BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Mata Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan Kewarganegaraan
atau disingkat PKn merupakan bidang kajian yang bersifat multifaset yang bidang keilmuannya bersifat interdisipliner,
multidisipliner bahkan multidimensional. Namun,
menurut seorang hali ilmu politik yang bernama Chreshore (1886), secara
filsafat keilmuan ia berasal dari ilmu politik khususnya dari konsep “political democracy” untuk aspek “duties and rights of citizen”. Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil
dari bahasa Latin “civicus” yang
artinya warga negara
pada jaman Yunani
kuno, yang kemudian
diakui secara akademis
sebagai embrionya “civic education”, yang
selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn).
Dari sudut pandang epistemologis, menurut Barr,
Barrt, dan Shermis (1978), PKn
sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima
tradisi “social studies” yakni “citizenship transmission”. Saat ini
tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “body of knowledge” yang dikenal dan memiliki paradigma sistemik
yang didalamnya terdapat tiga domain “citizenship education” yakni: domain akademis, domain kurikuler,
dan domain sosial kultural” (Winataputra:2001)
Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang menurut
Center for Civic Education
(1998) di Amerika
Serikat diikat oleh konsepsi
kebajikan dan budaya kewarganegaraan (civic
virtue and culture) yang mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), watak kewarganegaraan (civic disposition), keterampilan
kewarganegaraan (civic skills), kepercayaan
kewarganegaraan (civic confidence), komitmen
kewarganegaraan (civic commitment), dan
kompetensi kewarganegaraan (civic
competence). Oleh karena itu, ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari
pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan
aktivitas sosial-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat
multifaset/multidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat
bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan
politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan
kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak
azasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Kemana arah pengembangan PKn di Indonesia? Hal itu tergantung
dari aspek ontology mana kita
berangkat, dengan metode kerja epistemology
mana pengetahuan itu dibangun, dan untuk arah tujuan aksiologis mana kegiatan
itu akan membawa implikasi. Bagi negara kita, Indonesia, arah
pengembangan PKn tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan
konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-undang Sisdiknas yang
berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003.
Mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah dasar , ruang
lingkupnya meliputi
aspek-aspek sebagai berikut; 1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun
dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah
Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, PartisPKnsi dalam
pembelaan negara, Sikap positif terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan,
2) Norma, hukum dan peraturan,
meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga,
Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan
daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional,
3) Hak asasi manusia meliputi: Hak
dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM, 4) Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong,
Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan
kedudukan warga negara, 5) Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi
yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang
pernah digunakan di Indonesia, Hubungan
dasar negara dengan konstitusi, 6) Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik,
Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam
masyarakat demokrasi, 7) Pancasila
meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi
terbuka, dan 8) Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik
luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan
internasional dan organisasi internasional,
dan Mengevaluasi globalisasi.
Mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut; 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam
menanggapi isu kewarganegaraan, 2) BerpartisPKnsi secara aktif dan bertanggung jawab, dan
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta anti-korupsi, 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya, dan 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan
dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh Mata
Pelajaran PKn, maka guru harus mampu menciptakan kegiatan pembelajaran yang memancing
siswa agar berusaha menemukan sendiri pemahamannya melalui berbagai pengalaman
belajar yang harus dialaminya. pendekatan pembelajaran yang tepat, dan media
pembelajaran yang relevan dengan materi PKn yang akan diajarkan. Siswa belajar PKn
dengan mencoba dan menemukan sendiri, sehingga siswa akan merasa tertarik dan
dapat memperkuat kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor serta tujuan
pembelajaran PKn di Sekolah Dasar dapat tercapai. Bentuk program pembelajaran PKn
di Sekolah Dasar kini menempatkan siswa sebagai pembangun pengetahuan dari
pengalamannya sendiri, baik melalui pengalaman mengerjakan sesuatu maupun
berfikir. Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
diharapkan adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Kegiatan belajar
berpusat pada siswa (student centered learning), sedangkan guru hanya sebagai
motivator dan fasilitator, sehingga suasana kelas bias lebih hidup.
Hasil
pengamatan awal yang dilakukan peneliti, diperoleh informasi bahwa pembelajaran
PKn di kelas V SDN Rombuh 1 Kecamatan Palengaan masih
dititikberatkan pada penguasaan konsep saja. Proses pembelajaran di kelas
kurang meningkatkan kreativitas siswa. Proses pembelajaran
masih dominan menggunakan metode konvensional secara monoton di kelas, sehingga
suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh guru (teacher centered
learning). Proses pembelajaran yang dilakukan cenderung pada pencapaian target
materi kurikulum (subject centered design), dan lebih mementingkan pada penghafalan
konsep bukan pada pemahaman. Guru menyampaikan materi dengan metode ceramah,
dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya, sehingga
ketika siswa diminta untuk bertanya oleh guru banyak yang tidak melakukannya.
Hal ini karena siswa kurang termotivasi untuk lebih aktif mengutarakan
pendapat, ide, gagasan, pertanyaan dan kesulitan-kesulitan maupun hal-hal yang
belum dipahami selama pelajaran berlangsung. Suasana pembelajaran menjadi tidak
kondusif, minat belajar dan aktifitas siswa dalam pembelajaran PKn masih sangat
kurang, sehingga proses dan hasil belajar juga sangat rendah. Proses
pembelajaran dan hasil belajar PKn yang sangat rendah merupakan suatu
permasalahan yang harus segera diatasi.
Hasil analisis terhadap nilai ulangan
harian dan ulangan akhir semester I tahun 2015/2016 siswa kelas V SDN Rombuh 1
Kecamatan Rombuh Kabupaten Palengaan pada mata pelajaran PKN belum mencapai
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan yaitu ≥ 60. Hasil Ulangan
Akhir Semester I tahun 2015/2016 siswa kelas V SDN Rombuh 1 Kecamatan Palengaan
Kabupaten Pamekasan, pada mata pelajaran PKn diperoleh nilai terendah 50, nilai
tertinggi 85 dan nilai rata-rata 68. Dari 19 siswa yang mencapai KKM hanya 5
siswa. Rendahnya proses dan hasil belajar PKn siswa disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya adalah :
·
Pembelajaran PKn
pada kelas V masih menggunakan metode konvensional.
·
Pemilihan
pendekatan dan strategi pembelajaran belum sesuai dengan tujuan pembelajaran.
·
Kurangnya kreasi
guru dengan membuat media pembelajaran sederhana dan nyata yang bisa digunakan
dalam pembelajaran.
·
Belum
terlibatnya siswa di saat proses pembelajaran secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
·
Belum adanya
kesadaran bagi siswa untuk bekerja secara kelompok pada saat pembelajaran.
·
Nilai hasil
belajar PKn belum memuaskan.
Oleh karena itu diperlukan adanya beberapa
solusi pembelajaran yang tepat, baik pada aspek proses pembelajaran maupun
penggunaan media pembelajaran. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah
diuraikan di atas, peneliti akan memberikan batasan masalah sebagai ruang
lingkup dari penelitian ini, yaitu “Pemilihan pendekatan dan strategi
pembelajaran belum sesuai dengan tujuan pembelajaran”.
Pemilihan pendekatan dan strategi Pembelajaran adalah solusi yang harus dilakukan untuk
mengatasi permasalahan di kelas, karena selama ini siswa mendapatkan
pengetahuannya secara konseptual saja,
itupun diperoleh hanya melalui ceramah, karena ada anggapan bahwa cara tersebut
lebih efektif dan efisien, sedangkan usaha siswa untuk menemukan sendiri
pemahamannya melalui kondisi mengalami yang harus dilakukan siswa belum pernah
dilakukan oleh guru. Oleh karena itu peneliti harus berusaha memodifikasi
beberapa pendekatan pembelajaran yang akan mengkondisikan siswa untuk menemukan
sendiri pemahamannya melalui kegiatan pembelajaran.
Proses pembelajaran
merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka pendekatan
pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu
komponen sistem pembelajaran. Tanpa pendekatan pembelajaran yang relevan,
komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses
komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal. sebab,
pendekatan pembelajaran adalah komponen integral dari sistem pembelajaran.
Untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang efektif dan efisien, maka peneliti
memodifikasi sebuah pendekatan pembelajaran yang diberi nama “Pendekatan
Pembelajaran IKSAN”.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN
merupakan Pendekatan Pembelajaran yang bertujuan untuk membuat suasana kelas
menjadi lebih menyenangkan dan bersemangat dalam belajar. Terkait belum
berhasilnya pembelajaran PKN di SDN Rombuh 1, peneliti berupaya untuk
menerapkan Pendekatan Pembelajaran IKSAN sebagai salah satu pembelajaran
bermakna yang bermuara pada kegiatan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan serta berpusat pada siswa.
Kata “IKSAN” adalah
singkatan dari inkuiri, kreatif, sosial, aktif, dan nyata. Baik Inkuiri,
kreatif, sosial maupun aktif adalah pembelajaran yang berorientasi pada teori
pembelajaran konstruktivistik, artinya, dalam pembelajaran IKSAN diharapkan
agar siswa melibatkan secara maksimal seluruh kemampuannya untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pada saat terjadi
kegiatan mencari dan menyelidiki akan muncul kreativitas siswa. Kreativitas
akan lebih kuat lagi bila siswa bekerja dalam kelompok, sehingga akan muncul
hubungan interaktif antar siswa yang saling memberikan masukan pengetahuan dan
pemahaman diantara mereka. Kejadian ini akan menumbuhkan suasana aktif dari
masing-masing siswa, yang pada akhirnya siswa akan menemukan kenyataan
kebenaran dari pengetahuan yang diperolehnya.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN
merupakan salah satu Pendekatan Pembelajaran yang dapat direkomendasikan untuk
meningkatkan proses dan hasil belajar PKN. Pendekatan Pembelajaran ini
menempatkan siswa sebagai subyek yang aktif baik secara fisik maupun mental
dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam. Siswa diberi kesempatan untuk
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri menjadi sebuah konsep PKN sehingga
konsep yang dikuasai siswa dapat bertahan lama. Guru mengaitkan materi yang
dipelajari dengan pengalaman nyata dan aplikasinya untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN
memiliki keunggulan dibandingkan dengan Pendekatan Pembelajaran yang lain.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN merupakan bentuk inovasi pengubahan
bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.
Pembelajaran IKSAN sebagai salah satu alternatif pembaruan pembelajaran,
menyajikan petunjuk praktis dan spesifik untuk menciptakan lingkungan
belajar yang efektif, bagaimana merancang pembelajaran, menyampaikan bahan
pembelajaran, dan bagaimana menyederhanakan proses belajar sehingga memudahkan
belajar siswa. Pendekatan Pembelajaran IKSAN ini sangat menekankan pada
percepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan yang sangat tinggi,
memusatkan perhatian siswa pada interaksi yang bermakna, menempatkan nilai dan
keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran dan mengutamakan
keberagaman dan kebebasan dalam pembelajaran. Pendekatan Pembelajaran IKSAN
ini diharapakan mampu menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi rendahnya
proses dan hasil belajar PKN khususnya pada siswa kelas V SDN Rombuh 1
Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.
Berdasarkan latar belakang
masalah diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian tindakan kelas dengan
judul “Upaya Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar PKN Dengan Menggunakan Media
Pembelajaran Faktual dan Pendekatan Pembelajaran IKSAN Pada Siswa Kelas
V SDN Rombuh 1 Kecamatan Palengaan Kabupaten Palengaan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana meningkatkan proses dan hasil belajar PKn Dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran IKSAN pada siswa kelas V SDN Rombuh 1 Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan ?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
Pendekatan Pembelajaran IKSAN dalam meningkatkan
proses dan hasil belajar PKn pada siswa kelas V SDN Rombuh 1 Kecamatan
Palengaan Kabupaten Pamekasan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a.
Hasil penelitian
ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi mengenai berbagai hal yang
berkaitan dengan pendekatan pembelajaran
IKSAN untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran PKn.
b.
Hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai pijakan dan pedoman untuk mengembangkan
penelitian-penelitian yang menerapkan pendekatan pembelajaran IKSAN.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi Peneliti
Sebagai bahan informasi seberapa besar peningkatan
proses dan hasil belajar PKn melalui pendekatan pembelajaran IKSAN.
b.
Bagi Guru
1)
Memberikan
arahan dan pedoman dalam proses belajar mengajar yang berkaitan dengan variasi
pembelajaran agar proses dan hasil belajar siswa baik.
2)
Sumbangan
pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan pendekatan yang tepat.
3)
Membantu guru
meningkatkan proses pembelajaran di kelasnya, sebagai upaya meningkatkan proses
dan hasil belajar siswa.
4)
Hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai gambaran bagaimana penerapan pembelajaran PKN
melalui pendekatan pembelajaran IKSAN.
c.
Bagi Siswa
Dapat menambah dan memperluas wawasan dan pengalaman
belajar bagi siswa kelas V SDN Rombuh 1 Kecamatan Palengaan Kabupaten
Pamekasan.
d.
Bagi Sekolah
Sebagai sumbangan pemikiran untuk usaha-usaha
peningkatan kualitas pembelajaran PKN di Sekolah Dasar, khususnya SDN Rombuh 1
Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.
1.5 Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan tindakan dalam
penelitian ini membutuhkan acuan untuk mempertimbangkan hasil yang akan dicapai
setelah dilakukan tindakan. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah:
a.
Terjadi
peningkatan proses pembelajaran pada indikator inkuiri, kreatifitas, kelompok
belajar dan aktifitas dengan pencapaian 65% dari 100% target yang diharapkan.
b.
Terjadi
peningkatan nilai rata-rata tes akhir siklus siswa dari tes akhir siklus I ke
siklus selanjutnya.
- Persentase nilai rata-rata tes
akhir siklus siswa untuk setiap indikator kreativitas mengalami
peningkatan dan minimal dalam kategori tinggi.
- Ketuntasan
belajar siswa dalam satu kelas telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal,
yaitu minimal 60% dari jumlah siswa dalam satu kelas telah mencapai
ketuntasan belajar individu dan minimal dalam kategori tinggi. Ketuntasan belajar individu yang telah
ditetapkan SDN Rombuh 1 untuk mata pelajaran PKN, yaitu jika nilai siswa
minimal 65.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Pembelajaran IKSAN (Inkuiri, Kreatif, Sosial, Aktif, dan Nyata).
Kata “IKSAN” adalah
singkatan dari inkuiri, kreatif, sosial, aktif, dan nyata. Baik Inkuiri,
kreatif, sosial maupun aktif adalah pembelajaran yang berorientasi pada teori
pembelajaran konstruktivistik, artinya, dalam pembelajaran IKSAN diharapkan
agar siswa melibatkan secara maksimal seluruh kemampuannya untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pada saat terjadi
kegiatan mencari dan menyelidiki akan muncul kreativitas siswa. Kreativitas
akan lebih kuat lagi bila siswa bekerja dalam kelompok, sehingga akan muncul
hubungan interaktif antar siswa yang saling memberikan masukan pengetahuan dan
pemahaman diantara mereka. Kejadian ini akan menumbuhkan suasana aktif dari
masing-masing siswa, yang pada akhirnya siswa akan menemukan kenyataan
kebenaran dari pengetahuan yang diperolehnya.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN
merupakan salah satu Pendekatan Pembelajaran yang dapat direkomendasikan untuk
meningkatkan proses dan hasil belajar PKN. Pendekatan Pembelajaran ini
menempatkan siswa sebagai subyek yang aktif baik secara fisik maupun mental
dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam. Siswa diberi kesempatan untuk
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri menjadi sebuah konsep PKN sehingga
konsep yang dikuasai siswa dapat bertahan lama. Guru mengaitkan materi yang
dipelajari dengan pengalaman nyata dan aplikasinya untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN memiliki keunggulan
dibandingkan dengan Pendekatan Pembelajaran yang lain. Pendekatan Pembelajaran IKSAN
merupakan bentuk inovasi pengubahan bermacam-macam interaksi yang
ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Pembelajaran IKSAN sebagai
salah satu alternatif pembaruan pembelajaran, menyajikan petunjuk
praktis dan spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif,
bagaimana merancang pembelajaran, menyampaikan bahan pembelajaran, dan
bagaimana menyederhanakan proses belajar sehingga memudahkan belajar siswa.
Pendekatan Pembelajaran IKSAN ini sangat menekankan pada percepatan
pembelajaran dengan taraf keberhasilan yang sangat tinggi, memusatkan perhatian
siswa pada interaksi yang bermakna, menempatkan nilai dan keyakinan sebagai
bagian penting proses pembelajaran dan mengutamakan keberagaman dan kebebasan
dalam pembelajaran.
Pendekatan
pembelajaran IKSAN ini dilandasi oleh beberapa teori dan kajian yang akan
dipaparkan di bawah ini ;
2.1.1
Pembelajaran
Inkuiri
"Inquiry"
didefinisikan sebagai mencari
kebenaran, informasi, atau pengetahuan. Mencari informasi dengan mempertanyakan, melakukan
proses penyelidikan dari saat mereka lahir sampai mereka mati. Hal ini benar
meskipun mereka mungkin tidak merefleksikan proses. Bayi mulai memahami dunia
dengan bertanya. Sejak lahir, bayi mengamati wajah-wajah yang mendekati, mereka
memahami benda, mereka meletakkan segala sesuatu dalam mulut mereka, dan mereka
berpaling ke arah suara. Proses bertanya dimulai dengan mengumpulkan informasi
dan data melalui penerapan indera manusia-melihat, mendengar, menyentuh, mencicipi, dan membau . (http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/inquiry/).
Pembelajaran Berbasis Inquiry (IBL), Sebagai kegiatan pembelajaran, IBL mengacu pada kegiatan siswa di mana mereka mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang ide-ide ilmiah serta pemahaman tentang bagaimana para ilmuwan mempelajari alam dunia (Anderson, 2002). Ide pertama pada instruksi ilmu dibangun pada percobaan laboratorium. Ide-ide ini termasuk kegiatan yang melakukan pengamatan langsung, manipulasi dan transferensi pengetahuan. Namun, Sesuai dengan pandangan John Dewey pendidikan (di 1910-an), ide-ide ini memiliki beragam bentuk pengetahuan pemindahan proses atau metode untuk belajar. Dengan perspektif baru, Robert Karplus (Dalam 1950-an dan 1960-an) dari Universitas CaliforniaBerkeley diusulkan dan pertama kali digunakan IBL sebagai model pengajaran ilmu bernama siklus belajar. Ini Metode pengajaran ilmu baru disarankan guru untuk menyajikan sains sebagai penyelidikan dan siswa bekerja di laboratorium sebelum diperkenalkan ke penjelasan formal ilmiah konsep dan kepala sekolah oleh Pendidik Joseph Schwab (Dalam 1960) (NRC, 2000). Metode ini lagi diresmikan oleh Marsekal Herron (tahun 1971), yang mengembangkan skala Herron untuk mengevaluasi jumlah penyelidikan dalam latihan laboratorium tertentu. Hari ini, metode ini menggunakan dalam rencana pelajaran ilmu. Bybee (tahun 1997) menyajikan lima langkah dari Engagement, Exploration, Penjelasan, Elaborasi, dan Evaluasi (http://webb.deu.edu.tr/baed/giris/baed/ozel_sayi/303-310.pdf).
Menurut Sanjaya (2010: 196),
pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan
pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan
sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Pembelajaran inkuiri
dibangun dengan asumsi bahwa sejak lahir manusia memiliki dorongan untuk
menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di
sekililingnya tersebut merupakan kodrat sejak ia lahir ke dunia, melalui indra
penglihatan, indra pendengaran, dan indra-indra yang lainnya. Keingintahuan manusia
terus menerus berkembang hingga dewasa dengan menggunakan otak dan pikirannya.
Pengetahuan yang dimilikinya akan menjadi bermakna manakala didasari oleh
keingintahuan tersebut.
Tujuan utama pembelajaran inkuiri adalah
mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Selain
itu inkuiri dapat mengembangkan nilai dan sikap yang sangat dibutuhkan agar
siswa mampu berpikir ilmiah, seperti :
1.
Keterampilan
melakukan pengamatan, pengumpulan dan pengorganisasian data termasuk merumuskan
dan menguji hipotesis serta menjelaskan fenomena,
2.
Kemandirian belajar,
3.
Keterampilan mengekspresikan
secara verbal,
4.
Kemampuan berpikir logis, dan
5.
Kesadaran bahwa ilmu bersifat
dinamis dan tentatif.
Menurut Trianto (2011: 135), untuk
melaksanakan inkuiri secara maksimal hal-hal yang perlu diperhatikan adalah, Pertama,
Aspek sosial di dalam kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa
berdiskusi. Hal ini menuntut adanya suasana bebas (permisif) di kelas, siswa
tidak merasakan adanya tekanan/ hambatan untuk mengemukakan pendapatnya. Kedua,
Inkuiri berfokus hipotesis. Siswa perlu menyadari bahwa pada dasarnya semua
pengetahuan bersifat tentatif. Tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak,
kebenaran selalu bersifat sementara. Apabila pengetahuan dipandang sebagai
hipotesis, maka kegiatan belajar berkisar sekitar pengujian hipotesis dengan
pengajuan berbagai informasi yang relevan. Inkuiri bersifat open ended jika ada
berbagai kesimpulan yang berbeda dari siswa masing-masing dengan argumen yang
benar. Ketiga, Penggunaan fakta sebagai evidensi. Di dalam kelas
dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta sebagaimana dituntut dalam
pengujian hipotesis pada umumnya.
2.1.1.1
Ciri Utama Pembelajaran
Inkuiri
Pembelajaran
inkuiri menurut Wina (2010: 196) mempunyai tiga cirri utama, yaitu :
1.
Pembelajaran
inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan
menemukan, artinya pembelajaran ini menempatkan siswa sebagai subyek belajar.
Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima
pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan
menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri
2.
Seluruh
aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri
jawaban dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan
sikap percaya diri (self belief). Aktivitas pembelajaran biasanya
dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa. Oleh karena itu,
kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam
melakukan inkuiri.
2.1.1.2
Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Inkuiri
Dalam pembelajaran inkuiri menurut Wina
(2010: 198) terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru, yaitu
sebagai berikut :
1. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan
utama pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir, karena
inkuiri didasari oleh teori kognitif yang menekankan arti penting proses
internal seseorang. Dengan demikian, pembelajaran inkuiri selain berorientasi
pada hasil belajar, juga berorientasi pada proses belajar. Karena itu, kriteria
keberhasilan dalam pembelajaran inkuiri bukan ditentukan oleh penguasaan siswa
terhadap suatu materi pelajaran, tetapi sejauh mana siswa beraktivitas mencari
dan menemukan sesuatu. Pada inkuiri ini yang dinilai adalah proses menemukan
sendiri hal baru dan proses adaptasi yang berkesinambungan secara tepat dan
serasi antara hal baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa
2. Prinsip Interaksi
Pada dasarnya, proses pembelajaran adalah proses
interaksi, baik interaksi siswa dengan guru, interaksi siswa dengan siswa,
maupun interaksi siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi
berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur
interaksi itu sendiri. Kegiatan pembelajaran selama menggunakan pendekatan
inkuiri ditentukan oleh interaksi siswa. Keseluruhan proses pembelajaran akan
membantu siswa menjadi mandiri, percaya diri dan yakin pada kemampuan
intelektualnya sendiri untuk terlibat secara aktif. Guru hanya perlu menjadi
fasilitator dan mengarahkan agar siswa bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya
melalui interaksi mereka. Guru juga harus memfokuskan pada tujuan pembelajaran,
yaitu mengembangkan tingkat berpikir yang lebih tinggi dan keterampilan
berpikir kritis siswa.
3. Prinsip Bertanya
Inkuiri adalah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab dan mengantarkan
pada pengujian dan eksplorasi bermakna. Selama pembelajaran inkuiri, guru dapat
mengajukan suatu pertanyaan atau mendorong siswa mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri, yang dapat bersifat open-ended, memberi
peluang siswa untuk mengarahkan penyelidikan mereka sendiri dan menemukan
jawaban-jawaban yang mungkin dari mereka sendiri, dan mengantar pada lebih
banyak pertanyaan lain. Oleh karena itu peran yang harus dilakukan guru dalam
pembelajaran inkuiri adalah sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk
menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses
berpikir.
4.
Prinsip Belajar
untuk Berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah
fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how you think),
yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak. Pembelajaran berpikir adalah
pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.
5. Prinsip Keterbukaan
Inkuiri menyediakan siswa beraneka ragam
pengalaman konkrit dan pembelajaran aktif yang mendorong dan memberikan ruang
dan peluang kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penelitian sehingga
memungkinkan mereka menjadi pebelajar sepanjang hayat. Inkuiri melibat
komunikasi yang berarti tersedia suatu ruang, peluang, dan tenaga bagi siswa
untuk mengajukan pertanyaan dan pandangan yang logis, obyektif, dan bermakna,
dan untuk melaporkan hipotesis mereka. Tugas guru adalah menyediakan ruang
untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara
terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya.
Dengan
demikian, menurut Trianto (2011:136) peran utama guru dalam pembelajaran
inkuiri adalah :Pertama, Motivator. Memberi rangsangan supaya siswa
aktif dan gairah berpikir. Kedua, Fasilitator. Menunjukkan jalan keluar
jika ada hambatan dalam proses berpikir siswa. Ketiga, Penanya.
Menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka perbuat dan memberi keyakinan
pada diri sendiri. Keempat, Administrator. Bertanggung jawab terhadap
seluruh kegiatan didalam kelas. Kelima, Pengarah. Memimpin arus kegiatan
berpikir siswa pada tujuan yang diharapkan. Keenam, Manajer. Mengelola
sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas. Ketujuh, Rewarder. Memberi
penghargaan pada prestasi yang dicapai dalam rangka peningkatan semangat
inkuiri pada siswa.
2.1.1.3
Langkah
Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri
Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan
model pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut:
1. Orientasi
Pada langkah ini guru mengondisikan agar
siswa siap melaksanakan proses pembelajaran dengan cara merangsang dan mengajak
siswa untuk berpikir memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah
yang sangat penting, karena keberhasilan pembelajaran inkuiri sangat tergantung
pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan
masalah.
Beberapah hal
yang dapat dilakukan dalam tahap orientasi adalah :
a.
Menjelaskan
topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa.
b.
Menjelaskan
pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan.
Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah,
mulai dari langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan.
c.
Menjelaskan
pentingnya topic dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka
memberikan motivasi belajar siswa.
2. Merumuskan
Masalah
Pada langkah ini guru membawa siswa pada
suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah
persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu. Proses
berpikir dan mencari jawaban teka-teki itulah yang sangat penting dalam
strategi inkuiri, oleh karena itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh
pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses
berpikir.
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam merumuskan masalah adalah:
a.
Masalah
hendaknya dirumuskan sendiri oleh siswa. Siswa akan memiliki motivasi belajar
yang tinggi manakala dilibatkan dalam merumuskan masalah yang hendak dikaji.
b.
Masalah yang
dikaji adalah masalah yang mengandung teka-teki dan jawabannya pasti.
Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep
yang sudah diketahui terlebih dahulu oleh siswa. Artinya, sebelum masalah itu
dikaji lebih jauh melalui melalui proses inkuiri, guru perlu yakin terlebih
dahulu bahwa siswa sudah memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang ada
dalam rumusan masalah.
3.
Mengajukan Hipotesis
Kemampuan atau potensi individu untuk
berpikir pada dasarnya sudah dimiliki sejak individu itu lahir. Potensi berpikir
tersebut dimulai dari kemampuan setiap individu untuk menebak atau
mengira-ngira (berhipotesis) dari suatu permasalahan. Salah satu cara yang
dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan berhipotesis pada setiap
anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa
untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai
perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.
4.
Mengumpulkan Data
Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan
data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan
intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat
dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan
potensi berpikirnya. Oleh sebab itu, tugas dan peran guru dalam tahapan ini
adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk
berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
5.
Menguji Hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses
menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi
yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Yang terpenting dalam menguji
hipotesis adalah mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban yang diberikan.
Disamping itu, menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir
rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan
argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
6.
Merumuskan Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses
mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis.
Kadang banyaknya jawaban yang diperoleh menyebabkan kesimpulan yang diputuskan
tidak fokus terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Karena itu, untuk mencapai
kesimpulan yang akurat guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang
relevan.
2.1.1.4
Teori-Teori Yang
Relevan Dengan Pembelajaran Inkuiri
a.
Teori Piaget
Piaget mengemukakan (2012: 314-315) bahwa
perkembangan intelektual suatu organisme didasarkan pada dua fungsi, yaitu
fungsi organisasi dan adaptasi. Fungsi organisasi memberikan organisme
kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasikan proses-proses fisik
atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan
(struktur kognitif). Di samping itu, semua organisme lahir dengan kecenderungan
untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Adaptasi tersebut dilakukan melalui dua
proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penggunaan
struktur kognitif yang telah ada, dan akomodasi adalah proses perubahan
struktur koginitif. Dalam proses asimilasi, orang menggunakan struktur atau
kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam
lingkungannya. Dalam proses akomodasi, orang melakukan modifikasi struktur
kognitif yang sudah ada untuk menanggapi respon terhadap masalah yang dihadapi
dalam lingkungannya.
Adaptasi merupakan suatu keseimbangan
antara asimilasi dan akomodasi. Jika dalam proses asimilasi, seseorang tidak
dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya maka akan terjadi
ketidakseimbangan, yaitu ketidaksesuaian atau ketidakcocokan antara pemahaman
saat ini dengan pengalaman baru. Pertumbuhan intelektual merupakan proses
terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keseimbangan (disequilibrium
– equilibrium). Tetapi bila terjadi keseimbangan kembali, maka
individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada
sebelumnya.
Teori Piaget tersebut yang mendasari
teori konstruktivistik. Menurut teori konstruktivistik, perkembangan
intelektual adalah suatu proses dimana anak secara aktif membangun pemahamannya
dari hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Anak secara aktif
membangun pengetahuannya dengan terus menerus melakukan akomodasi dan asimilasi
terhadap informasi-informasi yang diterima
Implikasi
dari teori piaget dalam Trianto (2011: 16-17) pembelajaran adalah sebagai
berikut :
a.
Memusatkan
perhatian pada proses berpikir anak, bukan sekadar hasilnya.
b.
Menekankan pada
pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara
aktif dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran di kelas, pengetahuan diberikan
tanpa adanya tekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri melalui preses
interaksi dengan lingkungannya.
c.
Memaklumi adanya
perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan sehingga guru harus
melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk
individu-individu atau kelompok-kelompok kecil.
Berdasarkan teori Piaget, pembelajaran
inkuiri cocok bila diterapkan dalam kegiatan pembelajaran karena inkuiri menyandarkan
pada dua sisi yang sama pentingnya, yaitu sisi proses dan hasil belajar. Proses
belajar diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir, sedangkan sisi hasil
belajar diarahkan untuk mengkontruksi pengetahuan dan penguasaan materi
pelajaran baru. Selain itu, yang dinilai dalam pembelajaran inkuiri adalah
proses menemukan sendiri hal baru dan proses adaptasi yang berkesinambungan
secara tepat dan serasi antara hal baru dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa.
b. Teori
Gestalt
Teori Gestalt dalam Hergenhn (2012:
280-309) menekankan kepada proses-proses intelektual yang kompleks seperti
bahasa, pikiran, pemahaman, dan pemecahan masalah sebagai aspek utama dalam
proses belajar. Menurut teori Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight.
Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu
situasi permasalahan. Belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan
keterhubungan antara komponen yang ada di lingkungannya.
Prinsip
penerapan teori ini menurut Nasution dalam Wina (2010: 121-122) adalah :
a.
Pembelajaran
bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu
masalah. Melalui masalah tersebut siswa dapat mempelajari fakta.
b.
Membelajarkan
anak bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan
pribadi anak seutuhnya.
c.
Kegiatan belajar
akan terjadi manakala dihadapkan pada suatu persoalan yang harus dipecahkan.
Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi, siswa akan
mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.
d.
Pengalaman
adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku
individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu
yang secara terus menerus disempurnakan. Dengan demikian, proses membelajarkan
adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan
anak.
Inkuiri menyediakan siswa beraneka ragam
pengalaman konkrit dan pembelajaran aktif yang mendorong dan memberikan ruang
dan peluang kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sehingga siswa dapat
mengembangkan kemampuan berpikirnya. Dengan demikian, menurut teori Gestalt,
pembelajaran inkuiri sangat sesuai bila diterapkan dalam kegiatan pembelajaran.
2.1.2
Pembelajaran
Kreatif
Kreativitas merupakan suatu kajian yang
kompleks, yang menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Perbedaan tersebut
terletak pada bagaimana kreativitas itu didefinisikan. Rhodes (dalam Utami
Munandar, 2009: 20) menyatakan bahwa kreativitas dapat didefinisikan ke dalam
empat dimensi sebagai the Four P’s of Creativity, yaitu
a.
Pribadi
(person) Menurut Selo Soemardjan (dalam Utami Munandar 2009: 20), kreativitas
merupakan sifat pribadi seorang individu yang tercermin dari kemampuannya untuk
menciptakan sesuatu yang baru. Menurut Hulbeck (dalam Utami Munandar 2009: 20)
“ creative actions is an imposing of one’s own whole personality on the
environment in an unique and characteristic way”. Tindakan kreatif muncul dari
keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
b.
Proses
(procces) Kreativitas siswa akan terwujud jika ada dorongan dan dukungan
lingkungannya ataupun jika ada dorongan kuat dalam dirinya sendiri (motivasi
internal) untuk menghasilkan sesuatu.
c.
Pendorong
(press) Kreativitas siswa dapat terwujud apabila ada dorongan dari lingkungan
yang berupa apresiasi dukungan, pemberian penghargaan, pujian, insentif, dan
dorongan dari dalam diri siswa sendiri untuk menghasilkan sesuatu. Kreativitas
dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung.
d.
Produk
(product) Menurut Amabile (dalam Dedi Supriadi, 2001: 9), kreativitas merupakan
kualitas suatu produk atau respons yang dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli.
Kondisi yang memungkinkan seseorang
menciptakan produk kreatif yang bermakna adalah kondisi pribadi dan lingkungan,
yaitu yang keduanya mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses
(kesibukan , kegiatan) kreatif. Pendidik harus menghargai produk kreativitas
anak dan mengkomunikasikannya kepada yang lain, misalnya dengan mempertunjukkan
atau memamerkan hasil karya anak. Ini akan lebih menggugah minat anak untuk
berkreasi.
Kaitannya dengan unsur aptitude dan
nonaptitude, Conny R. Semiawan (dalam Akbar Reni, 2001: 4) mengemukakan bahwa
kreativitas merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan yang baru dan
menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas adalah kemampuan untuk
menemukan cara-cara baru bagi pemecahan masalah baik yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, seni sastra atau seni-seni lainnya, yang mengandung suatu hasil
pendekatan yang baru bagi yang bersangkutan, meskipun untuk orang lain
merupakan hal yang tidak begitu asing lagi (Louis Cohen, 1978: 56).
Kreatif (creative) menurut Muhibbin Syah (2009: berarti menggunakan hasil ciptaan / kreasi
baru atau yang berbeda dengan sebelumnya. Pembelajaran yang kreatif mengandung makna tidak sekedar
melaksanakan dan menerapkan kurikulum. Kurikulum memang merupakan dokumen dan
rencana baku, namun tetap perlu dikritisi dan dikembangkan secara kreatif.
Dengan demikian, ada kreativitas pengembangan kompetensi dan kreativitas dalam
pelaksanaan pembelajaran di kelas termasuk pemanfaatan lingkungan
sebagai sumber bahan dan sarana untuk belajar. Pembelajaran kreatif juga dimaksudkan
agar guru menciptakan kegiatan
belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa dan
tipe serta gaya belajar siswa.
Alhasil, di satu
sisi guru bertindak kreatif dalam
arti:
Ø
mengembangkan kegiatan pembelajaran yang beragam;
Ø
membuat alat bantu belajar yang berguna meskipun
sederhana;
Di sisi lain, siswa pun kreatif dalam hal:
Ø merancang / membuat
sesuatu;
Ø menulis/mengarang.
Menurut Moreno (1995: 146) yang penting
dari kreativitas itu bukanlah penemuan sesuatu yang belum diketahui orang
sebelumnya, melainkan bahwa produk kreativitas itu merupakan sesuatu yang baru
bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang baru bagi orang lain
atau dunia pada umumnya. Kreativitas memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam
bidang ilmu, teknologi atau dalam setiap bidang usaha manusia.
Utami Munandar (dalam Akbar Reni, 2001:
4), dalam uraiannya tentang pengertian kreativitas menunjukkan ada tiga
kemampuan, yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasi,
memecahkan atau dalam menjawab masalah. Ketiga kemampuan tersebut, yaitu : a)
Kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi maupun
unsur-unsur yang telah ada, b) Kemampuan yang berdasarkan data atau informasi
yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di
mana penekanannya pada kualitas, ketepatgunaan dan keragaman jawaban, c)
Kemampuan yang secara operasional mencerminkan kelancaran, keluwesan dan
orisionalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan/
memperkaya/ memperinci) suatu gagasan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan mental dari berbagai jenis
keterampilan yang dimiliki oleh individu, sehingga menciptakan sesuatu yang
baru untuk dirinya sendiri meskipun bukan merupakan hal yang baru bagi orang
lain dan dapat mengkombinasikan unsur-unsur yang lama dalam menghasilkan
sesuatu yang baru.
Williams (Utami Munandar, 1992: 88-93)
mengemukakan dua ciri kreativitas yang memunculkan perilaku kreatif. Dua ciri
kreativitas itu antara lain ciri aptitude dan nonaptitude. Ciri aptitude ialah
ciri yang berhubungan dengan kognisi dan proses berpikir, sedangkan ciri
nonaptitude ialah ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan.
Kedua jenis ciri kreativitas itu
diperlukan agar perilaku kreatif dapat terwujud.
a)
Ciri-ciri
kemampuan berpikir kreatif (aptitude), meliputi:
1)
Keterampilan
berpikir lancar ialah mencetuskan banyak
gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan; memberikan banyak cara atau
saran untuk melakukan berbagai hal dan selalu memikirkan lebih dari satu
jawaban. Contoh perilaku keterampilan berpikir lancar siswa: a) Mengajukan
banyak pertanyaan. b) Menjawab pertanyaan dengan sejumlah jawaban. c) Mempunyai
banyak gagasan mengenai suatu masalah. d) Lancar mengungkapkan
gagasan-gagasannya. e) Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada
anak-anak lain. f) Melihat dengan cepat kesalahan atau kekurangan pada suatu
objek atau situasi.
2)
Keterampilan
berpikir luwes (fleksibel) ialah
menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat
suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternatif
atau arah yang berbeda-beda serta mampu mengubah cara pendekatan atau cara
pemikiran. Contoh perilaku keterampilan berpikir luwes siswa: a) Memberikan
aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek. b) Memberikan
macam-macam penafsiran (interpretasi) terhadap suatu gambar, cerita atau
masalah. c) Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda. d)
Memberi pertimbangan yang berbeda dengan orang lain pada suatu situasi. e)
Mampu memberikan arah pemikiran secara spontan. f) Menggolongkan hal-hal
menurut pembagian (kategori) yang berbeda-beda. g) Membahas atau mendiskusikan
suatu situasi bertentangan dari mayoritas kelompok.
3)
Keterampilan
berpikir orisinal ialah mampu melahirkan
ungkapan yang baru dan unik; memikirkan cara yang tidak lazim untuk
mengungkapkan diri; mampu membuat kombinasikombinasi yang tidak lazim dari
bagian-bagian atau unsur-unsur. Contoh perilaku keterampilan berpikir orisinal
siswa: a) Memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan
oleh orang lain. b) Mempertanyakan cara yang lama dan berusaha memikirkan cara
baru. c) Memiliki cara berpikir yang lain daripada orang lain. d) Setelah
membaca atau mendengar gagasan-gagasan kemudian bekerja untuk menemukan
penyelesaian yang baru. e) Lebih senang mensintesis daripada menganalisa
situasi.
4)
Keterampilan
memperinci (mengelaborasi) ialah mampu memperkaya
dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; menambahkan atau memperinci
detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih
menarik. Contoh perilaku keterampilan memperinci siswa: a) Mencari arti yang
lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan
langkah-langkah yang terperinci. b) Mengembangkan atau memperkaya gagasan orang
lain. c) Mencoba atau menguji detil-detil untuk melihat arah yang akan
ditempuh. d) Menambahkan garis-garis, warna-warna, dan detil-detil
(bagian-bagian) terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain.
5)
Keterampilan
menilai (mengevaluasi) ialah menentukan
patokan penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, atau
suatu tindakan bijaksana, mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang
terbuka, tidak hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya. Contoh
perilaku keterampilan menilai siswa: a) Memberikan pertimbangan atas dasar
sudut pandangnya sendiri. b) Menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal. c)
Menganalisis masalah atau penyelesaian secara kritis dengan selalu menanyakan
“mengapa?”. d) Merancang suatu rencana kerja dari gagasan-gagasan yang
tercetus.
b)
Ciri-ciri
afektif (nonaptitude), meliputi:
1)
Rasa
ingin tahu ialah selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak; mengajukan
banyak pertanyaan, selalu memperhatikan orang, objek dan situasi, peka dalam
pengamatan dan ingin mengetahui/meneliti. Contoh perilaku rasa ingin tahu
siswa: a) Mempertanyakan segala sesuatu. b) Senang menjajagi buku-buku,
peta-peta, gambar-gambar dan sebagainya untuk mencari gagasan-gagasan baru. c)
Tidak takut menjajagi bidang-bidang baru. d) Ingin mengamati
perubahan-perubahan dari hal-hal atau kejadian-kejadian.
2)
Imajinatif
ialah mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum pernah
terjadi dengan menggunakan khayalan tetapi mengetahui perbedaan antara khayalan
dan kenyataan. Contoh perilaku imajinatif siswa: a) Memikirkan/membayangkan
hal-hal yang belum pernah terjadi. b) Memikirkan bagaimana jika melakukan
sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain. c) Meramalkan apa yang akan
dikatakan atau dilakukan orang lain. d) Mempunyai firasat tentang sesuatu yang
belum terjadi.
3)
Merasa
tertantang oleh kemajemukan ialah terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit,
merasa tertantang oleh situasisituasi yang rumit, lebih tertarik pada
tugas-tugas yang sulit. Contoh perilaku tertantang oleh kemajemukan siswa: a)
Melibatkan diri dalam tugas-tugas yang majemuk. b) Tertantang oleh situasi yang
tidak dapat diramalkan keadaannya. c) Tidak cenderung mencari jalan tergampang.
d) Senang mencoba jalan yang lebih rumit.
4)
Sifat
berani mengambil resiko ialah berani memberikan jawaban meskipun belum tentu
benar, tidak takut gagal atau mendapat kritik, tidak menjadi ragu-ragu karena
ketidakjelasan, hal-hal yang tidak konvensional atau yang kurang berstruktur.
Contoh perilaku berani mengambil resiko siswa: a) Berani mempertahankan gagasan
atau pendapatnya walaupun mendapat tantangan atau kritik. b) Berani menerima
tugas yang sulit meskipun ada kemungkinan gagal. c) Berani mencoba hal-hal
baru.
5)
Sifat
menghargai, yaitu dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup;
menghargai kemampuan dan bakatbakat sendiri yang sedang berkembang. Contoh perilaku
menghargai pada siswa: a) Menghargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain. b)
Menghargai diri sendiri dan prestasi sendiri. c) Menghargai keluarga, sekolah,
dan teman-teman. d) Menghargai kesempatan-kesempatan yang diberikan.
Kreativitas memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Agar
kreativitas siswa dapat terwujud maka tidak hanya dibutuhkan keterampilan
berpikir kreatif tetapi juga afektif-kreatif. Oleh karena itu, pendidikan baik
di sekolah maupun di rumah hendaknya tidak hanya memperhatikan pengembangan
keterampilan-keterampilan berpikir semata-mata tetapi pembentukan sikap,
perasaan, dan kepribadian
2.1.3
Pembelajaran
Sosial
Teori
Vygotsky pembelajaran sosial budaya menyoroti peran interaksi sosial dan budaya
bermain dalam proses pembelajaran. Teori ini tidak memiliki tahapan, seperti
teori Jean Piaget. Teori Vygotsky menyatakan bahwa pengetahuan adalah
co-dibangun dan bahwa individu belajar satu sama lain. Hal ini disebut teori
konstruktivis sosial karena menurut Vygotsky pelajar harus terlibat dalam proses
pembelajaran. Belajar terjadi dengan bantuan dari orang lain, sehingga
memberikan kontribusi aspek sosial dari teori. Sebuah aspek fundamental dari
teori Vygotsky adalah Zona Pengembangan proksimal (ZPD). Ini adalah
"berbagai tugas yang terlalu sulit bagi seorang individu untuk menguasai
sendiri, tetapi dapat dikuasai dengan bantuan atau bimbingan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih terampil (Vygotsky, 1962)." Bagian lain dari teori
ini adalah perancah, yang adalah memberikan pelajar jumlah yang tepat dari
bantuan pada saat yang tepat. Jika pelajar dapat melakukan tugas dengan
beberapa bantuan, maka ia lebih dekat dengan menguasai itu. Teori ini relevan
dengan perkembangan remaja yang sehat karena jika siswa bekerja berpasangan,
mereka berinteraksi dengan orang-orang dan karena itu dapat belajar ide-ide
akademik yang berbeda satu sama lain. Teori ini menunjukkan bahwa siswa belajar
dari satu sama lain; mereka dapat membantu satu sama lain dan pengetahuan
co-membangun.
Teori
ini dapat diterapkan di kelas dalam beberapa cara. Para siswa dapat
dikelompokkan sedemikian rupa sehingga siswa yang memahami pekerjaan konten
dengan siswa yang tidak. Sebagai contoh, jika seorang siswa tidak mengerti
anjak piutang, metode untuk menemukan nol atau nol dari persamaan, saya bisa
memiliki siswa lain menjelaskan konsep kepada mereka. Peer lebih luas mungkin
menggunakan bahasa yang berbeda daripada yang saya lakukan sebagai seorang
guru. Ungkapan siswa mungkin lebih masuk akal untuk siswa lainnya. Mahasiswa lebih
luas juga akan belajar sesuatu, mungkin pemahaman yang lebih dalam isi atau
cara untuk menjelaskan konsep bahwa mereka tidak terpikirkan sebelumnya.
Mahasiswa tingkat kesiapan yang berbeda akan bekerja sama dalam kelompok ketika
mereka melakukan kegiatan penemuan, seperti kegiatan pembelajaran berbasis
masalah. Kelompok-kelompok akan terdiri dari setidaknya tiga siswa dan mereka
akan diberi masalah yang akan menantang mereka semua, dan sebagai sebuah
kelompok mereka harus memecahkan masalah. Aku akan mendirikan kegiatan
sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi setiap orang untuk berkontribusi
beberapa ide tentang bagaimana untuk memecahkan masalah sebelum metode apapun
yang dicoba (2.0) (https://sites.google.com/site/dsmktylenda/content/vygotsky-s-social-constructivist-theory)
Teori kognitif sosial Albert
Bandura ini menekankan bahwa anak laki-laki dan perempuan belajar tentang peran
gender dengan mengamati orang lain dan meniru mereka (Bussey & Bandura,
1999). Peran gender dipupuk melalui penghargaan dan hukuman mereka mengalami
perilaku gender yang sesuai dan gender yang tidak pantas. Imbalan tersebut
dapat frase sederhana, seperti "Gaun itu tampak cantik pada Anda,
Julie!" Atau "Jake, Anda benar-benar agresif dalam permainan!"
Anak-anak juga belajar apa yang tepat dengan menonton tindakan orang lain.
Mereka menonton orang tua mereka, saudara mereka, atau rekan-rekan mereka untuk
melihat apa yang tepat untuk jenis kelamin mereka. Teori ini relevan dengan
perkembangan remaja yang sehat karena membantu anak-anak mengetahui cara
masyarakat ingin mereka untuk bertindak. Tanpa penguatan jender, anak-anak
mungkin menyimpang terlalu jauh dari norma-norma sosial. Akibatnya, mereka
dapat dikucilkan dan mungkin diganggu karena berbeda.
Di
dalam kelas, saya tidak harus menghargai anak laki-laki atau perempuan
berdasarkan jenis kelamin mereka; Aku akan memberi mereka imbalan atas
prestasi. Aku tidak akan memperkuat peran gender stereotip, seperti gadis-gadis
yang buruk di matematika dan ilmu pengetahuan atau anak laki-laki yang atletis.
Pikiran saya adalah siswa dapat melakukan apa-apa mereka menempatkan pikiran
mereka ke dan siapa aku menghentikan mereka atau menghambat kemajuan mereka.
Saya harus menonton apa yang saya katakan kepada siswa sehingga saya tidak
mengebor apa yang saya pikir artinya menjadi seorang gadis atau laki-laki. Saya
akan menghindari mengajukan pertanyaan yang memperkuat peran gender
tradisional. Di dalam kelas saya akan memberikan penghargaan siswa untuk
perbaikan pada pekerjaan rumah dan tes; ini diharapkan akan mempromosikan rasa
motivasi (5,2). Partisipasi kelas tidak akan mempengaruhi nilai siswa karena
beberapa orang yang pemalu dan tidak suka berbicara, tapi aku akan mengharapkan
mereka untuk menjawab pertanyaan jika saya meminta mereka.
Tema utama dari kerangka teori
Vygotsky adalah bahwa interaksi sosial memainkan peranan penting dalam
pengembangan kognisi. Vygotsky (1978) menyatakan: "Setiap fungsi dalam
pengembangan budaya anak muncul dua kali: pertama, pada tingkat sosial,
dan kemudian, pada tingkat individu, pertama, antara orang-orang
(interpsychological) dan kemudian di dalam anak (intrapsychological) ini
berlaku. sama perhatian sukarela, untuk memori logis, dan pembentukan konsep.
Semua fungsi yang lebih tinggi berasal sebagai hubungan yang sebenarnya antara
individu. " (P57).
Aspek kedua developmentã proksimal
teori Vygotsky adalah gagasan bahwa potensi perkembangan kognitif tergantung
pada "zona pembangunan proksimal" (ZPD): tingkat perkembangan yang
dicapai ketika anak-anak terlibat dalam perilaku sosial. Pengembangan penuh
dari ZPD tergantung pada interaksi sosial penuh. Kisaran keterampilan yang
dapat dikembangkan dengan bimbingan orang dewasa atau kolaborasi sebaya
melebihi apa yang dapat dicapai sendiri.
Teori Vygotsky merupakan upaya
untuk menjelaskan kesadaran sebagai produk akhir sosialisasi. Sebagai contoh,
dalam pembelajaran bahasa, ujaran pertama kami dengan rekan-rekan atau orang
dewasa untuk tujuan komunikasi tetapi sekali menguasai mereka menjadi
terinternalisasi dan memungkinkan "pidato batin".
Teori Vygotsky melengkapi pekerjaan
Bandura pada pembelajaran sosial dan komponen kunci dari teori belajar terletak
juga. Karena fokus Vygotsky adalah pada perkembangan kognitif, itu adalah
menarik untuk membandingkan pandangannya dengan mereka yang konstruktivis
(Bruner) dan epistemologist genetik (Piaget).
2.1.4 Pembelajaran
Aktif
Secara harfiah active artinya: ”in the habit of doing things, energetic” (Hornby, 1994:12),
artinya terbiasa berbuat segala hal dengan menggunakan segala daya. Pembelajaran yang aktif berarti pembelajaran yang memerlukan keaktifan semua siswa dan guru secara fisik, mental,
emosional, bahkan moral dan spiritual. Guru harus menciptakan suasana
sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, membangun gagasan, dan melakukan
kegiatan yang dapat memberikan pengalaman langsung, sehingga belajar merupakan
proses aktif siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian,
siswa didorong untuk bertanggung jawab
terhaap proses belajarnya sendiri.
Dalam pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) tentang sunnatullah atas alam semesta misalnya,
siswa dapat melakukan pengamatan tentang fenomena alam. Siswa mengamati
matahari bersinar di siang hari dan berjalan pada porosnya, terbit di ufuk
timur dan terbenam di ufuk barat, bulan bersinar di malam hari dan beredar pada
porosnya. Siswa mengamati bintang-bintang berkelip di malam hari dengan jarak
yang sangat jauh dari bumi. Siswa mengamati adanya laki-laki dan perempuan,
adanya siang dan malam, dan adanya panas dan dingin. Semua ini merupakan
sunnatullah. Dengan adanya
sunnatullah, manusia akan dapat mendorong dirinya untuk melakukan penelitian
terhadap benda-benda ciptaan Allah.
Sehingga secara fisik semua indera aktif terlibat, berpikir, menganalisis, dan
menyimpulkan bahwa semua benda dan
fenomena itu terjadi karena kehendak Allah SWT.
Menurut
Taslimuharrom (2008) sebuah proses
belajar dikatakan aktif (active learning)
apabila mengandung:
1) Keterlekatan pada tugas (Commitment)
Dalam hal ini,
materi, metode, dan strategi pembelajaran hendaknya bermanfaat bagi siswa (meaningful), sesuai dengan kebutuhan siswa (relevant), dan bersifat/memiliki keterkaitan
dengan kepentingan pribadi (personal);
2) Tanggung jawab (Responsibility)
Dalam hal ini, sebuah
proses belajar perlu memberikan wewenang kepada siswa untuk berpikir kritis
secara bertanggung jawab, sedangkan guru lebih banyak mendengar dan menghormati
ide-ide siswa, serta memberikan pilihan dan peluang kepada siswa untuk
mengambil keputusan sendiri.
3) Motivasi (Motivation)
Proses belajar hendaknya lebih mengembangkan motivasi intrinsic
siswa. Motivasi intrinsik
adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat
mendorongnya melakukan tindakan belajar. Dalam perspektif psikologi kognitif,
motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik (bukan
ekstrinsik) karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada
dorongan atau pengaruh orang lain. Dorongan mencapai prestasi dan memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan, umpamanya, memberi pengaruh
lebih kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah
atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru. Motivasi belajar siswa akan meningkat apabila ditunjang oleh pendekatan yang lebih
berpusat pada siswa (student centered learning). Guru mendorong siswa untuk aktif
mencari, menemukan dan memecahkan masalahnya sendiri. Ia tidak hanya menyuapi
murid, juga tidak seperti orang yang menuangkan air ke dalam ember.
Alhasil, di satu
sisi guru aktif:
Ø memberikan
umpan balik;
Ø mengajukan
pertanyaan yang menantang; dan
Ø mendiskusikan
gagasan siswa.
Di
sisi lain, siswa aktif antara lain dalam
hal:
Ø bertanya / meminta
penjelasan;
Ø mengemukakan
gagasan; dan
Ø
mendiskusikan gagasan orang lain dan gagasannya sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi, Ruang
Lingkup, dan Subjek Penelitian
Penelitian untuk
mata pelajaran IPA dilaksanakan di Kelas V SDN Rombuh 1 Pamekasan, semester I
tahun pelajaran 2015/2016 dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 15 orang
siswa.
Pelaksanaan
perbaikan pembelajaran disesuaikan dengan jadwal pelajaran sekolah dan
dilakukan dalam dua siklus. Siklus I tanggal 16 Nopember 2015 jam 07.00-08.10, dan Siklus II tanggal 23 Nopember 2015 Jam
07.00-08.10. Dalam pelaksanaan perbaikan penulis dibantu 2 teman sejawat
sebagai pengamat, yaitu Siti Subaidah, S.Pd.SD dan Sunarni, S.Pd.SD.
3.2 Desain Penelitian
1.
Desain Pelaksanaan Siklus I
a) Perencanaan (13—14 Nopember
2015)
Perencanaan disusun bersama oleh penulis sebagai guru kelas V bersama
teman sejawat. Perencanaan meliputi:
1) Menyusun
langkah-langkah perbaikan pembelajaran sesuai dengan fokus masalah dan tindakan
perbaikan yang sudah dipilih oleh penulis dan teman sejawat guru.
2) Menyusun Instrumen penelitian. Instrumen
penelitian yang direncanakan oleh penulis dan teman sejawat guru sebagai
pengamat adalah: (1) Lembar
Pengamatan yang terdiri dari indikator pembelajaran Inquiri, Kreatifitas,
Kerjasama (sosial), dan aktifitas sebagai instrumen
pengumpulan data untuk proses pembelajaran; dan (2) Lembar Tes Akhir, sebagai instrumen untuk
mengumpulkan data tentang tingkat penguasaan dan hasil belajar oleh siswa.
3) Menetapkan indikator keberhasilan perbaikan
pembelajaran yang menggambarkan tingkat keberhasilan perbaikan yang diharapkan.
Indikator keberhasilan perbaikan pembelajaran yang diharapkan adalah:
(a) proses pembelajaran : 75% siswa menunjukkan indikator pembelajaran Inquiri,
Kreatifitas, Kerjasama (sosial), dan aktifitas.
(b) hasil penilaian
akhir: 70% siswa mencapai nilai minimal 70.
b. Pelaksanaan
(16 Nopember 2015)
Perbaikan pembelajaran dilaksanakan oleh penulis dibantu oleh teman
sejawat sebagai pengamat sesuai dengan rencana perbaikan pembelajaran yang
sudah disusun.
Dalam pelaksanakan ini memuat
pelaksanaan pembelajaran IPA yang meliputi :
1. Menyampaikan secara
singkat kegiatan dan tujuan kegiatan pembelajaran.
2. Membagi siswa dalam tiga
kelompok @ 5 orang, dan kepada setiap kelompok diminta untuk mengamati dan
mencatat hasil pengamatannya terhadap gambar daur air yang ada di papan tulis.
3. Setiap kelompok
menyajikan hasil kerja kelompoknya untuk didiskusikan atau dibahas secara kelompok
(diskusi kelompok) dan dilanjutkan secara klasikal (diskusi kelas).
4. Tanggapan guru
terhadap hasil kerja kelompok dan dilanjutkan dengan pemantapan.
5. Menarik suatu
kesimpulan
6. Memberikan tes akhir
untuk mengetahui ketercapaian indikator
c. Pengamatan (16 Nopember 2015)
Data dikumpulkan bersama oleh penulis dan teman sejawat selama
pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus I, mencakup data aspek proses dan
hasil pembelajaran.
Data proses mencakup data Pengamatan
yang terdiri dari indikator pembelajaran Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama
(sosial), dan aktifitas sebagai instrumen
pengumpulan data untuk proses pembelajaran, dikumpulkan menggunakan Lembar
Pengamatan Pembelajaran di Kelas.
Data hasil ketercapaian perbaikan
pembelajaran atau ketercapaian ketuntasan pemahaman siswa tentang proses
Daur Air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya. Data ini dikumpulkan menggunakan Lembar Tes
Akhir.
d. Refleksi (17—18 Nopember 2015)
Meliputi perenungan atas hasil
pelaksanaan perbaikan siklus I. Refleksi dilakukan bersama oleh penulis dan
teman sejawat berdasarkan hasil analisis data pengamatan dan penilaian akhir.
Refleksi dimaksudkan untuk menetapkan apa yang telah dicapai, serta apa yang
belum dicapai, serta apa yang perlu di perbaiki pada siklus berikutnya.
2.
Desain Pelaksanaan Siklus II
a) Perencanaan (20—21 Nopember
2015)
Perencanaan disusun bersama oleh penulis sebagai guru
kelas V bersama teman sejawat. Perencanaan
meliputi:
1) Menyusun
langkah-langkah perbaikan pembelajaran sesuai dengan fokus masalah dan tindakan
perbaikan yang sudah dipilih oleh penulis dan 2 orang teman sejawat guru.
2) Menyusun Instrumen penelitian. Instrumen
penelitian yang direncanakan oleh penulis dan teman sejawat guru sebagai
pengamat adalah: (1) Lembar
Pengamatan yang terdiri dari indikator pembelajaran Inquiri, Kreatifitas,
Kerjasama (sosial), dan aktifitas sebagai instrumen
pengumpulan data untuk proses pembelajaran; dan (2) Lembar Tes Akhir, sebagai instrumen untuk
mengumpulkan data tentang tingkat penguasaan dan hasil belajar oleh siswa.
b. Pelaksanaan
(23 Nopember 2015)
Perbaikan pembelajaran dilaksanakan oleh penulis dibantu oleh teman
sejawat sebagai pengamat sesuai dengan rencana perbaikan pembelajaran yang
sudah disusun.
Dalam pelaksanakan ini memuat
pelaksanaan pembelajaran IPA yang meliputi :
1. Menyampaikan secara
singkat kegiatan dan tujuan kegiatan pembelajaran.
2. Membagi siswa dalam
tiga kelompok @ 5 orang, dan kepada setiap kelompok diminta untuk mengamati dan
mencatat hasil pengamatannya tentang daur air dengan menggunakan media
pembelajaran faktual.
3. Setiap kelompok
menyajikan hasil kerja kelompoknya untuk didiskusikan atau dibahas secara
kelompok (diskusi kelompok) dan dilanjutkan secara klasikal (diskusi kelas).
4. Tanggapan guru
terhadap hasil kerja kelompok dan dilanjutkan dengan pemantapan.
5. Menarik suatu
kesimpulan.
6. Memberikan tes akhir
untuk mengetahui ketercapaian indikator
c. Pengamatan (23 Nopember 2015)
Data dikumpulkan bersama oleh penulis dan teman sejawat selama
pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus II, mencakup data aspek proses dan
hasil pembelajaran.
Data proses mencakup data
Pengamatan yang terdiri dari indikator pembelajaran Inquiri, Kreatifitas,
Kerjasama (sosial), dan aktifitas sebagai instrumen
pengumpulan data untuk proses pembelajaran, dikumpulkan menggunakan Lembar
Pengamatan Pembelajaran di Kelas.
Data hasil ketercapaian
perbaikan pembelajaran atau ketercapaian ketuntasan pemahaman siswa tentang proses
Daur Air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya. Data ini dikumpulkan menggunakan Lembar Tes
Akhir.
d. Refleksi (24—25 Nopember 2015)
Meliputi perenungan atas hasil
pelaksanaan perbaikan siklus II. Refleksi dilakukan bersama oleh penulis dan
teman sejawat berdasarkan hasil analisis data pengamatan dan penilaian akhir.
Refleksi dimaksudkan untuk menetapkan apa yang telah dicapai, serta apa yang
belum dicapai, serta apa yang perlu di perbaiki pada siklus berikutnya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
observasi dan dokumentasi. Data observasi, dikumpulkan peneliti bersama teman
sejawat selama proses pembelajaran berupa : (a) data proses , data yang terdiri dari indikator pembelajaran
Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama (sosial), dan aktifitas sebagai
instrumen pengumpulan data untuk proses pembelajaran; (b) data hasil, berupa hasil
penyelesaian latihan/ soal selama pembelajaran berlangsung (evaluasi dalam
proses); dan setelah perbaikan pembelajaran berlangsung (evaluasi akhir),
melalui lembar evaluasi.
3.4 Teknik Analisis
Data
Analisis merupakan usaha untuk memilih,
memilah, membuang, menggolongkan, serta menyusun ke dalam kategorisasi,
mengklasifikasi data untuk menjawab pertanyaan pokok; (1) tema apa yang dapat
ditemakan pada data, (2) seberapa jauh data dapat mendukung tema/ arah/ tujuan
penelitian (Supardi, 2009: 132).
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif, yakni berupa data
persentase keberhasilan proses pembelajaran dan hasil belajar sebagaimana yang
telah dijelaskan pada teknik pengumpulan data.
BAB
IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
1. Hasil Penelitian Siklus Pertama
Dalam proses pembelajaran siklus pertama pembelajaran kurang maksimal dan
belum mencapai kriteria keberhasilan perbaikan pembelajaran yang diharapkan. Kekurangberhasilan
perbaikan tersebut tergambarkan dari: (1) pengamatan proses pembelajaran di kelas,
dan (2) hasil penilaian akhir.
Dari pengamatan terhadap proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan
pendekatan IKSAN diperoleh hasil sebagai berikut;
Tabel 1
Hasil Pengamatan indikator
Aktifitas Belajar di Kelas Siklus 1
NO |
Nama |
L/P |
SIKLUS 1 |
1 |
FATHORRAHMAN |
L |
64 |
2 |
HOSEN |
L |
50 |
3 |
HOTIBULLAH |
L |
64 |
4 |
HUMAIROH |
P |
57 |
5 |
JAMILATUL
MUAQILA |
P |
64 |
6 |
NOER
LAILI |
P |
57 |
7 |
NURUL
QOMARIYAH |
P |
50 |
8 |
RAHMAT
HIDAYAT |
L |
57 |
9 |
RISKI
AL FARIBI |
L |
57 |
10 |
RIZAL
IFANDI |
L |
57 |
11 |
RUSMAILAH |
P |
64 |
12 |
ST.
MAISAROH |
P |
57 |
13 |
SUHARTINI |
P |
57 |
14 |
ZAHROTUN |
P |
57 |
15 |
ZAINULLAH |
L |
64 |
Hasil Pengamatan indikator
Inkuiri, Kreatif, masyarakat belajar
di Kelas V Siklus I
NO |
Nama |
L/P |
SIKLUS 1 |
1 |
FATHORRAHMAN |
L |
57,1 |
2 |
HOSEN |
L |
64,3 |
3 |
HOTIBULLAH |
L |
64,3 |
4 |
HUMAIROH |
P |
57,1 |
5 |
JAMILATUL MUAQILA |
P |
64,3 |
6 |
NOER LAILI |
P |
64,3 |
7 |
NURUL QOMARIYAH |
P |
50 |
8 |
RAHMAT HIDAYAT |
L |
57,1 |
9 |
RISKI AL FARIBI |
L |
64,3 |
10 |
RIZAL IFANDI |
L |
57,1 |
11 |
RUSMAILAH |
P |
64,3 |
12 |
ST. MAISAROH |
P |
64,3 |
13 |
SUHARTINI |
P |
57,1 |
14 |
ZAHROTUN |
P |
64,3 |
15 |
ZAINULLAH |
L |
57,1 |
Hasil pengamatan proses diskusi kelas di atas menggambarkan bahwa tingkat
keberhasilan kumulatif indicator pembelajaran
Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama (sosial), dan keaktifan siswa masih jauh
dari kriteria yang diharapkan, yaitu 65%. Tampaknya, hal ini berkaitan erat
dengan penguasaan siswa terhadap materi yang didiskusikan yang juga masih
rendah.
Selanjutnya, dari penilaian terhadap hasil tes akhir diperoleh data
sebagai berikut.
Tabel 3
Hasil Tes Akhir Siklus I
NO |
Nama |
L/P |
SIKLUS 1 |
1 |
FATHORRAHMAN |
P |
57 |
2 |
HOSEN |
P |
63 |
3 |
HOTIBULLAH |
L |
64 |
4 |
HUMAIROH |
P |
66 |
5 |
JAMILATUL MUAQILA |
L |
63 |
6 |
NOER LAILI |
P |
56 |
7 |
NURUL QOMARIYAH |
L |
61 |
8 |
RAHMAT HIDAYAT |
P |
62 |
9 |
RISKI AL FARIBI |
P |
57 |
10 |
RIZAL IFANDI |
L |
65 |
11 |
RUSMAILAH |
L |
63 |
12 |
ST. MAISAROH |
L |
64 |
13 |
SUHARTINI |
P |
66 |
14 |
ZAHROTUN |
P |
59 |
15 |
ZAINULLAH |
L |
55 |
Ket :
Nilai minimal ketuntasan = 65 dan dicapai oleh 20% siswa.
Hasil tes akhir seperti dalam tabel 3 di atas menggambarkan bahwa hasil
siklus I juga masih belum mencapai kriteria ketuntasan belajar yang diharapkan.
Dari 15 orang siswa baru 3 orang atau 20 % yang mencapai persentase dan batas
nilai minimal ketuntasan belajar (65% siswa mendapat nilai minimal 65).
Jika hasil perbaikan siklus I tersebut dibandingkan dengan hasil sebelum
perbaikan, memang mengalami peningkatan tetapi dengan persentase yang kecil. Seperti
dikemukakan di bagian I, persentase ketuntasan belajar siswa sebelum perbaikan hanya
mencapai 10%. Dengan demikian,
perbaikan siklus I hanya mampu meningkatkan sebesar 10%.
Dari hasil analisis dan refleksi
penulis dan teman sejawat terhadap proses dan hasil perbaikan siklus I, berhasil
diidentifikasi sejumlah faktor yang masih menjadi kendala/masalah atau penyebab
belum tercapainya kriteria ketuntasan yang diharapkan. Faktor-faktor tersebut
adalah:
1. Kurangnya minat dan
motivasi siswa dalam mengikuti pelajaran, karena pembelajaran kurang menarik,
bahkan ada selentingan siswa yang beranggapan bahwa sebaiknya pembelajaran
menggunakan alat yang mudah diamati dan mendekati dengan kenyataan yang
sebenarnya..
2.
Soal-soal yang harus dikerjakan
oleh siswa terlalu sulit. Hal ini disebabkan siswa kurang mengerti terhadap
materi yang dijelaskan oleh guru.
3.
Sebagai konsekuensi dari kedua
kendala/masalah/kesulitan di atas, maka dalam proses diskusi kelas tampak bahwa
penguasaan materi siswa dan keberanian siswa menjawab/menanggapi pertanyaan
siswa dari kelompok lain rendah.
Terhadap ketiga faktor yang menjadi kendala/masalah/kesulitan dalam
meningkatkan ketuntasan belajar siswa hingga mencapai kriteria ketuntasan yang
diharapkan, penulis dan teman sejawat memandang perlu dilakukan perubahan dan
perbaikan, yakni:
1.
Menggunakan media pembelajaran
yang mudah diperoleh serta mudah dipahami oleh siswa. Oleh karena itu
disepakati untuk membuat media sederhana dan sesuai dengan kemampuan psikologis
siswa, yakni yang dinamakan dengan istilah Media Pembelajaran Faktual. Selain
itu, agar tidak terjadi salah konsep pada siswa, sebab siswa SD kelas V secara
psikologis masih pada taraf berfikir konkrit.
2.
Pendekatan Pembelajaran pada
siklus II lebih difokuskan pada Pembelajaran Inquiri, Kreatif, Sosial, Aktif,
dan nyata. Hal ini dilakukan agar siswa merasa tertarik dan tertantang pada
saat proses pembelajaran.
2. Hasil Penelitian Siklus Kedua
Setelah
dilakukan perubahan dan perbaikan terhadap kedua aspek yang sudah penulis
kemukakan di atas, proses pembelajaran siklus kedua sudah mengalami peningkatan
dibandingkan siklus I, dan secara keseluruhan sudah mencapai target minimal ketuntasan
belajar yang diharapkan.
Terjadinya peningkatan dan pencapaian target minimal ketuntasan belajar
yang diharapkan tergambarkan dari: (1) pengamatan terhadap indikator pembelajaran Inquiri,
Kreatifitas, Kerjasama (sosial), dan aktifitas sebagai
instrumen pengumpulan data untuk proses pembelajaran, dan (3) hasil penilaian
akhir.
Dari pengamatan terhadap indikator
pembelajaran Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama (sosial) pada
siklus II diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4
Hasil Pengamatan indikator
pembelajaran Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama (sosial) di Kelas Siklus II
NO |
Nama |
L/P |
SIKLUS 2 |
1 |
FATHORRAHMAN |
L |
78,6 |
2 |
HOSEN |
L |
71,4 |
3 |
HOTIBULLAH |
L |
78,6 |
4 |
HUMAIROH |
P |
78,6 |
5 |
JAMILATUL MUAQILA |
P |
71,4 |
6 |
NOER LAILI |
P |
71,4 |
7 |
NURUL QOMARIYAH |
P |
71,4 |
8 |
RAHMAT HIDAYAT |
L |
64,3 |
9 |
RISKI AL FARIBI |
L |
78,6 |
10 |
RIZAL IFANDI |
L |
71,4 |
11 |
RUSMAILAH |
P |
78,6 |
12 |
ST. MAISAROH |
P |
71,4 |
13 |
SUHARTINI |
P |
71,4 |
14 |
ZAHROTUN |
P |
71,4 |
15 |
ZAINULLAH |
L |
71,4 |
Hasil Pengamatan indikator
Aktifitas Belajar di Kelas Siklus II
NO |
Nama |
L/P |
SIKLUS 2 |
1 |
FATHORRAHMAN |
L |
71 |
2 |
HOSEN |
L |
79 |
3 |
HOTIBULLAH |
L |
79 |
4 |
HUMAIROH |
P |
71 |
5 |
JAMILATUL MUAQILA |
P |
79 |
6 |
NOER LAILI |
P |
71 |
7 |
NURUL QOMARIYAH |
P |
71 |
8 |
RAHMAT HIDAYAT |
L |
79 |
9 |
RISKI AL FARIBI |
L |
71 |
10 |
RIZAL IFANDI |
L |
71 |
11 |
RUSMAILAH |
P |
79 |
12 |
ST. MAISAROH |
P |
71 |
13 |
SUHARTINI |
P |
64 |
14 |
ZAHROTUN |
P |
71 |
15 |
ZAINULLAH |
L |
71 |
Keterangan:
kriteria keberhasilan proses diskusi kelompok adalah 65% siswa menunjukkan
keaktifan dalam diskusi kelas, penguasaan materi diskusi kelompok, dan
kemampuan merespon/ menanggapi/menjawab pertanyaan
Dilihat dari aspek indikator
pembelajaran Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama (sosial), dan aktifitas sebagai instrumen pengumpulan data untuk proses pembelajaran,
hasil perbaikan siklus II sudah memenuhi kriteria keberhasilan yang sudah
ditetapkan, yaitu lebih dari 65% siswa menunjukkan peningkatan, penguasaan
materi diskusi kelompok, dan kemampuan merespon/ menanggapi/menjawab pertanyaan
di dalam proses diskusi kelas.
Sementara dari tes akhir
siklus II juga menunjukkan perolehan hasil yang menggembirakan dan mencapai
target yang diharapkan (60% siswa mencapai nilai minimal 65). Berikut adalah data
nilai tes akhir siklus II.
Tabel 6
Hasil Tes Akhir Siklus II
NO |
Nama |
L/P |
SIKLUS 2 |
1 |
FATHORRAHMAN |
P |
66 |
2 |
HOSEN |
P |
75 |
3 |
HOTIBULLAH |
L |
80 |
4 |
HUMAIROH |
P |
75 |
5 |
JAMILATUL MUAQILA |
L |
68 |
6 |
NOER LAILI |
P |
77 |
7 |
NURUL QOMARIYAH |
L |
65 |
8 |
RAHMAT HIDAYAT |
P |
76 |
9 |
RISKI AL FARIBI |
P |
72 |
10 |
RIZAL IFANDI |
L |
75 |
11 |
RUSMAILAH |
L |
75 |
12 |
ST. MAISAROH |
L |
68 |
13 |
SUHARTINI |
P |
80 |
14 |
ZAHROTUN |
P |
80 |
15 |
ZAINULLAH |
L |
70 |
Ket: Nilai minimal
ketuntasan = 65
Nilai tes akhir seperti dalam tabel 6 di atas menggambarkan bahwa perbaikan
siklus II memperlihatkan pencapaian hasil yang sangat menggembirakan, bukan
saja karena perolehan nilai siswa secara individual mengalami banyak
peningkatan, juga persentase ketuntasan belajar siswa pun banyak
peningkatannya, serta kriteria ketuntasan belajar yang diharapkan bisa dicapai
dan terlampaui. Dari 15 orang siswa kelas V yang penulis jadikan subjek
penelitian, hampir seluruhnya, yaitu 15 orang atau 100% yang mencapai persentase dan batas nilai minimal
ketuntasan belajar (60% siswa mendapat nilai minimal 65. Dengan demikian
pencapaian nilai tes akhir pada siklus kedua meningkat 1000% dari 60 % nilai
tes akhir siklus I.
4.2 Pembahasan
Seperti
sudah dijelaskan di atas, perbaikan pembelajaran dalam dua siklus yang penulis
laksanakan dibantu oleh teman sejawat guru, menunjukkan bahwa penggunaan Pendekatan Pembelajaran IKSAN mampu
meningkatkan proses dan hasil belajar siswa tentang Memberikan contoh peraturan perundang-undangan
tingkat pusat dan daerah, seperti pajak, antikorupsi, lalu lintas, dan larangan
merokok. Walaupun,
peningkatan dan pencapaian kriteria ketuntasan untuk setiap aspek yang dikaji (indikator
pembelajaran Inquiri, Kreatifitas, Kerjasama (sosial), dan aktifitas) terjadi
secara bertahap dalam dua siklus.
Dari hasil
dua siklus perbaikan pembelajaran sebagaimana sudah penulis paparkan di atas,
penggunaan Pendekatan Pembelajaran IKSAN memang dapat dijadikan salah satu
alternatif bagi upaya guru dalam meningkatkan proses dan hasil belajar siswa.
Dari data di atas, hasil akhir dari perbaikan pembelajaran mampu meningkatkan persentase
ketuntasan belajar siswa tentang ”Memberikan contoh peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah,
seperti pajak, antikorupsi, lalu lintas, dan larangan merokok“ secara keseluruhan sebesar 100%, yakni
dari 20% (sebelum perbaikan) menjadi
100% (akhir perbaikan siklus
II).
Kemampuan Pendekatan Pembelajaran IKSAN dalam
meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, tampaknya bukan saja sesuai dengan hakikat
pendidikan Sains, yaitu mengarahkan siswa untuk “mencari tahu dengan
menemukan sendiri” dan “berbuat” sehingga dapat membantu mereka untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Depdiknas,
2003). Media Pembelajaran Faktual dan Pendekatan
Pembelajaran IKSAN dalam Sains juga seperti dikemukakan oleh Collete & Chiappetta (1994), bahwa
pendekatan inkuiri dengan model pembelajaran kontekstual adalah suatu model pembelajaran di mana guru
menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga masyarakat. Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
BAB V
SIMPULAN
DAN SARAN
5.2 Simpulan
Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari hasil dua siklus
perbaikan pembelajaran adalah :
1.
Penggunaan pendekatan pembelajaran IKSAN dapat meningkatkan proses dan hasil
belajar PKn pada siswa kelas V SDN
Rombuh 1 Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.
2.
Ketercapaian ketuntasan hasil belajar PKn siswa kelas V SDN Rombuh 1 Kecamatan Palengaan secara keseluruhan adalah di atas 65% setelah pembelajaran dilakukan menggunakan pendekatan pembelajaran IKSAN.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut beberapa hal yang sebaliknya dilakukan guru
adalah :
- Pembelajaran
harus ditekankan pada proses bukan pada hasil agar relevansi dengan kecenderungan
pemikiran tentang belajar dewasa ini yang menuntut belajar efektif.
- Penggunaan
pendekatan pembelajaran IKSAN dapat memudahkan pemahaman siswa karena
masih berada pada taraf berfikir konkrit (7-11 tahun).
- Sudah
waktunya meninggalkan pola pikir bahwa belajar diartikan sebagai perolehan
pengetahuan dan mengajar diartikan memindahkan pengetahuan kepada orang
yang belajar.
4. Belajar dari masalah riil di atas sudah
waktunya kita meninggalkan pola pikir
behavioristik-objektivistik.
DAFTAR PUSTAKA
Ayşe OĞUZ-ÜNVER & bSertaç ARABACIOĞLU, ,(2015), OVERVIEWS ON INQUIRY BASED AND PROBLEM BASED
LEARNING METHODS, (http://webb.deu.edu.tr/baed/giris/baed/ozel_sayi/303-310.pdf)
Barr, R. D., Barth, J. L., Shermis, S. S. (1977) Defining
the Social Studies, Virginia : National Council for The Social Studies.
Barr, R. D., Barth, J. L., Shermis, S. S. (1978) The
Nature of the Social Studies, Palm Spring : An ETS Pablication
Collete, T.A. & Chiappetta, L. E. 1994. Science
Instruction In The Middle And Secondary Schools, Third Edition. New York:
Macmillan Publising Company
Dsmktylenda ,(2015), Lev Vygotsky's Social Constructivist Theory,
(https://sites.google.com/site/dsmktylenda/content/vygotsky-s-social-constructivist-theory),
Hergenhahn, B.R, Olson, H, Matthew, (2012).
Theories Of Learning (Teori Belajar), Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Syah, Muhibbin, Rahayu
Kariadinata, (2009), Pembelajaran Aktif,
Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM, Bandung: FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SUNAN GUNUNG DJATI
Susanto,
Ahmad, (2014), Pengembangan
Pembelajaran IPS di SD,Jakarta, Kencana.
Trianto, (2011), Model-model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik,Jakarta, Prestasi Pustaka.
Trowbridge
& Bybee. (1990). Becoming A Secondary School Science Teacher 5th
ed. USA: Merill Publishing Company
Wasty
Soemanto, (2003), Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta.
Wina
Sanjaya, (2010), Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta : Kencana.
Winataputra, Udin S. ( 2001 ). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta :
Universitas Terbuka.
WNET EDUCATION,
(2015) What is inquiry-based learning? (