Tafsir QS.Al-Baqoroh
Ayat 234 - 236
Hukum Tentang ‘Iddah Perempuan Yang Ditinggal Mati Suaminya,
Meminang Dan Yang Berhubungan Dengannya
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًۭا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍۢ وَعَشْرًۭا
ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ
أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌۭ ﴿البقرة: 234﴾
Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri
hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu
(wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang
patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
v Surat
Al-Baqarah Ayat 234 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb
Idah perempuan yang
ditinggal mati suaminya adalah empat bulan
sepuluh hari. Walaupun ayat ini kelihatannya umum (mencakup semua wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya) namun ada pengecualian yaitu yang tidak dalam
keadaan hamil. Sebab untuk wanita hamil, telah ada hukum yang lain pada ayat
yang lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tafsir ayat 240. Selama masa idah ia tidak boleh
berhias, mempersiapkan diri menerima pinangan atau
memberi janji untuk menerima pinangan.
Demikian juga ia tidak boleh keluar rumah kecuali karena hal-hal yang dibolehkan oleh
agama. Karena selain masa itu untuk mengetahui kebersihan rahimnya (hamil atau
tidak hamil), juga digunakan sebagai masa berkabung. Manakala ia tidak hamil
maka ia wajib berkabung menghormati tali hubungan suami istri baik terhadap
mendiang suami maupun terhadap keluarga suaminya. Ia harus berkabung selama ia
dalam idah. Setelah habis masa empat bulan sepuluh hari tersebut dibolehkan
membuat segala sesuatu tentang dirinya menurut cara yang wajar, umpamanya
menerima pinangan, keluar rumah dan perbuatan lain yang tidak bertentangan
dengan agama. Allah mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. Ayat
ini menegaskan bahwa mengenai masa berkabung ini Islam memberikan jalan
sebaik-baiknya yang sesuai dengan kebutuhan manusia. Wanita-wanita pada masa
jahiliah melakukan masa berkabung selama satu tahun penuh dan tidak boleh
memakai perhiasan, tidak boleh makan makanan yang enak dan tidak boleh pula
memperlihatkan diri di muka umum. Bahkan pada sebagian kelompok masyarakat kaum
wanita yang menjalani masa berkabung ini harus melakukan hal-hal yang jauh
lebih berat dari apa yang dilakukan oleh orang di masa jahiliyah, seperti:
terus menerus menangis dan meratap. Tidak boleh menghias dirinya dan lain
sebagainya. Melakukan masa berkabung ini bukan karena kematian suaminya saja,
tetapi karena kematian anak pun mereka berkabung secara demikian. Maka tepat
apa yang diatur oleh Islam bahwa masa berkabung untuk wanita yang kematian
suami tidak boleh lebih dari empat bulan sepuluh hari dan untuk kematian famili
lainnya tidak boleh lebih dari tiga hari. Penyimpangan dari ketentuan ini harus
dihindari karena Allah Maha Mengetahui segala apa yang dikerjakan manusia.
Ayat ini menjelaskan idah cerai mati agar tidak ada dugaan bahwa idah cerai mati sama dengan cerai hidup. Dan orang-orang yang mati di antara kamu, yakni para suami, serta meninggalkan istri-istri yang tidak sedang hamil, hendaklah mereka, para istri, menunggu atau beridah selama empat bulan sepuluh hari termasuk malamnya, sebagai ketentuan syarak yang bersifat qat'i (pasti). Kemudian apabila telah sampai akhir atau selesai masa idah mereka, yakni para istri yang ditinggal mati suaminya, maka tidak ada dosa bagimu, wahai para wali dan saudara-saudara mereka, yakni tidak menghalangi dan melarang mereka mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri yang sebelumnya dilarang ketika masih dalam masa idah, menurut cara yang patut dan sesuai dengan agama dan kewajaran, seperti berhias, menerima pinangan, menikah, dan aktivitas lainnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, baik yang kamu sembunyikan maupun yang kamu tampakkan.
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ
أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًۭا
مَّعْرُوفًۭا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ
ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ
أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌۭ ﴿البقرة: 235﴾
Tidak ada dosa bagimu atas kata sindiran untuk meminang
perempuan-perempuan atau (keinginan menikah) yang kamu sembunyikan dalam hati.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Akan tetapi, janganlah
kamu berjanji secara diam-diam untuk (menikahi) mereka, kecuali sekadar
mengucapkan kata-kata yang patut (sindiran). Jangan pulalah kamu menetapkan
akad nikah sebelum berakhirnya masa idah. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu. Maka, takutlah kepada-Nya. Ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.
v Surat Al-Baqarah
Ayat 235 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb
v
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang laki-laki boleh mengucapkan
kata-kata sindiran untuk meminang wanita yang masih berada dalam masa idahnya,
baik idah karena kematian suami, maupun idah karena talak ba'in. Tetapi hal itu
sama sekali tidak dibenarkan bila wanita itu berada dalam masa idah dari talak
raj'i. Ungkapan yang menggambarkan bahwa lelaki itu mempunyai maksud untuk
mengawininya, bila telah selesai idahnya, umpamanya si lelaki itu berkata,
"Saya senang sekali bila mempunyai istri yang memiliki sifat-sifat seperti
engkau," atau ungkapan lainnya yang tidak mengarah pada berterus terang.
Allah melarang bila seorang laki-laki mengadakan janji akan menikah, atau
membujuknya untuk menikah secara sembunyi-sembunyi atau mengadakan pertemuan
rahasia. Hal ini tidak dibenarkan karena dikhawatirkan terjadi fitnah. Seorang
laki-laki tidak dilarang meminang perempuan yang masih dalam masa idah talak
ba'in jika pinangan itu dilakukan secara sindiran, atau masih dalam rencana,
karena Allah mengetahui bahwa manusia tidak selalu dapat menyembunyikan isi
hatinya. Pinangan tersebut hendaknya tidak dilakukan secara terang-terangan tetapi
hendaknya dengan kata-kata kiasan yang merupakan pendahuluan, yang akan
ditindaklanjuti dalam bentuk pinangan resmi, ketika perempuan tersebut telah
habis idahnya. Pinangan dengan sindiran itu tidak boleh dilakukan terhadap
perempuan yang masih dalam idah talak raj'i, karena masih ada kemungkinan
perempuan itu akan kembali kepada suaminya semula. Cara seperti ini dimaksudkan
agar perasaan wanita yang sedang berkabung itu tidak tersinggung, juga untuk
menghindarkan reaksi buruk dari keluarga mantan suami dan masyarakat umum.
Karenanya akad nikah dengan wanita yang masih dalam idah dilarang. Suatu
larangan yang dianggap haram qath'i, dan akad nikah tersebut harus dibatalkan.
Ayat ini menjelaskan
apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan
yang masih dalam masa idah. Dan tidak ada dosa bagimu, wahai kaum laki-laki,
meminang perempuan-perempuan itu yang masih dalam masa idah, baik idah cerai
mati maupun karena ditalak tiga, selain yang ditalak raj'i (satu atau dua),
dengan sindiran, seperti ucapan, "Aku suka dengan perempuan yang lembut
dan memiliki sifat keibuan", atau kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati
untuk melamar dan menikahinya jika sudah habis masa idahnya. Demikian ini
karena Allah mengetahui bahwa kamu tidak sabar sebagai lelaki akan
menyebut-nyebut keinginanmu untuk melamar dan menikahinya kepada mereka, yakni
perempuan-perempuan tersebut setelah habis idahnya. Tetapi janganlah kamu,
wahai laki-laki, membuat perjanjian, baik secara langsung maupun tidak langsung
namun terkesan memberi harapan untuk menikah dengan mereka, yakni
perempuan-perempuan yang masih dalam masa idah, secara rahasia, yakni hanya
diketahui berdua, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata sindiran yang baik. Dan
janganlah kamu, wahai para lelaki, menetapkan akad nikah kepada perempuan yang
ditinggal mati suaminya atau ditalak tiga sebelum habis masa idahnya, sebab
akad nikahmu akan dianggap batal. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, yakni ketertarikanmu kepada perempuan itu untuk segera
menikahinya, maka takutlah kepada-Nya, dari melanggar hukum-hukum-Nya. Dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun atas kesalahan akibat kelemahan dirimu,
Maha Penyantun dengan memberimu kesempatan bertobat.
لَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ
تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةًۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗۚ مَتَاعًا ۢ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ ٢٣٦
Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika
kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu
tentukan maharnya. Berilah mereka mut‘ah, bagi yang kaya sesuai dengan
kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, sebagai
pemberian dengan cara yang patut dan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
ihsan.
v Surat
Al-Baqarah Ayat 236 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb
Seorang suami yang
menjatuhkan talak pada istrinya sebelum dukhul (digauli), dan sebelum
menentukan jumlah maharnya tidak dibebani kewajiban membayar mahar, hanya saja
ia didorong untuk memberi mut'ah yaitu pemberian untuk menyenangkan bekas
istrinya. Besar kecilnya jumlah pemberian tersebut tergantung pada suami, yang
kaya sesuai dengan kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar
yang disanggupinya. Pemberian mut'ah tersebut merupakan suatu anjuran bagi
laki-laki yang mau berbuat baik.
Pada ayat berikut
Allah menjelaskan hukum terkait perceraian antara suami dan istri yang belum
dicampuri dan belum ditetapkan maskawinnya. Tidak ada dosa atau tidak apa-apa
bagimu, wahai para suami, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum
kamu sentuh, yakni belum kamu campuri, atau belum kamu tentukan maharnya, untuk
tidak memberikan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut'ah, yaitu sesuatu
yang diberikan sebagai penghibur kepada istri yang diceraikan, selain nafkah.
Bagi yang mampu dianjurkan memberi mut'ah menurut kemampuannya dan bagi yang
tidak mampu tetap dituntut untuk memberi mut'ah menurut kesanggupannya, yaitu
pemberian dengan cara yang patut dan tidak menyakiti hatinya atau menyinggung
perasaannya. Yang demikian itu merupakan kewajiban bagi orang-orang yang
senantiasa berbuat kebaikan yang dibuktikan dengan selalu siap berkorban.
Tentang
‘Iddah, silakan buka link di bawahb ini ;
v
Tafsir Jalalain dan Penjelasan Lainnya
(234) {وَاَلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ[1]} يَمُوتُونَ[2] {مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ} يَتْرُكُونَ {أَزْوَاجًا[3] يَتَرَبَّصْنَ} أَيْ لِيَتَرَبَّصْنَ[4] {بِأَنْفُسِهِنَّ[5]} بَعْدهمْ[6] عَنْ النِّكَاح[7] {أَرْبَعَة أَشْهُر وَعَشْرًا[8]} مِنْ اللَّيَالِي[9] وَهَذَا فِي غَيْر الْحَوَامِل[10] أَمَّا الْحَوَامِل فَعِدَّتهنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلهنَّ[11] بِآيَةِ الطَّلَاق وَالْأَمَة[12] عَلَى النِّصْف مِنْ ذلك[13] بالنسبة {فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلهنَّ} انْقَضَتْ مُدَّة
تَرَبُّصهنَّ {فَلَا جُنَاح عَلَيْكُمْ} أَيّهَا الْأَوْلِيَاء {فِيمَا فَعَلْنَ
فِي أَنْفُسهنَّ} مِنْ التَّزَيُّن[14] وَالتَّعَرُّض لِلْخُطَّابِ[15] {بِالْمَعْرُوفِ} شَرْعًا {وَاَللَّه بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِير}
عَالِم بِبَاطِنِهِ كَظَاهِرِهِ
(235) {وَلَا جُنَاح عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ[16]} لَوَّحْتُمْ {بِهِ مِنْ خِطْبَة النِّسَاء} الْمُتَوَفَّى عَنْهُنَّ
أَزْوَاجهنَّ فِي الْعِدَّة كَقَوْلِ الْإِنْسَان مَثَلًا إنَّك لَجَمِيلَة وَمَنْ
يَجِد مِثْلك وَرُبّ رَاغِب فِيك {أَوْ أَكْنَنْتُمْ} أَضْمَرْتُمْ {فِي
أَنْفُسكُمْ} مِنْ قَصْد نِكَاحهنَّ {عَلِمَ اللَّه أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ}
بِالْخِطْبَةِ وَلَا تَصْبِرُونَ عَنْهُنَّ فَأَبَاحَ لَكُمْ التَّعْرِيض
{وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا} أَيْ نِكَاحًا {إلَّا} لَكِنْ {أَنْ
تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا} أَيْ مَا عُرِفَ شَرْعًا مِنْ التَّعْرِيض فَلَكُمْ
ذَلِكَ {وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَة النِّكَاح} أَيْ عَلَى عَقْده {حَتَّى يَبْلُغ
الْكِتَاب} أَيْ الْمَكْتُوب مِنْ الْعِدَّة {أَجَله} بِأَنْ يَنْتَهِي
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّه يَعْلَم مَا فِي أَنْفُسكُمْ} مِنْ الْعَزْم وَغَيْره
{فَاحْذَرُوهُ} أَنْ يُعَاقِبكُمْ إذَا عَزَمْتُمْ {وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّه
غَفُور} لِمَنْ يَحْذَرهُ {حَلِيم} بِتَأْخِيرِ الْعُقُوبَة عَنْ مُسْتَحِقّهَا
(236) {لَا جُنَاح عَلَيْكُمْ إنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ} وَفِي قِرَاءَة {تُمَاسُّوهُنَّ} أَيْ تُجَامِعُوهُنَّ {أو} لم {تفرضوا لهن فريضة} مهرا وَمَا مَصْدَرِيَّة ظَرْفِيَّة أَيْ لَا تَبَعَة عَلَيْكُمْ فِي الطَّلَاق زَمَن عَدَم الْمَسِيس وَالْفَرْض بِإِثْمٍ ولا مهر فطلقوهن {وَمَتِّعُوهُنَّ} أَعْطُوهُنَّ مَا يَتَمَتَّعْنَ بِهِ {عَلَى الْمُوسِع} الْغَنِيّ مِنْكُمْ {قَدَره وَعَلَى الْمُقْتِر} الضَّيِّق الرِّزْق {قَدَره} يُفِيد أَنَّهُ لَا نَظَرَ إلَى قَدَر الزَّوْجَة {مَتَاعًا} تَمْتِيعًا {بِالْمَعْرُوفِ} شَرْعًا صِفَة مَتَاعًا {حقا} صفة ثانية أو مصدرية مُؤَكِّدَة {عَلَى الْمُحْسِنِينَ} الْمُطِيعِينَ
روائع البيان تفسير آيات الأحكام
1.
الحكمة
في تحديد عدة الوفاة بأربعة أشهر وعشر أيام هي أن الغاية الأصلية معرفة براءة
الرحم، والجنين يتكون في بطن أمه أربعين يوماً نطفة، ثم أربعين يوماً علقه، ثم
أربعين يوماً مضغة، كما دل على ذلك الحديث الصريح الصحيح، فهذه مائة وعشرون يوماً،
ثم تنفخ فيه الروح بعد هذه المدة، فزيدت العشر لذلك، وقد سئل أبو العالية: لم ضمت
العشر إلى الأربعة أشهر؟ فقال: لأن الروح فيها تنفخ.( الحديث
الرابع إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ...)
الحكم الأول: هل
الآية ناسخة لآية الاعتداد بالحول؟
ذهب جمهور العلماء
إلى أن هذه الآية ناسخة لقوله عَزَّ وَجَلَّ: {والذين يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجاً وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعاً إِلَى الحول غَيْرَ إِخْرَاجٍ}
[البقرة: 240] فقد كانت العدة حولاً كاملاً، ثم نسخ ذلك بأربعة أشهر وعشر، وهذه
الآية وإن كانت متقدمة في (التلاوة) على آية الاعتداد بالحول، إلاّ أنها متأخرة في
(النزول) فإن ترتيب المصحف ليس على ترتيب النزول بل هو توقيفي فتكون ناسخة، وذهب بعضهم إلى أنه ليس في الآية
نسخ، وإنما هو نقصان من الحول كصلاة المسافر لما نقصت من أربع إلى اثنين لم تكن
نسخاً وإنما كانت تخفيفاً.
قال
القرطبي: «وهذا غلطٌ بيّن، لأنه
إذا كان حكمها أن تعتد سنة، ثم أزيل هذا ولزمتها العدة أربعة أشهر وعشراً فهذا هو
النسخ، وليست صلاة المسافر من هذا في شيء» .
الحكم الثاني: ما
هي عدة الحامل المتوفي عنها زوجها؟
عدة الحامل المتوفي
عنها زوجها (وضع الحمل) لقوله تعالى: {وَأُوْلاَتُ الأحمال أَجَلُهُنَّ أَن
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] فالآية هذه قد خصّصت العموم الوارد في قوله
تعالى: {والذين يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ ... } وهذا قول جمهور العلماء.
وروي عن علي وابن
عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهما أن الحامل تعتدّ بأبعد الأجلين، بمعنى أنها إذا كانت
حاملاً فوضعت الحمل ولم تنته مدة العدة (أربعة أشهر وعشر) تبقى معتدة حتى تنتهي
المدة، وإذا انتهت المدة ولم تضع الحمل تنتظر حتى وضع الحمل، فإذا قعدت أبعد
الأجلين فقد عملت بمقتضى الآيتين، وإن اعتدت بوضع الحمل فقد تركت العمل بآية عدة
الوفاة، والجمع أولى من الترجيح.
قال القرطبي: وهذا
نظرٌ حسن لولا ما يعكر عليه من حديث (سبيعة الأسلمية) وهو في الصحيح.
حجة الجمهور:
استدل الجمهور على
أن عدة الحامل وضع الحمل بالكتاب والسنة:
أ - أما الكتاب
فقوله تعالى: {وَأُوْلاَتُ الأحمال أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}
[الطلاق: 4] ، فهذه عامة في المطلّقة والمتوفى عنها زوجها، وقد جعل الله العدة
فيها بوضع الحمل.
ب - وأما السنة فما
روي عن (سُبيعة الأسلمية) أنها كانت تحت (سعد بن خولة) وهو ممن شهد بدراً، فتوفي
عنها في حجة الوداع وهي حامل، فلم تنْشبْ (أي تلبث) أن وضعت حملها بعد وفاته، فلما
تعلّت من نفاسها (أي طهرت من دم النفاس) تجمّلت للخُطّاب، فدخل عليها أبو السنابل
بن بعكك فقال لها: ما لي أراك متجملة، لعلّك ترجِّينَ النكاح؟ والله ما أنت بناكح
حتى يمرّ عليك أربعة أشهر وعشر. قالت سبيعة: فلما قال لي ذلك جمعتُ عليّ ثيابي حين
أمسيتُ، فأتيتُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فسألته عن ذلك
فأفتاني بأني قد حللْتُ حين وضعت حملي، وأمرني بالتزوج إن بدا لي «.
