HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Sabtu, 01 April 2023

Hidayah Allah Kepada Manusia

 


وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [النحل -  ٧٨]

Allah mengeluarkan diri kalian dari dalam perut ibumu dalam keadaan tidak mengenal sedikit pun apa yang ada di sekeliling kalian. Kemudian Allah memberi kalian pendengaran, penglihatan dan mata hati (akal) sebagai bekal mencari ilmu pengetahuan, agar kalian beriman kepada-Nya atas dasar keyakinan dan bersyukur atas segala karunia-Nya( [1]).

 

Pada ayat diatas, dijelaskan bahwa tidak ada satupun manusia yang lahir dalam keadaan memiliki pengetahuan, apalagi ilmu pengetahuan. Agar manusia bisa mendapatkan pengetahuan, maka Allah SWT melengkapi pada tubuh manusia alat untuk mendapatkannya, yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). Ketiga alat tersebut sebenarnya bisa dibagi dua, yaitu panca indera dan akal. Kemudian tujuan akhir dari pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang didapatkan manusia adalah untuk bersyukur kepada Allah SWT.

 

Betapa hebatnya rangkaian ayat diatas, dimana Allah SWT menggambarkan kepada manusia sebuah tahapan kehidupan manusia dalam memperoleh pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Asalnya tidak tahu, lalu menjadi tahu, sekaligus tujuan dari pengetahuan yang diperolehnya. Jadi, tegasnya puncak pengetahuan bukan semata-mata untuk pengetahuan itu sendiri atau hanya untuk ummat manusia, tetapi adalah untuk bersyukur dan pengabdian kepada Allah SWT. Selama ini, pada setiap menulis sebuah karya tulis, apapun bentuknya baik makalah, artikel, skripsi, tesis ataupun disertasi pada tujuan penelitiannya tidak ada satupun tertulis bertujuan untuk bersyukur kepada Sang Maha Pencipta, tetapi hanya untuk pengembangan ilmu tersebut atau untuk ummat manusia.

 

Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.Untuk menjadi pedoman bagi umat Islam, dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat,muncul sebagai kitab yang universal dan bersifat global.Keglobalan al-Qur’an telah mendorong umat Islam untuk selalu berijtihad dalam memahami kandungan ayat-ayat  al-Qur’an tersebut.

 

Sementara itu tidak jarang pula al-Qur’an dalam memberikan informasi dengan menggunakan kata yang berulang-ulang, dengan teks yang sama namun dalam konteks yang berbeda. Hal ini ikut menjadi pemicu umat Islam itu sendiri untuk selalu mengkaji maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik kata demi kata, ataupun kalimat demi kalimat yang tercakup di dalamnya.

 

Diantara kata yang sering diulang pengungkapannya dalam al-Qur’an adalah kata hidayah. Dimana kata-kata ini muncul dalam jumlah yang sangat banyak dan kadang-kadang dalam arti yang berbeda. Maka oleh sebab itu dalam tulisan ini akan dicoba menyingkap makna hidayah tersebut secara eksplisit.

 

Pengertian Hidayah.

 

Kata hidayah berasal dari kata dasar  يهدى-هديا -هدية-هداية- هدى –هدى-,yang berarti menunjuki dan merupakan lawan dari kata اضل yang berarti menyesatkan.  Menurut Al-Raghib Al-Ashfahany, kata hidayah berarti دلالة بلطف[2]  yaitu petunjuk dengan cara kasih sayang . Hal ini senada dengan ungkapan Muhammad Abduh dalam mengartikan kata hidayah :

مَعْنَى الْهِدَايَةِ لُغَةً مِنْ أَنَّهَا: الدَّلَالَةُ بِلُطْفٍ عَلَى مَا يُوَصِّلُ إِلَى الْمَطْلُوبِ[3] 

 “Hidayah secara Bahasa ialah petunjuk dengan kasih sayang yang menyampaikan kepada apa yang diharapkan atau yang dikehendaki”.

 

Dari defenisi yang dikemukakan tersebut dapat diketahui bahwa hidayah memiliki dua unsur  pokok yaitu pertama;  petunjuk kepada apa yang diharapkan, kedua ; disampaikan dengan ungkapan kasih sayang. Jadi petunjuk yang tidak diberikan dengan kasih sayang tidak mengindikasikan bahwa itu adalah hidayah,sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Al-Fatihah ayat 5

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ [Al-Fatihah:6]

Tunjukilah kami jalan yang lurus

 

Kata hidayah dengan segala bentuk kata jadiannya di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 307 kali. Diantaranya terdiri dari kata   هدى sebanyak 38 kali, kata يهدى sebanyak 72 kali, kata هداية sebanyak 36 kali, dan lain-lainnya.

Sesungguhnya untuk menjadi baik, seorang muslim yang baik, Allah telah memberikan tuntunan melalui syariatNya dan lewat perantara Nabi yang disampaikan kepada kita. Para ulama di dalam tafsiran memberikan pemahaman bahwa ada lima bentuk hidayah. Lima petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia. Manusia sebagai mandataris atau khalifah Allah di bumi.

Sebagai mandataris, Allah telah memberikan sistem di kehidupan ini sebagai syariat. Ada ketentuan yang diberikan Allah melalui ajaran agama, ada ketentuan yang diserahkan Allah kepada manusia melalui kemampuan akal dan logika pikiran,  ada ketentuan yang secara otomatis melekat di dalam setiap penciptaan makhlukNya, termasuk manusia di dalamnya.

Macam-macam hidayah   


Syaikh Rasyid Ridlo, Ahmad Mustafa Al-Maraghi dan Wahbah Az-zuhaily dalam kitab tafsirnya, ketika menafsirkan QS. Al-Fatihah ayat 5, membagi hidayah yang diberikan Allah swt. untuk manusia kepada beberapa bentuk, yaitu: 1) Hidayah  al-wijdan At-thobiiy wal-ilham al-fitriy (Naluri), 2) Hidayatul Hawas wal masa’ir (Panca Indra), 3) Hidayah Akal, 4) Hidayah Ad-Din (Agama), 5) Hidayah At-taufik (Petunjuk)[4]

 

Yang pertama, adalah hidayatu al-Fitri al-Ilahiyyi. Hidayah/petunjuk yang secara otomatis melekat di dalam setiap penciptaan Allah, dalam setiap makhluk-Nya di alam semesta ini. Apakah itu manusia, malaikat, atau binatang sekali pun dan seluruh ciptaan yang lain, termasuk al-jamadat  tumbuh-tumbuhan, an-nabatat seluruhnya telah diberikan hukum-hukum yang berlaku di dalam kehidupan masing-masing (makhluk).Ada fitrah yang secara otomatis melekat di dalam setiap penciptaan, yang menjadi petunjuk bagi kehidupannya masing-masing.

 

Seorang bayi, ketika dia lahir secara otomatis saat dalam keadaan lapar maka dia akan menangis. Menangisnya bayi adalah fitrah (naluri) ilahiyyah. Tidak perlu bayi menunggu untuk sekolah dulu untuk bisa menangis karena lapar. Hidayah ini bersifat given/pemberian, secara otomatis diberikan oleh Allah dan melekat di dalam sistem yang ada di dalam setiap penciptaan. Binatang pun juga demikian, dia mempunyai fitrah ilahiyyah. Ada karakter dan insting. Dan keseluruhan itu adalah ashlu al-khilqah asal penciptaan sudah berada dalam sistem penciptaan alam semesta.

 

Yang kedua, ada hidayatu al-hawasy. Adalah petunjuk Allah yang ditempelkan dan melekat pada indra.  Kalau manusia disebut dengan pancaindra. Seluruh makhluk yang mempunyai indra itu pemberian dari Allah. Mulut itu untuk merasakan sesuatu, mata itu indranya untuk melihat. Manusia diberi itu, binatang pun juga diberi itu. Makhluk Allah yang lain pun diberi itu. Meskipun kita terkadang tidak bisa mengilmiahkan itu, tetapi dia (makhluk) ada perasaan, hawasy, indra  yang dilekatkan di dalam setiap penciptaan makhluk.

Bahkan indra yang dimiliki selain manusia itu jauh lebih sempurna. Karena proses penyempurnaan itu tidak perlu terjadi dan dilakukan untuk (makhluk) selain manusia. Anak kucing itu ketika telah lahir dari induknya  maka secara otomatis dia bisa lari. Begitu juga anak kambing, juga setelah lahir langsung bisa berjalan dan otomatis bisa berlari. Karena Allah menciptakan indra untuk binatang itu sudah sempurna sejak awal diciptakan tanpa melalui proses penyempurnaan. Tapi untuk manusia tidak, indra yang dimiliki manusia untuk bisa sempurna akan melalui sebuah tahapan dan ada proses untuk menjadi sempurna.  

Panca Indera dijadikan sebagai alat utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini bahkan memunculkan sebuah aliran dalam filsafat, yaitu empirisme. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indra manusia.[1] Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani emperia, yang berarti pengalaman.[2] Dalam empirisme, kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pengalaman.[3] Pola pikir empirisme mengandalkan bukti empiris.[4] Empirisme termasuk salah satu jenis aliran ontologi.[5] Dalam empirisme, manusia dapat memperoleh pengetahuan dari pengalaman dengan cara mengadakan pengamatan dan pengindraan.[6] Empirisme merupakan salah satu dari tiga aliran filsafat ilmu di dunia Barat.[7] Pemikiran filsafat pada empirisme memilik sifat yang bertentangan dengan rasionalisme.[8] Pemikiran empirisme dipelopori oleh Thomas Hobbes sebagai reaksi terhadap rasionalisme.[9][5]

 

 ketiga yaitu hidayatu al-Aqli. Adalah hidayah kecerdasan, adalah alat yang harus dipenuhi oleh manusia untuk bisa menyempurnakan kekuatan indranya. Bahkan ada aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah satu-satunya alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme.

Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diperoleh hanya melalui hasil pembuktianlogika dan analisis terhadap fakta.[1] Segala sumber pengetahuan dalam rasionalisme berasal dari akal pikiran atau harus bersifat rasional realistis.[2] Tanpa adanya rasio, manusia tidak akan dapat memperoleh pengetahuan.[3] Dengan demikian, fungsi pancaindra manusia di dalam aliran filsafat rasionalisme adalah mendukung akal dalam memperoleh pengetahuan.[4] Rasionalisme berkembang di dunia Baratdunia Islam, dan ateisme. Aliran yang berkembang pada rasionalisme meliputi rasionalisme radikal, rasionalisme kritis dan rasionalisme moderat.[5] Pemikir utama yang mengembangkan rasionalisme antara lain René Descartes (1596–1650), Baruch de Spinoza (1632−1677), dan Gottfried Leibniz (1646−1716).[6] Sementara itu, ada pula pemikir yang mengembangankan rasionalisme dengan menggabungkannya dengan aliran filsafat lain. Salah satunya ialah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831) yang menggabungkan rasionalisme dengan romantisisme.[7][6]

Burung elang diciptakan oleh Allah, mempunyai kekuatan indra (mata) yang luar biasa ketajamannya. Mata kita tidak ada apa-apanya. Elang tidak perlu teknologi, tidak perlu belajar secara ilmiah alat untuk mendeteksi dan melihat. Tetapi manusia, supaya bisa menciptakan matanya agar mampu memandang dan menembus kekuatan yang luar biasa maka mata kita ini perlu diilmiahkan. Perlu diberi ilmu.

Begitu pula kaki kita, tidak mungkin kita bisa melewati air dari sungai dan lautan, tanpa ilmu. Tetapi, ikan bisa berenang tanpa harus tenggelam, dia tidak mati tanpa menggunakan alat (pernapasan). Kenapa, karena sejak dilahirkan dan diciptakan oleh Allah di dunia ini, dia sudah diberi kesempurnaan indra itu. Tapi manusia untuk bisa melebihi dari (makhluk) yang lain, kata kuncinya adalah pada hidayatu al-Aqli. Kecerdasan empirik, ilmiah. Itu membutuhkan belajar dan ilmu. Juga kekuatan untuk memahami di dalam proses kehidupan ini.

Burung untuk terbang itu tidak perlu sekolah, tapi manusia untuk bisa terbang dia perlu teknologi. Yang melibatkan sekian macam disiplin ilmu pengetahuan. Burung diciptakan al-hawasynya sudah sempurna, tidak perlu ada proses. Tidak perlu faatba’a sababa.

Wa ja’alna likulli syai’in sababa, dalam arti proses dan ilmu pengetahuan itu tidak perlu (bagi burung). Manusia untuk bisa terbang harus mempunyai ilmu. Teknologi yang berhubungan dengan hal penerbangan itu.

Yang keempat, hidayatu ad-Din. Manusia yang berilmu belum tentu hidupnya sempurna. Manusia yang berilmu tanpa agama sesungguhnya dia masih jauh untuk menjadi manusia yang baik. Allah memberikan hidayah ini melalui perantara seorang rasul yang diberikan tugas untuk menyebarkan petunjuk agama. Tidak seluruh aspek dalam agama bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Kecerdasan ilmu pengetahuan tidak mungkin menjangkau seluruh (aspek) dalam agama terutama yang berkaitan dengan al-Ma’ad, persoalan-persoalan yang ghaibat, sam’iyyat, tidak mungkin logika kita bisa sampai kesana.

Oleh karena itu perlu seorang rasul, kiai, ustad, dan muballigh yang menyampaikan itu. Yang menunjukkan bahwa nanti ada hari akhir, ada hisab, ada mizan, ada pembalasan surga dan neraka. Itu semua tidak mungkin dijangkau oleh wilayah empiris, logika, dan pikiran manusia. Yang bisa menyampaikan (hidayah ini) adalah orang yang ditunjuk oleh Allah, seorang rasul dan diteruskan oleh para ulama sebagai waratsatu al-anbiya’.

Oleh karena itu, belajar agama perlu seorang guru. Perlu sanad yang jelas. Kitab yang jelas, dan refrensi yang jelas. Tidak bisa mengandalkan kekuatan logika pikiran tanpa ada yang memberikan garansi atas validitas dan kebenaran ilmu agama itu. Dan itu semua hanya ada di pesantren.

Tapi belum tentu orang yang mengerti agama bisa melakukan perbuatan baik. Orang yang sudah belajar agama belum bisa dipastikan bahwa dia akan menjadi orang yang baik. Bahkan orang yang sudah mengerti tentang agama pun belum tentu dia mau beriman kepada Allah. Orang yang tahu shalat dhuha itu baik, belum tentu mau melaksanakan. Orang yang tahu bahwa sedekah itu baik, belum tentu mau sedekah. Kenapa, karena masih ada hidayah yang tertinggi, yaitu hidayah yang kelima, hidayatu at-Taufiq wa al-Mau’unah. Dan ini menjadi hak prerogatif Allah sepenuhnya. Seorang rasul pun tidak diberi kewenangan untuk memberikan hidayah tersebut. ‘Kekuatan’ untuk bisa melakukan apa yang diketahui, untuk menjadi sesuatu yang diamalkan di dalam kehidupan, untuk menjadi orang baik dan beriman, orang yang patuh dan melakukan (kebaikan), diperlukan taufiq wa ma’unah. Dan hanya Allah yang berhak untuk memberikan itu. Seorang rasul pun, Allah berfirman innaka la tahdi man ahbabta, walakinna allaha yahdi man yasya’. Seorang kiai hanya bertugas untuk menyampaikan. Tetapi apakah seseorang mau beriman atau tidak itu bukan lagi menjadi otoritas seorang rasul.

 

Maka tidak boleh seorang kiai memaksakan seseorang untuk beriman. Karena beriman adalah sebuah pilihan yang memberi petunjuk itu adalah Allah. Orang yang sudah mau ngaji itu sudah sangat dekat dengan hidayatu at-Taufiq. Sehingga Allah menyebutkan, man yuridi allahu bihi khoiran yufaqqihu fi ad-din. Kalau anda sudah diberi kekuatan oleh Allah untuk mau mengaji, senang berkumpul dengan orang yang bisa ngaji, maka anda sudah dengan kebaikan yang dikehendaki oleh Allah.

Oleh karena itu, bagi anda yang sudah berilmu bukan berarti sudah final. Tetapi kita memohon kepada Allah, dengan ilmu Allah memberikan kemanfaatan ilmu itu agar menjadi berkah dan manfaat. Bisa menjadi sebuah amaliah, yang dari situ akan mendapatkan sebuah nilai nanti di akhirat.



[1] Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa indera pendengaran mulai tumbuh pada diri seorang bayi pada usia relatif dini, pada pekan-pekan pertama. Sedangkan indera penglihatan mulai dimiliki bayi pada bulan ketiga dan menjadi sempurna menginjak bulan keenam. Sedangkan kemampuan mata hati yang berfungsi membedakan yang baik dan buruk datang sesudah itu. Urutan penyebutan beberapa indera pada ayat di atas mencerminkan tahap perkembangan fungsi indera tersebut.

[2] المفردات في غريب القرآن للراغب الاصفهاني  

[3] , تفسير المراغي , تفسير القرآن الحكيم (تفسير المنار)

[4] تفسير المراغي , تفسير القرآن الحكيم (تفسير المنار) , التفسير المنير في العقيدة والشريعة والمنهج

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: