وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا
تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [النحل
- ٧٨]
Allah mengeluarkan diri kalian dari dalam perut ibumu dalam keadaan tidak
mengenal sedikit pun apa yang ada di sekeliling kalian.
Kemudian Allah memberi kalian pendengaran, penglihatan dan mata
hati (akal) sebagai bekal mencari ilmu pengetahuan, agar kalian
beriman kepada-Nya atas dasar keyakinan dan bersyukur atas segala karunia-Nya( [1]).
Pada ayat diatas, dijelaskan bahwa
tidak ada satupun manusia yang lahir dalam keadaan memiliki pengetahuan, apalagi
ilmu pengetahuan. Agar manusia bisa mendapatkan pengetahuan, maka Allah SWT
melengkapi pada tubuh manusia alat untuk mendapatkannya, yaitu pendengaran,
penglihatan, dan hati (akal). Ketiga alat tersebut sebenarnya bisa dibagi dua,
yaitu panca indera dan akal. Kemudian tujuan akhir dari pengetahuan dan ilmu
pengetahuan yang didapatkan manusia adalah untuk bersyukur kepada Allah SWT.
Betapa hebatnya rangkaian ayat
diatas, dimana Allah SWT menggambarkan kepada manusia sebuah tahapan kehidupan
manusia dalam memperoleh pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Asalnya tidak tahu,
lalu menjadi tahu, sekaligus tujuan dari pengetahuan yang diperolehnya. Jadi,
tegasnya puncak pengetahuan bukan semata-mata untuk pengetahuan itu sendiri
atau hanya untuk ummat manusia, tetapi adalah untuk bersyukur dan pengabdian
kepada Allah SWT. Selama ini, pada setiap menulis sebuah karya tulis, apapun
bentuknya baik makalah, artikel, skripsi, tesis ataupun disertasi pada tujuan
penelitiannya tidak ada satupun tertulis bertujuan untuk bersyukur kepada Sang
Maha Pencipta, tetapi hanya untuk pengembangan ilmu tersebut atau untuk ummat
manusia.
Al-Qur’an
sebagai kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.Untuk menjadi
pedoman bagi umat Islam, dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan
keselamatan hidup di akhirat,muncul sebagai kitab yang universal dan bersifat
global.Keglobalan al-Qur’an telah mendorong umat Islam untuk selalu berijtihad
dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Sementara itu tidak jarang pula
al-Qur’an dalam memberikan informasi dengan menggunakan kata yang
berulang-ulang, dengan teks yang sama namun dalam konteks yang berbeda. Hal ini
ikut menjadi pemicu umat Islam itu sendiri untuk selalu mengkaji maksud-maksud
yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik kata demi kata, ataupun kalimat demi
kalimat yang tercakup di dalamnya.
Diantara kata yang sering diulang
pengungkapannya dalam al-Qur’an adalah kata hidayah. Dimana kata-kata ini
muncul dalam jumlah yang sangat banyak dan kadang-kadang dalam arti yang
berbeda. Maka oleh sebab itu dalam tulisan ini akan dicoba menyingkap makna
hidayah tersebut secara eksplisit.
Pengertian Hidayah.
Kata hidayah berasal dari kata dasar يهدى-هديا -هدية-هداية- هدى –هدى-,yang berarti menunjuki dan merupakan lawan dari kata اضل yang berarti menyesatkan. Menurut Al-Raghib Al-Ashfahany,
kata hidayah berarti دلالة بلطف[2] yaitu petunjuk dengan cara kasih sayang . Hal ini senada
dengan ungkapan Muhammad Abduh dalam mengartikan kata hidayah :
مَعْنَى الْهِدَايَةِ لُغَةً مِنْ أَنَّهَا: الدَّلَالَةُ بِلُطْفٍ
عَلَى مَا يُوَصِّلُ إِلَى الْمَطْلُوبِ[3]
“Hidayah secara Bahasa ialah petunjuk dengan
kasih sayang yang menyampaikan kepada apa yang diharapkan atau yang
dikehendaki”.
Dari defenisi yang dikemukakan
tersebut dapat diketahui bahwa hidayah memiliki dua unsur pokok yaitu pertama;
petunjuk kepada apa yang diharapkan, kedua ; disampaikan dengan ungkapan
kasih sayang. Jadi petunjuk yang tidak diberikan dengan kasih sayang tidak
mengindikasikan bahwa itu adalah hidayah,sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an
surat Al-Fatihah ayat 5
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ [Al-Fatihah:6]
Tunjukilah kami jalan yang
lurus
Kata hidayah dengan segala bentuk kata jadiannya di dalam
al-Qur’an terulang sebanyak 307 kali. Diantaranya terdiri dari kata
هدى sebanyak 38 kali, kata يهدى sebanyak 72
kali, kata هداية sebanyak 36 kali, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya
untuk menjadi baik, seorang muslim yang baik, Allah telah memberikan tuntunan
melalui syariatNya dan lewat perantara Nabi yang disampaikan kepada kita. Para
ulama di dalam tafsiran memberikan pemahaman bahwa ada lima bentuk hidayah.
Lima petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia. Manusia sebagai mandataris
atau khalifah Allah di bumi.
Sebagai
mandataris, Allah telah memberikan sistem di kehidupan ini sebagai syariat. Ada
ketentuan yang diberikan Allah melalui ajaran agama, ada ketentuan yang
diserahkan Allah kepada manusia melalui kemampuan akal dan logika
pikiran, ada ketentuan yang secara otomatis melekat di dalam setiap
penciptaan makhlukNya, termasuk manusia di dalamnya.
Macam-macam hidayah
Syaikh Rasyid Ridlo, Ahmad Mustafa
Al-Maraghi dan Wahbah Az-zuhaily dalam kitab tafsirnya, ketika menafsirkan QS.
Al-Fatihah ayat 5, membagi hidayah yang diberikan Allah swt. untuk manusia
kepada beberapa bentuk, yaitu: 1) Hidayah al-wijdan At-thobiiy wal-ilham
al-fitriy (Naluri), 2) Hidayatul Hawas wal masa’ir (Panca Indra), 3) Hidayah
Akal, 4) Hidayah Ad-Din (Agama), 5) Hidayah At-taufik (Petunjuk)[4]
Yang pertama, adalah hidayatu al-Fitri al-Ilahiyyi.
Hidayah/petunjuk yang secara otomatis melekat di dalam setiap penciptaan Allah,
dalam setiap makhluk-Nya di alam semesta ini. Apakah itu manusia, malaikat,
atau binatang sekali pun dan seluruh ciptaan yang lain, termasuk al-jamadat tumbuh-tumbuhan,
an-nabatat seluruhnya telah diberikan hukum-hukum yang berlaku di dalam
kehidupan masing-masing (makhluk).Ada fitrah yang secara otomatis melekat di
dalam setiap penciptaan, yang menjadi petunjuk bagi kehidupannya masing-masing.
Seorang bayi, ketika dia lahir secara otomatis
saat dalam keadaan lapar maka dia akan menangis. Menangisnya bayi adalah fitrah
(naluri) ilahiyyah. Tidak perlu bayi menunggu untuk sekolah dulu untuk bisa
menangis karena lapar. Hidayah ini bersifat given/pemberian, secara
otomatis diberikan oleh Allah dan melekat di dalam sistem yang ada di dalam
setiap penciptaan. Binatang pun juga demikian, dia mempunyai fitrah
ilahiyyah. Ada karakter dan insting. Dan keseluruhan itu adalah ashlu
al-khilqah asal penciptaan sudah berada dalam sistem penciptaan alam
semesta.
Yang kedua, ada hidayatu al-hawasy. Adalah
petunjuk Allah yang ditempelkan dan melekat pada indra. Kalau manusia
disebut dengan pancaindra. Seluruh makhluk yang mempunyai indra itu pemberian
dari Allah. Mulut itu untuk merasakan sesuatu, mata itu indranya untuk melihat.
Manusia diberi itu, binatang pun juga diberi itu. Makhluk Allah yang lain pun
diberi itu. Meskipun kita terkadang tidak bisa mengilmiahkan itu, tetapi dia
(makhluk) ada perasaan, hawasy, indra yang dilekatkan di dalam
setiap penciptaan makhluk.
Bahkan
indra yang dimiliki selain manusia itu jauh lebih sempurna. Karena proses
penyempurnaan itu tidak perlu terjadi dan dilakukan untuk (makhluk) selain
manusia. Anak kucing itu ketika telah lahir dari induknya maka secara otomatis dia bisa lari. Begitu juga
anak kambing, juga setelah lahir langsung bisa berjalan dan otomatis bisa
berlari. Karena Allah menciptakan indra untuk binatang itu sudah sempurna sejak
awal diciptakan tanpa melalui proses penyempurnaan. Tapi untuk manusia tidak,
indra yang dimiliki manusia untuk bisa sempurna akan melalui sebuah tahapan dan
ada proses untuk menjadi sempurna.
