HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Jumat, 18 September 2009

MEMBINCANGKAN KEMBALI PANCASILA


Dikirim oleh admin on Friday, 4 September 2009
http://persis.or.id/?p=932

“Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama ini.”

(I.J. Satyabudi, Penulis Kristen)

Di tengah-tengah derasnya tuduhan bahwa umat Islam saat ini tengah mengebiri Pancasila lewat perundang-undangan dan perda-perda bias syari’at Islam, Dr. Adian Husaini, meluncurkan buku terbarunya, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Pada hari Sabtu, 29 Agustus 2009 silam, buku tersebut dibedah di Aula Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat, Jakarta, dengan menghadirkan pembanding Prof. Dr. Rifyal Ka’bah. Menurut penulisnya, buku tersebut sengaja diberi judul yang panjang seperti di atas untuk menggambarkan kesimpulan yang terkandung dalam buku tersebut. Kecenderungan buku tersebut yang disebutkan Rifyal Ka’bah bersifat propaganda, diamini oleh penulisnya. Akan tetapi sang penulis buku menegaskan, propaganda yang tidak sembarang propaganda, melainkan tetap bernilai ilmiah tinggi.

Adian Husaini dalam acara launching bukunya tersebut menegaskan, bahwa hari ini masyarakat non-muslim sudah keterlaluan menuduh umat Islam telah menyelewengkan Pancasila. Apalagi yang lebih ekstremnya mereka menuduh umat Islam tengah memecah belah NKRI. Di antara mereka adalah Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), induk kaum Katolik di Indonesia, dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), induk kaum Protestan di Indonesia. KWI misalnya telah mengirimkan surat kepada para capres Pilpres 2009 kemarin yang di antara isinya: “Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.”

Sebuah tabloid Kristen, Reformata, pada edisi 103/2009 juga mempersoalkan penerapan syariat Islam yang tengah dilakukan umat Islam Indonesia. Menurut tabloid tersebut, para anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan Halal dan RUU Zakat akan meruntuhkan Pancasila dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid tersebut menyatakan bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesiaan melalui Perda dan UU. Cornelius meminta penyelenggara negara bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI,” kata Cornelius.

Dalam edisi 110/2009, tabloid Reformata lagi-lagi mempersoalkan penerapan syariat Islam di Indonesia. Di bawah judul “RUU Diskriminasi Segera Disahkan”, tabloid tersebut menulis:

“Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diberlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan itu lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam peraturan perundang-undangan. Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain. Apapun alasannya, semua ini bertentangan dengan prinsip dasar negeri ini.”

Terhadap tuduhan-tuduhan miring tersebut, Adian Husaini menegaskan bahwa itu jelas merupakan sebuah kesalahpahaman, dan bahkan penyalahpahaman Pancasila dan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah jelas tetap berlaku sampai saat ini berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Menurut Roeslan Abdulgani, salah seorang tokoh PNI: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ‘45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ‘45.” (hlm. 50-51)

Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan bahwa umat Islam tidak kalah telak ketika dalam rapat PPKI 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam sila Pertama, “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dihapus dan diganti menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena jelas, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep yang kental dengan nuansa pandangan-dunia Islam (Islamic worldview) yakni tauhid (hlm. 137).

KH. Achmad Siddiq, Rais Aam NU, dalam hal ini menyatakan:

“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surah al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (hlm. 138).

Bahkan bukan sila pertama saja yang kental dengan nuansa Islam, melainkan juga sila-sila lainnya yang menyebutkan “adil”, “beradab”, “hikmat”, “permusyawaratan” dan “perwakilan”. Kata-kata tersebut jelas-jelas merupakan berasal dari khazanah pemikiran Islam sehingga hanya bisa ditafsirkan berdasarkan konsep Islam saja. Dalam hal inilah, Adian menegaskan, para tokoh Islam yang terlibat dalam penyusunan Pancasila benar-benar cerdik. Mereka masih bisa mempertahankan nilai-nilai Islam dalam Pancasila walaupun “tujuh kata” sudah dihapus. Sebaliknya, umat non-muslim cenderung tergesa-gesa, mereka hanya terfokus pada penghapusan “tujuh kata” saja dengan mengabaikan sila-sila lainnya, termasuk juga sila pengganti dari sila pertama yang tegas menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jadi, ketika pada faktanya posisi Piagam Jakarta sah berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, demikian juga Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, maka tidak tepat, menurut Adian, jika Pancasila masih digunakan untuk menindas hak konstitusional umat Islam.

Rifyal Ka’bah, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia (UI) yang menjadi pembanding mengingatkan bahwa dokumentasi tentang rapat-rapat BPUPKI dan PPKI yang ada di Indonesia (Setneg) masih diragukan orisinalitasnya. Karena yang asli terdapat di Belanda dan masih memerlukan penelitian mendalam. Di antaranya penyebutan dalam dokumentasi Setneg bahwa tokoh-tokoh Islam menyetujui penghapusan “tujuh kata”. Padahal dalam dokumentasi asli di Belanda disebutkan hanya menyetujui penghapusan “bagi pemeluk-pemeluknya” saja.

Berkaitan dengan penghapusan “tujuh kata” itu sendiri menurut Rifyal memang masih misteri. Sang aktor, Hatta, tampaknya hanya merahasiakan fakta yang sebenarnya untuk dirinya sendiri. Karena sampai akhir hayatnya Hatta tidak menjelaskan siapa-siapa saja yang datang pada 17 Agustus 1945 sore dan mendesaknya untuk menghapus “tujuh kata” tersebut. Bahkan majalah Tempo edisi 1990-an, menurut Rifyal, pernah memuat wawancara Opsir Kaigun Jepang yang waktu itu diakukan Hatta menemuinya untuk mendesak penghapusan “tujuh kata”. Tapi kata Opsir yang kebetulan waktu itu masih hidup, betul bahwa dia datang ke Hatta sore tanggal 17 Agustus 1945 selepas Maghrib, akan tetapi dia sama sekali tidak membicarakan penghapusan “tujuh kata”. Jadi, tegas Rifyal, misteri ini hanya Hatta yang tahu.

Selanjutnya berkaitan dengan tuduhan penyelewengan terhadap Pancasila, Rifyal menegaskan, bahwa tafsir resmi Pancasila itu ada dua: pertama, bersifat politik, kedua, bersifat hukum. Yang bersifat politik terlihat dalam ketetapan dan produk undang-undang MPR/DPR. Jadi apa saja yang dihasilkan oleh MPR/DPR itu adalah tafsiran resmi Pancasila. Konsekuensinya, apa yang dihasilkan MPR/DPR itu tidak dapat dikatakan bertentangan dengan Pancasila/UUD ‘45. Sementara tafsiran kedua yang bersifat hukum, itu adalah keputusan Mahkamah Konsitusi. Artinya, yang berhak menentukan bahwa sebuah undang-undang/perda bertentangan dengan Pancasila/UUD ‘45 itu hanya Mahkamah Kosntitusi. Presiden dalam hal ini sama sekali tidak punya kewenangan untuk menafsirkan Pancasila.

Lebih lanjut Rifyal menegaskan, bahwa umat non-muslim sudah semestinya menyadari bahwa hukum itu pada hakikatnya melegalisir yang sudah hidup di masyarakat, atau yang biasa disebut hukum yang hidup (living law). Jadi kalau perkawinan berdasarkan agama Islam itu sudah dipraktikkan oleh penduduk negeri ini, maka sudah semestinya DPR mengundang-undangkannya. Karena jika tidak diundang-udangkan persoalan perkawinan ini kelak akan merepotkan negara jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.

Sama kasusnya dengan UU tentang ekonomi syariah yang saat ini tengah dibahas di DPR. Hal itu sudah semestinya dilakukan DPR karena memang ekonomi syariah sudah hidup di negeri ini (living law). Ketika terjadi sengketa, selama ini payung hukumnya tidak ada, pengadilan pun sulit memprosesnya. Artinya, negara sendiri yang kerepotan. Oleh karena itu adalah sebuah kebijaksanaan jika kemudian Pemerintah dan DPR membuat UU tentang syariah.

Jadi, Rifyal menegaskan, mempersoalkan perundang-undangan dan perda-perda yang sebenarnya tidak ada satu pun yang menyebutkan sebagai “syari’at Islam” adalah salah kaprah. Karena terbukti apa yang diundang-undangkan itu adalah hukum yang sudah hidup di masyarakat (living law). Dalam hal ini sama sekali tidak ada kesalahan, karena di negara Barat yang modern pun model pembuatan hukum seperti ini pun diberlakukan.

