Ada Dua Macam Kebenaran
Jika ada yang bertanya, kota New York itu berada di timur Jakarta atau di
barat Jakarta? Jawabannya mungkin beragam, ada yang bilang ‘barat’ dan ada pula
ada yang jawab ‘timur’. Jawaban keduanya punya alasan masing-masing. Misalnya,
coba saja Anda terbang ke arah timur pasti akan tiba di kota New York? Tapi,
bukankah begitu pula jika kita terbang mengelilingi bumi ke arah ke barat?
Contoh lain, poligami di dunia barat dianggap tak bermoral, tapi dalam
budaya Indonesia dianggap biasa saja. Di Jepang nyerobot antrian dianggap tak
bermoral, dalam budaya Indonesia hal tersebut masih dianggap biasa. Di
pedalaman papua, orang berjalan di depan umum hanya pakai koteka adalah hal
yang biasa, tapi jangan lakukan hal itu di jalanan kota Bandung, sebab kau akan
dianggap gila.
Jadi, mana yang benar?
Nah, banyak orang berdebat tentang kebenaran. Masing-masing mengklaim diri
sebagai yang paling benar. Aneka argumen dan alasan dimuntahkan. Bahkan, ada
yang sampai berakhir dengan caci maki dan kekerasan fisik. Saya sendiri hanya
mengenal dua kebenaran dalam hidup ini, yaitu kebenaran subjektif dan kebenaran
objektif.
Kebenaran Subjektif
Kebenaran subjektif adalah kebenaran yang melibatkan persepsi pengamatnya,
sering pula disebut kebenaran relatif. Seorang aktivis posmo yang bernama
Michael Fackerell pernah mengucapkan suatu slogan yang berbunyi “All is
relative” (Semua adalah relatif). Ya, semuanya adalah relative. Benar bagi anda
belum tentu benar bagi yang lainnya, tidak ada kebenaran yang benar-benar
mutlak.
Bahkan, Einstein pernah mengemukakan suatu teori yang disebut teori
relativitas. Secara sederhana teori ini menyebutkan bahwa kecepatan/laju suatu
benda amat tergantung pada keadaan si pengamat atau benda lain yang menjadi
pembandingnya. Kecepatan tank T-72 yang dikendarai tentara Garda Republik saat
perang Irak akan mempunyai angka yang berbeda jika dilihat dari helikopter
Apache yang terbang diam di dekatnya dan jika dilihat dari pesawat tempur F-16
yang sedang memburunya.
Amrozi Cs ngebom sana-sini, ratusan orang tewas, ratusan orang pula
kehilangan orang-orang tersayangnya. Apa yang ia katakan “saya melakukan ini
karena saya yakin hal ini benar”. Cuiiihh…lihat…orang gila yang kini di neraka
itu mengatakan bahwa dirinya melakukan sesuatu yang benar. Ya….kebenaran memang
subjektif, relatif, tergantung pada persepsinya masing-masing.
Tidak ada yang betul-betul salah atau benar mengenai apapun. Apa yang
mungkin “benar bagi Anda” tidak berarti “benar bagi saya.”
Kebenaran Objektif
Kebenaran objektif adalah kebenaran apa adanya tanpa melibatkan persepsi
pengamatnya. Kebenaran ini melibatkan persesuaian antara apa yang diketahui
dengan fakta sebenarnya. Umpamanya, binatang kaki seribu memiliki kaki 1000.
Setelah diteliti ternyata binatang kaki seribu hanya memiliki 666 kaki, karena
pengetahuan tidak sesuai dengan obyek maka pernyataan dianggap keliru. Namun
saat dinyatakan binatang kaki seribu memiliki kaki 666, maka pernyataan
dianggap benar.
Menurut ilmu fisika, kecepatan cahaya di ruang hampa akan selalu sama dari
sudut manapun seorang pengamat melihatnya. Kecepatan cahaya tidak pernah
relatif dan selalu terhadap pengamat. Kecepatan cahaya selalu benar dari sudut
mana pun seorang pengamat melihatnya. Begitu pula dengan hukum-hukum fisika
lainnya, ia berlaku sama di manapun dan kapanpun di alam semesta ini dan tidak
bergantung pada persepsi pengamatnya. Ini adalah contoh kebenaran objektif.
Matematika dan sains mendekati kebenaran objektif, maka orang sering
menyebutnya dengan ilmu pasti. Saya katakan mendekati, karena terkadang unsur
subjektivitas tetap ada. Misalnya, bila ditanyakan berapa 2 ditambah 2 pasti
spontan dijawab 4, namun justru ada beberapa jenis soal yang sebaiknya 2
ditambah 2 tidak dijawab 4 namun hasil mutlak dari akar 16. Hal ini ditujukan
supaya soal dapat dikerjakan dengan efisien.
Berikut ini adalah contoh lain yang tidak serius, misal: bagi tukang
cuci-cetak foto lain lagi. Jika ditanya 2 x 3 berapa hasilnya? Jawabnya ada
yang mengatakan Rp 500, Rp 1.000, Rp 2.000. Padahal, dalam ilmu pasti hasil
perkalian 2 x 3 sama dengan 6. Di beberapa swalayan bahkan jika Rp 10.000 uang
yang kita miliki dibelikan Rp 9.500 untuk harga sebungkus roti bagelen hasilnya
bisa berupa sebungkus roti bagelen dan 3 buah permen. Padahal yang benar adalah
si pembeli mendapat sebungkus roti bagelen dan uang kembalian Rp 500. Objektif
yang menjadi subjektif bukan?
Jadi, suatu objek dapat didekati secara subjektif, bahkan di ranah
kebenaran objektif sekalipun. Begitulah, semua objek bisa dipersepsi secara
berbeda. Objeknya sama, tetapi persepsinya yang berbeda. Dulu matahari dianggap
mengelilingi bumi, tetapi kemudian ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa bumi-lah yang
mengelilingi matahari. Objeknya sama, faktanya sama, tidak berubah, dan itu-itu
saja, hanya persepsinya yang berubah.
Kalau begitu relativitas bisa menimbulkan kekacauan atau ketidakpastian,
karena masing-masing orang sangat mungkin memiliki persepsi atau pemahaman yang
berbeda, misalnya dalam norma-norma sosial?
Betul.
Lalu, apa yang kita perlukan
dalam ketidakpastian ini?
Jawabnya: menetapkan konsensus bersama.
Ya acuan. Jika kita berpegang pada acuan yang telah menjadi kesepakatan
bersama, saya pastikan tidak akan terjadi kekacauan. Konsensus dalam bernegara
adalah undang-undang, atau dalam tingkat internasional ada Piagam HAM atau
perjanjian antarnegara, itulah yang harus jadi acuan. Sepanjang Anda tidak
melanggar undang-undang yang telah ditetapkan, seharusnya setiap tindakan Anda
tak perlu dipermasalahkan.
Misal, perkara seks pranikah banyak pendapat yang pro dan kontra. Ya ….kita
kembalikan saja pada acuan yang telah disepakati bersama, yaitu undang-undang.
Adakah KUHP mengatur hal ini? Adakah KUHP menyebutnya sebagai pelanggaran
hukum? Tidak ada. Selesai toh.
Instrumen undang–undang dibuat untuk menyamakan persepsi masyarakat agar
mendekati hanya satu persepsi saja. Tapi, harus diingat pula bahwa yang membuat
undang-undang adalah manusia juga yang memiliki subjektivitas, sehingga sangat
mungkin suatu undang-undang dibuat dalam kondisi subjektif sehingga terkadang
menjadi bias dan multiinterpretasi. Tetapi, minimal kita telah memiliki acuan
yang telah disepakati bersama.
Lalu, bagaimana dengan kitab suci, apakah bisa menjadi acuan? Dalam kultur
masyarakat yang homogen satu keyakinan mungkin bisa diterapkan, tetapi dalam
kultur masyarakat yang heterogen dengan keyakinan yang beragam tidak mungkin
dilakukan. Hal ini karena hanya akan menimbulkan anak emas bagi satu keyakinan
dan diskriminasi bagi penganut keyakinan lainnya. Lihat saja, kitab suci
dianggap sebagai kebenaran hanya oleh penganutnya. Di luar penganutnya, semua
yang tertera dalam kitab suci akan dianggap sebagai dongeng, yang sama nilainya
dengan isi novel Harry Potter.
Perbedaan persepsi dalam memandang kebenaran suatu objek pada hakikatnya
bukanlah suatu pembeda yang saling menghancurkan satu sama lain, namun
merupakan pelengkap yang saling menyempurnakan. Berpikir positif, saling menghargai,
toleransi, dan rasa kebersamaan akan meminimalisir akibat dari perbedaan
persepsi atas suatu objek. Kuncinya? Kembali kita harus mengacu pada acuan yang
telah disepakati bersama.
Tak Ada Kebenaran Mutlak: All is Relative.
Oh ya, ….opini ini pun relative, iya toh?
Ikhwal Kebenaran dalam Nalar Politik
dan Kekuasaan
Oleh: M. Risfan Sihaloho
Ikhwal
kebenaran dalam konteks politik adalah sesuatu yang absurd. Artinya, kebenaran
politik itu sangat musykil untuk diukur objektivitas dan validitasnya.
Kecendrungan ini boleh jadi disebabkan nalar politik yang memproduksi kebenaran
itu memang cenderung bersifat relativistik dan pragmatistik.
Bila dicermati, tradisi politik praktis itu memang
sering diidentikkan dengan ikhwal “kepentingan” belaka. Karenanya wajar
kemudian kebenaran politik hanya semata dianggap sebagai hasil representasi
dari kepentingan politik. Kebenaran politik yang disajikan tidak akan pernah
lepas dan bebas dari nilai kepentingan politik. Sebagai implikasinya, muncul
adagium yang memandang kebenaran dalam politik itu “tidak selalu harus benar”
dan begitu juga kesalahan “tidak pula melulu mesti salah”.
Tentang hal ini, filsuf eksistensialis Prancis,
Jean Paul Satre dengan sinis pernah menyebut politik tidak lain adalah sebuah
ilmu yang memungkinkan pemiliknya (politisi) dapat menunjukkan bahwa dirinyalah
yang paling benar, sedangkan orang lain salah.
Dengan demikian, wajar saja jika kemudian tindakan
dan prilaku politik bisa menjadi “serba benar” atau “serba tidak keliru”,
meskipun sebelumnya pandangan umum sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang
salah, kontroversial dan irrasional.
Begitulah. Dalam politik yang sering dilakukan oleh
para politisi sebenarnya bukan memihak kepada kebenaran sejati, melainkan
berpihak kepada kebenaran subjektif yang tidak lain merupakan cerminan dari
kepentingan politik.
Monopoli Kebenaran
Mencari kebenaran itu lebih bernilai
dibandingkan menguasainya (Albert Einstain)
Bagi dunia filsafat dan ilmu
pengetahuan, aforisma yang dilontarkan ilmuan besar dunia Albert
Einstain di atas memang adalah prinsip ideal yang seharusnya
dipraktikkan. Tujuan ideal ilmu itu adalah mencari kebenaran.
Tetapi sepertinya itu tidak relevan — bahkan boleh
jadi dianggap sesuatu yang naïf – dilakukan di dalam dunia politik dan
kekuasaan. Dalam logika politik dan kekuasan, justru ikhtiar
mencari kebenaran bukanlah suatu yang penting, dan sama sekali
bukan menjadi tujuan. Bagi politisi dan penguasa yang terpenting adalah
bagaimana menguasai dan mengendalikan kebenaran. Karena dengan mengendalikan
dan menguasai kebenaran, akan membantu dan memudahkan politisi atau penguasa
memenangkan kepentingannya.
Kalaupun ada ruang untuk kebenaran, lebih
sering itu hanya sebentuk bunga-bunga kata yang mekar di mulut mereka yang
sebenarnya pendusta. Jarang sekali kebenaran jadi bagian dari dedikasi
dan komitmen mereka.
Dan biasanya, pihak yang paling potensial untuk
menguasai kebenaran adalah mereka yang sedang memegang kekuasaan. Semakin besar
kekuasaan yang digenggam, maka semakin besar peluang memenangkan pertarungan
untuk menguasai kebenaran.
Dalam konteks politik dan kekuasaan, makna
menguasai kebenaran adalah bagaimana penguasa menggunakan segenap kekuasaan
yang dimilikinya secara optimal untuk selalu merasionalisasi dan membenarkan
setiap perilaku dan kebijakan yang dikeluarkannya.
Tentunya kita masih ingat, di masa pemerintahan
Orde Baru, bangsa ini pernah mengalami masa dimana telah terjadi monopoli
kebenaran oleh rezim penguasa. Atas nama negara, penguasa otoritarian saat itu
tampil sebagai pembuat sekaligus penafsir tunggal kebenaran politik untuk
mengamankan status-quo
kekuasaannya.
Dalam segala hal pihak penguasa selalu memaksakan
semua yang dilakukannya harus dianggap dan diamini sebagai sesuatu kebenaran
yang tidak pernah salah. Dan jika ada pihak-pihak yang berupaya menginterupsi
atau mengoreksinya, maka itu akan dianggap sebagai tindakan subversif yang
kemudian pantas untuk dibungkam secara represif.
Terbukti, tidak sedikit tokoh, kelompok dan media
massa yang mencoba nekat menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran yang berbeda
dengan kebenaran pemerintah telah menjadi korban kelaliman penguasa pada waktu
itu.
Namun setelah rezim Orba runtuh dan bangsa ini
memasuki era reformasi, kondisi pun berubah drastis. Kehadiran gerakan
reformasi sebagai antitesa dari Orba telah membawa angin perubahan yang cukup
radikal bagi bangsa ini. Salah satu implikasi yang paling menonjol dari
kehadiran gerakan reformasi adalah terbukanya kran kebebasan ditengah-tengan
kehidupan bernegara, termasuk dalam sektor kehidupan politik.
Tak ayal, eforia pun melanda sebagian besar anak
bangsa menyambut era kebebasan tersebut. Tiba-tiba siapapun tidak tabu lagi
untuk bersuara memuntahkan aspirasinya. Begitu juga terkait kebenaran politik,
negara bukan lagi jadi satu-satunya penguasa tunggal kebenaran politik yang
dominan. Setiap orang atau kelompok kepentingan bebas memiliki klaim kebenaran
politik masing-masing.
Politik Pembenaran
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun
determinasi negara terhadap kebenaran politik sudah berkurang sedemikian rupa,
sesungguhnya bukan berarti syahwat penguasa untuk menguasai kebenaran politik
mengalami stagnasi.
Seperti yang terlihat belakangan ini, sebenarnya
gelagat hasrat pihak penguasa untuk menguasai kebenaran politik masih cukup
besar. Namun masalahnya, rezim penguasa di zaman reformasi tidak menguasai
kebenaran politik dengan cara kursif seperti yang dipraktikkan oleh rezim
penguasa orba. Oleh karenanya pilihan yang paling efektif diambil penguasa
adalah dengan cara memaksimalkan hegemoni kekuasaan yang dimilikinya.
Dalam konteks hegemoni, pihak penguasa dengan segenap
instrumen kekuasaannya dituntut mampu lebih moderat untuk “memaksakan” versi
kebenaran politiknya.
Politik Kebenaran
Jika kebenaran politik begitu musykil untuk
dipercaya, maka sesungguhnya masih ada bentuk representasi lain yang justru
penting untuk selalu diperjuangkan dan ditradisikan, yakni “politik kebenaran”.
Apa itu politik kebenaran?
Secara sederhana, politik kebenaran itu dapat
diartikan dengan politik ketulusan. Artinya, politik dan kekuasan harus selalu
dijalankan dengan etos ketulusan dalam rangka memperjuangkan kemaslahatan
bersama (bonum
commune). Seorang politisi atau penguas yang menganut ideologi
politik kebenaran akan senantiasa menjadikan dunia politik dan kekuasaan
sebagai instrumen perjuangan untuk mewujudkan kebenaran dan kebaikan.
Dalam konteks kehidupan bernegara, secara
konseptual kebenaran itu adalah nilai-nilai ideal yang telah disusun dan
dirumuskan dalam dasar negara.
Di Indonesia, konsep aksioma kebenaran itu tak lain
terkandung dalam Pancasila dan UUD1945. Keduanya menjadi postulat dan standar
rujukan kebenaran bagi segenap komponen bangsa yang harus senantiasa diamalkan
dalam kehidupan bernegara.
Akan tetapi, sepertinya bagi politisi hal ini
bukanlah sesuatu yang mudah dan menguntungkan untuk dilakukan dalam kultur
politik pragmatis. Karena dunia politik adalah kumpulan fakta dan realitas yang
syarat kebohongan dan kemunafikan. Seperti pernah diungkapkan George RR Martin
dalam bukunya “A Clash of Kings” (1998); “orang sering mengklaim rasa lapar akan
kebenaran, tapi jarang menyukai rasa itu saat disajikan“.
Dan perlu dipahami, politik kebenaran tidak sama
dengan politik pembenaran. Politik kebenaran adalah bentuk praksis dari tradisi
politik adiluhung (high
politic), sedangkan politik pembenaran merupakan praktik politik
murahan (low-politic)
yang ditujukan untuk membenarkan perilaku busuk politik.
Penutup
Boleh jadi, bagi sebagian orang gagasan politik
kebenaran mungkin dianggap sebagai sesuatu yang utopis dan tidak realistik.
Namun meskipun demikian, jangan sampai hal itu membuat kita pesimis dan
melemahkan iktikad kita untuk terus berusaha menyirami konstelasi dunia politik
kita yang begitu kering-kerontang dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan
ketulusan.
Kita berharap masih ada —walaupun segelintir –
politisi di negeri ini yang masih memiliki hati yang bersih untuk ikhlas
memperjuangkan politik kebenaran dan punya nyali untuk mengatakan seperti yang
pernah dinyatakan oleh Umar bin Khattab; “Jika ada seribu orang yang membela kebenaran,
aku berada diantaranya. Jika ada seratus orang yang membela kebenaran, aku
berada diantaranya. Jika ada sepuluh orang pembela kebenaran, aku tetap ada di
barisan itu. Dan jika hanya ada satu orang yang tetap membela kebenaran, maka
akulah orangnya.”. Semoga (*)
Sumber Tulisan dan Tulisan Terkait Islam, Politik dan Kebenaran :
1) Ikhwal Kebenaran dalam Nalar Politik
dan Kekuasaan – TAJDID.ID
2) Ada Dua Macam Kebenaran -
Kompasiana.com
3) Einstein taught us: It’s all
‘relative’ (snexplores.org)
4) Questions for ‘Einstein taught us:
It’s all relative’ | Science News Explores (snexplores.org)
5) Einstein explains: It's all relative |
Science in the Classroom
6) When Einstein said that everything is
relative, did he mean that the absolute doesn't exist? - Quora
7) Everything Is Relative: A Powerful Perspective on Life
(tomaslau.com)
8) Albert Einstein and the Theory of
Relativity (rochester.edu)
9) Theory of relativity - Wikipedia
10) Ep. 9: Einstein's Theory of Special
Relativity | Astronomy Cast
11) Explaining Einstein's Theory of
Special Relativity (wondriumdaily.com)
13) 62067-ID-teori-kebenaran-perspektif-filsafat-ilmu.pdf
(neliti.com)
14) PowerPoint Presentation (kemdikbud.go.id)
15) Kebenaran - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
16) DASAR PENGETAHUAN (uns.ac.id)
17) HAKIKAT DAN TEORI-TEORI KEBENARAN
(gurusiana.id)
18) Memahami Filsafat: Teori-Teori
Kebenaran - Bengkel Narasi
19) Kebenaran Ilmiah.pdf (ar-raniry.ac.id)
21) Arti dan Makna Kebenaran.pdf (uin-antasari.ac.id)
22) 22.Muchammad Iksan.pdf;sequence=1
(ums.ac.id)
23) KEBENARAN ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA |
Wiharto | Forum Ilmiah (esaunggul.ac.id)
24) Microsoft Word - Jurnal Peniel01
(sttjaffray.ac.id)
25) (99+) Kebenaran dan Politik (Hannah
Arendt) | Reza W Martunus - Academia.edu
31) (99+) PERIHAL KAMPANYE | August Mellaz
and Fritz -Hurriyah - Academia.edu
33) (99+) Politik Uang di Pemilu 2019.
Mitos atau Realitas? | Dian Permata - Academia.edu
35) (99+) Muslim Visioner | Amang
Syafrudin - Academia.edu
36) Politik Kebenaran -
Banjarmasinpost.co.id (tribunnews.com)
37) Mempertaruhkan kebenaran faktual dalam
politik - ANTARA News
38) Kebenaran Politik Adalah Mencintai
Rakyat! Kurang Tepat dan Terlalu Generalisasi - Galeri Sumba
39) Media dan Politik Pascakebenaran -
Kompas.id
40) Pers Pilar Penegak Kebenaran -
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (jatengprov.go.id)
41) Sistem Demokrasi: Marketing Politik
dan Jaminan Kebenaran Informasi - Neliti
42) Kementerian Komunikasi dan Informatika
(kominfo.go.id)
45) Kebijakan AS terhadap China: Ketika
Kebenaran Dikorbankan demi Keuntungan Politik (sindonews.com)
47) Pasca-Kebenaran di Tahun Politik
(nu.or.id)
50) Philosophy of Political Science -
Bibliography - PhilPapers
52) Michael P. Lynch, Truth Pluralism, Truth Relativism and Truth-aptness -
PhilPapers
53) Artikel Otto Gusti Demokrasi dan
Kebenaran.pdf (iftkledalero.ac.id)
54) Gubernur Lemhannas RI: Era Post Truth,
Kebenaran Bisa Tumbang oleh Kebohongan
56) Menilik Kebenaran dari Sesuatu yang
Dibenar-benarkan – UPN NEWS (pers-upn.com)
58) Demokrasi dan Kebenaran
(mediaindonesia.com)
59) Modul Fasilitasi Kelas Politik Cerdas
Berintegritas (PCB) Bagi Politisi - ACLC KPK
60) Politik Kekuasaan atau Kebenaran? |
kumparan.com
63) Politik Sebagai Puisi Dan Ruang
Kebenaran Yang Hampa (zonautara.com)
64) Filsafat politik: Plato Aristoteles
Augustinus Machiavelli | Perpustakaan Komnas Perempuan
65) View of Politik Hukum Pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (uii.ac.id)
66) berebut citra menjauhkan kebenaran -
DATATEMPO
67) Ruang_Untuk_Memperjuangkan_Kepentingan_Politik.pdf
(undip.ac.id)
68) Pendidikan-Politik-Upload.pdf
(uny.ac.id)
69) Pembusukan Demokrasi di Era Pasca
Kebenaran | Batamnews.co.id
70) Politik Kuasa Media - Perpustakaan
Amir Machmud (kemendagri.go.id)
71) Hasto: Hendaknya Rapimnas untuk
Menyampaikan Politik Kebenaran (carapandang.com)
72) Partai Politik Alternatif dan Pemilu –
Referensi HAM (elsam.or.id)
73) Apa itu Kebenaran Politik? – Artikel
Hiham.id (hisham.id)
75) Diskusi Pemikiran Bung Karno Hasto
Sebut Mahfud MD Pejuang Politik Kebenaran (rm.id)
76) Agama Dan Hegemoni Politik Kebenaran -
nuruljadid.net
78) Dampak Sistim Multipartai dalam
Kehidupan Politik Indonesia (kemenkumham.go.id)
79) Kebebasan, Alat Kekuasaan Bukan
Penyangga Demokrasi (sulselprov.go.id)
81) Isi_Artikel_246635672250.pdf
(mercubuana.ac.id)
82) Masa Politik Pasca-kebenaran
(inews.id)
83) Official Website Persatuan Jaksa
Indonesia (kejaksaan.go.id)
84) Munarman Dipolisikan, FPI Sebut Hukum
Jadi Alat Politik Membungkam Kebenaran : Okezone Nasional
85) Arteria Dahlan: Kebenaran akan
Menemukan Jalannya Sendiri - DW Tempo.co
86) Tiga Macam Kebenaran – PMNA Balecatur
87) Kebenaran Segera Terkuak, Kejahatan
Politik kah? - www.tilik.id
88) Realitas, Politik, dan Pragmatisme -
(lsfcogito.org)
89) “Bolehkah Gereja Berpolitik?” –
Character Building (binus.ac.id)
90) BAPPerbandinganPolitik.pdf (uki.ac.id)
91) Kebenaran dan Politik | RUMAH OPINI
(wordpress.com)
93) Paradigma Politik Muhammadiyah:
Epistemologi Cara Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis – PSM UMY
94) Akal Politik Muhammadiyah:
Skripturalis-Rasional vs Substansialis-Pragmatis (mediaindonesia.com)
95) (99+) BUKU MUHAMMADIYAH | POLITIK ELIT
MUHAMMADIYAH | Irwan P. Ratu Bangsawan - Academia.edu
98) (99+) Pergumulan Islam dan Politik di
Indonesia.pdf | Taufani Taufani - Academia.edu
99) (99+) ISI BUKU PARTAI POLITIK4 | eka
ekaseptiya - Academia.edu
103)
(99+) Politik Identitas dan Masa Depan
Pluralisme Kita | Abdul Wele - Academia.edu
105)
(99+) Menakar Urgensi Sistem Khilafah
di Indonesia | Donald Q . Tungkagi - Academia.edu
106)
(99+) Khilafah: Ajaran Islam atau
kepentingan politik? | Syarifah NurAini - Academia.edu
107)
(99+) Pertarungan Elite Politik.pdf |
Mang Fwu Hamed - Academia.edu
109)
(99+) POLITIK DINASTI DAN PELEMBAGAAN
PARTAI POLITIK | Abu Bakar - Academia.edu
110)
(99+) Soliditas Partai Islam:
Pengalaman PKS di Pemilu 2014 | Ridho Al-Hamdi - Academia.edu
112)
(99+) Ideologisasi Partai Islam
Masyumi di Indonesia | Gili Argenti - Academia.edu
116)
(99+) KASMAN SINGODIMEDJO PEMIKIRAN
DAN PERGERAKAN | David Efendi - Academia.edu
119)
(99+) Negara Pancasila vis-a-vis
Negara Islam | PEPEN I R P A N FAUZAN - Academia.edu
120)
(99+) M. Natsir Politik Santun
Diantara Dua Rezim | Aqil Aziz - Academia.edu
121)
(99+) Pemikiran dan Perjuangan M.
