HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Jumat, 24 Maret 2023

Ahlussunnah Waljamaah - اهل السنة والجماعة


Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah

Ketika membahas teologi Ahlussunnah wal Jama'ah, siapa pun tak akan bisa menghindar dari nama besar mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah sebab keduanya adalah representasi dari aqidah mayoritas ulama dari masa ke masa. Akan tetapi beberapa orang kemudian salah sangka ketika mendengar istilah "mazhab Asy'ariyah Maturidiyah". Mereka mengira bahwa kedua mazhab ini adalah ajaran baru atau aliran baru yang berbeda dari ajaran ulama salafus shâlih yang sudah ada sebelumnya. Benarkah demikian?

 

Imam Abu Hasan al-Asy'ari lahir pada tahun 260H/873M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Sedangkan Imam Abu Mansur al-Maturidi diperkirakan lahir antara tahun antara 233-247 H dan wafat pada tahun 333 H/944 M. Dari tahun hidup keduanya dapat diketahui bahwa kedua imam besar Ahlussunnah wal Jama'ah ini baru lahir setelah era empat imam mazhab yang sudah tersohor namanya itu.  Sebelum mereka berdua juga ada deretan nama-nama besar yang menjadi representasi Ahlussunnah wal Jama'ah seperti Imam al-Auza'i (wafat 157 H), Sufyan ats-Tsauri (Wafat 161 H), Laits bin Sa'ad (wafat antara 170-175 H), Bukhari (wafat 256 H), Muslim (wafat 261 H), at-Thahawi (wafat 321 H) dan banyak lainnya. 

 

Karena itulah, ketika belakangan muncul Imam Abu Hasan al-Asy'ari di Baghdad dan Imam Abu Mansur al-Maturidi di Transoksania dengan argumen-argumen teologi yang mampu membungkam para ahli bid’ah, para ulama dari berbagai golongan kemudian menisbatkan diri pada mereka berdua sebagai bentuk dukungan. Akhirnya masyhurlah nama Asy’ariyah (pengikut Abu Hasan al-Asy’ary) dan nama Maturidiyah (pengikut Abu Mansur al-Maturidy). Saat itulah beberapa orang mengira ada mazhab baru yang berbeda dari sebelumnya, padahal faktanya tidak demikian.

Imam Tajuddin as-Subky (771 H) menjelaskan duduk perkaranya sebagai berikut:

اعْلَم أَن أَبَا الْحسن لم يبدع رَأيا وَلم ينش مذهبا وَإِنَّمَا هُوَ مُقَرر لمذاهب السّلف مناضل عَمَّا كَانَت عَلَيْهِ صحابة رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فالانتساب إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ بِاعْتِبَار أَنه عقد على طَرِيق السّلف نطاقا وَتمسك بِهِ وَأقَام الْحجَج والبراهين عَلَيْهِ فَصَارَ المقتدى بِهِ فى ذَلِك السالك سَبيله فى الدَّلَائِل يُسمى أشعريا  

“Ketahuilah sesungguhnya Abu Hasan tak memulai sebuah pendapat baru dan tak memunculkan sebuah mazhab. Itu tak lain hanya merupakan penguatan terhadap mazhab salaf. Dia membela apa yang diyakini sahabat Rasulullah . Maka penisbatan diri pada beliau tak lain hanyalah pengakuan bahwa beliau mengikuti jalan salaf, berbicara dan berpegang teguh dengannya, mendirikan hujjah dan bukti-bukti atasnya. Maka yang mengikuti beliau dan menempuh jalan beliau itu dalam dalil-dalil disebutlah seorang Asy’ariyah”. (Tajuddin as-Subky, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz III, halaman 365)

 

Jauh sebelumnya, Imam al-Hafidz Ibnu Asakir (571 H) juga menjelaskan hal serupa. Ia berkata: 

فنسب من تعلق الْيَوْم بِمذهب أهل السّنة وتفقه فِي معرفَة أصُول الدّين من سَائِر الْمذَاهب إِلَى الْأَشْعَرِيّ لِكَثْرَة تواليفه وَكَثْرَة قِرَاءَة النَّاس لَهَا وَلم يكن هُوَ أول مُتَكَلم بِلِسَان أهل السّنة إِنَّمَا جرى على سنَن غَيره وعَلى نصْرَة مَذْهَب مَعْرُوف فَزَاد الْمَذْهَب حجَّة وبيانًا وَلم يبتدع مقَالَة اخترعها وَلَا مذهبا انْفَرد بِهِ ألا ترى أَن مَذْهَب أهل الْمَدِينَة ينْسب إِلَى مَالك بن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمن كَانَ على مَذْهَب أهل الْمَدِينَة يُقَال لَهُ مالكي وَمَالك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّمَا جرى على سنَن من كَانَ قبله وَكَانَ كثير الإتباع لَهُم إِلَّا أَنه زَاد الْمَذْهَب بَيَانا وبسطًا وَحجَّة وشرحًا وَألف كِتَابه الْمُوَطَّأ وَمَا أَخذ عَنهُ من الأسمعة والفتاوى فنسب الْمَذْهَب إِلَيْهِ لِكَثْرَة بَسطه لَهُ وَكَلَامه فِيهِ فَكَذَلِك أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا فرق   