Maka dari itu, Rifyal menggarisbawahi, umat Islam sudah semestinya mempertahankan intensitas dakwahnya. Termasuk di dalamnya mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan, khususnya di kehakiman dan MPR/DPR. Karena selama posisi-posisi strategis tersebut masih diisi oleh orang-orang Islam, kekhawatiran akan dikebirinya hak-hak konstitusional umat Islam tidak akan terjadi. ns


Sabtu, 12 September 2009

PEMBUDAYAAN NILAI PANCASILA





LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


No. 111, 1951

LAMBANG NEGARA. Peraturan Pemerintah Nr. 66 tahun 1951, tentang Lambang Negara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 176).

PP%2066-1951_files/ydown000.gif

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang:    bahwa menurut Undang-undang Dasar perlu ditetapkan Lambang Negara untuk Republik Indonesia;

 

Mengingat:      Pasal 3 ayat 3 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

 

Mendengar:    Dewan Menteri dalam rapatnya pada tanggal 10 Juli 1951;

 

Memutuskan:


Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LAMBANG NEGARA.

 

Pasal 1

Lambang Negara Republik Indonesia terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Burung Garuda, yang menengok dengan kepalanya lurus kesebelah kanannya;
2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda;
3. Semboyan ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.

Pasal 2

Perbandingan-perbandingan ukuran adalah menurut gambar tersebut dalam pasal 6. Warna terutama yang dipakai adalah tiga, yaitu Merah, Putih dan Kuning emas, sedang dipakai pula warna hitam dan warna yang sebenarnya dalam alam.
Warna emas dipakai untuk seluruh burung Garuda, dan Merah-Putih didapat pada ruangan perisai di tengah-tengah.

Pasal 3

Garuda yang digantungi perisai dengan memakai paruh, sayap, ekor dan cakar mewujudkan lambang tenaga pembangun.
Sayap Garuda berbulu 17 dan ekornya berbulu 8.
Warna, perbandingan-perbandingan ukuran dan bentuk Garuda adalah seperti dilukiskan dalam gambar tersebut dalam pasal 6.

Pasal 4

Ditengah-tengah perisai, yang berbentuk jantung itu, terdapat sebuah garis hitam tebal yang maksudnya melukiskan katulistiwa (aequator).
Lima buah ruang pada perisai itu masing-masing mewujudkan dasar Panca Sila:

I. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa terlukis dengan Nur Cahaya di ruangan tengah berbentuk bintang yang bersudut lima.

II. Dasar Kerakyatan dilukiskan Kepala Banteng sebagai lambang tenaga rakyat.
III. Dasar Kebangsaan dilukiskan dengan pohon beringin, tempat berlindung.

IV. Dasar Peri Kemanusiaan dilukiskan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi.

V. Dasar Keadilan Sosial dilukiskan dengan kapas dan padi, sebagai tanda tujuan kemakmuran.

 

Pasal 5

Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi:

BHINNEKA TUNGGAL IKA.

 

Pasal 6

Bentuk, warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 7

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 1951
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEKARNO.

PERDANA MENTERI,

SUKIMAN WIRJOSANDJOJO.

Diundangkan
pada tanggal 28 Nopember 1951
MENTERI KEHAKIMAN,

MOEHAMMAD NASROEN.


TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI


No. 176

(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 111)

PP%2066-1951_files/yup00000.gif

 

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 66 TAHUN 1951
TENTANG
LAMBANG NEGARA


UMUM

Menurut pasal 3 ayat 3 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia maka Pemerintahlah yang menetapkan Lambang Negara.


PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Mengambil gambaran hewan untuk Lambang-Negara bukanlah barang yang ganjil. Misalnya untuk lambang Republik India diambil lukisan singa, lembu, kuda dan gajah, seperti tergambar pada tiang Maharaja Priyadarsi Asyoka berasal dari Sarnath dekat Benares.
Lukisan garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti hidup dalam mythologi, symbologi dan kesusastraan Indonesia dan seperti pula tergambar pada beberapa candi sejak abad ke 6 sampai ke-abad ke 16.
Perisai adalah asli, sedangkan arti semboyan yang dituliskan dengan huruf latin berbahasa Jawa-kuno menunjukkan peradaban klassik.


Pasal 2

Warna-kemegahan emas bermaksud kebesaran bangsa atau keluhuran Negara. Warna-warna pembantu dilukiskan dengan hitam atau meniru seperti yang sebenarnya dalam alam.


Pasal 3

Burung garuda, yang digantungi perisai itu, ialah lambang tenaga pembangun (creatief vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung garuda dari mythologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang rajawali. Burung itu dilukiskan dicandi Dieng, Prambanan dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai lukis berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap (Dieng); dicandi Prambanan dan dicandi Jawa Timur rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan garuda dicandi Mendut, Prambanan dan dicandi-candi Sukuh, Kedal di Jawa Timur.
Umumnya maka garuda terkenal baik oleh archeologi, kesusasteraan dan mythologi Indonesia.
Lencana garuda pernah dipakai oleh perabu Airlangga pada abad kesebelas, dengan bernama Garudamukha. Menurut patung Belahan beliau dilukiskan dengan mengendarai seekor garuda.
Pergerakan Indonesia Muda (1928) pernah memakai panji-panji sayap garuda yang ditengah-tengahnya berdiri sebilah keris di atas tiga gurisan garis. Sayap garuda berbulu 17 (tanggal 17) dan ekornya berbulu 8 (bulan 8 = Agustus).


Pasal 4

Perisai atau tameng dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri Perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang; wujub dan artinya tetap tidak berubah-ubah, yaitu lambang perjuangan dan perlindungan.
Dengan mengambil bentuk perisai itu, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia Asli.
Dengan garis yang melukiskan katulistiwa (aequator) itu, maka ternyatalah bahwa Republik Indonesia satu-satunya Negara Asli yang merdeka-berdaulat dipermukaan bumi berhawa-panas; garis katulistiwa melewati Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Di daerah Kongo, di kepulauan Pasifik dan Amerika Selatan tidak-lah (belumlah) terbentuk negara penduduk Asli. Jadi garis tengah itu menimbulkan perasaan, bahwa Republik Indonesia ialah satu-satunya Negara Asli yang merdeka-berdaulat, terletak di katulistiwa dipermukaan bumi.
Mata bulatan dalam rantai menunjukkan bahagian perempuan dan digambar berjumlah 9; mata pesagi yang digambar berjumlah 8 menunjukkan bahagian laki-laki.
Rantai yang bermata 17 itu sambung menyambung tidak putus-putusnya, sesuai dengan manusia yang bersifat turun-temurun.
Kedua tumbuhan kapas dan padi itu sesuai dengan hymne yang memuji-muji pakaian (sandang) dan makanan (pangan).


Pasal 5

Perkataan Bhinneka itu ialah gabungan dua perkataan: bhinna dan ika. Kalimat seluruhnya itu dapat disalin: berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Pepatah ini dalam sekali artinya, karena menggambarkan persatuan atau kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia, walaupun ke luar memperlihatkan perbedaan atau perlainan. Kalimat itu telah tua dan pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular dalam arti: di antara pusparagam adalah kesatuan.

 


Lampiran ...(gambar)

 

PP%2066-1951_files/yup00000.gifke atas


LDj © 2004 ditjen pp

PEMBUDAYAAN NILAI PANCASILA

SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DAN IDEOLOGI NASIONAL*

 

 

 

            Pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai ideologi nasional secara filosofis-ideologis dan konstitusional adalah imperatif. Karenanya, semua komponen bangsa, lebih-lebih kelembagaan dan kepemimpinan negara berkewajiban melaksanakan amanat dimaksud.

            Demi tegaknya sistem kenegaraan Pancasila, negara (i.c. Pemerintah) berkewajiban mendidikkan dan membudayakan nilai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional) bagi generasi penerus demi integritas NKRI.

            Pemikiran-pemikiran untuk pelaksanaan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila seyogyanya dikembangkan secara melembaga, konsepsional dan fungsional oleh negara dengan mendayagunakan semua kelembagaan dan komponen bangsa.

 

I.    SEJARAH PERKEMBANGAN NILAI FILSAFAT

            Kaum terpelajar mengakui bahwa filsafat adalah sumber dan puncak ilmu pengetahuan dalam peradaban umat manusia. Kepustakaan menyatakan “. . . philosophy is the queen of knowledge, and as the mothers as well.” Artinya, filsafat adalah ratu (pemuncak) pengetahuan sekaligus ibu (induk) ipteks.

