“Selamat Hari Syirik dan Bid’ah kapan
diucapkan oleh kalian?”
Sebuah cuitan komentar yang bertengger di salah satu postingan Instagram
Tebuireng Online yang saat itu tengah memposting ucapan selamat Hari Guru
Nasional tepat pada tanggal 25 November 2020 lalu. Hal seperti itu sebenarnya
sudah ada sejak lama, dimana akun-akun media sosial bernuansa Nahdlatul Ulama
selalu menjadi sasaran pembid’ahan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Alasan saya menyebut mereka tidak bertanggung jawab ialah dikarenakan akun yang
mereka pakai untuk berfatwa hanyalah berupa akun palsu atau mungkin saja akun
robot.
Sebagai sesama muslim dan pemeluk agama Islam, membalas perbuatan
mereka dengan cacian serupa bukanlah cerminan dari ajaran Islam itu sendiri.
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, Islam mengajarkan perdamaian,
sifat santun, dan kelembutan dalam berdakwah. Bahkan ketika kita berhadapan
dengan umat agama lain, Islam menganjurkan agar mendebat atau berdialog dengan
mereka dengan cara yang baik pula, yakni dengan ilmiah dan santun.
Namun bukan berarti kita harus abai dan acuh tak acuh atas sikap celaan mereka
atas kita. Kita tetap harus “memerangi” tindakan atau ucapan yang bisa memicu
bubarnya umat Islam. namun bukan diri mereka yang kita benci, melainkan sifat
mereka yang tumbuh atas ketidaktahuan mereka pada Islam sepenuhnya, ditambah
setiap hal yang memprovokatori mereka untuk bertindak seperti itu. Bukankah
segala tindakan mereka atas namakan dengan slogan kembali ke Al-Quran dan
Hadis. Banyak di antara mereka menggunakan potongan hadis sebagai tameng
kebenaran atas tindakan mereka, padahal dalam memahami sebuah hadis tersendiri
tidak cukup bila hanya menggunakan terjemahan.
Oleh sebab itu, Setidaknya kita bisa melakukan tindakan preventif dengan memberikan
beberapa pengertian terkait bagaimana cara memahami hadis Nabi dengan benar
agar diri kita tidak mudah terprovokasi dengan setiap informasi yang belum
pasti benar dan valid. Dalam bukunya yang berjudul Saring Sebelum
Sharing, Gus Nadir menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga langkah dalam
memahami hadis Nabi.
Yang pertama, apakah hadis tersebut terdapat dalam sembilan kitab hadis utama.
Keterangan : Kitab Hadit yang Sembilan dan Kitab Hadits Lainnya
Kesembilan
kitab tersebut ialah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan
Turmudzi, Sunan Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwatho’, dan Sunan
Ad-Darimi. Berbeda dengan Al-Quran, hadis nabi banyak terebar di banyak
kitab, hal inilah yang memicu sulitnya untuk mengetahui mana hadis yang
benar-benar dari Nabi dan mana hadis yang sebenarnya hanya ucapan sahabat atau
ucapan tabi’in. Oleh sebab itu, Ulama terdahulu, para pemilik kutub at
tis’ah atau Sembilan kitab tersebut mengumpulkan hadis-hadis nabi lantas
menyaringnya agar bisa kita gunakan sebagai pedoman hingga saat ini. Meski
tidak menutup kemungkinan masih ada beberapa kitab hadis sekunder selain kutub
at tis’ah.
Yang kedua, jika iya, bagaimana komentar ulama dalam kitab syarah utama tentang hadis tersebut.
Setelah
hadis tersebut ditemukan dalam salah satu dari Sembilan kitab, langkah
selanjutnya ialah mencari penjelasannya melewati kitab syarah hadis. Seperti
halnya al-Quran juga harus dipahami melalui asbabun nuzul ataupun
tafsir-tafsirnya, hadis Nabi pun begitu. Sebuah hadis tidak bisa dipahami
menyeluruh jika hanya mengandalkan teks dan terjemahan. Dalam memahaminya kita
juga perlu untuk membuka syarah dari kitab hadis tersebut. Berikut
contoh kitab syarah ialah kitab Fathul Bari dan ‘Aunul Ma’bud
yang merupakan syarah dari kitab Shahih Bukhari dan Sunan Abi Dawud.
Yang ketiga, jika keterangan itu belum cukup, bagaimana kitab hadis sekunder dan kitab syarah sekunder bicara tentang hadis tersebut.
Keterangan : Beberapa Syarah Kitab Bulughul Marom
Keterangan : Beberapa Syarah Kitab Umdatul Ahkam
Jika
hadis yang dimaksud tidak terdapat dalam kesembilan kitab hadis, maka hadis
tersebut perlu dicari di kitab hadis sekunder. Selain kesembilan kitab hadis,
masih juga terdapat kitab hadis sekunder lainnya seperti kitab Riyadusshalihin
dan kitab Bulughul Marom dan syarah-syarah dari kitab tersebut.
Demikianlah langkah-langkah dalam mentelaah hadis, andaikata kita adalah seorang yang masih awam dan tidak sanggup untuk meneliti hadis tersebut, alangkah baiknya sebelum menyebarkan hadis tersebut, kita bisa menanyakan kevalidan hadis tersebut
kepada para pakar hadis atau para ulama sebagai tindakan pencegahan kesalahpahaman dalam memahami sebuah
hadis.
*Mahasantri
Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Sumber :
Pelajari Ini, Tiga Langkah Memahami Hadis | Tebuireng
Online