“Maka hari ini orang-orang yang bergantung pada mazhab Ahlussunnah dan belajar pengetahuan Ushuluddin dari semua mazhab disandarkan kepada al-Asy'ari karena banyaknya karya beliau dan banyaknya bacaan orang-orang terhadap karya tersebut. Dia bukanlah Ahli Kalam pertama yang berbicara dengan lidah Ahlussunnah akan tetapi dia hanya mengikuti tradisi orang-orang sebelumnya untuk menolong mazhab yang sudah diketahui (mazhab salaf) sehingga mazhab tersebut bertambah kekuatan argumen dan penjelasannya. Dia tidak membuat suatu pernyataan baru dan juga tidak membuat suatu mazhab independen. Bukankah engkau melihat bahwa mazhab Ahli Madinah disandarkan kepada Imam Malik bin Anas sehingga orang yang mengikuti mazhab Ahli Madinah disebut seorang Maliky, padahal Malik hanya mengikuti tradisi orang sebelumnya. Hanya saja beliau  menambah mazhab tersebut dengan keterangan dan penjelasan argumentatif dan juga mengarang kitab al-Muwatta. Dan apa yang dinukil dari Imam Malik meliputi ucapan atau fatwa kemudian disandarkan sebagai mazhab kepadanya karena ialah yang banyak menjelaskan dan berbicara tentang hal itu. Demikian juga Abu Hasan Al Asy'ari tiada bedanya”. (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 117-118)

Satu abad sebelum Imam Ibnu Asakir, Imam al-Hafidz al-Baihaqy (458 H) juga menjelaskan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ary hanyalah membela mazhab para tokoh ulama salaf saja dengan menambahi berbagai keterangan sehingga memperkuat argumen mereka. Ia berkata:


إِلَى أَن بلغت النّوبَة إِلَى شيخنَا أَبِي الْحسن الْأَشْعَرِيّ رَحْمَة اللَّه فَلم يحدث فِي دين اللَّه حَدثا وَلم يَأْتِ فِيهِ ببدعة بل أَخذ أقاويل الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ وَمن بعدهمْ من الْأَئِمَّة فِي أصُول الدّين فنصرها بِزِيَادَة شرح وتبيين وَأَن مَا قَالُوا فِي الْأُصُول وَجَاء بِهِ الشَّرْع صَحِيح فِي الْعُقُول خلاف مَا زعم أهل الْأَهْوَاء من أَن بعضه لَا يَسْتَقِيم فِي الآراء فَكَانَ فِي بَيَانه تَقْوِيَة مَا لم يدل عَلَيْهِ من أهل السّنة وَالْجَمَاعَة وَنَصره أقاويل من مضى من الْأَئِمَّة كَأبي حنيفَة وسُفْيَان الثَّوْريّ من أهل الْكُوفَة وَالْأَوْزَاعِيّ وَغَيره من أهل الشَّام وَمَالك وَالشَّافِعِيّ من أهل الْحَرَمَيْنِ وَمن نجا نَحْوهمَا من الْحجاز وَغَيرهَا من سَائِر الْبِلَاد وكأحمد ابْن حَنْبَل وَغَيره من أهل الحَدِيث وَاللَّيْث بن سعد وَغَيره وَأبي عبد الله مُحَمَّد بن اسمعيل البُخَارِيّ وَأبي الْحسن مُسلم بن الْحجَّاج النَّيْسَابُورِي إمامي أهل الْآثَار وحفاظ السّنَن الَّتِي عَلَيْهَا مدَار الشَّرْع رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم أَجْمَعِينَ وَذَلِكَ دأب من تصدى من الْأَئِمَّة فِي هَذِهِ الْأمة وَصَارَ رَأْسا فِي الْعلم من أهل السّنة فِي قديم الدَّهْر  