           Sebagian intelektual mengakui ajaran filsafat bersumber dan berawal dari Eropa, khususnya Yunani (650 sM). Ternyata kepustakaan yang memadai menyatakan bahwa ajaran filsafat telah berkembang di wilayah Timur Tengah sekitar 5000 – 1000 sM (Avey 1961: 3 – 7). Juga menurut Radhakrishnan, filsafat telah berkembang di Timur Tengah termasuk ajaran agama Yahudi sekitar 6000 – 600 sM; juga di India 3000 – 500 sM; dan Cina 2500 – 500 sM (1953: 11).  

            Filsafat Barat (Yunani) ternyata bukanlah sumber dan awal pemikiran filsafat, meskipun Barat (modern) diakui sebagai pelopor pengembangan ipteks. Sesungguhnya, ajaran dan nilai filsafat yang berkembang di Timur Tengah sinergis dengan ajaran dan nilai agama; terutama agama: Yahudi, Kristen dan Islam sebagai fundamen pengembangan budaya dan peradaban modern.

Semua agama-agama wahyu berkembang di wilayah Timur Tengah melalui para Nabi dan Rasul sebagai utusan Maha Pencipta. Maknanya, umat manusia berbudaya dan beradab berkat bimbingan nilai-nilai Ketuhanan dan keberagamaan. Karena itulah, identitas dan integritas ajaran sistem filsafat Timur Tengah memancarkan martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas theisme – religius ini dapat kita saksikan bagaimana supremasi ajaran Ketuhanan dan keagamaan yang sinergis dengan ajaran sistem filsafat tertentu, telah memberikan watak dan integritas peradaban umat manusia di seluruh dunia menjadi lebih beradab dan bermartabat. Jangkauan dan supremasi nilai religius dimaksud, dilukiskan dalam garis-lingkaran dalam skema 1 berikut.

 

skema 1

 

Semua perkembangan budaya dan peradaban modern termasuk  pemikiran ipteks juga bukan berawal dari Barat; sebab peradaban Timur Tengah telah berkembang melalui berbagai bidang keilmuan, sampai pendidikan tinggi (universitas) dirintis 750 – 1300 M. Budaya ipteks mulai berkembang di Barat sekitar abad XVI ditandai dengan Renaissance dan Aufklarung. Namun, abad XXI keunggulan kepeloporan Barat memukau dunia ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat modern, mengenal Barat sebagai perintis dan pengembang ipteks, yang mulai berkembang abad XVIII – sekarang.

 

A.  Makna dan Fungsi Filsafat

Sesungguhnya nilai filsafat amat fungsional dalam mendorong pengembangan ipteks, sebagai sumber motivasi pengembaraan dan pengabdian manusia. Fenomena ini dilukiskan dalam skema 1; bagaimana peranan nilai filsafat (Timur Tengah) menjadi sumber energi manusia dalam pengembangan dan pengabdian (nilai) ipteks. Sedemikian besar pengaruh nilai filsafat Timur Tengah sehingga hampir semua umat manusia pada semua benua di dunia menganut nilai filosofis theisme religious yang memberikan motivasi kebajikan, cinta-kasih dan pengabdian.

 

1.   Konsepsi Filsafat

Sejarah budaya dan ilmu pengetahuan mengakui bahw abidang filsafat dianggap sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan, dan merupakan bidang pemikiran tertua dalam peradaban (Avey 1961: 3 – 4). Filsafat mencari dan menjangkau kebenaran fundamental dan hakiki untuk dijadikan filsafat hidup sebagai kebenaran terbaik. 

            Nilai filsafat yang bersumber dari Timur Tengah terpadu dengan nilai ajaran agama, karena nilai intrinsik agama yang metafisis-supranatural sinergis dengan nilai filsafat yang cenderung fundamental, komprehensif (kesemestaan), metafisis, universal dan hakiki. Demikian pula nilai agama (Ketuhanan, keagamaan) berwatak fundamental-universal, suprarasional dan supranatural. Identitas filosofis theisme religious Timur Tengah dapat diakui sebagai sumur madu peradaban ---dibandingkan filsafat Barat sebagai sumur susu peradaban---. Karenanya, manusia sehat, sebaiknya minum susu dengan madu; demikian pula bangsa yang jaya seyogyanya menegakkan nilai theisme religious sinergis dengan filsafat dan ipteks.

Garis lingkaran dalam skema melukiskan jangkauan nilai Ketuhanan-keagamaan (theisme religious) meliputi (mempengaruhi) seluruh benua dan seluruh manusia ---agama Yahudi, Kristen dan Islam---. Diakui, bahwa bangsa-bangsa, umat manusia berbudaya dan beradab, berkat nilai-nilai moral filsafat theisme religious; secara intrinsik tersurat dalam filsafat Islam (Al Ahwani 1995) integritas manusia alam semesta dan Ketuhanan sebagai terpancar dari nilai ajaran agama-agama besar yang supranatural di dunia.

            Filsafat Pancasila adalah bagian dari sistem filsafat Timur; karenanya ajarannya memancarkan identitas dan martabat theisme-religious sebagai nilai keunggulannya. Artinya, keunggulan sistem filsafat Pancasila terpancar dari asas theisme religious yang menjadi tumpuan keyakinan (kerokhanian) dan moral kepribadian manusia. Tegasnya, keunggulan (kepribadian) manusia, bukanlah penguasaan keunggulan ipteks; melainkan keunggulan moralitas manusia!

 

2.   Fungsi Filsafat

Sebagai nilai kebenaran fundamental dan hakiki, ajaran filsafat oleh penganutnya dijadikan pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung). Ajaran ini bagi bangsa merdeka dan berdaulat umumnya dijadikan sebagai dasar negara (filsafat negara, ideologi negara, ideologi nasional).

Ajaran filsafat demikian ditegakkan sebagai sistem kenegaraan; yang menjiwai, melandasi dan memandu kehidupan berbangsa, bernegara dan berbudaya.

Pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional suatu bangsa, terutama kepada nilai dasar negara dan ideologi negara; yang terjabar secara konstitusional di dalam UUD negara.

Dinamika dunia modern berpacu antar sistem filsafat (baca: sistem kenegaraan) untuk merebut supremasi ideologi sebagai pembuktian kebenaran dan keunggulan sistem filsafatnya.     

 

B.  Ajaran dan Sistematika Filsafat

            Sepanjang sejarah dari Barat dan Timur telah berkembang berbagai aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran dan sistem budaya sampai sistem kenegaraan, melalui sistem ideologi dan sistem hukum yang ditegakkan bangsa negara modern.

            Aliran-aliran filsafat makin berkembang sebagai sistem filsafat yang masing-masing menganggap ajarannya yang terbaik. Karenanya, secara filosofis terjadi kompetisi untuk membuktikan validitas dan keunggulan ajarannya. Dalam dinamika dunia dan budaya modern, sampai era postmodernisme kompetisi demikian makin meningkat sebagai perebutan supremasi (keunggulan) demi citra dan cita masing-masing penganutnya.

            Dunia modern mengenal sistem filsafat dimaksud sebagai ajaran dan sistem ideologi: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme, sekularisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme, fundamentalisme..... dan filsafat Pancasila. Berbagai negara modern tegak dan berkembang berdasarkan ajaran berbagai sistem filsafat dan atau sistem ideologi dimaksud. 

 

1.   Sistem Filsafat

            Aliran, tepatnya sistem filsafat menjelma dalam tatanan (sistem) budaya dan sistem kenegaraan yang dominan terlukis dalam skema 2.




 


+   = Relativisme

++ = Pragmatisme

 
skema 2

2.   Sistematika Filsafat

            Cukup banyak aliran filsafat perintis yang tidak berkembang secara memadai; artinya ajarannya belum merupakan integritas nilai sebagaimana ajaran filsafat yang mapan. Beberapa filsafat Yunani, dapat dianggap elementer dan fragmentaris.

            Hampir semua sistem filsafat besar mengembangkan ajaran atau nilai yang cukup fundamental, meliputi nilai dalam sistematika filsafat (skema 3).