قال ابن عبد البر:»
وقد روي أن ابن عباس رجع إلى حديث (سُبيْعة) لمّا احتُج به عليه، قال: ويصحّح ذلك
أن أصحابه أفتوا بحديث سُبيْعة كما هو قول أهل العلم قاطبة «.
وقال القرطبي:»
فبيّن الحديثُ أن قوله تعالى: {وَأُوْلاَتُ الأحمال أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] محمول على عمومه في المطلقات، والمتوفّى عنهن أزواجهن،
وأن عدة الوفاة مختصة بالحائل من الصنْفين، ويعتضد هذا بقول ابن مسعود: «من شاء
باهلته، إن آية النساء القصرى نزلت بعد آية عدة الوفاة» .
الحكم الثالث: ما
هو الإحداد، وكم تحد المرأة على زوجها؟
أوجبت الشريعة
الغراء أن تحد المرأة على زوجها المتوفى مدة العدة وهي (أربعة أشهر وعشر) ويجوز
لها أن تحد على قريبها الميت ثلاثة أيام، ويحرم عليها أن تحد عليه فوق ذلك، لما
روي في «الصحيحين» عن زينب بنت أم سلمة قالت: دخلت على أم حبيبة حين توفي أبو
سفيان (أبوها) فدعت أم حبيبة بطيبٍ فيه صفرة خلوق وغيره فدهنت منه جارية ثم مسّت
بعارضيها، ثم قالت: والله ما لي بالطيب من حاجة غير أني سمعت رسول الله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يقول على المنبر: «لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم
الآخر أن تحدّ على ميت فوق ثلاث إلاّ على زوج أربعة أشهر وعشراً» .
معنى الإحداد: والإحداد هو ترك
الزينة، والتطيب، والخضاب، والتعرض لأنظار الخاطبين، وهو إنما وجب على الزوجة
وفاءٌ للزوج، ومراعاة لحقه العظيم عليها، فإن الرابطة الزوجية أقدس رباط، فلا يصح
شرعاً ولا أدباً أن تنسى ذلك الجميل، وقد كانت المرأة تحد على زوجها حولاً كاملاً
تفجعاً وحزناً على زوجها، فنسخ الله ذلك وجعله أربعة أشهر وعشراً.
روى البخاري ومسلم
«عن أم سلمة أن امرأة قالت يا رسول الله:» إنّ ابنتي تُوفّي عنها زوجها، وقد اشتكت
عينها أفنكحلها؟ فقال: لا، مرتين أو ثلاثاً كل ذلك يقول: لا! ثم قال: إنما هي
أربعة أشهر، وقد كانت إحداكنّ في الجاهلية تمكث سنة «قالت زينب بنت أم سلمة: كانت
المرأة إذا توفي عنها زوجها دخلت حفشاً، ولبست شر ثيابها، ولم تمسّ طيباً ولا
شيئاً حتى تمر بها سنة، ثم تخرج فتعطى بعرة فترمي بها، ثم تؤتى بدابة حمارٍ أو شاة
فتفتضّ بها، فقلما تفتضّ بشيء إلا مات.
وقد استنبط بعض العلماء وجوب الإحداد من قوله
تعالى: {فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ
في أَنْفُسِهِنَّ} أي من زينةٍ وتطيب، فيفيد تحريم ذلك في العدة وهو استنباط حسن
دقيق، وقال بعضهم: الإحداد يكون بالتربص عن الأزواج والنكاح خاصة وهو ضعيف.
قال ابن كثير:» والإحداد هو عبارة عن ترك الزينة من الطيب،
ولبس ما يدعوها إلى الأزواج من ثياب وحلي وغير ذلك، وهو واجب في عدة الوفاة قولاً
واحداً، ولا يجب في عدة الرجعية قولاً واحداً، وهل يجب في عدة البائن فيه قولان،
ويجب الإحداد على جميع الزوجات المتوفى عنهن أزواجهن، سواء في ذلك الصغيرة،
والآيسة، والحرة، والأمة، والمسلمة،والكافرة لعموم الآية «.
الحكم الرابع: لماذا
شرعت العدة على المرأة؟
ذكر العلماء لحكمة
مشروعية العدة وجوهاً عديدة نجملها فيما يلي:
أ - معرفة براءة
الرحم حتى لا تختلط الأنساب بعضها ببعض.
ب - للتعبد
امتثالاً لأمر الله عَزَّ وَجَلَّ حيث أمر بها النساء المؤمنات.