Natsir | Aqil Aziz - Academia.edu
122)
(99+) Persis dan Politik Sejarah
Pemikiran dan Aksi Politik | PEPEN I R P A N FAUZAN - Academia.edu
123)
(99+) SEJARAH PANCASILA SEBELUM
KEMERDEKAAN | Firda Nisa Syafithri - Academia.edu
124)
(99+) SYARIAT ISLAM DALAM NEGARA HUKUM
| Syamsuddin Radjab - Academia.edu
125)
(99+) ISLAM DAN NEGARA ;PEMIKIRAN ABU
BAKAR BA'ASYIR | Bilqis 1104 - Academia.edu
126)
(99+) Salah Kaprah Khilafah | Azizul
Ghofar - Academia.edu
127)
(99+) Perkembangan Paham Keagamaan
Transnasional di Indonesia | Muhammad Sila - Academia.edu
129)
(99+) Majalah Asy Syariah-Mengapa
Teroris Tidak Pernah Habis | Tugas Kuliah 2014 - Academia.edu
130)
(99+) Buku ISIS dan WAHABISME SAUDI
ARABIA.pdf | Ahmad Samantho - Academia.edu
132)
(99+) Pemikiran Wahabi & Salafi
(Nofia & Dona) | nofia fitri and Mouliza Sweinstani - Academia.edu
133)
(99+) Ilusi Negara Islam - Gus Dur |
Delapan Enam - Academia.edu
134)
(99+) Islamku, Islam Anda, Islam Kita
by Abdurrahman Wahid | Abu Misykat - Academia.edu
135)
(99+) Pluralisme | Abdul Wele - Academia.edu
136)
(99+) MENGELOLA NEGARA ALA PKS | AMIR
HAMDANI NASUTION - Academia.edu
137)
(99+) Relasi Politik OMS dengan Partai
Politik | Chairul Fahmi - Academia.edu
138)
(99+) PERIHAL PELAKSANAAN HAK POLITIK
| Erik Kurniawan and delia wildianti - Academia.edu
139)
(99+) Strategi Pencegahan Politik Uang
| Dian Permata - Academia.edu
140)
(99+) Desain Partisipasi Masyarakat
Dalam Pemantauan Pemilu.pdf | khudrotun nafisah - Academia.edu
141)
(99+) Islam Isme-Isme Aliran dan Paham
lslam di lndonesia | Syarif Hidayatullah - Academia.edu
142)
(99+) Islam dan Negara | Donald Q .
Tungkagi - Academia.edu
143)
(99+) Politik Indonesia Tahun 1990-an:
Kebangkitan Ideologi? | Saiful Mujani - Academia.edu
144)
(99+) DINAMIKA POLITIK ISLAM DI
INDONESIA | Andi Saudu - Academia.edu
147)
(99+) Kompilasi sejarah politik full |
Yulia Siska - Academia.edu
148)
(99+) BENTURAN ESTETIS ANTARA
LIBERALISME, SOSIALISME, DAN ISLAM | Deni Junaedi - Academia.edu
149)
(99+) GHAZWUL FIKRI; POLA BARU
MENYERANG ISLAM | Havis Aravik - Academia.edu
152)
(99+) Kritik Studi Al-Qur'an Liberal |
Fahmi Salim, MA | Aqil Aziz - Academia.edu
153)
(99+) MENIMBANG PARADIGMA HERMENEUTIKA
DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR'AN | azka annisa - Academia.edu
154)
(99+) Epistemologi Islam: Kedudukan
Wahyu Sebagai Sumber Ilmu | Anwar Mujahidin - Academia.edu
158)
(99+) MASYARAKAT UTAMA DALAM AL-QUR`AN:
SEBUAH TELAAH TEMATIK | Wardani Wardani - Academia.edu
160)
(99+) STUDI KRITIS ILMU KALAM:
BEBERAPA ISU DAN METODE | Wardani Wardani - Academia.edu
164)
(99+) Komunikasi Politik di Dunia
Virtual | Yusrin Ahmad Tosepu - Academia.edu