 

 

 

 

 

 

 

PHILOSOPHY

AXIOLOGY

Makna dan sumber nilai, wujud, jenis, tingkat, sifat nilai; hakikat nilai: manusia, materia, etika, estetika, politika, budaya, agama, posthumous dan Tuhan . . .   (Allah Maha Pencipta)

 

EPISTEMOLOGY

Makna dan sumber pengetahuan, proses, syarat terbentuknya pengetahuan, validitas, batas dan hakikat pengetahuan; meliputi: semantika, gramatika, logika, rhetorika, matematika, meta-teori, philosophy of science, Wissenschaftslehre . . .

 

ONTOLOGY

Makna dan sumber ada; proses, jenis, sifat dan tingkat ada: ada umum, terbatas, manusia, kosmologia; Ada tidak terbatas, ADA mutlak . . .  metafisika, posthumous

 

skema 3

(Baca: mulai dari bawah, sesuai dengan kedudukan nilai intrinsik dan hakikat dari makna dalam terminologi dan sistem filsafat)

 

II.     NILAI AJARAN SISTEM FILSAFAT DAN AJARAN HAM

            Di dunia sejak awal pemikiran budaya dan peradaban maka manusia senantiasa memikirkan alam semesta; dan bagaimana kedudukan dirinya di dalam alam semesta. Bagaimana kehadiran (penciptaan) manusia dan alam; dan untuk apa serta kemana manusia setelah kehidupan di alam dunia. Mulailah pemikiran filsafat menjangkau hakikat alam semesta, manusia dan bagaimana hubungannya antar sesama dan dengan alam; bahkan juga tentang penciptaan semesta.

Semua pemikiran filsafat yang mendasar dan universal dirumuskan sebagai kebenaran (filsafat menganggap kebenarannya bersifat fundamental dan hakiki). Karenanya, ajaran dan nilai filsafat dijadikan sebagai pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung).   

 

A.  Ajaran Filsafat tentang HAM

            Keberadaan manusia sebagai makhluk unggul, senantiasa memikirkan penciptaan dan tujuan hidupnya: siapa Maha Pencipta, mengapa dan untuk apa diciptakan; bagaimana hak dan kewajiban hidupnya.

            Ajaran filsafat terutama mencari hakikat kebenaran tentang segala sesuatu, khususnya tentang alam semesta, manusia dan Maha Pencipta. Ajaran ini diakui sebagai kebenaran hakiki; karenanya dijadikan filsafat hidup (Weltanschauung).

            Sepanjang sejarah budaya dan peradaban di berbagai wilayah dunia berkembang berbagai ajaran filsafat. Antar ajaran itu cukup banyak perbedaan; bahkan pertentangan. Masing-masing ajaran filsafat oleh penganutnya diyakini sebagai ajaran terbaik ---karenanya menjadi filsafat hidup---.; bahkan dijadikan filsafat negara dan atau ideologi negara (ideologi nasional).

            Masing-masing bangsa berkembang dan menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan ajaran filsafat sebagai filsafat hidupnya. Berkembanglah berbagai aliran filsafat, yang dapat dinamakan sebagai sistem filsafat. Demikianlah khasanah peradaban mengenal sistem filsafat sebagai nampak dalam skema 2

            Berbagai pemikiran dan ajaran filsafat berkembang untuk merumuskan apa dan bagaimana sesungguhnya kedudukan, hak dan kewajiban manusia di dunia. Lahirlah ajaran sistem filsafat yang dapat diakui sebagai sumber teori hak asasi manusia (HAM) dan teori negara.

 

B.  Ajaran Filsafat Hukum Alam

Ajaran filsafat hukum alam, lebih terkenal sebagai: Natural Law Theory (Teori Hukum Alam). Filsafat ini mengajarkan bahwa HAM adalah anugerah alam, untuk manusia sebagai individu. HAM terutama berwujud: life, liberty, and property (= hidup, kemerdekaan dan hak milik).

Teori ini melahirkan ajaran yang bersifat memuja individualisme dan kebebasan (liberalisme); sekaligus memuja hak milik dalam makna: materi, kekayaan, dan kapital; karenanya berwatak kapitalisme. Teori ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh pemikir dan pelopornya menjadi teori kenegaraan sebagai dianut dan dikembangkan oleh negara-negara Barat, yang terkenal sebagai paham atau ajaran ideologi kapitalisme-liberalisme.

Ajaran ini melahirkan pemujaan atas kedudukan manusia sebagai individu ---karenanya: individualisme--- yang berkembang dalam asas demokrasi (= demokrasi liberal) dan kemudian menjadi karakter budaya negara Barat umumnya.

Ideologi ini bersumber dari ajaran filsafat hukum alam, atau dikenal dengan nama Natural Law Theory. Ajaran kapitalisme-liberalisme dikembangkan oleh tokoh pemikirnya, Adam Smith (1723 – 1790). Dia adalah tokoh amat berpengaruh dalam politik ekonomi Barat, yang semula lebih terkenal sebagai ahli filsafat moral, sebagai terbukti dari karyanya: The Theory of Moral Sintements (1759) yang sinergis dengan  psikologi moral.

Kemudian Adam Smith lebih terkenal dengan karyanya: The Wealth of Nations (1776) yang mengajarkan bahwa setiap bangsa memiliki dan mewarisi kekayaan nasional, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun nilai-nilai budaya.

            Kekayaan nasional berkembang atau menyusut; sebagai proses alamiah yang ditentukan oleh potensi dan kebutuhan warga bangsanya. Bila bangsa itu berkembang dan mampu mengembangkan sumber daya alam dengan menguasai komuditas ekonomi, bangsa itu akan berjaya. Karyanya ini menjadi “landasan dan kitab suci” kaum penganut kapitalisme-liberalisme. Pemikiran Smith sangat berpengaruh dalam budaya dan peradaban sosial politik dunia Barat.

Ajaran kapitalisme-liberalisme menjadi budaya dan peradaban Barat; bahkan sebagai sistem nilai dan budaya politik Eropa dan Amerika modern. Artinya, kapitalisme-liberalisme menjadi identitas ideologi negara-negara Barat. Dapat juga diartikan bahwa paham individualisme dan liberalisme sebagai ajaran HAM berdasarkan teori hukum alam dikembangkan dengan kapitalisme-liberalisme dalam politik dan ekonomi. Makin berkembang dengan asas moral sekularisme, pragmatisme dan behaviorisme; karenanya budaya politik mereka bersifat individualisme-kapitalisme (= materialisme) dengan memuja kebebasan (= liberalisme) melalui tatanan demokrasi.

Identitas atau watak individualisme-materialisme berdasarkan liberalisme melahirkan budaya free fights liberalism, yang berpuncak dengan penguasaan kekayaan alam (dan manusia)......... yang dikenal sebagai kolonialisme-imperialisme. Sampai memasuki abad XXI budaya demikian terus memuncak dengan gerakan globalisasi-liberalisasi dalam dinamika postmodernisme......yang sesungguhnya adalah neo dan ultraimperialisme. Amerika Serikat dan Unie Eropa adalah sekutu untuk merebut supremasi politik dan ekonomi dunia masa depan.

Renungkan dan hayati apa yang kita saksikan dalam sejarah modern abad XVI sampai abad XX; berlanjut dan berpuncak dalam abad XXI. Kita menyaksikan bagaimana organisasi dunia (UNO/PBB) juga sudah dibawah supremasi USA, sekalipun mereka menginvasi dan menduduki (menjajah) Afghanistan dan Irak.

 

C.  HAM Berdasarkan Ajaran Filsafat Idealisme Murni (Hegel)

George Friderich Hegel (1770 – 1831) adalah tokoh besar filsafat modern; ajarannya, terkenal sebagai idealisme murni.

            Hegel mengajarkan bahwa alam semesta dan peradaban berkembang dalam asas dan pola dasar dialektika: thesis; melahirkan antithesis; dan berkembang sebagai sinthesis..... berpuncak dalam kesempurnaan semesta, dalam makna sebagai ciptaan Yang Maha Sempurna (Tuhan). Karenanya, filsafat Hegel dianggap bersifat theokratis (theokratisme).

            Secara ringkas ajaran Hegel diuraikan sbb:

1.      Hak Asasi Manusia: Kedudukan Manusia dalam Negara

            Hegel percaya bahwa manusia individu manunggal di dalam kebersamaan (kolektivitas). Individu bermakna dan berfungsi dalam keutuhan lingkungan peradabannya; kolektivitas atau negara merupakan organisme (totalitas). Hak asasi manusia (HAM), dan martabatnya demi negara, dan kedaulatan negara. Jadi, Hegel mengutamakan komunitas atau sosialitas dalam integritas negara.