ج - إظهار الحزن
والتفجع على الزوج بعد الوفاة اعترافاً بالفضل والجميل.
د - تهيئة فرصة
للزوجين (في الطلاق) لإعادة الحياة الزوجية عن طريق المراجعة.
هـ - التنويه بفخامة أمر النكاح حيث لا يتم إلا بانتظار طويل، ولولا ذلك لأصبح بمنزلة لعب الصبيان، يتم ثم ينفك في الساعة.
الأحكام الشرعية
الحكم الأول: ما
هو حكم خطبة النساء؟
النساء في حكم
(الخِطْبة) على ثلاثة أقسام:
أحدها: التي تجوز خطبتها (تعريضاً وتصريحاً) وهي التي ليست في عصمة أحد من
الأزواج، وليست في العدة، لأنه لمّا جاز نكاحها جازت خطبتها.
الثاني: التي لا تجوز خطبتها (لا تصريحاً، ولا تعرضاً) وهي التي في عصمة
الزوجية، فإنّ خطبتها وهي في عصمة آخر إفساد للعلاقة الزوجية وهو حرام، وكذلك حكم
المطلّقة رجعياً فإنها في حكم المنكوحة.
الثالث: التي تجوز خطبتها (تعريضاً) لا (تصريحاً) وهي المعتدة في الوفاة،
وهي التي أشارت إليها الآية الكريمة: {وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النسآء} ومثلها المعتدة البائن المطلّقة ثلاثاً
فيجوز التعريض لها دون التصريح. والدليل على حرمة التصريح ما قاله الشافعي رَحِمَهُ اللَّهُ: «لمّا
خُصّص التعريض بعدم الجناح، وجب أن يكون التصريح بخلافه» وهذا الاستدلال دلّ عليه مفهوم
المخالفة.
الحكم الثاني: هل
النكاح في العدة صحيح أم فاسد؟
حرّم الله النكاح
في العدة، وأوجب التربص على الزوجة، سواءً كان
ذلك في عدة الطلاق، أو في عدة الوفاة، وقد دلت الآية وهي قوله تعالى: {وَلاَ
تعزموا عُقْدَةَ النكاح حتى يَبْلُغَ الكتاب أَجَلَهُ} على تحريم العقد على المعتدة،
واتفق العلماء على أن العقد فاسد ويجب فسخه لنهي
الله عنه. وإذا عقد عليها وبنى بها فُسخ النكاح، وحرمت على التأبيد عند (مالك
وأحمد) فلا يحل نكاحها أبداً عندهما لقضاء عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْه بذلك، ولأنه
استحلّ ما لا يحل فعوقب بحرمانه، كالقاتل يعاقب بحرمانه من الميراث.
وقال أبو حنيفة والشافعي: يُفسخ
النكاح، فإذا خرجت من العدة كان العاقد خاطباً من الخطاب، ولم يتأبد التحريم، لأنّ
الأصل أنها لا تحرم إلا بدليل من كتابٍ، أو سنةٍ،
أو إجماع، وليس في المسألة شيء من هذا، وقالوا: إنّ الزنى أعظم من النكاح في
العدة، فإذا كان الزنى لا يحرمها عليه تحريماً مؤبداً، فالوطء بشبهة أحرى بعدم
التحريم، وما نقل عن عمر فقد ثبت رجوعه عنه.
قضاء عمر رَضِيَ
اللَّهُ عَنْه في الحادثة
روى ابن المبارك
بسنده عن مسروق أنه قال: «بلغ عمر أن امرأة من قريش تزوجها رجل من ثقيف في عدتها،
فأرسل إليهما ففرّق بينهما وعاقبهما، وقال: لا ينكحْها أبداً، وجعل الصداق في بيت
المال، وفشا ذلك بين الناس فبلغ علياً كرم الله وجهه فقال: يرحم الله أمير
المؤمنين {ما بال الصداق وبيت المال} إنما جهلا فينبغي أن يردهما السنة. قيل: فما
تقول أنت فيهما؟ قال: لها الصداق بما استحل من فرجها، ويفرق بينهما ولا جلد
عليهما، وتكمل عدتها من الأول ثم تعتد من الثاني عدة كاملة ثم يخطبها إن شاء.
فبلغ ذلك عمر فقال:
يا أيها الناس ردّوا الجهالات إلى السنة «.
الحكم الثالث: ما
هو حكم المطلقة قبل الدخول؟
وضحّت الآيات
الكريمة أحكام المطلقات، وذكرت أنواعهنّ وهنّ كالتالي:
أولاً: مطّلقة
مدخول لها، مسمّى لها المهر.
ثانياً: مطلّقة غير
مدخول بها، ولا مسمّى لها المهر.
ثالثاً: مطلّقة غير
مدخول بها، وقد فرض لها المهر.
رابعاً: مطلّقة
مدخول بها، وغير مفروض لها المهر.
فالأولى ذكر الله
تعالى حكمها قبل هذه الآية، عدّتُها ثلاثة قروء، ولا يُسترد منها شيء من المهر
{والمطلقات يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قروء} [البقرة: 228] {وَلاَ
يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّآ آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً} [البقرة: 229] .
والثانية: ذكر الله
تعالى حكمها في هذه الآية، ليس لها مهرٌ، ولها المتعة بالمعروف لقوله تعالى: {لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النسآء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ ... } [البقرة: 236] الآية كما أن هذه ليس عليها عدة باتفاق لقوله تالى
في سورة الأحزاب [49] {ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ
فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم َ - gt; والثالثة: ذكرها الله تعالى بعد هذه الآية، لها نصف المهر ولا
عدة عليها أيضاً لقوله تعالى: {وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ
وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} .
والرابعة: ذكرها
الله تعالى في سورة النساء [24] بقوله: {فَمَا استمتعتم بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} [النساء: 24] فهذه يجب لها مهر المثل. قال الرازي ويدل
عليه أيضاً القياس الجلي، فإن الأمة مجمعة على أن الموطوءة بشبهة لها مهر المثل،
فالموطوءة بنكاح صحيح أولى بهذه الحكم.
الحكم الرابع: هل
المتعة واجبة لكل مطلّقة؟
دل قوله تعالى:
{وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الموسع قَدَرُهُ وَعَلَى المقتر قَدَرُهُ} على وجوب المتعة
للمطلّقة قبل المسيس وقبل الفرض، وقد اختلف الفقهاء هل المتعة واجبة لكل مطلقة؟
فذهب (الحسن
البصري) إلى أنها واجبة لكل واجبة لكل مطلّقة للعموم في قوله تعالى:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بالمعروف حَقّاً عَلَى المتقين} [البقرة: 241] .
وقال مالك: إنها
مستحبة للجميع وليست واجبة لقوله تعالى: {حَقّاً عَلَى المتقين} [البقرة: 241] و
{حَقّاً عَلَى المحسنين} ولو كانت واجبة لأطلقها على الخلق أجمعين.
وذهب الجمهور
(الحنفية والشافعية والحنابلة) إلى أنها واجبة للمطلّقة التي لم يفرض لها مهر، وأمّا التي فرض لها مهر فتكون المتعة لها
مستحبة وهذا مروي عن (ابن عمر) و (ابن عباس) و (علي) وغيرهم، ولعله يكون الأرجح
جمعاً بين الأدلة والله أعلم.
الحكم الخامس: ما
معنى المتعة وما هو مقدارها؟
المتعة: ما يدفعه
الزوج من مال أو كسوة أو متاع لزوجته المطلّقة، عوناً لها وإكراماً، ودفعاً لوحشة
الطلاق الذي وقع عليها، وتقديرُها مفوض إلى الاجتهاد.
قال مالك: ليس
للمتعة عندنا حد معروف في قليلها ولا كثيرها.
وقال الشافعي:
المستحب على الموسم خادم، وعلى المتوسط ثلاثون درهماً، وعلى المقتر مقنعة.
وقال أبو حنيفة:
أقلها درع وخمار وملحفة، ولا تزاد على نصف المهر.
وقال أحمد: هي درع
وخمار بقدر ما تجزئ فيه الصلاة، ونقل عنه أنه قال: هي بقدر يسار الزوج وإعساره
{عَلَى الموسع قَدَرُهُ وَعَلَى المقتر قَدَرُهُ} وهي مقدرة باجتهاد الحاكم، ولعل
هذا الرأي الأخير أرجح والله أعلم.
ما ترشد إليه
الآيات الكريمة
1 - جواز التعريض في خطبة المعتدة من الوفاة ومن الطلاق البائن.
2 - حرمة عقد النكاح على المعتدّة في حالة العدة وفساد هذا العقد.
3 - المتعة واجبة لكل مطلّقة لم يذكر لها مهر، ومستحبة لغيرها من
المطلقات.
4 - إباحة تطليق المرأة قبل المسيس إذا كانت ثمة ضرورةٌ ملحة.
5 - المطلّقة قبل الدخول لها نصف المهر إذا كان المهر مذكوراً.
