Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah
Ketika membahas teologi Ahlussunnah wal
Jama'ah, siapa pun tak akan bisa menghindar dari nama besar mazhab Asy'ariyah
dan Maturidiyah sebab keduanya adalah representasi dari aqidah mayoritas ulama
dari masa ke masa. Akan tetapi beberapa orang kemudian salah sangka ketika
mendengar istilah "mazhab Asy'ariyah Maturidiyah". Mereka mengira
bahwa kedua mazhab ini adalah ajaran baru atau aliran baru yang berbeda dari
ajaran ulama salafus shâlih yang sudah ada sebelumnya. Benarkah
demikian?
Imam Abu Hasan al-Asy'ari lahir pada tahun
260H/873M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Sedangkan Imam Abu Mansur
al-Maturidi diperkirakan lahir antara tahun antara 233-247 H dan wafat pada
tahun 333 H/944 M. Dari tahun hidup keduanya dapat diketahui bahwa kedua imam
besar Ahlussunnah wal Jama'ah ini baru lahir setelah era empat imam mazhab yang
sudah tersohor namanya itu. Sebelum mereka berdua juga ada deretan
nama-nama besar yang menjadi representasi Ahlussunnah wal Jama'ah seperti Imam
al-Auza'i (wafat 157 H), Sufyan ats-Tsauri (Wafat 161 H), Laits bin Sa'ad
(wafat antara 170-175 H), Bukhari (wafat 256 H), Muslim (wafat 261 H),
at-Thahawi (wafat 321 H) dan banyak lainnya.
Karena itulah, ketika belakangan muncul
Imam Abu Hasan al-Asy'ari di Baghdad dan Imam Abu Mansur al-Maturidi di
Transoksania dengan argumen-argumen teologi yang mampu membungkam para ahli
bid’ah, para ulama dari berbagai golongan kemudian menisbatkan diri pada mereka
berdua sebagai bentuk dukungan. Akhirnya masyhurlah nama Asy’ariyah (pengikut
Abu Hasan al-Asy’ary) dan nama Maturidiyah (pengikut Abu Mansur al-Maturidy).
Saat itulah beberapa orang mengira ada mazhab baru yang berbeda dari
sebelumnya, padahal faktanya tidak demikian.
Imam Tajuddin as-Subky (771 H) menjelaskan duduk perkaranya sebagai berikut:
اعْلَم أَن أَبَا الْحسن لم يبدع رَأيا وَلم ينش مذهبا وَإِنَّمَا هُوَ مُقَرر لمذاهب السّلف مناضل عَمَّا كَانَت عَلَيْهِ صحابة رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فالانتساب إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ بِاعْتِبَار أَنه عقد على طَرِيق السّلف نطاقا وَتمسك بِهِ وَأقَام الْحجَج والبراهين عَلَيْهِ فَصَارَ المقتدى بِهِ فى ذَلِك السالك سَبيله فى الدَّلَائِل يُسمى أشعريا
“Ketahuilah sesungguhnya Abu Hasan tak
memulai sebuah pendapat baru dan tak memunculkan sebuah mazhab. Itu tak lain
hanya merupakan penguatan terhadap mazhab salaf. Dia membela apa yang diyakini
sahabat Rasulullah ﷺ. Maka penisbatan diri pada beliau tak lain hanyalah pengakuan
bahwa beliau mengikuti jalan salaf, berbicara dan berpegang teguh dengannya,
mendirikan hujjah dan bukti-bukti atasnya. Maka yang mengikuti beliau dan
menempuh jalan beliau itu dalam dalil-dalil disebutlah seorang Asy’ariyah”.
(Tajuddin as-Subky, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz III, halaman 365)
Jauh sebelumnya, Imam al-Hafidz Ibnu Asakir (571 H) juga menjelaskan hal serupa. Ia berkata:
فنسب من تعلق الْيَوْم بِمذهب أهل السّنة وتفقه فِي معرفَة أصُول الدّين من سَائِر الْمذَاهب إِلَى الْأَشْعَرِيّ لِكَثْرَة تواليفه وَكَثْرَة قِرَاءَة النَّاس لَهَا وَلم يكن هُوَ أول مُتَكَلم بِلِسَان أهل السّنة إِنَّمَا جرى على سنَن غَيره وعَلى نصْرَة مَذْهَب مَعْرُوف فَزَاد الْمَذْهَب حجَّة وبيانًا وَلم يبتدع مقَالَة اخترعها وَلَا مذهبا انْفَرد بِهِ ألا ترى أَن مَذْهَب أهل الْمَدِينَة ينْسب إِلَى مَالك بن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمن كَانَ على مَذْهَب أهل الْمَدِينَة يُقَال لَهُ مالكي وَمَالك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّمَا جرى على سنَن من كَانَ قبله وَكَانَ كثير الإتباع لَهُم إِلَّا أَنه زَاد الْمَذْهَب بَيَانا وبسطًا وَحجَّة وشرحًا وَألف كِتَابه الْمُوَطَّأ وَمَا أَخذ عَنهُ من الأسمعة والفتاوى فنسب الْمَذْهَب إِلَيْهِ لِكَثْرَة بَسطه لَهُ وَكَلَامه فِيهِ فَكَذَلِك أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا فرق
“Maka hari ini orang-orang yang bergantung
pada mazhab Ahlussunnah dan belajar pengetahuan Ushuluddin dari semua mazhab
disandarkan kepada al-Asy'ari karena banyaknya karya beliau dan banyaknya
bacaan orang-orang terhadap karya tersebut. Dia bukanlah Ahli Kalam pertama
yang berbicara dengan lidah Ahlussunnah akan tetapi dia hanya mengikuti tradisi
orang-orang sebelumnya untuk menolong mazhab yang sudah diketahui (mazhab
salaf) sehingga mazhab tersebut bertambah kekuatan argumen dan penjelasannya.
Dia tidak membuat suatu pernyataan baru dan juga tidak membuat suatu mazhab
independen. Bukankah engkau melihat bahwa mazhab Ahli Madinah disandarkan
kepada Imam Malik bin Anas sehingga orang yang mengikuti mazhab Ahli Madinah
disebut seorang Maliky, padahal Malik hanya mengikuti tradisi orang sebelumnya.
Hanya saja beliau menambah mazhab tersebut dengan keterangan dan penjelasan
argumentatif dan juga mengarang kitab al-Muwatta. Dan apa yang dinukil dari
Imam Malik meliputi ucapan atau fatwa kemudian disandarkan sebagai mazhab
kepadanya karena ialah yang banyak menjelaskan dan berbicara tentang hal itu.
Demikian juga Abu Hasan Al Asy'ari tiada bedanya”. (Ibnu Asakir, Tabyîn
Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 117-118)
Satu abad sebelum Imam Ibnu Asakir, Imam al-Hafidz al-Baihaqy (458 H) juga menjelaskan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ary hanyalah membela mazhab para tokoh ulama salaf saja dengan menambahi berbagai keterangan sehingga memperkuat argumen mereka. Ia berkata:
إِلَى أَن بلغت النّوبَة إِلَى شيخنَا أَبِي الْحسن الْأَشْعَرِيّ رَحْمَة اللَّه فَلم يحدث فِي دين اللَّه حَدثا وَلم يَأْتِ فِيهِ ببدعة بل أَخذ أقاويل الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ وَمن بعدهمْ من الْأَئِمَّة فِي أصُول الدّين فنصرها بِزِيَادَة شرح وتبيين وَأَن مَا قَالُوا فِي الْأُصُول وَجَاء بِهِ الشَّرْع صَحِيح فِي الْعُقُول خلاف مَا زعم أهل الْأَهْوَاء من أَن بعضه لَا يَسْتَقِيم فِي الآراء فَكَانَ فِي بَيَانه تَقْوِيَة مَا لم يدل عَلَيْهِ من أهل السّنة وَالْجَمَاعَة وَنَصره أقاويل من مضى من الْأَئِمَّة كَأبي حنيفَة وسُفْيَان الثَّوْريّ من أهل الْكُوفَة وَالْأَوْزَاعِيّ وَغَيره من أهل الشَّام وَمَالك وَالشَّافِعِيّ من أهل الْحَرَمَيْنِ وَمن نجا نَحْوهمَا من الْحجاز وَغَيرهَا من سَائِر الْبِلَاد وكأحمد ابْن حَنْبَل وَغَيره من أهل الحَدِيث وَاللَّيْث بن سعد وَغَيره وَأبي عبد الله مُحَمَّد بن اسمعيل البُخَارِيّ وَأبي الْحسن مُسلم بن الْحجَّاج النَّيْسَابُورِي إمامي أهل الْآثَار وحفاظ السّنَن الَّتِي عَلَيْهَا مدَار الشَّرْع رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم أَجْمَعِينَ وَذَلِكَ دأب من تصدى من الْأَئِمَّة فِي هَذِهِ الْأمة وَصَارَ رَأْسا فِي الْعلم من أهل السّنة فِي قديم الدَّهْر
“Kemudian sampailah giliran dakwah
keturunan Sahabat Abu Musa Al Asy'ari pada guru kita, Abu Hasan Al Asy'ari. Dia
tidak membuat hal baru dalam agama Allah dan juga tidak membawa suatu bid'ah,
tetapi dia mengambil perkataan para Sahabat, Tabiin, dan orang-orang setelah
mereka dari golongan para imam dalam masalah Ushuluddin kemudian membelanya
dengan menambahi keterangan dan penjelasan. Dan [beliau membuktikan] bahwasanya
apa yang mereka semua katakan dalam masalah aqidah dan apa yang sudah dibawa
oleh syariat adalah benar menurut akal. Hal ini berbeda dari apa yang disangka
oleh orang-orang menyimpang (ahlu al-Ahwa') yang mengatakan bahwa sebagian yang
dibawa syariat tidak masuk akal. Maka dalam penjelasan beliau itu ada penguatan
(taqwiyah) yang sebelumnya tidak disadari oleh Ahlussunnah wal
Jamaah. Imam Abu Hasan Al Asy'ari juga ditolong oleh
pernyataan-pernyataan para imam sebelumnya seperti Abu Hanifah dan Sufyan
ats-Tsauri dari penduduk Kufah, Al Auza'i dan lain-lain dari penduduk
Syam, Malik dan Syafi'i dari penduduk Haramain (Makkah-Madinah) dan
sekelilingnya seperti Hijaz dan daerah-daerah lainnya. Juga seperti Imam
Ahmad bin hambal dan lain-lain dari kalangan ahli hadis dan Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Abi Hasan Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi,
dua Imam ahli hadis dan juga para penghafal Kitab Sunan yang menjadi pondasi
syariat, semoga Allah meridhai mereka semua. Begitulah kebiasaan para
Imam yang muncul ke permukaan di kalangan umat ini dan menjadi pemimpin
ilmu dari kalangan Ahlussunnah sejak dahulu kala”. (Ibnu Asakir, Tabyîn
Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 103)
Jadi, yang disebut sebagai mazhab
Asy’ariyah atau Maturidiyah sebenarnya tak lain dari metodologi (manhaj)
teologis yang basis argumen rasionalnya dibentuk oleh kedua imam tersebut.
Secara ajaran, tak ada yang baru dari mereka berdua sebab keduanya hanya
membela ajaran ulama salaf yang sudah ada sebelum mereka.
Demikian uraian ini, semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam.
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU
Center PCNU Jember
Sumber
:
Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah |
NU Online
Takwil dan Tafwidh dalam
Al-Qur’an dan Hadits menurut Ahlussunnah wal Jamaah
Takwil dan tafwidh adalah dua cara
yang berbeda dalam menyikapi dan memahami dalil-dalil nash Al-Qur’an dan
hadits yang kalimat-kalimatnya rawan disalahpahami, sehingga akan
mengakibatkan kekeliruan dalam meyakini sifat-sifat Allah swt.
Contoh dalil-dalil nash yang
Penulis maksud antara lain firman Allah swt:
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلْجَلَٰلِ وَٱلْإِكْرَامِ
Artinya, “Dan kekal ‘wajah’ Tuhan Pemeliharamu, Pemilik keagungan dan
kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 27).
Demikian pula firman Allah:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ
ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia
kepadamu (Nabi Muhammad saw), sebenarnya mereka berjanji setia kepada Allah.
‘Tangan’ Allah di atas tangan mereka.” (QS Al Fath: 10).
Selain itu ada pula sabda Nabi Muhammad saw riwayat Abi Hurairah ra:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ
Artinya, “Tuhan Pemelihara kita tabaraka
wa ta’ala ‘turun’ ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam
terakhir.” (HR Al-Bukhari).
Dalil-dalil di
atas acapkali disalahartikan bahwa Allah itu punya wajah, Allah punya tangan,
dan Allah bertempat, serta kadang berpindah tempat. Tak
jarang pemahaman semacam ini disuarakan oleh orang-orang yang tidak
sepaham dengan Ahlussunnah wal Jamaah.
“Allah bilang Dia
duduk, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya tangan, kalian tidak
percaya. Allah bilang Dia punya wajah, kalian tidak percaya.”
Begitulah kata
orang-orang itu ketika menarasikan kejisiman Allah swt. Tentu saja narasi
semacam ini bermula dari ketidaktahuan tentang cara bersikap yang benar sesuai
ajaran para ulama ketika dihadapkan pada dalil-dalil seperti di atas.
Takwil dan Tafwidh
menurut Ahlussunnah wal Jamaah
Ulama Ahlussunnah
telah mendefinisikan takwil sebagai pengalihan arti suatu kata dari makna
harfiahnya dan mengarahkannya pada makna lain. Sedangkan tafwidh adalah menyerahkan
sepenuhnya makna suatu kata kepada Allah swt dengan tetap memalingkannya dari
makna harfiahnya.
Dalam contoh di
atas, para ulama pentakwil akan menjelaskan bahwa maksud dari “tangan Allah”
bukan anggota badan dari siku sampai ke ujung jari, melainkan kekuasaan.
Sementara ulama pentafwidh
juga akan berkata, maksud dari “tangan Allah” bukan anggota badan. Lalu apa
maksudnya? Kita tidak tahu dan memasrahkan maksud sebenarnya kepada Allah swt.
Syekh Ibrahim Al-Laqqani telah berkata dalam Jauharatut
Tauḥid:
وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيهَا ... أَوِّلْهُ أَوْ
فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيهًا
Artinya, “Setiap dalil nash yang mengesankan keserupaan (antara Allah dan
makhluk-Nya), maka takwillah atau pasrahkanlah (arti sebenarnya kepada Allah)
dan niatkanlah kesucian (Allah dari segala hal yang tidak pantas).” (Khamsatu Mutun fi 'Ilmit Tauḥid,
[Surabaya, Al-Hidayah], halaman 14).
Lalu Syekh Ibrahim Al-Baijuri menjelaskan dalam Ḥasyiyah-nya:
وَقَوْلُه: ( أَوِّلْهُ ) أَي أَحْمِلْهُ عَلَى خِلَافِ
ظَاهِرِهِ مَعَ بَيَانِ الْمَعْنَى الْمُرَادِ ... إلَى أَنْ قَالَ، ووَقَوْلُ: (
أَوْ فَوِّضْ ) أَيْ بَعْدَ التَّأْوِيلِ الْإِجْمَالِيِّ الَّذِي هُوَ: صَرْفُ
اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِهِ، فَبَعْد هَذَا التَّأْوِيلِ فَوِّض الْمُرَادَ مِنَ
النَّصِّ الْمُوهِم إلَيْهِ تَعَالَى
Artinya, “’Takwillah’ artinya palingkanlah dari makna harfiahnya dengan
menjelaskan makna yang dimaksud. ‘Pasrahkanlah’ artinya setelah melakukan
takwil secara tidak terinci (at-ta’wil
al-ijmali), yakni memalingkan suatu kata dari makna harfiahnya.
Setelah takwil ini, maka pasrahkanlah arti yang dimaksud dari dalil nash tersebut kepada Allah
swt. (Ibrahim Al-Baijuri, Tuḥfatul Murid, [Kairo, Darus Salam: 1440/2019],
halaman 156).
Tradisi Ilmu Kalam,
antara Generasi Salaf dan Khalaf
Dalam tradisi
ilmu kalam dewasa ini, tafwidh
sering disebut sebagai sikap yang diambil oleh generasi Salaf (para Sahabat,
Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in), sedangkan takwil adalah sikap generasi Khalaf (setelah era
Tabi’it Tabi’in). Meski memiliki konsekuensi yang berbeda dalam penentuan makna
yang khusus, tapi keduanya sama dalam memalingkan arti suatu kata dari makna
harfiahnya (ta’wil ijmali).
Sikap takwil yang—seperti telah disebut—baru muncul pada generasi Khalaf memang ditolak
sama sekali oleh sekelompok umat Islam. Tak sedikit umat Islam yang
menolak untuk mentakwil dalil-dalil nash
seperti yang telah dicontohkan di muka. Namun, tidak semua dari
mereka menolaknya dengan bijak.
Di antara kelompok yang menolak takwil ini ada sekelompok Muslim, seperti
kelompok Salafi-Wahabi, yang pemahamannya cenderung mengarah pada tajsim (penetapan jisim
pada Allah swt), karena ajaran kelompok ini yang meyakini bahwa kata “tangan”
dan “wajah” dalam ayat-ayat di atas itu tetap pada arti harfiahnya tanpa perlu
melakukan ta’wil ijmali.
Padahal para ulama, baik dalam kalangan Ahlussunnah atau di luarnya, telah
sepakat akan perlunya ta’wil
ijmali, kecuali kelompok yang menetapkan jisim pada Allah
(Mujassimah).
Masih dalam kitab yang sama Syekh Ibrahim Al-Bajuri berkata:
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إذَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ أَوْ
السُّنَّةِ مَا يُشْعِرُ بِإِثْبَاتِ الْجِهَةِ أَوِ الْجِسْمِيَّة أَوِ
الصُّورَةِ أَوِ الْجَوَارِح، اتَّفَقَ أَهْلُ الْحَقِّ وَغَيْرُهُمْ مَا عَدَا
الْمُجَسِّمَة وَالْمُشَبِّهَة عَلَى تَأْوِيلِ ذَلِكَ؛ لِوُجُوب تَنْزِيهُهُ
تَعَالَى عَمَّا دَلَّ عَلَيْهِ مَا ذُكِرَ بِحَسَبِ ظَاهِرِهِ
Artinya, “Kesimpulannya adalah jika ada teks dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah
yang mengindikasikan penetapan arah, fisik, atau rupa, atau anggota badan (pada
Allah swt), maka para para ulama, baik Ahussunnah wal Jamaah
maupun selainnya—kecuali Mujassimah
dan Musyabbihah atau
kelompok yang menyerupakan (Allah dan makhluk-Nya), sepakat atas interpretasi
itu (ta’wil ijmali),
karena Allah swt Mahasuci dari apa yang ditunjukkan oleh lahiriah teks
dalil-dalil tersebut.” (Al-Baijuri, Tuḥfatul
Murid, halaman 156).
Walhasil, inti titik perbedaan antara keyakinan kita sebagai umat Islam yang
menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (mazhab Asy’ari dan Maturidi) dan
kelompok Salafi-Wahabi adalah pada ta’wil
ijmali. Wallahu
a’lam.
Ustadz M Abdurrozzaq, Pengajar di PP Tengginah Ambunten
dan Aktivis Bahtsul Masail PCNU Kabupaten Sumenep.
Sumber :
Takwil dan Tafwidh dalam
Al-Qur’an dan Hadits menurut Ahlussunnah wal Jamaah | NU Online
Di bawah ini beberapa link yang berisi
tentang beberapa penjelasan dan kitab-kitab Aqidah
As’ariyah :
1)
مجموع كتب في
العقيدة الأشعرية
: matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive
2)
كتب في العقيدة الأشعرية : matnawi : Free Download,
Borrow, and Streaming : Internet Archive
4)
مجموعة كتب في
العقيدة الأشعرية
: matnawi : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive
8)
كتب في الرد على شبهات الوهابية : matnawi : Free Download,
Borrow, and Streaming : Internet Archive
10) شروح جوهرة التوحيد : matnawi : Free Download,
Borrow, and Streaming : Internet Archive
11) الدليل أن الأشاعرة والماتريدية
هم أهل الحق اهل السنة والجماعة
(alsunna.org)
12) دار الإفتاء -
الأشاعرة هم جمهور أهل السنة والجماعة
(aliftaa.jo)
13) الإمام الأكبر شيخ الأزهر : أهل السنة
والجماعة هم الأشاعرة والماتريدية وأهل الحديث - YouTube
16) الأزهر: أهل السنة
هم الأشاعرة والماتريدية وأهل الحديث
(elbalad.news)
17) من هم أهل السنة
والجماعة
(darulfatwa.org.au)
18) من هم أهل السنة
والجماعة
(souhnoun.com)
19) Siapakah Ahlu Sunnah Wal Jamaah? |
TanyaSyariah.com
20) مَن هُم أهل السُّنة
والجَماعة؟
– Sen Arabe
21) تاريخية وعوامل تشكل
مفهوم "أهل السنة والجماعة" ... (arabi21.com)
22) أبو منصور الماتريدي
- المعرفة
(marefa.org)
24) من هم الأشاعرة…؟؟
(منقول) – الموقع الرسمي للدكتور وليد ابن الصلاح (drwaleedbinalsalah.com)
25) من هم أهل السنة
والجماعة على التحقيق
(fatihsyuhud.org)
27) اعتقاد الساده الاشاعره هو اعتقاد اهل
السنه والجماعه باجماع علماء الامه
(ahlamontada.net)
28) إذا لم تكن المملكة من أهل
السنة فمن هم أهل السنة؟
(al-jazirah.com)
30) المراد بأهل السنة
والجماعة - الفتاوى - دار الإفتاء المصرية - دار الإفتاء (dar-alifta.org)