“Kemudian sampailah giliran dakwah keturunan Sahabat Abu Musa Al Asy'ari pada guru kita, Abu Hasan Al Asy'ari. Dia tidak membuat hal baru dalam agama Allah dan juga tidak membawa suatu bid'ah, tetapi dia mengambil perkataan para Sahabat, Tabiin, dan orang-orang setelah mereka dari golongan para imam dalam masalah Ushuluddin kemudian membelanya dengan menambahi keterangan dan penjelasan. Dan [beliau membuktikan] bahwasanya apa yang mereka semua katakan dalam masalah aqidah dan apa yang sudah dibawa oleh syariat adalah benar menurut akal. Hal ini berbeda dari apa yang disangka oleh orang-orang menyimpang (ahlu al-Ahwa') yang mengatakan bahwa sebagian yang dibawa syariat tidak masuk akal. Maka dalam penjelasan beliau itu ada penguatan (taqwiyah)  yang sebelumnya tidak disadari oleh Ahlussunnah wal Jamaah.  Imam Abu Hasan Al Asy'ari juga ditolong oleh pernyataan-pernyataan para imam sebelumnya  seperti Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri dari penduduk Kufah, Al Auza'i dan lain-lain dari penduduk Syam,  Malik dan Syafi'i dari penduduk Haramain (Makkah-Madinah) dan sekelilingnya seperti Hijaz dan daerah-daerah lainnya.  Juga seperti Imam Ahmad bin hambal dan lain-lain dari kalangan ahli hadis dan Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Abi Hasan Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, dua Imam ahli hadis dan juga para penghafal Kitab Sunan yang menjadi pondasi syariat, semoga Allah meridhai mereka semua.  Begitulah kebiasaan para Imam yang muncul ke permukaan di kalangan umat ini  dan menjadi pemimpin ilmu dari kalangan Ahlussunnah sejak dahulu kala”. (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 103)

 

Jadi, yang disebut sebagai mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah sebenarnya tak lain dari metodologi (manhaj) teologis yang basis argumen rasionalnya dibentuk oleh kedua imam tersebut. Secara ajaran, tak ada yang baru dari mereka berdua sebab keduanya hanya membela ajaran ulama salaf yang sudah ada sebelum mereka.

 

Demikian uraian ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember

 

Sumber :

Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah | NU Online

 

Takwil dan Tafwidh dalam Al-Qur’an dan Hadits menurut Ahlussunnah wal Jamaah

Takwil dan tafwidh adalah dua cara yang berbeda dalam menyikapi dan memahami dalil-dalil nash Al-Qur’an dan hadits yang kalimat-kalimatnya rawan disalahpahami, sehingga akan mengakibatkan kekeliruan dalam meyakini sifat-sifat Allah swt. 


Contoh dalil-dalil nash yang Penulis maksud antara lain firman Allah swt:

وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلْجَلَٰلِ وَٱلْإِكْرَامِ

Artinya, “Dan kekal ‘wajah’ Tuhan Pemeliharamu, Pemilik keagungan dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 27).

Demikian pula firman Allah:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ 

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad saw), sebenarnya mereka berjanji setia kepada Allah. ‘Tangan’ Allah di atas tangan mereka.” (QS Al Fath: 10).


Selain itu ada pula sabda Nabi Muhammad saw riwayat Abi Hurairah ra:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ

Artinya, “Tuhan Pemelihara kita tabaraka wa ta’ala ‘turun’ ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.” (HR Al-Bukhari).

 

Dalil-dalil di atas acapkali disalahartikan bahwa Allah itu punya wajah, Allah punya tangan, dan Allah bertempat, serta kadang berpindah tempat. Tak jarang pemahaman semacam ini disuarakan oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan Ahlussunnah wal Jamaah.

 

“Allah bilang Dia duduk, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya tangan, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya wajah, kalian tidak percaya.”

 

Begitulah kata orang-orang itu ketika menarasikan kejisiman Allah swt. Tentu saja narasi semacam ini bermula dari ketidaktahuan tentang cara bersikap yang benar sesuai ajaran para ulama ketika dihadapkan pada dalil-dalil seperti di atas.

 

Takwil dan Tafwidh menurut Ahlussunnah wal Jamaah

Ulama Ahlussunnah telah mendefinisikan takwil sebagai pengalihan arti suatu kata dari makna harfiahnya dan mengarahkannya pada makna lain. Sedangkan tafwidh adalah menyerahkan sepenuhnya makna suatu kata kepada Allah swt dengan tetap memalingkannya dari makna harfiahnya.

 

Dalam contoh di atas, para ulama pentakwil akan menjelaskan bahwa maksud dari “tangan Allah” bukan anggota badan dari siku sampai ke ujung jari, melainkan kekuasaan. Sementara ulama pentafwidh juga akan berkata, maksud dari “tangan Allah” bukan anggota badan. Lalu apa maksudnya? Kita tidak tahu dan memasrahkan maksud sebenarnya kepada Allah swt.


