HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Jumat, 08 September 2023

Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

 

Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda (خيركم من تعلم القرآن و علمه)  “Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”. Maka seseorang yang al-Qur’an berhenti pada dirinya belumlah dapat dikatakan “sebaik-baiknya manusia” sampai ia mampu mengajarkannya.

Maka jika ingin menjadi seorang pengajar tentu sebelumnya sudah harus menguasai materi ajar yang akan ia ajarkan kepada orang lain. Dari sudut pandang inilah lahir upaya untuk memahami al-Qur’an secara mendalam yang salah satu produknya ialah ilmu kaidah tafsir—yang menjadi fokus bahasan pada artikel ini.

Memahami Kata Kaidah dan Tafsir

Sebagai langkah awal menjadi pengajar al-Qur’an, maka mengenal dan menghafal berbagai ta’rifat (definisi) khususnya yang terdapat dalam bidang keilmuan al-Qur’an dan tafsir adalah hal yang mustahab (dianjurkan). Oleh karena itu, sebelum masuk ke pembahasan yang lebih mendalam tentang kaidah tafsir, perlu dijabarkan terlebih dahulu definisi dari dua kosa kata penyusunnya yakni kaidah dan tafsir secara etimologis dan terminologis.

Secara etimologis/ secara bahasa kata kaidah (قاعدة), dalam bahasa Arab memiliki makna “asas/ fondasi” apabila dikaitkan dengan bangunan, dan memiliki makna “tiang” apabila dikaitkan dengan kemah.

Adapun secara terminologis terdapat beberapa istilah yang dirumuskan ulama untuk menjelaskan makna kaidah. Ada dua definisi yang ditampilkan oleh Quraish Shihab di dalam karyanya Kaidah Tafsir sebagai penjelasan makna istilahi dari kata kaidah. Adapun kedua definisi tersebut ialah :

قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها

“Rumusan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mencakup atas semua bagian-bagiannya”. (al-Ta’rifat li Jurjani).

حكم كلي يعترف بها على أحكام جزئية

“Ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan yang menyangkut rincian”.

Adapun hal yang harus digarisbawahi dari definisi “kaidah” ini ialah pada kata kulli. Kata kulli disana tidaklah melegitimasi bahwa semuanya tercakup tanpa terkecuali. Karena dalam pembahasan kaidah ada yang disebut dengan syadz atau yang tidak tercakup oleh kaidah. Semisal yang terjadi pada penggalan Q.S al-A’raf: 56 :

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Jika melihat pada kaidah bahasa tentunya terdapat kesalahan disana, kata qaribun yang menjadi khabar dari kata rahmat seharusnya diubah menjadi qaribatun. Karena menurut kaidah antara mubtada’ dan khobar haruslah berkesusaian baik dalam hal jinsi/ jenis (mu’anats-mudzakar), kuantitas (mufrad, mutsanna, jama’) dan seterusnya.

Maka dalam kasus ini tidak logis jika yang disalahkan adalah al-Qur’an. Karena kaidah lahir berdasarkan telaah atas al-Qur’an sehingga jika memang harus ada objek yang disalahkan tentunya itu adalah kaidah bahasa itu sendiri. Meskipun “anomali kebahasaan” ini dijelaskan beragam oleh para mufassir di mana salah satu alasannya ialah adat dari bangsa Arab sendiri.

Selanjutnya definisi kata “tafsir”. Secara etimologis kata tafsir diartikan dengan penjelasan atau penampakan makna. Dalam kitabnya Maqayis fi al-Lughah, Ibn Faris menjelaskan bahwa kata-kata yang tersusun atas tiga huruf yakni fa-sa-ra mengandung makna keterbukaan dan kejelasan. Maka kata tafsir yang merupakan bentuk derivasi dari fassara mengandung makna kesungguhan membuka atau upaya terus-menerus membuka.

Maka apabila kata tafsir disandingkan dengan al-Qur’an, maka melahirkan sebuah displin ilmu yakni tafsir al-Qur’an yang salah satu definisi singkatnya ialah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusia atau lebih spesifik lagi jika melihat definisi yang dibawakan Imam al-Zarkasyi yang menguraikan bahwasanya tafsir secara istilah :

علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه 

Ilmu yang dengannya dipahami al-Qur’an dan penjelasan maknanya serta menarik hukum-hukumnya dan hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Adapun Abdul Mustaqim menambahkan bahwa tafsir dapat dibagi menjadi dua yakni 1) tafsir sebagai produk pemikiran penafsir (intaj) dan 2) tafsir sebagai ilmu atau proses metodologi pembentukan pemikiran (thoriqoh).

Hakikat Kaidah Tafsir

Menurut Quraish Shihab, hakikat Kaidah Tafsir adalah “ketetapan-ketetapan yang membantu seorang penafsir untuk menarik makna/pesan-pesan al-Qur’an dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya”. Ketetapan-ketetapan inilah yang menjadi barometer bagi mufasir untuk memahami kandungan dan pesan-pesan al-Qur’an yang dalam penerapannya memerlukan kejelian dan kehati-hatian.

Apalagi sebagian dari kaidah yang dijadikan patron itu dapat mengandung pengecualian-pengecualian. Maka dari sini tentunya kejelian dan penguasaan sangatlah dibutuhkan dalam mengaplikasikan kaidah karena di dalamnya terdapat beragam alternatif yang bahkan bertolak belakang.

Pada ayat harb (perang) misalnya Q.S. al-Taubah [9]: 36:

 وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً

Dan perangilah kaum musyrikin secara totalitas sebagaimana mereka memerangi kalian secara totalitas”.

Harus dipahami bahwasanya ayat ini tidak boleh diaplikasikan semena-mena tanpa pertimbangan. Perlu adanya pertimbangan akan prinsip dasar al-Qur’an berdasarkan kaidah yang ditetapkan. Abdul Mustaqim menguraikan sebuah kaidah berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat harb dan qital yakni أية السلم مقدم على أية الحرب (ayat yang memuat nilai-nilai perdamaian diutamakan dari ayat-ayat yang memuat kekerasan dan peperangan—apabila disalahpahami).

Dari kaidah itu didapati bahwa prinsip asli dari al-Qur’an adalah perdamaian. Maka ayat-ayat harb dan qital tidak bisa dijadikan dalil asal-asalan untuk memayungi nafsu yang penuh kebencian.

Penerapan kaidah tersebut menjadi bukti betapa pentingnya penguasaan kaidah sebelum mencoba menafsirkan al-Qur’an. Sebab tanpa penguasaan kaidah yang baik akan sangat rawan terjadi kesalahan penafsiran.

Apalagi hanya berpegang pada terjemah literalnya saja, sebagaimana fenomena tafsir asal-asalan yang dewasa ini banyak dijumpai. Maka mari perdalam dulu keilmuan dan jangan sekali-sekali berlagak paham al-Qur’an kalau memahaminya saja masih lewat terjemahan.  

v Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran

Untuk memudahkan dalam proses memahami dan mengkaji Al-Qur’an, para ulama memberikan berbagai kaidah dalam penafsiran ayat Al-Quran. Tentu jumlah kaidah yang dihasilkan sangatlah banyak, namun dalam kitab Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuh, Syaikh Fahd al-Rumi meringkas berbagai kaidah tersebut menjadi tujuh kaidah penting dalam proses penafsiran ayat Al-Quran. Tujuh kaidah tersebut antara lain adalah:

1.     Kull ‘Aam Yabqa ‘ala ‘Umumih hatta Ya’tiy ma Yukhashishuh

Kaidah ini bermakna bahwa setiap lafadz ayat yang mengandung makna lebih dari satu, maka ayat tersebut juga ditafsirkan dengan berbagai ragam makna yang terkandung di dalamnya. Namun, kaidah di atas tidak berlaku apabila terdapat dalil yang mengkhususkan pada salah satu makna yang terkandung dalam ayat tersebut.

Syaikh Fahd al-Rumi mencontohkan implementasi kaidah ini dalam memahami Q.S. Quraisy [106] ayat 4:

الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ – ٤

Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan

Pemberian rasa aman dalam ayat tersebut bersifat umum, yaitu bisa bermakna rasa aman dari musuh (‘aduw) ataupun dari penyakit kusta/lepra (judzam). Sehingga ayat tersebut tidak bisa dimaknai hanya sebagai bentuk pengamanan dari musuh ataupun sebaliknya, tetapi harus dibiarkan bermakna umum sebagaimana asal keumuman ayat tersebut.

2.     Al-Ibrah bi ‘Umum al-Lafdzi La bi Khusus al-Sabab

Maksud kaidah ini adalah yang dijadikan dasar pemahaman ayat adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sabab turunya ayat tersebut. Al-Allamah Abdurrahman ibn Sa’diy mengatakan bahwa riwayat historis asbab nuzul dari sebuah ayat itu berguna sebagai pemisalan atau ilustrasi untuk menjelaskan (taudhih) teks ayat. Sehingga makna ayat tidak bisa dibatasi hanya untuk subjek yang berkaitan dengan konteks historis ayat tersebut.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa apabila terdapat kalimat hadzih al-ayah nazalat fi kadza, bukan bermaksud bahwa hukum ayat itu hanya berlaku pada pelaku historis ayat tersebut, tetapi berlaku umum untuk semua orang. Contoh implementasi kaidah ini bisa ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 204:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ – ٢٠٤

Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras

Diriwayatkan oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwsanya Ka’ab al-Qardhi berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki, tetapi kemudian berlaku umum”. Seorang laki-laki yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al-Akhnas ibn Syuraiq, namun karena lafal ayat bersifat umum maka diberlakukan untuk semua orang selain al-Akhnas.

3.     Ikhtilaf al-Qira’at fi al-Ayah Yu’addid Ma’aniha

Syaikh Fahd al-Rumi menjelaskan bahwa perbedaan qira’at terjadi dalam dua keadaan: Pertama, perbedaan qira’at pada ragam pembacaan huruf dan harakat, seperti bacaan idzhar, idgham, imalah, mad, dan lain sebagainya. Kedua, perbedaan qira’at dalam tataran kalimat ataupun harakat yang mengakibatkan adanya perbedaan makna.

Penguasaan terhadap keilmuan qira’at sangatlah penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat tersebut membantu mufasir dalam membedakan mana qira’at yang berakibat pada perubahan atau penambahan makna dan yang tidak merubah makna. Hal ini dikarenakan apabila ditemukan qira’at yang mengakibatkan perubahan atau perbedaan makna, maka hal tersebut sangat mempengaruhi dalam penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.

4.     Al-Ma’na Yakhtalif bi Ikhtilaf Rasm al-Kalimah

Terkadang terdapat sebagian kalimat yang memiliki multi makna. Namun, hal tersebut dapat dibedakan dengan melihat format penulisan teks mushaf (rasm al-mushaf) yang digunakan. Sehingga dalam hal ini, rasm al-kalimah memiliki peran penting dalam mentarjih antar ragam makna yang terkandung, agar dapat dipilih satu makna yang sesuai. Contoh penggunaan kaidah ini dapat dijelaskan dalam memahami Q.S. al-A’la [87] ayat 6:

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسٰىٓ ۖ – ٦

Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa

Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kalimat (فلا تنسى). Terdapat pendapat yang memaknai kalimat tersebut sebagai bentuk penyangkalan (li al-nafyi) sehingga bermakna pemberitaan. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kalimat tersebut sebagai bentuk larangan (li al-nahyi). Untuk mengetahui pendapat mana yang lebih kuat, maka disinilah fungsi rasm al-kalimah sebagai murajjih antar dua pendapat tersebut.

Setelah dilihat secara rasm al-kalimah, maka kalimat tersebut lebih sesuai berfungsi sebagai kalimat penyangkalan. Hal ini dikarenakan dalam kalimat tersebut terdapat al-alif al-maqshurah (ى) setelah huruf sin. Andaikan kalimat tersebut bermakna larangan maka seharusnya rasm al-kalimah-nya hanya tansa (تنس) tanpa al-alif al-maqshurah. Hal ini disebabkan apabila (لا) dalam kalimat tersebut li al-nahyi maka fi’il setelahnya akan menjadi majzum. Dan konsekuensi dari majzum adalah penghilangan huruf illah (hadf al-harf al-mu’tal) pada lam fi’il-nya.

5.     Al-Siyaq al-Qur’aniy

Kaidah kelima ini mengingatkan kepada setiap mufasir agar dalam proses penafsiran Al-Qur’an tidak hanya fokus pada satu ayat saja, tetapi juga dilakukan peninjauan terhadap ayat-ayat lain yang memiliki korelasi, keterkaitan dan hubungan terhadap ayat yang sedang dikaji. Cara yang demikian dapat membantu dalam penetapan makna yang mendekati terhadap apa yang dikehendaki Al-Qur’an, walaupun dalam kata atau kalimat ayat tersebut mengandung banyak makna.

Pentingnya penguasaan terhadap kaidah ini dapat dilihat dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2] ayat 121:

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ – ١٢١

Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi

Dikutip oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwasanya Qatadah mengatakan jika ayat tersebut berbicara berkenaan dengan para sahabat Nabi. Namun, ulama lain berbendapat bahwa ayat di atas bercerita tentang ahli kitab dari bani Israil yang menjadi pengikut Nabi Muhammad. Dalam menyikapi hal ini, al-Thabari lebih memilih pendapat yang kedua. Hal ini dikarenakan pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang cerita ahli kitab, sehingga ada siyaq (korelasi) antara ayat yang dikaji dengan ayat sebelumnya.

6.     Al-Tafsir Yakun bi al-Aghlab al-Dzahir min al-Lughah

Karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka tidak boleh jika hasil tafsirnya terhadap ayat Al-Qur’an menyelisihi makna dan aspek kebahasaan yang digunakan oleh lisan orang-orang Arab saat itu. Oleh karena itu, penguasaan terhadap aspek kebahasaan menjadi sebuah hal yang sangat urgen dalam proses penafsiran ayat Al-Qur’an.

Contoh penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam penafsiran Q.S. al-Baqarah [2] ayat 102:

وَلَقَدْ عَلِمُوْا لَمَنِ اشْتَرٰىهُ مَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۗ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهٖٓ اَنْفُسَهُمْ ۗ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ – ١٠٢

Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu

Dalam memaknai kata khalaq, Ibnu Jarir al-Thabari mengartikanya sebagai keberuntungan (al-nashib). Argumentasi al-Thabari dalam pemilihan makna tersebut dikarenakan kata khalaq dalam konteks ucapan orang Arab saat itu dimaknai sebagai nashib (keberuntungan).

7.     Taqdim al-Ma’na al-Syar’iy ‘ala al-Ma’na al-Lughawiy

Apabila dalam satu kata terdapat dua makna atau lebih, dimana dalam ragam makna tersebut terdapat dimensi makna lughawiy dan syar’iy, serta antara makna lughawiy dan syar’iy juga saling bertentangan, maka yang didahulukan adalah dimensi makna syar’iy. Mengapa demikian? Karena Al-Qur’an diturunkan berfungsi sebagai penjelas syari’at, bukan untuk menjelaskan makna kebahasaan, kecuali ada hal yang mengharuskan penggunaan makna lughawiy.

Contoh penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam memahami Q.S. al-Taubah [9] ayat 84:

وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ اَبَدًا وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهٖۗ اِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَمَاتُوْا وَهُمْ فٰسِقُوْنَ – ٨٤

Kata tushalli dalam ayat tersebut mengandung dua dimensi makna yaitu dimensi lughawiy bermakna do’a. Kemudian juga dimensi syar’iy yang bermakna shalat jenazah. Maka dalam hal ini, secara umum yang didahulukan adalah makna syari’atnya yaitu shalat jenazah. Namun sebaliknya, bisa jadi makna lughawiy lebih didahulukan apabila ada hal yang mendukung penggunaan makna lughawiy tersebut. Seperti dalam Q.S. al-Taubah [9] ayat 103:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ١٠٣

kata wa shalli dalam ayat di atas tidak bermakna perintah shalat, sebagaimana jika dipahami dengan dimensi makna syar’iy. Namun, kata tersebut lebih sesuai dimaknai dengan dimensi makna lughawiy yaitu do’a. Hal ini dikarenakan adanya hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan nomor hadis 1078 yang mengindikasikan bahwa pemaknaan lughawiy lebih tepat dalam memaknai kata wa shalli dalam ayat di atas. Hadis tersebut tertulis sebagaimana berikut:

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ أَوْفَى – رضى الله عنه – قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ

Dari Abdullah ibn Abi Aufa, ia berkata: bahwasanya Rasulullah SAW ketika terdapat suatu kaum yang datang kepadanya dengan membawa zakat mereka, maka Rasulullah bersabda: Ya Allah berkahilah mereka

Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuh kaidah yang telah dijelaskan di atas merupakan kaidah dasar yang sangat urgen untuk dikuasai oleh setiap pengkaji Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan kaidah-kaidah tersebut sangat membantu dalam proses penafsiran makna ayat Al-Qur’an. Wallahu A’lam

Sumber : Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran - Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia

Lebih jelas lagi tentang “kaidah – kaidah penting untuk para Mufassir, silakan klik link di bawah ini :

v Al-Itqon - kaidah tafsir -580-743.pdf (archive.org)

v Kaidah - kaidah penting untuk para mufassir -261-283.pdf (archive.org)

v KEDUDUKAN DAN FUNGSI KAIDAH-KAIDAH TAFSIR (core.ac.uk)

v 290620-kaidah-kaidah-tentang-penafsiran-alquran-8cde7f2e.pdf (neliti.com)

v COVER kAIDAH TAFSIR 2022.cdr (ptiq.ac.id)

v Kaidah Tafsir Dalam Ulumul Quran.pdf (uin-antasari.ac.id)

v Moraref (kemenag.go.id)

v (99+) PRINSIP DASAR DAN METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'ÂN FAHD BIN 'ABD AL-RAHMÂN BIN SULAYMÂN AL-RÛMÎ | Wardani (Professor) - Academia.edu

v Microsoft Word - 2. Jabal Nur, Qawa id..................doc (neliti.com)

v Qawaid al-Tafsir Jam'an wa Dirasatan

v (PDF) QAWAID TAFSIR: TELAAH ATAS PENAFSIRAN AL-QUR’AN MENGGUNAKAN QAUL SAHABAT (researchgate.net)

v Kaidah Tafsir Dalam Ulumul Quran.pdf (uin-antasari.ac.id)

v al-qawā'id al-hisān li tafsīr al-qur'an karya al-sa'dī

v Qawaid Tafsir dan Ushul Tafsir Siti Aisyah dalam Kitab Sahih Muslim | Nirwana AN | Jurnal Ilmiah Al-Mu ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif (ar-raniry.ac.id)

v bab iii beberapa kaidah tafsir dalam perspektif m. quraish

v bab ii gambaran umum kaidah tafsir dan penyimpangan

v Moraref (kemenag.go.id)

v 288099965.pdf (core.ac.uk)

v Microsoft Word - 02 Salman.rtf (uinjkt.ac.id)

v QAWAID TAFSIR: TELAAH ATAS PENAFSIRAN AL-QUR’AN MENGGUNAKAN QAUL SAHABAT (readcube.com)

v A Review Of Nawawi Al Bantani's Book Of Tafsir Marah Labid

v KAIDAH TAFSIR

v Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir | Muttakin | Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir (uinsgd.ac.id)

v kaidah tafsir reposi.pdf

v Kaidah Tafsir: Terdapat Penjelasan Pada Ayat-Ayat Yang Bisa Disalah-pahami (muslim.or.id)

v View of Kaidah Tafsir (stiuda.ac.id)

v نظرات في قواعد تفسير القرآن الكريم – بوابة الرابطة المحمدية للعلماء (arrabita.ma)

v القواعد ىي: األمور الكمية المنضبطة التي يستخدميا المفسر في تفسيره

v قواعد التفسير جمعا ودراسة (archive.org)

v مقدمة في قواعد التفسير (midad.com)

v قواعد التفسير جمعا ودراسة : العلامة الشيخ خالد بن عثمان السبت : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive

v قواعد الترجيح المتعلقة بالنص عند ابن عاشور في تفسيره التحرير والتنوير (archive.org)

v (PDF) قواعد التفسير (researchgate.net)

v Quran4-Quran4-Quraan06373-مختصر-في-قواعد-التفسير--خالد-بن-عثمان-السبت.pdf - Google Drive

v 2018-MUHAMMAD YASIR-2015.pdf (ptiq.ac.id)

v 156109454208-AL-BASEERA 4 (Vol. 2 - Issue. 2) DEC-2013.pdf (numl.edu.pk)

v القواعد الحسان المتعلقة بتفسير القرآن (islamhouse.com)

v 105.pdf (univ-batna.dz)

v التأليف المعاصر في قواعد التفسير، دراسة نقدية لمنهجية الحكم بالقاعدية (alukah.net)

v 9_2021_09_05!09_50_09_PM.pdf (uomustansiriyah.edu.iq)

v التأليف المعاصر في قواعد التفسير - Tafsir Center for Quranic Studies | مركز تفسير للدراسات القرآنية

v تحميل كتاب التأليف المعاصر في قواعد التفسير دراسة نقدية لمنهجية الحكم بالقاعدية ل محمد صالح محمد سليمان pdf (ketabpedia.com)

v 347_MTfseer_TaleefMoaserQwaedTfseer.pdf (islamway.net)

v قواعد الترجيح عند المفسرين (islamweb.net)

v قواعد الترجيح عند المفسرين دراسة نظرية تطبيقية (archive.org)

v مختصر قواعد الترجيح عند المفسرين (tafsir.net)

v Quran6-Quraan15247-تنازع-قواعد-الترجيح-عند-المفسرين--عبد-الله-بن-عبد-الرحمن-الرومي.pdf - Google Drive

v Quran6-Quraan13461-الترجيح-باللغة-عند-المفسرين-تطبيقا-على-لغة-أهل-اليمن-دراسة-وصفية-تحليلية--عبده-أحمد-عبد-الله-جريد.pdf - Google Drive

v eqooed.doc (live.com)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: