Kitab Percaya Diri dan Kitab Tahu Diri
Dalam dunia fiqih seseorang baru disebut mukallaf (orang
yang diberi beban) jika sudah sampai umur dan berakal, maka anak-anak dan orang
gila yang akalnya tidak waras pada dasarnya tidak terikat dengan beban
kehidupan, mereka bisa hidup bebas, bahkan sebebas-bebasnya, tanpa harus peduli
kiri maupun kanan.
Orang-orang mukallaf ini dalam
hubungannya dengan hukum syariah dan dalil terbagi dalam dua kelompok besar;
Kelompok yang bisa menyimpulkan suatu hukum dari dalil yang ada dengan usahanya
(ijtihad), dan kelompok yang tidak bisa atau belum mampu untuk menyimpulkan
hukum sendiri.
Kelompok yang pertama dikenal dengan istilah mujtahid
dan yang kedua disebut muqallid. Kedua kelompok ini wajib
mengetahui hukum syariat dan mengamalkannya sesuai dengan kemampuan yang mereka
punya. Kelompok yang pertama dibebankan untuk berijtihad sesuai dengan keilmuan
yang mereka punya, sedangkan kelompok yang kedua diperintahkan untuk mengikut
petunjuk yang pertama (taqlid).
Ibarat bepergian dari Ragunan ke Pasar Senen Jakarta,
bagi yang memiliki kendaraan bolehlah mereka menggunakan kedaraannya untuk
sampai ke tujuan dengan selamat, tapi bagi yang tidak memiliki kendaraan,
mustahil rasanya kita paksa mereka untuk membeli kendaraan.
Ada baiknya dan memang sepantasnya mereka yang tidak
memiliki kendaraan bergabung bersama mereka yang memiliki kendaraan, atau bisa
menggunakan jasa angkutan umum; Kopaja, mikrolet, busway, atau taxi, dan lain
sebagainya, terlebih jika mereka yang tidak memiliki kendaraan ini baru datang
dari kampung halaman, buta dengan Jakarta.
Ijtihad
Haknya Mujtahid
Sesuai
dengan tuntutan seorang mujtahid, maka dalam beramal mereka diminta untuk
berusaha mencapai suatu pemasalahan dengan langsung melihat dalil-dalil yang
ada agar dengannya mereka bisa menyimpulkan sebuah hukum.
Bahwa
kesimpulan yang didapatkan tidak bisa mengikat mujtahid lainnya, itu artinya
dalam kode etiknya sesama mujtahid tidak boleh meng-copy paste hasil ijtihad
dari mujathid lainnya, hasil itu harus benar-benar murni dari usahanya.
Jikapun
terpaksa harus melihat hasil ijtihad mujtahid lainnya, maka kode etik
berikutnya adalah bahwa mereka harus mencamtumkan foot note (catan
kaki), atau menjelaskan kepada halayak ramai bahwa apa yang disampaikan itu
adalah hasil ijtihadnya Imam Syafii, Imam Ahmad, atau imam mujtahid lainnya.
Minimal tidak mengklaim bahwa itu adalah hasil ijtihadnya.
Inilah
lebih kurang pesan yang ingin disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Raudhah
An-Nazhir ketika membahas bab ijtihad. Imam Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa
para ulama sepakat seorang mujtahid tidak boleh mengikut mujtahid lainnya
المجتهد إذا اجتهد فغلب على ظنه الحكم،
لم يجزْ له تقليد غيره[1]
Dan mereka boleh menyampaikan
pendapat imam madzhab lainnya kepada halayak, namun tidak boleh mengklaim bahwa
itu adalah hasil ijtihadnya sebab dia hanya taqlid kepada mujtahid lainnya:
ولكن يجوز له أن ينقل للسمتفتي مذهب الأئمة، كأحمد
والشافعي، ولا يفتي مِنْ عند نفسه بتقليد غيره[2]
Orang Awam Wajib Mengikut (Taqlid)
Para ulama
ushul menilai bahwa sepanjang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sampai
pada level mujtahid belum ada, maka pada dasarnya mereka adalah awam. Karena
pada dasarnya orang awam tidak mempunyai cukup syarat untuk berijtihad, maka
disini mereka hanya diperintahkan untuk mengikut saja, ber-taqlid, tentunya
mengikut para ulama mujtahid. Bahkan dengan tegas Ibnu
Qudamah mengatakan wajib hukumnya bertaqlid kepada para ulama mujtahid.
Taqlid
artinya mengambil pendapat mujtahid dalam suatu masalah tanpa mengetahui
dalilnya, atau tanpa mengetahui dalilnya dengan sempurna. Ada awam yang memang
benar-benar buta dengan pengetahuan akan dalil, tapi ada ada juga yang tahu
sedikit tentang cara berdalil namun masih sangat kurang untuk menyimpulkan
sendiri, keduanya sama awam, walau ada sedikit perbedaan.
Jika dalam
satu negeri ada banyak mujtahid maka mereka yang awam berhak untuk mengikut
siapa saja dari ulama mujtahid yang ingin mereka ikuti
للعاميِّ أن يقلد من شاء من المجتهدين [3]
kaidah
diatas masyhur dikalangan ulama ushul,
bahkan sebagian menganggap perkara ini sudah ada konsensusnya (ijma’).
Untuk itu kita mengenal istilah bahwa orang awam itu pada dasarnya tidak
mempunyai madzhab khusus yang mengikat, madzhab mereka adalah madzhab ustadnya
(mufti)
العامي لا مذهب له، بل مذهبه مذهب مفتيه [4]
Hal ini
dikuatkan oleh Imam Nawawi dalam Raudhah At-Thalibin bahwa orang awam
tidak harus berpegang teguh dengan satu madzhab tertentu, namun mereka boleh
meminta fatwa kepada ulama yang mereka kehendaki, tanpa adanya niat dengan
sengaja untuk mencari yang mudah saja
[5]الذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب
بمذهب، بل يستفتي من شاء، أو من اتفق من غير تلقط للرخص
Sebagaimana
firman Allah dalam ayat berikut:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43)
Tinggal
lagi permasalahan berikutnya adalah menentukan dan memilih siapa saja dari
ulama kita yang masuk dalam level mujtahid. Ini penting untuk diketahui karena
pada dasarnya sangat jelas bedanya antara ulama mujtahid, ulama yang belum
sampai pada derajat mujtahid, ustadz, artis, pelawak dan dukun. Jangan sampai
istilah ini menjadi bias, hanya karena media yang selalu menghadirkan mereka di
televisi.
Jika kita
adalah awam, sekiranya tidak ada kehinaan sama sekali dengan menyadari keawaman kita, dan setinggi-tingginya
level awam tetap saja kita bukan mujtahid yang mempunyai hak utuh untuk
berbicara dalil dengan sangat vokal, apalagi jika seandainya kita adalah awam
pada level akut.
Proses belajar melalui majlis
taklim, pesantren akhir pekan, melalui website, setidaknya menjadi awal dari
bagaimana menyadarkan diri agar kita tahu bahwa sebenarnya selama ini kita
tidak tahu, dengan pembelajaran seperti itu setidaknya kita bisa menaikkan
level awam kita agar tidak berada pada posisi strata paling bawah, berharap
sedikit demi sedikit kita juga mulai membaca dalil-dalil yang mereka gunakan.
Keberadaan
awam dalam kehidupan ini tidaklah sehina yang dibayangkan, bahwa salah satu
unsur stabiltas kehidupan justru karena adanya peran mereka yang awam.
Keberadaan para pedagang yang sepanjang hari tidak pernah tahu dengan
kitab-kitab ushul, fiqih, tafsir, hadits dan lainnya, sudah membantu masalah
ini memenuhi hajat hidup mereka. Para sopir angkot, taxi, yang sepanjang hari
berada di dalam mobilnya juga sudah membuat roda kehidupan berjalan. Petani
sawah dan kebun yang sudah menanam padi, buah dan sayur tidak kalah pentingnya,
sehingga dengan izin Allah kita makan dengan hasil penjualan mereka. Dan begitu
seterusnya, yang ada justru sebenarnya hidup ini akan kacau jika semua orang
diwajibkan untuk menjadi mujtahid.
Taqlid
Bertentangan Dengan Pesan Ulama?
Sekilas bahwa
pesan yang sering kita dengar dari para ulama bahwa: “Jika benar suatu hadits
maka itulah madzbku atau pendapatku” haruslah difahami secara proporsional.
Pesan ini sebenarnya ditujukan untuk para ulama mujtahid, bukan untuk selain
mereka. Bagaimana mungkin orang awam akan mengetahui bahwa ada pendapat
mujtahid yang bertentangan dengan Al-Quran maupun Hadits sedang mereka tidak
pernah tahu dan tidak pernah selesai membaca semua kitab yang ditulis oleh
ulama tersebut, dan buta dengan metodelogi mereka dalam menyimpulkan sebuah
hukum. Ini yang kadang membuat kita tambah bingung, bagaimana mungkin orang
awam mengahakimi ulama yang sudah sampai pada level mujtahid dengan mengatakan
bahwa pendapatnya bertentangan dengan Al-Quran dan tidak sejalan dengan Hadits?
Jika
pernyataan itu didapat lewat keterangan sebagian ustad, maka pada umumnya
apalagi ustad di negeri kita ini belum sampai pada level mujtahid, jadi
menentangkan pendapat mereka dengan pendapat para mujtahid menjadi tidak
relevan.
Jikapun
pernyataan bahwa ada pendapat satu
mujtahid yang bertentang dengan Al-Quran atau Hadits didapat melalui ulama
besar dari negri Timur Tengah sana, maka keyakinan kita dengan pendapat ulama
ini juga disebut dengan taqlid, lantas apa bedanya taqlid kita kepada ulama ini
dengan ulama itu? Dan taqlid kita kepada ulama yang yang satu tidaklah lebih
utama ketimbang taqlid kepada selainnya, karena tetap saja keduanya adalah
taqlid.
Jadi
permasalahan ini hanya akan relevan untuk sesama mujtahid, karena sedari awal
sudah kita jelaskan bahwa hanya merekalah yang berhak berijtihad, dan bahwa
hasil ijtihadnya tidak mengikat untuk ulama lainnya.
Jadi mari
kita dudukkan permasalahan ini pada tempatnya. Dalam hal ini kita butuh membuka
dua kitab; Kitab percaya diri dan kitab tahu diri. Untuk para ulama bolehlah mereka membuka kitab percaya diri dengan usaha yang sudah
mereka lakukan, tapi buat kita yang masih awam
mari membuka kitab tahu diri,
bahwa sebenarnya kita hanya diminta untuk mengikut saja, tanpa harus
menyalahkan pengikut lainnya.
Wallahu A’lam Bisshawab
Sumber dengan beberapa catatan penting :
Kitab
Percaya Diri dan Kitab Tahu Diri | rumahfiqih.com
Sumber lainnya :
1) موقف العامي من تضارب الفتاوى - فقه
المسلم (islamonline.net)
2) موقفنا من اختلاف العلماء - الإسلام سؤال
وجواب (islamqa.info)
3) موقف العامي عند اختلاف العلماء في الفتوى
- إسلام ويب - مركز الفتوى (islamweb.net)
5) موقف العوام من اختلاف العلماء (alukah.net)
6) موقف المستفتي إذا اختلفت أقوال المفتين (binbaz.org.sa)
10) ما هو موقف العامي من اختلاف العلماء في
الفتوى الواحدة؟
(fatawapedia.com)
11) دار الإفتاء - اختلاف العلماء في مسائل
الفقه اختلاف رحمة (aliftaa.jo)
12) دار الإفتاء - يجوز للعامي أن يقلد في كل
مسألة من شاء من الأئمة (aliftaa.jo)
13) ص322 - أرشيف ملتقى أهل الحديث - العامي واختلاف الفتوى -
المكتبة الشاملة الحديثة (al-maktaba.org)
14) واجب العامي عند اختلاف المذاهب - إسلام
ويب - مركز الفتوى (islamweb.net)
15) هل يجب على العاميّ أن يكون له مرجع
يقلّده - إسلام ويب - مركز الفتوى (islamweb.net)
16) تخيّر العاميّ من الفتاوى - إسلام ويب -
مركز الفتوى (islamweb.net)
17) رابطة العلماء السوريين | قسم عام | موقف
العامي من اختلاف العلماء (islamsyria.com)
18) ما هو الواجب على العامي تجاه اختلاف
فتاوى العلماء؟ – دار الإفتاء الليبية (ifta.ly)
19) مَن هو المؤهل للفتوى في دين الله؟ | موقع الشيخ يوسف
القرضاوي
(al-qaradawi.net)
21) اختلاف الفتوى في المذاهب عن نفس المسألة (almeshkat.net)
22) هل اختلاف العلماء رحمة؟ وما موقف العامي منه؟ (salmajed.com)
23) إذا اختلف العلماء في مسألة - عبد الرحمن
بن عبد الخالق اليوسف - طريق الإسلام (islamway.net)
24) تتَبُّـعُ الرُّخَصِ - الدرر السنية (dorar.net)
27) تقليد العامي لمذهب فقهي - فقه المسلم (islamonline.net)
29) ما صحة مقولة : " مذهب العامي مذهب مفتيه " | الملتقى الفقهي (feqhweb.com)
30) بطلان مقولة (مذهب العامي مذهب مفتيه)
(alukah.net)
32) الموسوعة الشاملة - فتاوى الأزهر
(islamport.com)
33) حكم تقليد العامِّي مذهبًا غير مذهب بلده
لتخفيف الحكم - إسلام ويب - مركز الفتوى
(islamweb.com)
34) هل يلزم العاميّ أن يتمذهب ببعض المذاهب
المعروفة | كوكب الفوائد- فلسطين (alfawaeid.com)
35) ص255 - كتاب المستدرك على مجموع الفتاوى
- هل يخير المقلد في المجتهدين - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[1] روضة الناظر وجنة المناظر في أصول الفقه على مذهب الإمام أحمد بن
حنبل (ج 2 ص 373)
[2] روضة الناظر وجنة المناظر
في أصول الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل (ج 2 ص 374)
[3] "فتاوى العز بن عبد السلام" (رقم/46)
[4] دروس للشيخ أبو إسحاق
الحويني (7-134)
[5] روضة الطالبين وعمدة
المفتين (ج 11ص 117) تمام كلامه وَهَلْ يَجُوزُ لِلْعَامِّيِّ أَنْ يَتَخَيَّرَ وَيُقَلِّدَ أَيَّ
مَذْهَبٍ شَاءَ، نُظِرَ إِنْ كَانَ مُنْتَسِبًا إِلَى مَذْهَبٍ، بُنِيَ عَلَى
وَجْهَيْنِ، حَكَاهُمَا الْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي أَنَّ الْعَامِّيَّ هَلْ لَهُ
مَذْهَبٌ أَمْ لَا؟ أَحَدُهُمَا: لَا؛ لِأَنَّ الْمَذْهَبَ لِعَارِفِ الْأَدِلَّةِ، فَعَلَى هَذَا
لَهُ أَنْ يَسْتَفْتِيَ مَنْ شَاءَ، وَأَصَحُّهُمَا عِنْدَ الْقَفَّالِ لَهُ
مَذْهَبٌ، فَلَا تَجُوزُ مُخَالَفَتُهُ.وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُنْتَسِبًا، بُنِيَ
عَلَى وَجْهَيْنِ، حَكَاهُمَا ابْنُ بَرْهَانٍ بِفَتْحِ الْبَاءِ مِنْ
أَصْحَابِنَا فِي أَنَّ الْعَامِّيَّ هَلْ يَلْزَمُهُ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ
مُعَيَّنٍ؟ أَحَدُهُمَا: لَا، فَعَلَى هَذَا هَلْ لَهُ أَنْ يُقَلِّدَ مَنْ شَاءَ أَمْ
يَبْحَثَ عَنْ أَسَدِّ الْمَذَاهِبِ، فَيُقَلِّدَ أَهْلَهُ وَجْهَانِ، كَالْبَحْثِ
عَنِ الْأَعْلَمِ. وَالثَّانِي وَبِهِ قَطَعَ أَبُو الْحَسَنِ إِلْكِيَا: يَلْزَمُهُ. وَهُوَ جَارٍ
فِي كُلِّ مَنْ يَبْلُغُ رُتْبَةَ الِاجْتِهَادِ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ
سَائِرِ الْعُلُومِ، لِئَلَّا يَتَلَقَّطُ رُخَصَ الْمَذَاهِبِ بِخِلَافِ
الْعَصْرِ الْأَوَّلِ، وَلَمْ تَكُنْ مَذَاهِبَ مُدَوَّنَةً، فَيَتَلَقَّطُ
رُخَصَهَا. فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَخْتَارَ مَذْهَبًا يُقَلِّدُهُ فِي
كُلِّ شَيْءٍ، وَلَيْسَ لَهُ التَّمَذْهُبُ بِمُجَرَّدِ التَّشَهِّي، وَلَا بِمَا
وَجَدَ عَلَيْهِ أَبَاهُ، هَذَا كَلَامُ الْأَصْحَابِ. وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ
الدَّلِيلُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ التَّمَذْهُبُ بِمَذْهَبٍ، بَلْ يَسْتَفْتِي
مَنْ شَاءَ، أَوْ مَنِ اتَّفَقَ، لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَلَقُّطٍ لِلرُّخَصِ.