            Hegel percaya manusia dan negara diciptakan oleh Tuhan; demi kesejahteraan manusia sebagai masyarakat (kolektif). Manusia menikmati hak asasi manusia (HAM) bukan sebagai individu, melainkan sebagai masyarakat (kolektif, negara). Individu lebur dalam kebersamaan; bermakna dalam fungsi sosial. Sebaliknya, individu samasekali tidak berfungsi dalam kesendirian (individualisme).

            Ajaran Hegel, yakni idealisme murni mengakui asas Ketuhanan (theokratisme) sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur semua ciptaannya: umat manusia, bangsa-bangsa, budaya dan peradaban, termasuk negara.

            Masyarakat dan negara adalah kelembagaan hidup bersama sebagai keluarga (makro); mereka bermakna di dalam dan untuk masyarakat/negara. Manusia hidup, berkembang dan berfungsi berkat dan untuk komunitas. Komunitas sosial dan nasional ialah negara.

 

2.   Ajaran Theokratisme

            Ajaran theokratisme berpusat pada teori negara dan kedaulatan negara. Hegel mengakui negara sebagai pelembagaan aspirasi nasional yang terikat dengan hukum dialektika. Hegel menyatakan: negara adalah perwujudan karsa dan kekuasaan (kedaulatan) Tuhan. Karenanya, teori Hegel tentang negara ialah berdasarkan asas theokratisme. Maknanya, negara dan kedaulatan dalam negara diamanatkan oleh Tuhan untuk ditegakkan oleh kepala negara atas nama Tuhan. Karena itu pula, teori negara menurut Hegel ialah teori kedaulatan Tuhan (theokratisme).

            Negara memiliki kedaulatan sebagai amanat Tuhan; karenanya diakui sebagai kedaulatan Tuhan (theokratisme). Sebagai penegak kedaulatan Tuhan di dalam negara, diwakilkan dan dipercayakan kepada kepala negara ---karenanya kepala negara memiliki otoritas mutlak atas nama Tuhan---. Asas kedaulatan negara atas nama Tuhan, menjadi paham pemujaan terhadap negara (Etatisme, serba negara); diktatorial, totalitarianisme, authoritarianisme.

Berdasarkan ajaran dan teori Hegel ini, manusia mengemban amanat (moral) Ketuhanan, sehingga masyarakat dan negara termasuk penegakan HAM berdasarkan asas moral dan nilai Ketuhanan.

(Encyclopaedia Britannica 1982, vol. 7 – 8: 612 – 731).

            Karl Marx (1818 – 1883) adalah murid Hegel yang kemudian menjiplak teori Hegel (yang mengutamakan kolektivitas dan negara; kedaulatan negara) menjadi teori komunisme. Ajaran Karl Marx mendegradasi dialektika Hegel sebagai ajaran dialektika – historis – materialisme; yang kemudian dikembangkan melalui revolusi rakyat ---kaum buruh--- untuk mendirikan negara komunis. Ajarannya, terkenal sebagai marxisme-komunisme-atheisme.

 

D.     Ajaran HAM Berdasarkan Filsafat Pancasila

Sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.

            Berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat demikian, maka filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious:

1.   bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.

2.   bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.

3.   kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:

a.   manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).

b.   manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia;  dan

c.   manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.

Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia.

Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160).

            Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45.

            Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya --- karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia---.

 

III.    POKOK-POKOK AJARAN FILSAFAT PANCASILA

            Memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan ajaran filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila sebagai sistem filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan keunggulan dibandingkan berbagai sistem filsafat lainnya, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme sampai atheisme dalam berbagai aliran seperti: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme ..... dan Pancasila.

            Integritas fundamental ajaran filsafat Pancasila secara ringkas terlukis dalam skema 4 dengan klarifikasi ringkas berikut:     

skema 4

 

Klarifikasi pokok-pokok ajaran filsafat Pancasila

1.    T = Abstraksi makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman abadi Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan hukum:

a.     hukum alam; yang bersifat obyektif, fisis, kausalitas, mutlak, abadi, dan universal; dan

b.    hukum moral yang bersifat obyektif‑subyektif, psiko‑fisis, sosial‑subyektif, mutlak, teleologis,  abadi dan universal ---tercermin dalam budinurani dan kesadaran keagamaan‑‑-.

2.    AS = simbolik alam semesta, makro‑kosmos yang meliputi realitas eksistensial‑fenomenal dan tidak terbatas dalam keberadaan ruang dan waktu sebagai prakondisi dan prawahana kehidupan semua makhluk (flora, fauna, manusia dsb). Alam semesta menjamin kehidupan semua makhluk, melalui tersedianya: cahaya sebagai energi; udara, air, tanah, tambang, flora dan fauna. Semuanya menjamin kehidupan dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban.

3.    SM = Subyek Manusia sebagai umat manusia keseluruhan di bumi. Subyek manusia dengan potensi dan martabat kepribadiannya mengemban amanat Ketuhanan (keberagamaan), kebudayaan dan peradaban berwujud kesadaran hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM). Penghayatan dan pengamalan manusia atas HAM secara normatif berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM demi keharmonisan dan kesejahteraan jasmaniah-rokhaniah, dunia dan akhirat.

4.        SB = Sistem Budaya, sebagai prestasi cipta‑karya manusia, wahana komunikasi, perwujudan potensi martabat kepribadian manusia, berpuncak sebagai peradaban dan moral!

Sistem budaya warisan sosio‑budaya: lokal, nasional dan universal, sebagai pancaran potensi keunggulan martabat manusia.

5.        SK = Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan dan prestasi perjuangan dan cita nasional; kemerdekaan dan kedaulatan bangsa; pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional warga negara.

Sistem kenegaraan sebagai pusat dan puncak kelembagaan dan kepemimpinan nasional, pusat kesetiaan dan pengabdian warga negara. SK sebagai pengelola kesejahteraan rakyat warga negara; penegak kedaulatan dan keadilan; dan pusat kelembagaan dan kepemimpinan nasional dalam fungsi pengayoman rakyat warga negara dan penduduk. SK berkembang dalam kejayaan berkat integritas manusia waga negara dengan menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, keadilan demi kesejahteraan dan perdamaian antar bangsa dalam semangat kerjasama umat manusia.

6.   P = Pribadi, subyek manusia mandiri yang berkembang (pribadi, berkeluarga, berkarya, berkebajikan) dalam asas dan wawasan horizontal dan vertikal (sebagai fungsi kerokhanian dan moral martabat manusia). P berkembang dan mengabdi dalam antar hubungan diagonal: (antar AS – SM – SB – SK) dan vertikal sebagai subyek mandiri dalam kategori integritas subyek budaya dan subyek moral……yang terus meningkat secara spiritual (teleologis), dengan memancarkan cinta dan kebajikan dalam proses menuju Tuhan dan keabadian.

 

            Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila, berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29.

Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan kodrat martabat kepribadian manusia. 

            Uraian ringkas pokok-pokok ajaran sistem filsafat Pancasila di atas, diakui sebagai suatu alternatif pemikiran, yang dapat dikembangkan oleh para pakar demi pengayaan khanasah kepustakaan sistem filsafat Pancasila.

 

IV.    SISTEM FILSAFAT SEBAGAI SISTEM IDEOLOGI DAN SISTEM KENEGARAAN

            Setiap bangsa dan negara menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan sistem filsafat dan atau ideologi nasionalnya; nilai fundamental ini menjiwai, melandasi dan memandu tatanan dan fungsi kebangsaan, kenegaraan dan kebudayaan, yang secara umum diakui sebagai Weltanschauung dan ideologi nasional.  

            Sistem filsafat terutama mengajarkan bagaimana kedudukan, potensi dan martabat kepribadian manusia di dalam alam; khususnya dalam masyarakat dan negara. Karenanya, ajaran ini melahirkan teori hak asasi manusia (HAM) dan teori kekuasaan (kedulatan) dalam negara; termasuk sistem ketatanegaraan dan sistem negara hukum.

Khasanah ilmu hukum melukiskan beberapa teori negara sebagai teori kedaulatan, terutama:

1.      Teori kedaulatan Tuhan (theokratisme).

2.      Teori kedaulatan raja atau sistem monarkhi.

3.      Teori kedaulatan rakyat (lebih dikenal sebagai: demokrasi).

4.      Teori kedaulatan negara, sebagaimana dianut oleh sistem ideologi komunisme (marxisme-komunisme-atheisme); karenanya teori ini dinamakan sebagai paham etatisme (pemujaan kepada negara).

5.      Teori kedaulatan hukum, (Reine Rechtslehre) sebagai diajarkan oleh teori hukum murni, dipelopori antara lain oleh Hans Kelsen (1881 - .....)

(Mohammad Noor Syam 2007: 123 – 128)

            Jadi, sistem kedaulatan rakyat maupun sistem negara hukum adalah ajaran filsafat yang bertujuan menjamin HAM dalam budaya dan peradaban, istimewa dalam sistem kenegaraan (sebagaimana NKRI kita).

 

A.     Ajaran Sistem Filsafat tentang Kedudukan dan Martabat Manusia

            Nilai demokrasi sebagai suatu teori kedaulatan, atau sistem politik (kenegaraan) diakui sebagai teori yang unggul, karena mengakui kedudukan, hak asasi, peran (fungsi), bahkan juga martabat (pribadi, individu) manusia di dalam masyarakat, negara dan hukum.

            Secara universal diakui kedudukan dan martabat manusia sebagai dinyatakan, antara lain: “. . . these values be democratically shared in a world-wide order, resting on respect for human dignity as a supervalue . . .” (Bodenheimer 1962: 143). Sebagaimana juga Kant menyatakan: “. . .that humanity should always be respected as an end itself (Mc Coubrey & White 1996: 84)

            Pemikiran mendasar tentang jatidiri bangsa, peranannya dalam memberikan identitas sistem kenegaraan dan sistem hukum, dikemukakan juga oleh Carl von Savigny (1779 - 1861) dengan teorinya yang amat terkenal sebagai Volkgeist --yang dapat disamakan sebagai jiwa bangsa dan atau jatidiri nasional--. Demikian pula di Perancis dengan "teori 'raison d' etat' (reason of state) yang menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara (the rise of souvereign, independent, and nationa state)". (Bodenheimer 1962: 71-72)  

            Demikianlah budaya dan peradaban modern mengakui dan menjamin kedudukan manusia dalam konsepsi HAM sehingga ditegakkan sebagai negara demokrasi, sebagaimana tersirat dalam pernyataan: “. . . fundamental rights and freedom as highest value as legal.” (Bodenheimer 1962: 149) sebagaimana juga diakui oleh Murphy & Coleman: “. . . respect to central human values . . .” (1996: 22; 37). 

            Berdasarkan berbagai pandangan filosofis di atas, wajarlah kita bangga dengan filsafat Pancasila yang mengakui asas keseimbangan HAM dan KAM, sekaligus mengakui kepribadian manusia sebagai subyek budaya, subyek hukum dan subyek moral. 

            Secara normatif filosofis ideologis, negara RI berdasarkan Pancasila – UUD 45 mengakui kedudukan dan martabat manusia sebagai asas HAM berdasarkan Pancasila yang menegakkan asas keseimbangan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM) dalam integritas nasional dan universal (termasuk Universal Declaration of Human Rights, UNO maupun USA).

Sebagai integritas nasional bersumber dari sila III, ditegakkan dalam asas Persatuan Indonesia (= wawasan nasional) dan dijabarkan secara konstitusional sebagai negara kesatuan (NKRI dan wawasan nusantara). Bandingkan dengan fundamental values dalam negara USA sebagai terumus dalam CCE 1994: 24-25; 53-55, terutama: "Declaration of Independence, Human Rights, E Pluribus Unum, the  American political system, market economy and federalism."

NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45 memiliki integritas-kualitas keunggulan normatif filosofis-ideologis dan konstitusional: asas theisme-religious dan UUD Proklamasi menjamin integritas budaya dan moral politik yang bermartabat.

 

B.     Ajaran Sistem Filsafat Pancasila dan Sistem Kenegaraan RI

Sesungguhnya secara filosofis-ideologis-konstitusional bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan dalam tatanan negara Proklamasi, sebagai NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45. Asas dan identitas fundamental, bersifat imperatif; karenanya fungsional sebagai asas kerokhanian-normatif-filosofis-ideologis dalam UUD 45.

            Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, terjabar secara konstitusional:

1.      Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV).

2.    Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.

3.    Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.

4.    Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral manusia warga negara dan politik kenegaraan RI.

5.    Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungai seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia. Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V); ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila (M Noor Syam, 2007: 108 - 127).

Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).

            NKRI adalah negara bangsa (nation state) sebagai pengamalan sila III yakni nilai wawasan nasional yang ditegakkan dalam Negara Kesatuan dan Wawasan Nusantara.

 

 

Sistem kenegaraan Pancasila ditegakkan juga dalam N-Sistem Nasional, sebagai jabaran dan dimaksud dalam skema 6 (ada 8 sistem nasional).

 

Perwujudan dan Sistem NKRI (Berdasarkan) Pancasila - UUD 45*

Trapezoid: P A N C A S I L A 

 

 

 

 

 

 

 

 


                                                                                                (MNS, 1985: 2005)

skema 5

*) =      NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila 

 

Asas normatif fundamental ini bersumber dari sistem filsafat Pancasila yang memancarkan identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. (Bandingkan dengan berbagai sistem filsafat yang melandasi sistem kenegaraan dari: negara komunisme, liberalisme-kapitalisme; sosialisme, zionisme maupun fascisme). Jadi, bangsa dan NKRI secara normatif memiliki integritas dan kualitas keunggulan sistem kenegaraan; karenanya kita optimis dapat menjadi bangsa dan negara jaya (MNS, 2007: 45)

            NKRI menegakkan sistem nilai filsafat dan atau ideologi Pancasila sebagai asas kerokhanian negara yang bersumber dari identitas (jatidiri) nasional. Asas normatif filosofis, kultural dan konstitusional demikian, dapat dihayati dengan menghayati pokok-pokok ajaran filsafat Pancasila dan asas-asas HAM berdasarkan filsafat Pancasila yang diuraikan dimuka.

Sistem filsafat yang berkembang sebagai filsafat hidup (Weltanschauung, Lebensanswelt); sebagai filsafat negara (ideologi negara) ditegakkan melembaga sebagai sistem kenegaraan (ajaran HAM, ajaran demokrasi dan negara hukum) dalam jabaran fungsional: sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum . . . dalam negara modern.

            Bagi bangsa Indonesia ditegakkan dalam integritas NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila, terjabar secara konstitusional dalam UUD Proklamasi.

            UUD Proklamasi perlu pula dijabarkan dalam pengembangan dan pembudayaannya sebagai pelaksanaan sistem kenegaraan Pancasila. Secara struktral dan normatif pelaksanaan filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi nasional terutama berwujud N-sistem nasional, sebagai terlukis dalam skema 6 berikut.     

 

 

 

 

 

 

 

 

*) =      N = sejumlah sistem nasional, terutama:

            1. Sistem filsafat Pancasila

            2. Sistem ideologi Pancasila                                                  

            3. Sistem Pendidikan Nasional (berdasarkan) Pancasila

            4. Sistem hukum (berdasarkan) Pancasila

            5. Sistem ekonomi Pancasila

            6. Sistem politik Pancasila (= demokrasi Pancasila)

7. Sistem budaya Pancasila

8. Sistem Hankamnas, Hankamrata

(MNS, 1988)

skema 6

 

            Skema ini melukiskan bagaimana sistem filsafat Pancasila dijabarkan secara normatif-konstitusional dan fungsional sebagai terlukis dalam struktur (nilai) kenegaraan yang dimaksud komponen-komponen dalam skema ini.

            Secara konstitusional NKRI ditegakkan (dan dibudayakan) sebagai sistem kenegaraan dalam integritas dan identitas fundamental dan asas kenegaraan, berikut:

            Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, sebagai terjabar dalam asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional:

1.    Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.

2.    Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: asas normati sila IV).

3.    Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan dan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral (manusia warga negara) politik Indonesia.

4.    Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.

5.    Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia, negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V) dijiwai dan dilandasi sila I-II; dan ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila, sebagai demokrasi ekonomi dan pemberdayaan rakyat sebagai SDM subyek penegak integritas NKRI.

 

Asas-asas fundamental ini ditegakkan secara normatif-fungsional dalam N-sistem nasional (sejumlah sistem nasional): prioritas 1 – 8 sistem nasional; lebih-lebih 1 – 6.

Sesungguhnya pendidikan nasional ---in casu pendidikan nilai dasar Pancasila adalah asas dan inti nation and character building--- sinergis dengan System bildung (pembangunan dan pengembangan sistem, yakni sistem nasional); terutama: sistem nasional dalam politik dengan asas kedaulatan rakyat atau demokrasi (= demokrasi berdasarkan Pancasila); sistem nasional dalam ekonomi ( = sistem ekonomi Pancasila); dan sistem nasional dalam hukum (= sistem hukum Pancasila)….. dan sebagainya. (M. Noor Syam 2007: 2 – 5).

 

V.  PENDIDIKAN DAN PEMBUDAYAAN NILAI FILSAFAT PANCASILA

Bangsa Indonesia berkembang generasi demi generasi; sebagaimana juga dunia berkembang dalam dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Hanya bangsa yang unggul-kompetitif-terpercaya dalam sistem kenegaraan Pancasila ---yang diakui sebagai sistem kenegaraan terbaik bagi bangsa Indonesia---. Antar berbagai sistem kenegaraan modern, secara niscaya terjadi kompetisi dan perebutan keunggulan (supremasi ideologi dan politik) melalui berbagai bidang kehidupan: sosial politik, ekonomi, budaya dan ipteks canggih.

            Dinamika globalisasi-liberalisasi yang mendominasi praktek dan budaya politik internasional modern, dipelopori oleh USA dan Unie Eropa, sesungguhnya adalah praktek neo-imperialisme. Mereka bahkan melakukan rekayasa global, dan menguasai organisasi dunia, seperti: PBB, World Bank, IMF, bahkan juga ADB melalui jaringan NGO. Nampaknya, dana yang disediakan untuk perang dingin, dimanfaatkan untuk perjuangan politik supremasi ideologi.

            Generasi muda hendaknya meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan nasional; karena NKRI ini adalah milik masa depan kalian!

            Dalam era reformasi amat banyak terjadi penyimpangan dari asas-asas filosofis-ideologis (Pancasila) dan konstitusi Proklamasi (yang sudah menjadi UUD 2002, yang sarat kontroversial). Praktek NKRI telah menjadi budaya negara federal atas nama kebebasan, demokrasi dan HAM; sehingga berbagai sumber daya alam (SDA) dan sumber daya sosial-kultural yang fundamental, fungsional dan potensial, sebagian telah dikuasai modal asing (PMA, investor) atas nama liberalisasi ekonomi.

Kebijaksanaan Pemerintah sebagai termuat di dalam Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka, amat sangat memprihatinkan masa depan sosial, ekonomi, politik dan budaya nasional Indonesia. Apabila Perpres tersebut ditingkatkan sebagai undang-undang, maka globalisasi-liberalisasi sudah mencekam integritas NKRI sebagai wujud neoimperialisme.

 

A.     Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme

Demi tegaknya integritas sistem kenegaraan Pancasila dan visi-misi nation and character building, adalah kewajiban nasional (semua komponen bangsa) untuk mampu meningkatkan wawasan nasional agar SDM warga negara kita senantiasa mewaspadai tantangan: globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Juga tantangan nasional dalam era reformasi (yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM) ---dalam praktek menjadi budaya neo-liberalisme dan anarchisme--- yang mengancam integritas bangsa dan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila.

Cukup mendesak program pendidikan dan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai bagian dari visi-misi nation and character building; terutama:

1.            Meningkatkan mental-moral manusia dan warga negara RI sebagai satu bangsa Indonesia dalam NKRI sebagai negara bangsa (nation state, negara kebangsaan) seutuhnya. Maknanya, kondisi warisan budaya daerah dan kearifan lokal sebagai kebhinnekaan (pluralisme) dalam nusantara secara kultural dan moral ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia. Jadi, pluralisme dan warisan keunggulan daerah (= kearifan lokal), ditingkatkan dalam puncak budaya dan semangat kebangsaan dalam integritas nasional: kesatuan nasional (tunggal ika) dan kebanggaan nasional. Inilah jiwa kebangsaan dan jiwa nasional Indonesia yang melembaga dalam NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45. Bandingkan dengan motto negara Amerika Serikat: " E Pluribus Unum" (CCE 1994: 25).

2.            Bangsa dan NKRI hidup dalam dinamika dan antar hubungan regional dan internasional. Bangsa Indonesia adalah bagian dari tatanan peradaban dunia modern dalam semangat persahabatan dan kerjasama demi kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dunia abad XXI ditandai era globalisasi – liberalisasi dan postmodernisme (pasca modernisme). Dunia demikian menjadi medan adu kekuatan. Negara adidaya, dipelopori Amerika Serikat dan Unie Eropa bergerak pesat merebut supremasi (keunggulan) politik, ekonomi, budaya dan ipteks serta militer (hankam). Kita menyaksikan bagaimana USA dan Unie Eropa bersama negara-negara industri maju lainnya (Jepang, RRC, Australia) terus mendominasi politik dan ekonomi dunia. Kapitalisme – liberalisme menggoda dan melanda dunia!

3.            Khusus dalam NKRI mulai era reformasi, kita mengalami budaya politik liberal dan neo-liberalisme, demokrasi liberal, termasuk ekonomi liberal…. Praktek politik memuja kebebasan (liberalisme, neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM. Budaya dan praktek politik mengalami degradasi nasional, degradasi mental dan moral. Atas nama demokrasi dan HAM eks PKI (G.30S/PKI) melalui hujatan pelurusan sejarah, mereka bangkit dengan berbagai gerakan. Ini tantangan atas integritas Pancasila – UUD 45 dan NKRI, tantangan atas moral SDM Indonesia yang religious!

4.            Bangsa dan NKRI wajib waspada PKI ---sekarang terkenal sebagai Komunis Gaya Baru atau KGB--- adalah penganut marxisme-komunisme-atheisme. Ajaran ini bertentangan dengan dasar negara Pancasila yang beridentitas theisme-religious! Tegakkan asas moral theisme-religious sebagai benteng menghadapi marxisme-atheisme. Kekuatan neo-liberalisme yang hanya memuja kebebasan dan materi (kapitalisme), yang berwatak moral individualisme-sekularisme sinergis dengan marxisme-komunisme-atheisme yang memuja materi (materialisme) dan etatisme (memuja: kedaulatan negara, negara = hanya ada satu partai politik dalam negara, partai komunis sebagai partai negara)! Dalam sistem negara komunis tidak ada demokrasi atau kedaulatan rakyat; yang ada hanya kedaulatan negara yang dilaksanakan dengan otoritas tunggal partai negara! Tidak ada moral Ketuhanan dan agama, karena marxisme = atheisme! Karenanya, "tujuan menghalalkan semua cara!" Secara filosofis-ideologis PKI melakukan gerakan separatisme ideologi (= mengkhianati ideologi nasional) Pancasila!

5.            Tantangan nasional yang amat mendesak: bagaimana rakyat dan negara kita mengatasi tantangan sosial ekonomi yang menghimpit bangsa: kemiskinan, pengangguran; pendidikan biaya tinggi (RUU BHP, UNAS); konflik horisontal sampai anarchisme. Kondisi demikian seyogyanya ditangkal dengan pembinaan sistem ekonomi berdasarkan Pancasila – UUD 45 (Pasal 33) dan bukan mengikuti arus ekonomi liberal dan neo-imperialisme.

 

Mengapa kita setia melaksanakan fatwa (amanat) IMF, AFTA dan APEC; sementara kita mengkhianati amanat dasar negara Pancasila dan UUD Proklamasi yang imperatif! Apa kita setia dan mengabdi untuk neoimperialisme; atau tetap mengabdi kepada bangsa dan cita-cita nasional Indonesia raya!

 

Tantangan dimaksud secara normatif filosofis-ideologis dan konstitusional terlukis dalam skema berikut; dengan catatan:

1.      bacalah skema ini mulai dari baris bawah ke atas;

2.      perhatikan komponen ideologi dari sisi kiri dan kanan; yang merebut supremasi sosial politik dan ekonomi dalam forum internasional; dan

3.      bagaimana posisi NKRI (ditengah) himpitan dan tekanan antar sistem ideologi yang berebut politik supremasi ideologi ---yang bermuara sebagai neo-imperialisme dalam postmodernisme. Separatisme ideologi marxisme-komunisme-atheisme meruntuhkan integritas NKRI sekaligus martabat moral manusia SDM Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa (Pancasila + UUD 45 Pasal 29).

 

 

 

 

 


INTEGRITAS NASIONAL DAN NKRI SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN PANCASILA

 

*) =      UUD 45 Amandemen = Presiden, MPR, DPR, DPD; MK, MA dan BPK (+ KY)                                     (MNS, 2007)

+ =       UU No. 27 Tahun 1999 tentang Keamanan Negara (yang direvisi): terutama Pasal 107a  – 107f.

            Sebagai jabaran UUD 45 dan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 (karenanya dapat ditegakkan sebagaimana mestinya).

skema 7


B.     Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila

Semua komponen bangsa bersama Pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara berkewajiban untuk membendung pengaruh, tantangan dan ancaman globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme di atas, demi penyelamatan masa depan bangsa dalam integritas sistem kenegaraan Pancasila.

Kewajiban demikian merupakan amanat nasional dan amanat moral, karena ajaran paham dari sistem ideologi mereka tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan ajaran sistem ideologi kita (ideologi negara Pancasila). Karena, secara mendasar dan mendesak negara berkewajiban meningkatkan pendidikan nasional sebagai kelembagaan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila.

Tegaknya asas dan fungsi Pembudayaan dalam Fungsi Kelembagaan Negara di atas mutlak dilandasi, dipersiapkan dan dididikkan bagi SDM warga negara sebagai subyek pengelola sistem kenegaraan Pancasila, melalui pendidikan nilai dasar negara Pancasila + UUD 45 secara signifikan.

            Sebaliknya, terlaksananya pendidikan nilai dasar negara Pancasila, berkat mantapnya kebijaksanaan kepemimpinan dan kelembagaan nasional yang mengemban amanat sistem kenegaraan Pancasila + UUD 45.    

Mulai konsepsi sistem nasional yang terpercaya (berkembang dinamis), sampai pelaksanaan atau prakteknya, sesungguhnya adalah proses  p e m b u d a -y a a n yang efektif dan berdaya guna.

Thema Pembudayaan Nilia Filsafat Pancasila, mengandung makna:

1.      Mendidikkan nilai-nilai filsafat moral Pancasila bagi generasi penerus sebagai manusia dan warga negara RI (supaya dengan sadar mampu mengamalkan); untuk menjamin tegaknya kemerdekaan, kedaulatan dan integritas NKRI; sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Bagi generasi penerus perlu ditingkatkan pendidikan PKn, ketahanan nasional, ideologi Pancasila; IPS dan sejarah nasional.

2.      Membudayakan (moral filsafat Pancasila) yang secara filosofis-ideologis terjabar secara konstitusional di dalam sistem kenegaraan NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45; dikembangkan dan ditegakkan dalam N-sistem nasional.   

Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).

            Juga bagi masyarakat pada umumnya, terutama kader orsospol dan tenaga-tenaga pelaksana aparatur negara; bahkan juga kelembagaan nasional seyogyanya diberikan program pembudayaan nilai dasar negara Pancasila, secara melembaga yang dikelola oleh lintas kelembagaan (departemental dan nondepartemental). Kelembagaan dimaksud supaya lebih mantap dan representatif, dapat diusulkan alternatif berikut: Depdiknas, Depag, LIPI, Komnas HAM, Lemhannas, Dewan Ketahanan Nasional; Menegpora, Dekominfo, dan berbagai komponen kelembagaan keagamaan: MUI, DGI dsb.

            Diharapkan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila dapat meningkatkan kesadaran nasional dan Ketahanan Nasional sebagai benteng penangkal degradasi wawasan nasional yang kita rasakan dalam era reformasi.

 

 

 

C.  Pokok-pokok Pikiran

Berdasarkan uraian ringkas yang terkandung dalam thema Seminar Nasional ini, maupun sub-thema dalam makalah ini, diharapkan beberapa pokok pikiran berikut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi tantangan yang makin meningkat, baik internasional (global, eksternal) maupun nasional (internal).  

Adanya keyakinan bangsa atas keunggulan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 menjamin bangsa untuk menegakkan kepemimpinan nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dengan asas budaya dan moral luhur sebagaimana diamanatkan pendiri negara (PPKI) dalam UUD Proklamasi seutuhnya. 

Pokok-pokok pikiran berikut mendorong kepemimpinan nasional, kelembagaan negara maupun komponen bangsa; termasuk berbagai partai politik dan elite reformasi untuk merenungkan (refleksi) demi masa depan bangsa dan NKRI, serta generasi muda bangsa sebagai potensi dan generasi penerus.

1.            Keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional secara fundamental terpancar dalam integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Artinya, sistem ideologi Pancasila menjamin integritas moral SDM dan kepemimpinan nasional untuk ditegakkan dalam moral dan budaya sosial politik dan ekonomi dalam NKRI.

2.            Dasar negara Pancasila terjabar dalam UUD 45 seutuhnya secara valid dan orisinal berkat dirumuskan oleh PPKI dengan jiwa pengabdian, dan kearifan kenegarawanan yang tulus ---tanpa interest dan kepentingan golongan; bahkan dari mayoritas atas minoritas---; bukan sebagai yang kita saksikan dalam praktek budaya politik era reformasi.

Keabsahan nilai mendasar ini menjadi landasan dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan dalam NKRI.

3.            UUD Proklamasi (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) adalah perwujudan dan pedoman sistem kenegaraan yang  unggul terpercaya; sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum dalam integritas NKRI sebagai nation state yang ditegakkan dengan asas wawasan nasional, wawasan nusantara dan asas kekeluargaan. Asas fundamental ini menjadi landasan konstitusional membangun bangsa dalam NKRI yang adil dan sejahtera, jaya dan bermartabat.

4.            Integritas nilai dasar negara Pancasila sebagai filsafat hidup, dasar negara dan ideologi nasional secara konstitusional menjamin masa depan bangsa dalam dinamika dan kompetisi antar ideologi yang berjuang merebut supremasi. Artinya, bagaimanapun gejolak dunia postmodernisme (cermati isi nilai dalam skema 7), insya Allah bangsa dan NKRI tegak dalam integritas sebagai kenegaraan Pancasila. Untuk tujuan ini negara berkewajiban melaksanakan visi-misi nation and character building melalui pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila (secara melembaga dan lintas lembaga).

5.            Kondisi reformasi dan amandemen UUD 45 (= UUD 2002) secara fundamental dan konstitusional cukup mengandung distorsi filosofis-ideologis dan konstitusional. Karenanya, berdampak langsung terhadap proses degradasi wawasan nasional, sosial politik dan ekonomi bangsa. Kondisi demikian bermuara kepada disintegrasi nasional dan NKRI.... yang pada gilirannya tercengkeram oleh neo-imperialisme!

6.            Reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM mengancam integritas nasional dan integritas NKRI; bahkan integritas mental dan moral SDM Indonesia, mulai pemimpin sampai generasi penerus.

7.            Kebebasan atas nama HAM dengan praktek demokrasi liberal melanda budaya sosial ekonomi bangsa termasuk dunia dan lembaga kependidikan nasional. Peluang kebebasan cukup dimanfaatkan untuk kebangkitan neo-PKI/KGB yang memperjuangkan marxisme-komunisme-atheisme sebagai wujud separatisme ideologi. Proses degradasi mental dan moral demikian meruntuhkan moral dan martabat manusia Indonesia dan integritas sistem kenegaraan Pancasila.

 

Bagaimana tantangan dan ancaman ini dihadapi oleh MPR RI dalam menegakkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU RI No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (terutama pasal 107a – 107f)     

            UUD 45 amandemen (= UUD 2002) menyimpang dari asas kerokhanian bangsa dan kaidah fundamental negara (Pembukaan UUD 45) menjadi demokrasi liberal dan praktek negara federal! Kondisi demikian tidak dijiwai asas moral dan budaya politik demokrasi Pancasila dan ekonomi Pancasila. Fenomena elite reformasi dapat dianggap mengkhianati asas moral dan dasar negara Pancasila. Karenanya, kondisi bangsa dan NKRI dalam era reformasi makin memprihatinkan dalam semua bidang kehidupan!

Semoga bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 senantiasa dalam pengayoman Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Yang menganugerahkan dan mengamanatkan kemerdekaan nasional dalam integritas NKRI. Amien.

 

 

 

                                                Malang, 30 November 2007

                                                Laboratorium Pancasila

Universitas Negeri Malang (UM)

                                                Ketua,

 

 

                                                Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, SH

 

 


B A C A A N

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________________ 2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.   

Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.

Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.

Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.

Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.

Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.

Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western, London, George Allen and Unwind Ltd.   

UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO

UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003)

Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.



* Makalah Seminar Nasional dalam rangka HUT 40 tahun Lab. Pancasila UM, 3 Desember 2007 di Kampus UM.