Panca Indera
dijadikan sebagai alat utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini
bahkan memunculkan sebuah aliran dalam filsafat, yaitu empirisme. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indra manusia.[1] Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari bahasa
Yunani emperia, yang berarti pengalaman.[2] Dalam empirisme, kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pengalaman.[3] Pola pikir empirisme mengandalkan bukti empiris.[4] Empirisme termasuk salah satu jenis aliran ontologi.[5] Dalam empirisme, manusia dapat memperoleh pengetahuan
dari pengalaman dengan cara mengadakan pengamatan dan pengindraan.[6] Empirisme merupakan salah satu dari tiga aliran filsafat ilmu di dunia Barat.[7] Pemikiran filsafat pada empirisme memilik sifat yang
bertentangan dengan rasionalisme.[8] Pemikiran empirisme dipelopori oleh Thomas Hobbes sebagai reaksi terhadap rasionalisme.[9][5]
ketiga yaitu hidayatu
al-Aqli. Adalah hidayah kecerdasan, adalah alat yang
harus dipenuhi oleh manusia untuk bisa menyempurnakan kekuatan indranya. Bahkan
ada aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah satu-satunya alat
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diperoleh hanya melalui hasil pembuktian, logika dan analisis terhadap fakta.[1] Segala sumber pengetahuan dalam rasionalisme berasal dari akal pikiran atau harus bersifat rasional realistis.[2] Tanpa adanya rasio, manusia tidak akan dapat memperoleh
pengetahuan.[3] Dengan demikian, fungsi pancaindra manusia di dalam
aliran filsafat rasionalisme adalah mendukung akal dalam memperoleh pengetahuan.[4] Rasionalisme berkembang di dunia Barat, dunia Islam, dan ateisme. Aliran yang berkembang pada rasionalisme
meliputi rasionalisme radikal, rasionalisme kritis dan rasionalisme moderat.[5] Pemikir utama yang mengembangkan rasionalisme antara
lain René Descartes (1596–1650), Baruch de Spinoza (1632−1677), dan Gottfried Leibniz (1646−1716).[6] Sementara itu, ada pula pemikir yang mengembangankan
rasionalisme dengan menggabungkannya dengan aliran filsafat lain. Salah satunya
ialah Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770–1831) yang menggabungkan rasionalisme dengan
romantisisme.[7][6]
Burung elang diciptakan oleh Allah, mempunyai kekuatan indra (mata) yang luar
biasa ketajamannya. Mata kita tidak ada apa-apanya. Elang tidak perlu
teknologi, tidak perlu belajar secara ilmiah alat untuk mendeteksi dan melihat.
Tetapi manusia, supaya bisa menciptakan matanya agar mampu memandang dan
menembus kekuatan yang luar biasa maka mata kita ini perlu diilmiahkan. Perlu
diberi ilmu.
Begitu pula kaki kita, tidak mungkin kita bisa melewati air dari sungai dan
lautan, tanpa ilmu. Tetapi, ikan bisa berenang tanpa harus tenggelam, dia tidak
mati tanpa menggunakan alat (pernapasan). Kenapa, karena sejak dilahirkan dan
diciptakan oleh Allah di dunia ini, dia sudah diberi kesempurnaan indra itu.
Tapi manusia untuk bisa melebihi dari (makhluk) yang lain, kata kuncinya adalah
pada hidayatu al-Aqli. Kecerdasan empirik, ilmiah. Itu membutuhkan
belajar dan ilmu. Juga kekuatan untuk memahami di dalam proses kehidupan ini.
Burung untuk terbang itu tidak perlu sekolah, tapi manusia untuk bisa terbang
dia perlu teknologi. Yang melibatkan sekian macam disiplin ilmu pengetahuan.
Burung diciptakan al-hawasynya sudah sempurna, tidak perlu ada proses.
Tidak perlu faatba’a sababa.
Wa
ja’alna likulli syai’in sababa, dalam arti proses dan ilmu pengetahuan itu
tidak perlu (bagi burung). Manusia untuk bisa terbang harus mempunyai ilmu.
Teknologi yang berhubungan dengan hal penerbangan itu.
Yang keempat, hidayatu ad-Din. Manusia yang berilmu belum tentu hidupnya
sempurna. Manusia yang berilmu tanpa agama sesungguhnya dia masih jauh untuk
menjadi manusia yang baik. Allah memberikan hidayah ini melalui perantara
seorang rasul yang diberikan tugas untuk menyebarkan petunjuk agama. Tidak
seluruh aspek dalam agama bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Kecerdasan
ilmu pengetahuan tidak mungkin menjangkau seluruh (aspek) dalam agama terutama
yang berkaitan dengan al-Ma’ad, persoalan-persoalan yang ghaibat,
sam’iyyat, tidak mungkin logika kita bisa sampai kesana.
Oleh
karena itu perlu seorang rasul, kiai, ustad, dan muballigh yang menyampaikan
itu. Yang menunjukkan bahwa nanti ada hari akhir, ada hisab, ada mizan, ada
pembalasan surga dan neraka. Itu semua tidak mungkin dijangkau oleh wilayah
empiris, logika, dan pikiran manusia. Yang bisa menyampaikan (hidayah ini)
adalah orang yang ditunjuk oleh Allah, seorang rasul dan diteruskan oleh para
ulama sebagai waratsatu al-anbiya’.
Oleh karena itu, belajar agama perlu seorang guru. Perlu sanad yang
jelas. Kitab yang jelas, dan refrensi yang jelas. Tidak bisa mengandalkan
kekuatan logika pikiran tanpa ada yang memberikan garansi atas validitas dan
kebenaran ilmu agama itu. Dan itu semua hanya ada di pesantren.
Tapi belum tentu orang yang mengerti agama bisa
melakukan perbuatan baik. Orang yang sudah belajar agama belum bisa dipastikan
bahwa dia akan menjadi orang yang baik. Bahkan orang yang sudah mengerti
tentang agama pun belum tentu dia mau beriman kepada Allah. Orang yang tahu
shalat dhuha itu baik, belum tentu mau melaksanakan. Orang yang tahu bahwa
sedekah itu baik, belum tentu mau sedekah. Kenapa, karena masih ada hidayah
yang tertinggi, yaitu hidayah yang kelima, hidayatu
at-Taufiq wa al-Mau’unah. Dan ini menjadi hak prerogatif
Allah sepenuhnya. Seorang rasul pun tidak diberi kewenangan untuk memberikan
hidayah tersebut. ‘Kekuatan’ untuk bisa melakukan apa yang diketahui, untuk
menjadi sesuatu yang diamalkan di dalam kehidupan, untuk menjadi orang baik dan
beriman, orang yang patuh dan melakukan (kebaikan), diperlukan taufiq wa
ma’unah. Dan hanya Allah yang berhak untuk memberikan itu. Seorang rasul
pun, Allah berfirman innaka la tahdi man ahbabta, walakinna allaha yahdi man
yasya’. Seorang kiai hanya bertugas untuk menyampaikan. Tetapi apakah
seseorang mau beriman atau tidak itu bukan lagi menjadi otoritas seorang rasul.
Maka
tidak boleh seorang kiai memaksakan seseorang untuk beriman. Karena beriman
adalah sebuah pilihan yang memberi petunjuk itu adalah Allah. Orang yang sudah
mau ngaji itu sudah sangat dekat dengan hidayatu at-Taufiq. Sehingga
Allah menyebutkan, man yuridi allahu bihi khoiran yufaqqihu fi ad-din. Kalau
anda sudah diberi kekuatan oleh Allah untuk mau mengaji, senang berkumpul
dengan orang yang bisa ngaji, maka anda sudah dengan kebaikan yang dikehendaki
oleh Allah.
Oleh
karena itu, bagi anda yang sudah berilmu bukan berarti sudah final. Tetapi kita
memohon kepada Allah, dengan ilmu Allah memberikan kemanfaatan ilmu itu agar
menjadi berkah dan manfaat. Bisa menjadi sebuah amaliah, yang dari situ akan
mendapatkan sebuah nilai nanti di akhirat.
[1] Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa indera
pendengaran mulai tumbuh pada diri seorang bayi pada usia relatif dini, pada
pekan-pekan pertama. Sedangkan indera penglihatan mulai dimiliki bayi pada
bulan ketiga dan menjadi sempurna menginjak bulan keenam. Sedangkan kemampuan
mata hati yang berfungsi membedakan yang baik dan buruk datang sesudah itu.
Urutan penyebutan beberapa indera pada ayat di atas mencerminkan tahap
perkembangan fungsi indera tersebut.
[2] المفردات في غريب القرآن للراغب الاصفهاني
[3] , تفسير المراغي , تفسير القرآن الحكيم (تفسير المنار)
[4] تفسير المراغي , تفسير القرآن الحكيم (تفسير المنار) , التفسير المنير في العقيدة والشريعة
والمنهج