PARADIGMA KEILMUAN DALAM
ISLAM
Dalam buku berjudul Perkembangan Manusia Seperti Dijelaskan dalam
Al-Qur'an dan Sunnah (2000), profesor anatomi dan biologi sel di
Universitas Toronto tersebut bersama peneliti lain menyatakan bahwa sebelum
abad ke-20, penelitian embriologi sulit dilakukan karena keterbatasan
teknologi. Saat ini belum ada literatur yang menjelaskan tahap-tahap
perkembangan janin secara rinci. Namun belasan abad yang lampau Alquran telah
menjelaskan tahap demi tahap perkembangan embrio yang merepresentasikan temuan
benua di bidang embriologi. Dalam buku ini dijelaskan tahap demi tahap
embriologi menurut Alquran yang selaras dengan penemuan berevolusi. Salah satu
kalimat konklusif di buku tersebut adalah, “Deskripsi
Al-Qur'an adalah indikasi yang jelas bahwa pengetahuan ini datang kepada
Muhammad (damai dan berkah besertanya) dari Tuhan” (Zindani et al ., 2000).
Penelitian fenomenal ini pula yang kemudian
melahirkan ilmuwan tersebut, yaitu Keith L. Moore untuk tunduk menerima Islam. Hingga
saat ini karya beliau terus digunakan di pendidikan dokter modern, di antaranya
buku embriologi The Developing Human dan buku anatomi Clinically Oriented
Anatomy.
Perumusan konsep embriologi menurut al-Qur'an dan
as-Sunnah oleh Keith L. Moore bukan hanya sekedar menambah khazanah ilmu
pengetahuan. Tidak kalah pentingnya, fenomena ini mengetuk hati kita untuk
menilik kembali cara memandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Fenomena
tersebut bagaikan sebuah mutiara di tengah lumpur yang kelam. Sulit dipungkiri
bahwa saat ini agama disingkirkan dari pengembangan ilmu pengetahuan.
Paradigma Keilmuan dalam Islam
Bagaimana cara Islam memandang ilmu pengetahuan? Terdapat
perbedaan yang sangat mendasar antara tradisi Islam dan tradisi sekuler dalam
memandang ilmu pengetahuan. Dalam tradisi Islam, sebagaimana diuraikan dalam ushul fiqih , ada dua
garis besar ilmu, yaitu 1) ilmu makhluk dan 2) ilmu Allah Ta'ala.
Prof Wahbah Zuhaili dalam kitab beliau yang
fenomenal, yaitu Tafsir Al-Munir menjelaskan konsep ilmu manusia dan makhluk
lainnya sebagai bekal dalam kehidupan ini. Saat menjelaskan tafsir surat
al-Fatihah ayat 6 beliau menjelaskan bahwa makhluk memiliki lima tingkatan ilmu.
1.
Fitrah atau Ilham
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh hewan
mamalia yang baru saja dilahirkan oleh induknya. Dia akan segera mendekat untuk
menyusu kepada induknya. Inilah ilham yang Allah Ta'ala tanamkan kepada hewan.
2.
Panca Indra
Panca indera dimiliki oleh hewan dan manusia. Bahkan
pada awal kehidupan, panca indera hewan lebih berfungsi daripada manusia.
3.
Akal
Dengan akal inilah manusia mengelola informasi yang
diterima oleh panca inderanya. Dengan akal manusia menelurkan konsep-konsep dan
pemikiran yang mempengaruhi tingkah laku dan peradabannya sebagai manusia. Maka
dengan akal inilah peradaban manusia berkembang dan tidak statis sebagaimana
hewan.
4.
Agama Hidayah
Akal manusia memiliki keterbatasan. Terlebih lagi,
akal sering dikaburkan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini membuat manusia
rentan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, manusia memerlukan
panduan baku yang bersih dari polusi hawa nafsu. Ialah hidayah/ilmu agama. Ilmu
agama berasal dari Allah Ta'ala dan terbebas dari hawa nafsu, subhanallah. Ilmu
agama sudah pasti kebenarannya, dan seharusnya digunakan oleh makhluk untuk
mengatur tingkah lakunya.
5.
Hidayah taufik
Banyak orang mendapatkan nasihat dan arahan agama. Namun
pada kenyataannya, seringkali manusia memutuskan dari ilmu yang telah datang
kepadanya. Hal ini terjadi karena tidak semua manusia mendapatkan hidayah
taufik dari Allah Ta'ala. Taufik adalah kesesuaian hati seseorang untuk tunduk
dan menerima nasehat/ilmu agama yang datang kepadanya. Inilah hidayah yang
sering kita minta dengan lafadz ihdinash
shirathal mustaqim.
Inilah perbedaan besar antara paradigma ilmu
sekuler dengan paradigma ilmu peradaban Islam. Paradigma sekuler mengingkari
keberadaan “ilmu Tuhan”. Mereka menganut empirisme untuk mengakui ilmu. Empirisme
adalah suatu prinsip bahwa semua pengetahuan diperoleh dengan pengalaman. Apa
yang tidak dialami atau tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat mereka, tidak
dianggap sebagai ilmu. Pada akhirnya dibuanglah segala konsep agama dari
bahasan ilmu pengetahuan dalam paradigma sekuler.
Hal ini jelas bertentangan dengan pandangan ilmu
dalam tradisi Islam. serupa yang telah dijelaskan di atas, hasil olahan akal
manusia hanyalah tingkat ketiga dari lima tingkat ilmu. Adapun ilmu Allah
Ta'ala yang sampai kepada manusia sampai pada tingkat keempat dan kelima. Maka
ketika seseorang membatasi ilmu dengan empirisme, maka sebenarnya dia membatasi
ilmunya hanya sampai pada tingkat ketiga, yaitu tingkat akal.
Pembatasan ilmu hanya sampai ke tingkat akal akan
membatasi ilmu itu sendiri. Padahal, banyak informasi dari wahyu yang telah
Allah sampaikan namun belum dapat dipahami oleh manusia. Begitu pula dengan
ilmu empirisme yang dapat meniadakan keimanan. Demikian karena salah satu rukun
iman adalah beriman kepada yang ghaib. Padahal, banyak hal ghaib yang belum
dialami oleh manusia. Maka ilmu pengetahuan dengan empirisme membuat seseorang
mengingkari hal yang ghaib. Pembatasan ilmu dengan empirisme akan meniadakan
iman kepada hari akhir karena belum ada manusia di zaman ini yang pernah mengalami
kehidupan akhirat.
Oleh karena itulah Islam tidak membatasi ilmu
dengan empirisme insani. Dalam Islam, kebenaran bukan hanya apa yang pernah
dialami manusia. Selain pengalaman manusia, ada sumber ilmu lain dalam tradisi
keilmuan Islam yang disebut dengan khabar
shadiq.
Khabar shadiq ialah kabar yang benar, yang didasari oleh sifat-sifat
dasar santifik dan agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang
otentik. Menurut otoritasnya, khabar
shadiq dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu 1) otoritas mutlak yang
terdiri dari otoritas ketuhanan (Alquran) dan otoritas kenabian (hadits
Rasulullah `); 2) otoritas nisbi, yang terdiri dari kesepakatan alim ulama dan
kabar dari orang terpercaya secara umum. Otoritas Alquran dan hadits sebagai
sumber ilmu bersifat mutlak. Mengenai ilmu dari otoritas nisbi, tentu terdapat
syarat dan ketentuan untuk diterima sebagai ilmu yang benar. (Salim, 2014;
makalah INSIST “KhabarShadiq Sebuah Metode Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam” ).
Perbedaan dalam pengambilan sumber ilmu tentu
berpengaruh terhadap ilmu yang dihasilkan. Maka tidak heran jika banyak
pandangan dari peradaban sekuler yang bertentangan dengan Islam. Paradigma
sekuler mengambil pandangan dengan melepaskan diri dari agama. Maka sangat
wajar jika di antara produk pengetahuan sekuler bertentangan dengan
agama/kebenaran. Adapun produk keilmuan yang diolah dengan akal manusia yang
disertai dengan sinar ilahiyah
tentu lebih selaras dengan kebenaran hakiki.
Kesimpulan
Setelah mengikuti uraian di atas, sepertinya kita
perlu melihat kembali paradigma keilmuan kita di masa sekarang. Sebagai seorang
mukmin yang mengimani Allah Ta'ala Maha Mengetahui, tentu tidak pantas jika
kemudian justru mengingkari keilmuan Allah Ta'ala. Tentu aneh jika orang
beriman menolak peran agama dalam dinamika ilmu pengetahuan. Justru agama
adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan yang hakiki.
Oleh karena itulah sebagai manusia yang selalu
mengolah produk keilmuan, khususnya akademisi muslim, sudah sepantasnya
mengikuti paradigma keilmuan Islam. Dengan paradigma Islam, semakin banyak
sumber ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan. Dengan paradigma Islam,
semakin banyak produk ilmu yang dihasilkan untuk kemaslahatan manusia. Pada
akhirnya, dengan paradigma keilmuan Islam muncullah produk-produk ilmu yang
hakiki, bukan pengetahuan keliru yang dikemas dengan pencemaran hawa nafsu dan
keterbatasan akal. Wallahu
a'lam bish shawab.
Afif Azharul F