Syekh Ibrahim Al-Laqqani telah berkata dalam Jauharatut Tauḥid:


وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيهَا ... أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيهًا


Artinya, “Setiap dalil nash yang mengesankan keserupaan (antara Allah dan makhluk-Nya), maka takwillah atau pasrahkanlah (arti sebenarnya kepada Allah) dan niatkanlah kesucian (Allah dari segala hal yang tidak pantas).” (Khamsatu Mutun fi 'Ilmit Tauḥid, [Surabaya, Al-Hidayah], halaman 14).


Lalu Syekh Ibrahim Al-Baijuri menjelaskan dalam Ḥasyiyah-nya:


وَقَوْلُه: ( أَوِّلْهُ ) أَي أَحْمِلْهُ عَلَى خِلَافِ ظَاهِرِهِ مَعَ بَيَانِ الْمَعْنَى الْمُرَادِ ... إلَى أَنْ قَالَ، ووَقَوْلُ: ( أَوْ فَوِّضْ ) أَيْ بَعْدَ التَّأْوِيلِ الْإِجْمَالِيِّ الَّذِي هُوَ: صَرْفُ اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِهِ، فَبَعْد هَذَا التَّأْوِيلِ فَوِّض الْمُرَادَ مِنَ النَّصِّ الْمُوهِم إلَيْهِ تَعَالَى


Artinya, “’Takwillah’ artinya palingkanlah dari makna harfiahnya dengan menjelaskan makna yang dimaksud. ‘Pasrahkanlah’ artinya setelah melakukan takwil secara tidak terinci (at-ta’wil al-ijmali), yakni memalingkan suatu kata dari makna harfiahnya. Setelah takwil ini, maka pasrahkanlah arti yang dimaksud dari dalil nash tersebut kepada Allah swt. (Ibrahim Al-Baijuri, Tuḥfatul Murid, [Kairo, Darus Salam: 1440/2019], halaman 156).​​​​​​​

 

Tradisi Ilmu Kalam, antara Generasi Salaf dan Khalaf

Dalam tradisi ilmu kalam dewasa ini, tafwidh sering disebut sebagai sikap yang diambil oleh generasi Salaf (para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in), sedangkan takwil adalah sikap generasi Khalaf (setelah era Tabi’it Tabi’in). Meski memiliki konsekuensi yang berbeda dalam penentuan makna yang khusus, tapi keduanya sama dalam memalingkan arti suatu kata dari makna harfiahnya (ta’wil ijmali).


Sikap takwil yang—seperti telah disebut—baru muncul pada generasi Khalaf memang ditolak sama sekali oleh sekelompok umat Islam. Tak sedikit umat Islam yang menolak untuk mentakwil dalil-dalil nash seperti yang telah dicontohkan di muka. Namun, tidak semua dari mereka menolaknya dengan bijak. 


Di antara kelompok yang menolak takwil ini ada sekelompok Muslim, seperti kelompok Salafi-Wahabi, yang pemahamannya cenderung mengarah pada tajsim (penetapan jisim pada Allah swt), karena ajaran kelompok ini yang meyakini bahwa kata “tangan” dan “wajah” dalam ayat-ayat di atas itu tetap pada arti harfiahnya tanpa perlu melakukan ta’wil ijmali. Padahal para ulama, baik dalam kalangan Ahlussunnah atau di luarnya, telah sepakat akan perlunya ta’wil ijmali, kecuali kelompok yang menetapkan jisim pada Allah (Mujassimah). 


Masih dalam kitab yang sama Syekh Ibrahim Al-Bajuri berkata:


وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إذَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ أَوْ السُّنَّةِ مَا يُشْعِرُ بِإِثْبَاتِ الْجِهَةِ أَوِ الْجِسْمِيَّة أَوِ الصُّورَةِ أَوِ الْجَوَارِح، اتَّفَقَ أَهْلُ الْحَقِّ وَغَيْرُهُمْ مَا عَدَا الْمُجَسِّمَة وَالْمُشَبِّهَة عَلَى تَأْوِيلِ ذَلِكَ؛ لِوُجُوب تَنْزِيهُهُ تَعَالَى عَمَّا دَلَّ عَلَيْهِ مَا ذُكِرَ بِحَسَبِ ظَاهِرِهِ


Artinya, “Kesimpulannya adalah jika ada teks dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengindikasikan penetapan arah, fisik, atau rupa, atau anggota badan (pada Allah swt), maka para para ulama, baik Ahussunnah wal Jamaah maupun selainnya—kecuali Mujassimah dan Musyabbihah atau kelompok yang menyerupakan (Allah dan makhluk-Nya), sepakat atas interpretasi itu (ta’wil ijmali), karena Allah swt Mahasuci dari apa yang ditunjukkan oleh lahiriah teks dalil-dalil tersebut.” (Al-Baijuri, Tuḥfatul Murid, halaman 156).


Walhasil, inti titik perbedaan antara keyakinan kita sebagai umat Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (mazhab Asy’ari dan Maturidi) dan kelompok Salafi-Wahabi adalah pada ta’wil ijmali. Wallahu a’lam.

 


Ustadz M Abdurrozzaq, Pengajar di PP Tengginah Ambunten dan Aktivis Bahtsul Masail PCNU Kabupaten Sumenep.

 

Sumber :

Takwil dan Tafwidh dalam Al-Qur’an dan Hadits menurut Ahlussunnah wal Jamaah | NU Online

 

Di bawah ini beberapa link yang berisi tentang beberapa penjelasan dan kitab-kitab   Aqidah As’ariyah :

1)    مجموع كتب في العقيدة الأشعرية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

2)    كتب في العقيدة الأشعرية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

3)    مجموع كتب في العقيدة على مذهب الأشعري : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

4)    مجموعة كتب في العقيدة الأشعرية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

5)    مجموعة من الكتب في العقيدة على منهج الأشعري وردود على الشبهات : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

6)    مجموع كتب في العقيدة الأشعرية والماتردية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

7)    كتب في العقيدة الأشعرية والردود على الوهابية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

8)    كتب في الرد على شبهات الوهابية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

9)    سعادة الدارين في الرد على الفرقتين الوهابية ومقلدة الظاهرية : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

10)   شروح جوهرة التوحيد : matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

11)  الدليل أن الأشاعرة والماتريدية هم أهل الحق اهل السنة والجماعة (alsunna.org)

12)  دار الإفتاء - الأشاعرة هم جمهور أهل السنة والجماعة (aliftaa.jo)

13)  الإمام الأكبر شيخ الأزهر : أهل السنة والجماعة هم الأشاعرة والماتريدية وأهل الحديث - YouTube

14)  ستحل المشكلة بين الأشاعرة والسلفية في هذا الفديو بإذن الله بسبب الشرح الرائع ..أرجو أن يصل إليهم - YouTube

15)  أهل السنة هم الأشاعرة والماتريدية (من كتاب إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين تصنيف خاتمة اللغويين وعمدة المحققين والمدققين الإمام الحافظ مرتضى الزبيدي الحنفي الأشعري الماتريدي المتوفى 1205 هـ) | موقع سحنون (souhnoun.com)

16)  الأزهر: أهل السنة هم الأشاعرة والماتريدية وأهل الحديث (elbalad.news)

17)  من هم أهل السنة والجماعة (darulfatwa.org.au)

18)  من هم أهل السنة والجماعة (souhnoun.com)

19)  Siapakah Ahlu Sunnah Wal Jamaah? | TanyaSyariah.com

20)  مَن هُم أهل السُّنة والجَماعة؟ – Sen Arabe

21)  تاريخية وعوامل تشكل مفهوم "أهل السنة والجماعة" ... (arabi21.com)

22)  أبو منصور الماتريدي - المعرفة (marefa.org)

23)  IUMS (iumsonline.org)

24)  من هم الأشاعرة…؟؟ (منقول) – الموقع الرسمي للدكتور وليد ابن الصلاح (drwaleedbinalsalah.com)

25)  من هم أهل السنة والجماعة على التحقيق (fatihsyuhud.org)

26)  Al-Azhar Portal - بوابة الأزهر - المركز الإعلامي بالأزهر الشريف: الإمام الأكبر نصَّ على أن أهل السنة هم الأشاعرة والماتريدية وأهل الحديث

27)  اعتقاد الساده الاشاعره هو اعتقاد اهل السنه والجماعه باجماع علماء الامه (ahlamontada.net)

28)  إذا لم تكن المملكة من أهل السنة فمن هم أهل السنة؟ (al-jazirah.com)

29)  الرد على من يزعم أن الأشاعرة ليسوا من أهل السنة - الفتاوى - دار الإفتاء المصرية - دار الإفتاء (dar-alifta.org)

30)  المراد بأهل السنة والجماعة - الفتاوى - دار الإفتاء المصرية - دار الإفتاء (dar-alifta.org)

            31)  رمي الأشاعرة بالخروج عن أهل السنة والجماعة - الفتاوى - دار الإفتاء المصرية - دار الإفتاء (dar-alifta.org) 

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: