Beberapa Konsep Al-Quran Tentang Organisasi, Koalisi, dll Beserta Solusinya.
1)
وَإِذَا
أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا
فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا ﴿الإسراء: ١٦﴾
Dan jika
Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (17: 16)
وفي
{ مترفيها } ثلاثة تأويلات[1] :
أحدها جباروها ، قاله السن .الثاني : رؤساؤها ، قاله علي بن عيسى .الثالث
: فساقها ، قاله مجاهد
(مُتْرَفِيهَا } مُنَعمِّيها بمعنى رؤسائها بالطاعة على لسان رسلنا[2] قوله: (منعميها) أي المنهمكين في
شهواتها، الغافلين عن الآخرة[3].
2)
وَإِنَّ
كَثِيرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ﴿ص: ٢٤﴾
Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat (berkoalisi) itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". (38: 24)
{ وإنَّ كثيراً من الخُلَطاءِ } يحتمل وجهين :أحدهما : الأصحاب .الثاني : الشركاء[4] .
3)
وَإِن تُطِعْ
أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِن يَتَّبِعُونَ
إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿الأنعام: ١١٦﴾
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (6: 116)
4) وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ
إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿الأنفال: ٦٣﴾
dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (8: 63)
5)
أَهُمْ
يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ
لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا
يَجْمَعُونَ ﴿الزخرف: ٣٢﴾
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (43: 32)
Oligarki dan Demokrasi
Hasil berbagai survei mengenai politik Indonesia tidak jarang menyimpulkan bahwa 13 Tahun Reformasi tidak membawa perubahan mencolok di Indonesia. Bahkan keadaan pada masa Orde Baru dipandang jauh lebih baik ketimbang masa Reformasi ini.
Kadang pemimpin negara di era Reformasi
dipandang kurang tegas, dibandingkan era Soeharto. Ekonomi Indonesia secara
konsisten juga tetap tumbuh dengan angka cukup tinggi. Pemerataan ekonomi juga
dipandang lebih baik pada era Soeharto. Pandangan itu tidak semuanya benar, tapi
juga tidak semuanya salah. Benar bahwa Presiden Soeharto jauh lebih tegas.
Benar bahwa stabilitas politik dan keamanan jauh lebih terjaga dalam jangka
lama di era Soeharto.
Namun, bagaimana dengan nasib orangorang
tertindas yang tidak dapat menyuarakan pendapat mereka Bagaimana pula oligarki
kekuasaan pada masa itu tunduk pada diri seorang Soeharto Soeharto menguasai
semua aspek kehidupan masyarakat melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan
yang dibangun dengan sistem korporatisme negara yang semua ditujukan bagi
penumpukan kekuasaan di tangan Soeharto dan para kroninya.
Memang pada masa itu Soeharto menjadi tokoh
paling berkuasa dan tak ada orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik
atau ekonomi mampu untuk menantang Soeharto. Jaringan intelijen, birokrasi,
politik, dan ekonomi yang bertumpu pada beberapa orang Soeharto menjadikan
negeri ini benar-benar dikuasai para monarch tersebut. Pada era Reformasi,
orang suka sekali menyalahkan sistem politik yang demokratis sebagai penyebab
dari segala keterpurukan di negeri ini.
Padahal, kita mengetahui betapa oligarki
kekuasaan masih membelenggu partai-partai politik, sehingga mengganggu proses
demokrasi, bahkan di dalam partai itu sendiri. Kekuatan oligarki juga tampak
pada sendi-sendi kehidupan lain. Jika kita lihat dari sisi penumpukan kekayaan,
era Reformasi, khususnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampak jelas
betapa mereka yang kaya semakin kaya.
Namun, mereka yang miskin dan tidak
berdaya,semakin banyak pula. Kita juga akan semakin terperanjat betapa uang
yang mereka taruh di Singapura semakin tahun semakin banyak pula. Hasil kajian
Prof Jeffrey Winters dari Northwestern University,AS, mengutip data dari
Capgemini and Merrill Lynch menunjukkan, pada 2004 saat SBY terpilih menjadi
presiden untuk pertama kalinya, ada sekitar 34.000 orang Indonesia yang
memiliki aset paling sedikit USD1 juta yang ditaruh di luar negeri.
Dari jumlah itu,19.000 di antaranya warga
negara Indonesia yang bermukim semipermanen di Singapura. Jumlah itu meningkat
menjadi 39.000 pada 2007 dan menjadi 43.000 pada 2010.Kekayaan rata-rata mereka
pada 2010 sebesar USD4,1 juta.Jumlah kumulatif kekayaan mereka sebesar USD177
miliar,dan USD93 miliar di antaranya mereka taruh di Singapura.
Meskipun 43.000 WNI yang kaya itu mewakili
kurang dari 1 persen penduduk Indonesia, kekayaan mereka setara 25 persen gross
domestic product (GDP) Indonesia.Lebih menarik lagi, hanya 40 orang Indonesia
yang kekayaan kumulatifnya setara dengan 10,3 persen GDP Indonesia. Kajian
Winters yang diterbitkan oleh majalah Inside Indonesia No 104 edisi April Juni
2011 yang terbit di Australia, juga membandingkan 40 orang kaya di Indonesia,
Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Total kekayaan 40 orang Indonesia adalah
yang tertinggi, yakni USD71,3 miliar, dibandingkan Thailand yang USD36 miliar,
Malaysia USD51,3 miliar, dan Singapura yang USD45,7miliar. Skor indeks
konsentrasi kekayaan 40 orang Indonesia itu adalah 6,22 atau 3 kali Malaysia
(1,65) dan 25 kali Singapura yang hanya 0,25. Gap antara orang kaya dan orang
miskin di Singapura tidaklah terlalu jomplang bila dibandingkan Indonesia.
Oligarki pada masa Orde Baru masih dapat
dikelola dengan baik oleh Soeharto.Seberapa besar pun kekayaan mereka, semua
tunduk pada Soeharto. Apa yang terjadi kini,para oligarch itu semakin liar
karena tak ada yang mampu menguasainya. Mereka dapat membayari para politisi
pada masa kampanye,membeli para penegak hukum dan bukan mustahil juga dapat
menentukan pejabat mana yang patut diangkat atau dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan
publik.
Dengan uang mereka dapat melakukan
segalanya, termasuk membeli suara pemilih melalui uang yang mereka gelontorkan
lewat para politisi yang mereka bina atau dukung. Itulah wajah oligarki di
Indonesia kini. Jika kita tidak bersatu untuk menantangnya, Republik ini akan
ditentukan para oligarch yang belum tentu memiliki keinginan luhur untuk
bersama-sama membangun negeri ini.
Jika uang lebih berbicara, politik kita
makin parah.Namun, demokrasi kita masih lebih baik ketimbang Filipina yang
kekerasan menjadi bagian dari pemilu di sana. Para oligarch Filipina dapat
berbuat apa saja, termasuk membunuh lawan-lawan politiknya. Kita masih
beruntung, para oligarch itu tidak menyatu dalam satu kekuatan politik yang
nyata. dan#61535;
IKRAR NUSA
BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Sumber :
Oligarki dan Demokrasi | Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (lipi.go.id)
Membendung Oligarki
Meningkatnya oligarki merupakan salah satu fenomena paling menonjol di
tengah perkembangan politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Peningkatan oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik
Indonesia sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia.
Oligarki terus meningkat dengan kian menguatnya koalisi politik gemuk
fraksi-fraksi di DPR. Koalisi besar pro-rezim; F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PKB,
F-Gerindra, F-PPP, dan F-PAN, dapat melakukan langkah politik apa pun. Dua fraksi
sisanya: FPKS dan F-Partai Demokrat, hampir tak berdaya membendung langkah
oligarki politik.
Meningkatnya oligarki yang hampir tidak terbendung terlihat dalam sejumlah
langkah politik pejabat publik puncak dan elite politik di lingkungan eksekutif
dan legislatif. Mereka yang bisa disebut ”oligark” (oligarch) politik
sering mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak
di dalam lingkaran mereka sendiri. Oligarki politik tidak melibatkan warga yang
diwakili masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM.
Kenyataan ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan
UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009
tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU
Omnisbus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oligarki eksekutif
dan legislatif. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan
pembentukan UU tersebut. Dalam gugatan masyarakat sipil terhadap berbagai UU
tersebut, oligarki politik didukung lembaga yudikatif (MK dan MA).
Fenomena pertumbuhan oligarki politik di Indonesia dalam segi tertentu
berbeda dengan oligarki di beberapa negara lain. Menurut Oligarchy Countries
(2021), daftar negara oligarki mencakup: China, Rusia, Turki, Arab Saudi, Iran,
Afrika Selatan, Korea Utara, Venezuela, Ukraina, Zimbabwe, dan Amerika Serikat.
Oligarki di negara-negara ini terbentuk di antara oligar ekonomi-finansial,
yaitu orang sangat kaya (super rich) atau kaya (the rich)
yang memiliki jalinan persekongkolan kuat dengan oligarki politik. Oligarki
finansial yang berkolaborasi dengan oligarki politik malang melintang di Rusia
sejak 1400—kini mencakup sekitar 200 super rich. Sementara di AS,
oligar korporasi besar dan super rich, sangat menentukan dalam
pembuatan keputusan politik dibandingkan dengan ratusan juta pemilih.
Bagaimana corak dan tipologi oligark dan oligarki di Indonesia? Baik di
masa Presiden Soekarno maupun era Presiden Soeharto agaknya praktik oligarki
politik dan oligarki finansial belum terlalu eksis atau meluas. Presiden
Soekarno dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-65) menjadi ’penguasa tunggal’;
mengambil semua keputusan praktis terpusat pada dirinya. Adapun Presiden
Soeharto, dengan demokrasi Pancasila, awalnya juga memusatkan kekuasaan pada
dirinya; mengambil keputusan tanpa melibatkan tiga partai politik, apalagi
publik luas.
Walakin, sejak masa Presiden Soeharto mulai berkembang gejala ”oligark
finansial” yang lazim disebut ”cukong”. Mereka adalah super rich
dengan korporasi besar yang dekat dengan Presiden Soeharto. Tetapi, berapa
besar persisnya pengaruh oligark terhadap kebijakan politik Presiden Soeharto
masih harus diteliti; tetapi bisa diasumsikan, pak Harto terlalu kuat untuk
bisa dikendalikan para oligar.
Oligarki politik yang memiliki jaringan dengan oligark finansial atau
oligark cukong—super rich di tingkat nasional, dan the rich
di tingkat lokal tumbuh pesat di masa reformasi. Alasannya; pertama, politik
Indonesia dengan demokrasi liberal terfragmentasi dalam banyak parpol. Karena
tidak memiliki keuangan memadai, elite parpol berusaha mendapat dukungan
finansial dari super rich atau the rich. Kedua, sejak Pemilu
Legislatif 1999, Pilpres 2004, Pilkada 2005, dan seterusnya, biaya calon dalam
kontestasi elected offices kian mahal. Menurut Institut Otda (2021),
biaya calon Pilkada/Pemilu 2019: caleg lokal DPRD kabupaten/kota antara Rp 500
juta dan Rp 1 miliar; caleg DPRD Provinsi Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar; caleg
DPR RI sekitar Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar; calon bupati/wali kota Rp 10
miliar sampai Rp 30 miliar; calon gubernur Rp 30 miliar sampai Rp 100 miliar;
dan calon presiden sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 20 triliun.
Liberalisasi politik dengan bermacam pemilu membuat posisi oligark cukong
secara finansial dan politik terus menguat. Oligark super kaya dan kaya juga
kian banyak yang menjadi politisi—membuat mereka sekaligus oligar politik.
Sebaliknya, oligark politik yang semula kere kemudian menjadi oligark kaya.
Oligark politik dan oligark cukong selalu menimbulkan dampak negatif terhadap
demokrasi dan penegakan hukum—kasus tergamblang adalah pelemahan KPK. Oligark
selalu berusaha agar proses legislasi dan penegakan hukum tidak merugikan
mereka; sebaliknya mesti menguntungkan dan menjadikan posisi mereka dalam
oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial tetap dan kian kuat.
Demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sistem dan praksis politik
Indonesia, tidak selaras dengan oligarki politik yang berkelindan dengan
oligarki ekonomi-finansial; dan karena itu, mesti dibendung. Oligarki bukan
tidak bisa dibendung. Oligarki politik bukan praktik umum; dari 195 negara di
muka bumi, hanya ada 11 negara oligarki seperti disebut di atas.
Memang ada skeptisime di kalangan ahli ilmu politik dan publik berdasarkan
teori ’hukum besi oligarki’ (iron law of oligarchy). Menurut teori
yang diajukan sosiolog Jerman kelahiran Italia, Robert Michels, dalam bukunya, Political
Parties (1911): ”Kekuasaan oleh elite terbatas (oligarki) adalah hukum
besi yang tidak terelakkan dalam negara atau organisasi demokrasi sebagai
bagian keharusan taktis dan teknis”. Atas dasar kasus Partai Demokratik Sosial
Jerman, Michels berargumen partai politik atau serikat buruh yang dibangun
dengan cita dan cara demokrasi akhirnya dikuasai ’elite pemimpin’ (oligarki)
yang menguasai massa.
Tetapi, teori ’hukum besi oligarki’ telah dibantah banyak ahli ilmu politik
lain, seperti Seymour Martin Lipset (1956), yang mengungkapkan pengecualian
semacam organisasi serikat buruh. Pengecualian bisa dikembangkan sejak dari
raison d’etre pendirian organisasi atau institusi seperti negara sesuai dengan
cita dan prinsip demokrasi; proses pembentukan dan suksesi kepemimpinan melalui
kontrol dan keseimbangan; dan pengembangan kesejahteraan ekonomi-sosial anggota
atau warga.
Saran Lipset relevan dengan upaya membendung oligarki di Indonesia. Saran
itu dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memodifikasi kerangka yang diajukan
Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll dalam Three Solutions to the Oligarchy
Problem (2013). Pertama; perlu perubahan UU Pemilu, khususnya
menyangkut ’ambang batas parlemen’; kedua, perlu peninjauan ulang mengenai
pilkada dengan kembali melakukan pemilihan melalui lembaga perwakilan; ketiga;
perlu pengaturan dan penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai dan calon
sejak awal masa pencalonan dan kampanye pemilu.
Selain itu, berbagai pemangku kepentingan non-negara, seperti masyarakat
sipil, perlu memobilisasi kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap bahaya
oligarki. Juga perlu membangun sikap asertif warga menolak setiap bentuk
oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial yang sangat merugikan
negara-bangsa.
Oleh Prof. Azyumardi Azra
Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta.
Artikel dimuat dalam Kolom Analisis Politik KOMPAS, 16 September 2021.
Sumber :
Membendung Oligarki - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official Website (uinjkt.ac.id)