محمد بن إدريس
الشافعي|نداء الإيمان (al-eman.com)
v القرآن الكريم - محاسن التأويل للقاسمي -
تفسير سورة الأعراف - الآية 54 (quran-tafsir.net)
v Hukum Mujassimah (Memfisikkan Tuhan) menurut Imam Syafi'i -
KonsultasiSyariah.in
v الرد القوي على مالك الحبشي الغوي (saaid.org)
v هل يقال الله جالس على العرش أو مماس له -
إسلام ويب - مركز الفتوى (islamweb.net)
v عقيدة المسلمين - الدرس 19 - المشاريع
(projectsassociation.org)
v Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang ‘Allah Duduk Diatas Arsy’
yang Ditolak Para Ulama - Pecihitam.org
v ابن تيمية ورأيه في الصفات الخبرية[1] (hawzah.net)
v نصوص العلماء على تكفير المجسمة (alsunna.org)
v ما ذكره الشيخ في مسألة الاستواء - ابن
تيمية - طريق الإسلام (islamway.net)
v الوهابيّة والتوحيد »علي الكوراني »مکتبة
»مركز الأبحاث العقائدية (aqaed.com)
v قاعدة عظيمة النفع في تنزيه الله تعالى (harariyy.org)
v خصائص نظرية المجسمة ق (3) 23/08/2010 (alkawthartv.ir)
v Listen and Read - موقع أهل السنة و
الجماعة - Page #41
(mika2eel.com)
v القول المبين في ان الجهوي والمجسم ليسوا
مسلمين
(aslein.net)
[2] Lihat hadits dan penjelasannya di link berikut ini ;
v لا يجوز قِيَاسُ الخالق على المخلوق |
موقع سحنون
(souhnoun.com)
v كان الله ولم يكن شيء غيره وكان عرشه على
الماء - صحيح البخاري (hadithprophet.com)
v كان الله ولم يكن شيئ غيره (azhar.eg)
v الشيخ محمد ناصر الالباني-سلسلة الهدى
والنور-087-2 (alathar.net)
v بدء الخليقة وقدرة الله سبحانه وتعالى -
إسلام أون لاين (islamonline.net)
v الدرر السنية - الموسوعة الحديثية - شروح الأحاديث (dorar.net)
v معنى حديث كان الله ولم يكن شيء... - إسلام
ويب - مركز الفتوى (islamweb.net)
v تفسير وهو الذي خلق السموات والأرض في ستة
أيام وكان عرشه على الماء [ هود: 7] (surahquran.com)
v حديث: كان الله ولا شيء معه (alukah.net)
v إبطال رد حديث: “كان الله ولا شيء معه” –
الشيخ صالح الأَسمَري (sasmari.com)
v Menanggapi Wahabi: Mengapa Mazhab Fikih Syafi’i Tetapi
Akidahnya Asy'ari? - Alif.ID
v إثبات تنزيه الله عن المكان من القرآن و
الحديث ومن أقوال السلف و الخلف (sunna.info)
v إثبات تنزيه الله عن المكان والحدّ بطريق
النقل عن السلف | I.F.B.S. (ifbs.se)
v “مفهوم الشيء عند الأشاعرة” – بوابة
الرابطة المحمدية للعلماء
(arrabita.ma)
v بحث حول حديث كان الله ولم - موسوعة
العقائد الإسلاميّة ج5 (hadith.net)
v جامع السنة وشروحها - صحيح البخاري
(hadithportal.com)
v حديث (كان الله ولم يكن شيء غيره) رواية
ودراية وعقيدة (qu.edu.qa)
v من روائع الإمام البخاري (07) رحمه الله – موقع
الإدلبي نت
(idlbi.net)
v تفسير قول الله تعالى: ( وكان عرشه على
الماء ) - الإسلام سؤال وجواب (islamqa.info)
v 5_ إعتقاده بحوادث لا أول لها وقوله
بأزليّة نوع العالم
(al-milani.com)
v معنى قول النبي صلى الله عليه وسلم كان
الله ولم يكن شيء غيره mp3 (nogomi.ru)
v حديث (كان الله ولم يكن شيء غيره) رواية
ودراية وعقيدة (archive.org)
v القرآن الكريم - تفسير ابن كثير - تفسير
سورة هود - الآية 7 (ksu.edu.sa)
v كان الله ولم يكن شئ غيره – أكاديمية
المنهاج
(alminhajacademic.com)
v بدءُ الخلق – كان الله ولم يكن شىء غيره – Alsunna.org ::
Prophetic Teachings
v شرح الأسماء الحُسنى (4) الأوّل، والآخر
والظّاهر والباطن - الكلم الطيب (kalemtayeb.com)
v ميزان الحكمة - محمد الريشهري - ج ٣ -
الصفحة ١٩١٠
(shiaonlinelibrary.com)
v ما أول شىء خلقه الله؟.. نقرأ معا "البداية والنهاية"
لـ ابن كثير - اليوم السابع (youm7.com)
v بدءُ الخلق – كان الله ولم يكن شىء غيره |
حـقـيـقــة الـسـلـفـيــة (wordpress.com)
v ص294 - كتاب العرش وما روي فيه - الباب السادس قسم
التحقيق - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[8]
ص219 - كتاب تفسير القرطبي الجامع لأحكام القرآن -
سورة الأعراف آية - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[9] ص405 - كتاب فتح الباري لابن حجر - قوله باب وكان عرشه على
الماء وهو رب العرش العظيم - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[10] ص406 - كتاب فتح الباري لابن حجر - قوله باب وكان عرشه على
الماء وهو رب العرش العظيم - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[17]
ص11 - كتاب لمعة الاعتقاد - ذكر بعض الآيات والأحاديث
الواردة في الصفات - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[24] ص676 - كتاب تشنيف المسامع بجمع الجوامع - الكتاب السابع في
الاجتهاد - المكتبة الشاملة (shamela.ws)