Pengertian Bid'ah menurut ulama | maulana Syaikh ali Jum'ah
Apa itu Bid'ah ? - Buya Yahya Menjawab
MEMAHAMI BID'AH DENGAN 4 DALIL - Ustadz Adi Hidayat LC MA
Bid’ah Sebuah Kata Banyak Makna
Setelah
adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham
Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud
Bid’ah
menurut syari’at Islam serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang
masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang
dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah
dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan
dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang
berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak
dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah
ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan
batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas
pengertian sunnah.
Karena
itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan
dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan
batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang
tidak berlainan.
Umpamanya
dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah
lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa
Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara
keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik
ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal
yang diada-adakan, dan setiap hal
yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’[1]. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori
hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna
hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang
yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan
kejahatan ia memikul
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit
pun juga’[2] (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits
ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah[3] [ra].
Sekalipun
hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah
disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman
lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’[4].
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa
Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu
sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk
Rasulullah saw. Dari hadits
berikutnya kita melihat
bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah,
sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib
Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245
mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu
berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw.
yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah
dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah
SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu.
Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’[5] .
Penjelasannya
ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi
tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa
manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut
penjelasan Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76
mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan
masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu
jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai
soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai
peribadatan’[6].
Demikian
juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna
kata Fithrah.
Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah
sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah
atau jalan.
Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan)[7].
Karena
itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai
persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak
dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi
dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal
pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita
juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat
memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan,
menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan
menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar
dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi
sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah
beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang
kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita
dapat membedakan
lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin
ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan
tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah.
Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan
petunjuk
juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan
atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali
kejadian yang dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah
dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat
dan dilakukan oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih
mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau
dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak
sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan
tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah
yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang
bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan
dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai
persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa
Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan,
dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan
baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang
dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan
secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga
mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah
kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun
para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti
setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai
kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal
kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad
dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal
kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika
menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus
ditolak !
Pada
dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak
mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah
menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal
kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa,
karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada
orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan
berdalil sabda Rasulullah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu
bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah,
wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai
bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu
yang haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya
mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih
mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulullah saw. yang
membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru
‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya
tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping
itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah
saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab
serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya
petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri
sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk
mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan
ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya
:
Menurut
Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya[8].
Pertama,
riwayat Abu Nu’aim;
البِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ
فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم[9].
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah
yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua,
riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ
يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ
الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ
فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ[10]
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama,
perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah
bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru
yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang
disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut
kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah
yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat
dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih
jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam
Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada
sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik
termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah
terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan
hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum
dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu
yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk
diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika
tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah[11]. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”[12].
Pendapat
beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya
Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid[13] dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii
Sholaatit Taroowih[14]; Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’[15] ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam
Al-Qowaa’id[16] ; As-Syaukani dalam Nailul
Author[17] ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul
Misykaat[18]; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus
Saari Syarah Shahih Bukhori[19], dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada
golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui
adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi
beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh
haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan
adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum
syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan
menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang
ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif[20] ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia)
bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154[21]—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian
yaitu :
1.
Bid’ah wajib;
seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab,
khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan
baik dan benar.
2.
Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin,
mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai
pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah
dilakukan.
3.
Bid’ah makruh;
menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya,
mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar
yang tidak semestinya.
4.
Bid’ah mubah;
seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama
tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain
sebagainya.
5.
Bid’ah haram;
semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan
tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a) Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b) Perbuatan
khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat
tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau
sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c) Pemberian gelar atau titel kesarjanaan
seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang
pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar
ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d) Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara,
membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara
untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu
kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang
yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e) Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at
yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita
lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram
Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh
khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f) Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g) Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih
banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran
waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang
tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu
memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana
semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta
para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat
dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para
sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan
tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak
tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain
tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi
saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at
Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau
semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan
tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang teknologi yang
sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat
muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana
telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i,
Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para ulama
lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak
menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah
bagian dari agama”.
Semua
amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah
saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah
saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka
prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah
diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai
bid’ah tercela.
Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan
bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang
hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya.
Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad
saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan
celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang menyunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah
tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam
masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid
Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu
Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat
disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah
Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash
mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau
ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana
kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun
begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal
itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah
serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha
ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri
Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu
sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah
hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti
itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum
muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah
dholalah/sesat.
Sebuah
hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304
dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra.
sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah
saw. sholat dhuha[22]. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori
juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw. Tiba-tiba
kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan
banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada
‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”[23].
‘Aisyah
ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri
bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga
‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah,
tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah
yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan
demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.
Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para
sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa
disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam
pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah
yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam
makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul Haulal Ihtifal
bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang
dikatakan oleh orang fanatik (extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan
oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi
hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin
mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulullah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi
(bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah,
dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman
Allah SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’.
(Ali Imran (3) : 104).
Allah
SWT. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”.
(Al-Hajj:77)
Abu
Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي
مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله
.صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم( [24]
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala
sama dengan yang mengerjakannya’.
( HR.Muslim)
Dalam
hadits riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam
Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya
dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan
yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang
mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih
banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah
dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian
golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam
hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur
Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah
saw. dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil
bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah;
sesuatu
yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua
macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami
kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil,
karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan
pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga
secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia
ataupun perkara-perkara agama!!
Kami
perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut
ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud[25] dan Tirmidzi[26]).
Yang
dimaksud sunnah dalam
hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau
kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah
Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus
.Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. saja,
tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama
adalah ahli-waris para Nabi “[27]. Dengan
demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum
muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum
Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka
adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya
mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari
mereka (ulul-amri)”.
Para
alim-ulama bukan kaum awam yang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud
ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula
memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang
diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya
sebagai hadits Hasan (hadits baik)[28].
Dengan
pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah
ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin
dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru,
baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak.
Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i
dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan
ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang
syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan
dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap
perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi
dua yang pertama adalah mardud yaitu
perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah
yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun
terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa
yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah
saw., para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam
bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang
khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am
(umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul
berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah
dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan
amalan tersebut.
Kalau
kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak
mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan
kita kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh
keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun
juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah
SWT. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah
kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah
dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits
yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu
Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah
diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah
Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan
berlawanan maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.
Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi)
baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang
yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia
manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili
hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak
asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan
mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan
telah memberi maaf.
Dikutip
dari ebook “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)’ yang ditulis oleh
Imam Nawawi, S.PdI
Sumber :
Bid’ah Sebuah Kata Banyak Makna – NU Online Jawa Barat (ltnnujabar.or.id)
Referensi Lain Tentang Bid’ah
ü
أقوال علماء
الشافعية في تقسيم البدعة
ü
أقوال علماء
الحنفية في تقسيم البدعة
ü
أقوال علماء
الحنابلة في تقسيم البدعة
ü
البدعة بدعتان عند
أهل السنة
ü
أقوال
علماء الشافعية في تقسيم البدعة - Shaykh Gilles Sadek
ü
اقوال
العلماء في تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة – الجاوي – أبو عمر الإندونيسي
(wordpress.com)
ü
معتمد
الدار - دار الإفتاء المصرية (dar-alifta.org)
ü
ما
مراد الإمام الشافعي بتقسيمه البدعة إلى محمودة ومذمومة؟ - الإسلام سؤال وجواب
(islamqa.info)
ü
القول
الراجح في تحديد مسمى البدعة (islamweb.net)
ü
مسألة: تقسيم البدعة وشبهات المبتدعة
(saaid.org)
ü
كيف
نميز البدعة الحسنة من البدعة السيئة؟ | سياسة | الجزيرة نت (aljazeera.net)
ü
قواعد البدعة عند
الشافعية - {منتديات كل السلفيين} (kulalsalafiyeen.com)
ü
الخلاف
القديم حول مفهوم البدعة - إسلام أون لاين
(islamonline.net)
ü
View of قواعد
في رد البدعة عند علماء الشافعية (stdiis.ac.id)
ü
أقوال
علماء المالكية في تقسيم البدعة - Shaykh Gilles Sadek
ü
سؤال
حكم الشافعي في أهل الكلام هل يطبق على ج... - ابن عثيمين (al-fatawa.com)
ü
موقع
الشيخ ابراهيم المزروعي: كـلُّ بدعـةٍ ضلالـة (ibrahimalmazroui.blogspot.com)
ü
تعريف
البدعة في الاصطلاح وتقسيمها إلى حسنة وسيئة – الجاوي – أبو عمر الإندونيسي
(wordpress.com)
ü
من أقوال العلماء
في البدعة الحسنة (ahlamontada.com)
ü
البدعة
الحسنة في ميزان الشرع (islamweb.net)
ü
ص126 - كتاب البدعة الشرعية - المبحث
الأول مثبتو البدعة الحسنة - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
ü تفريق ضرورى بين
البدعة الشرعية واللغوية
ü
البِدعة
الإضافية – دراسة تأصيليَّة تطبيقيَّة - الدرر السنية (dorar.net)
ü
ما هي
البدعة - موضوع (mawdoo3.com)
ü
أصول
الإمام الشافعي في إثبات العقيدة الإسلامية | الجزيرة نت (aljazeera.net)
ü
البدعة
الحسنة عند الشافعية في العبادات - دار الفاروق ط2.pdf (archive.org)
ü
أقسام
وأنواع البدعة عند أهل السنة والجماعة. معنى وشرح حديث وكل بدعة ضلالة
(islam.ms)
ü
البدعة:
مفهومها أنواعها وحكمها (alukah.net)
ü
موارد
اصطلاح البدعة وبيان الاختلاف في تحديده (alukah.net)
ü
جهود
علماء الحنابلة في التحذير من البدع.pdf (archive.org)
ü
EbnBaz0006.pdf
(archive.org)
ü
كل بدعة ضلالة |
شبكة بينونة للعلوم الشرعية (baynoona.net)
ü
ص13 - كتاب شرح لامية ابن تيمية - تعريف
البدعة في اللغة والاصطلاح - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
ü
bkb-aq01313-ketabpedia.com.pdf
ü مفهوم
البدعة.pdf (almostaneer.com)
ü البدعة مفهومها و حدودها
ü
الباعث
على إنكار البدع والحوادث - ويكي مصدر (wikisource.org)
ü
مفهوم البدعة
وتجاذبات التعريف | مركز سلف للبحوث والدراسات
(salafcenter.org)
ü
الغلو
و البدعة (2) (alukah.net)
ü
d985d982d8a7d984d8a7d8aa-d8a7d984d983d988d8abd8b1d98a.pdf
(wordpress.com)
ü
ebook-noor-assunah-sh-ibrahem-almazroy3i_0.pdf
(baynoona.net)
ü
ar4061.pdf
(muslim-library.com)
ü
معتمد
الدار - دار الإفتاء المصرية (dar-alifta.org)
ü
ذم-البدعة-الإضافية-والذكر-الجمـاعي-هل-هو-من-خصوصيات-الشاطبي-وابن-الحاج؟.pdf
(salafcenter.org)
ü
أهل
السنة والجماعة - ويكيبيديا (wikipedia.org)
ü دار الافتاء توضح
بالتفصيل مفهوم البدعة فى الإسلام
ü
البدعة
بدعتان عند أهل السنة والجماعة (alwahabiyah.com)
ü
البدعة
، مفهومها ، حدها ، آثارها - الشيخ جعفر السبحاني - الصفحة ٦٧
(shiaonlinelibrary.com)
ü
قواعد
البدعة عند الشافعية [الأرشيف] - شبكة الدفاع عن السنة (dd-sunnah.net)
ü
مفهوم
البدعة شرعا وأقوال أهل العلم فيها (m-almored.blogspot.com)
ü
سؤال للشيخ عبد الحي يوسف: ما حكم
البدعة الحسنة؟ – النيلين (alnilin.com)
ü
دار الإفتاء - حكم
تقسيم التوحيد ثلاثة أقسام (aliftaa.jo)
ü
قواعد
البدعة عند الشافعية - شبكة الدفاع عن السنة (dd-sunnah.net)
ü
هل قسمت المذاهب
البدعة الى مذمومة وحسنة من من المذاهب قال بذلك : - Rattibha
ü
لماذا
كان في الحرم المكي لكل مذهب إمام يصلي بأهل مذهبه ؟ - الإسلام سؤال وجواب
(islamqa.info)
[2] ص2059 - كتاب صحيح
مسلم ت عبد الباقي - باب من سن سنة حسنة أو سيئة ومن دعا إلى هدى أو ضلالة -
المكتبة الشاملة
(shamela.ws)
[3] ص2060 - كتاب صحيح مسلم ت عبد الباقي - باب من سن سنة حسنة أو سيئة ومن
دعا إلى هدى أو ضلالة - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[4] ص130 - كتاب من أصول
الفقه على منهج أهل الحديث - القاعدة الرابعة العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب -
المكتبة الشاملة
(shamela.ws)
[6] ص254 - كتاب اقتضاء
الصراط المستقيم لمخالفة أصحاب الجحيم - الفساد وأنواعه - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[8] ص61 - أرشيف
ملتقى أهل الحديث - هل قال الشافعي البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة -
المكتبة الشاملة الحديثة
(al-maktaba.org)
[9] ص113 - كتاب حلية
الأولياء وطبقات الأصفياء ط السعادة - قال الشيخ رحمة الله تعالى عليه ذكر الأئمة
والعلماء له - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[10] ص469
- كتاب مناقب الشافعي للبيهقي - باب ما جاء عن الشافعي رحمه الله في مجانبة أهل
الأهواء وبغضه إياهم وذمه كلامهم وإزرائه بهم ودقه عليهم ومناظرته إياهم - المكتبة
الشاملة (shamela.ws)
[12] ص253
- كتاب فتح الباري لابن حجر - قوله باب الاقتداء بسنن رسول الله صلى الله عليه
وسلم - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[18] ص223 - كتاب مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح - باب الاعتصام بالكتاب
والسنة - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[19] ص302 - كتاب شرح القسطلاني إرشاد الساري لشرح صحيح البخاري - باب
الاقتداء بسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[21] ص154 - كتاب شرح
النووي على مسلم - كتاب الجمعة يقال بضم الميم وإسكانها وفتحها حكاهن - المكتبة
الشاملة
(shamela.ws)
[22] ص58 - كتاب صحيح البخاري ط السلطانية - باب من لم يصل الضحى ورآه واسعا
- المكتبة الشاملة
(shamela.ws)
[23] ص2 - كتاب صحيح
البخاري ط السلطانية - باب كم اعتمر النبي صلى الله عليه وسلم - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[24] ص166 - كتاب شرح النووي على مسلم - باب ببان إثم من سن القتل قوله صلى
الله عليه وسلم - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[25] ص329 - كتاب سنن أبي
داود ط دهلي مع عون المعبود - باب في لزوم السنة - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[26] ص408 - كتاب سنن
الترمذي ت بشار - باب ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع - المكتبة الشاملة (shamela.ws)