Referensi
v
المَبحثُ الأوَّلُ: تَعريفُ الإحدادِ - الموسوعة الفقهية - الدرر
السنية (dorar.net)
v
المَبحَثُ الثَّاني: حُكمُ الإحدادِ - الموسوعة الفقهية - الدرر السنية (dorar.net)
v
المَبحَثُ الثَّالِثُ: الحِكْمةُ مِنَ الإحدادِ - الموسوعة الفقهية -
الدرر السنية (dorar.net)
v
حكم الإحداد سنة كاملة في الثوب الأسود
(binbaz.org.sa)
v
الإحداد على الزوج وما يلزم فيه وفقا للمذاهب الأربعة - الإسلام سؤال
وجواب (islamqa.info)
v
إسلام ويب - المكتبة الاسلامية - العرض الموضوعي - تعريف الإحداد لغة (islamweb.net)
v
حساب عدة المتوفى عنها زوجها إذا لم تكن حاملا
(islamweb.net)
v
تحسب عدة الوفاة بالشهور القمرية لا بالشهور الشمسية (islamweb.net)
v
حساب عدة الوفاة (islamweb.net)
v
أحكام الإحداد في الإسلام - IslamHouse.com
v
الإحداد على الزوج (alukah.net)
v
ص166 - كتاب الإمداد
بأحكام الحداد - الفصل الرابع أقسام الإحداد - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
v
مدة الإحداد الشرعية - الفتاوى - دار الإفتاء المصرية - دار الإفتاء (dar-alifta.org)
v
المبحث الأول تعريف
الإحداد (almosleh.com)
v
الحداد على الميت : مظاهره ومدته - فقه المسلم
(islamonline.net)
v
حدود الحداد على الزوج المتوفى - فقه المسلم
(islamonline.net)
v
الفرق بين الرجل والمرأة في الحداد على الميت - محمود الدوسري - طريق
الإسلام (islamway.net)
v
ما هو الحداد - موضوع (mawdoo3.com)
v
حكمها
والحكمة الشرعية من مشروعيتها
v
متعة المطلقة تعريفها تقديرها وشروط استحقاقها
(islamweb.net)
v
أقوال العلماء في حكم متعة المطلقة ومقدارها
(islamweb.net)
v
مشروعية المتعة للمطلقة (binbaz.org.sa)
v
هل للمطلقة بعد الدخول متعة - الإسلام سؤال وجواب
(islamqa.info)
v
ما حكم نفقة متعة المطلقة؟ وكم مقدارها؟
(binbaz.org.sa)
v
متعة
المطلقة دراسة فقهية (ekb.eg)
v
article_296212_12a2539c45cc89f0816898af73b6020e.pdf (ekb.eg)
v
"المتعة".. حق المطلقة الغائب (saaid.org)
v
ما هي متعة المطلقة ؟ - الالباني
(al-fatawa.com)
v
"المتعة".. حق المطلقة الغائب (saaid.org)
v
Sha-004-032-01-2014.pdf (qu.edu.qa)
v
ص15 - كتاب شرح أخصر
المختصرات لابن جبرين - متعة المطلقة - المكتبة الشاملة
(shamela.ws)
v
ما حكم نفقة متعة المطلقة؟ وكم مقدارها؟ - ابن باز (al-fatawa.com)
v
المتعة للمطلقة - الفتاوى - دار الإفتاء المصرية - دار الإفتاء (dar-alifta.org)
v
متعة المطلقة بعد الدخول (alukah.net)
[1] قوله:
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ} بضم الياء مبنياً للمفعول، وفي قراءة بفتحها مبنياً
للفاعل، والمعنى عليها يستوفون آجالهم.(حاشية
الصاوي)
[2] قوله: (يموتون)
المناسب تقبض أرواحهم ليناسب الفعل المبني للمفعول. (حاشية
الصاوي)
[3] قوله: {أَزْوَاجاً}
جمع زوج بمعنى زوجة لأن الزوج يقع على الذكر والأنثى. (حاشية
الصاوي)
[4] قوله: (أي ليتربصن)
أشار بذلك إلى أن المراد من الآية الأمر وإن كان ظاهرها الخبر له. (حاشية
الصاوي)
[5] قوله:
{بِأَنْفُسِهِنَّ} الباء زائدة للتأكيد والأصل يتربصن أنفسهن يعني لا بواسطة حكم
حاكم، فإن العدة لا تحتاج لذلك. (حاشية
الصاوي)
[6] قوله:
(بعدهم) الضمير عائد على اسم الموصول الواقع على الرجال، وقدره المفسر ليصح
الأخبار بجملة يتربصن عن الموصول هكذا أعرب المفسر، وبعضهم قدر في المبتدأ فقال
وأزواج الذين يتوفون، وبعضهم قدر في الخبر حيث قال والذين يتوفون منكم ويذرون
أزواجاً أزواجهم يتربصن، فأزواجهم مبتدأ، وجملة يتربصن خبره، والمبتدأ وخبره خبر
الأول والرابط موجود. (حاشية
الصاوي)
[7] قوله: (عن النكاح)
أي نكاح الغير لهن. (حاشية
الصاوي)
[8] قوله: {أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْراً} إما مفعول ليتربصن على حذف مضاف أي مضى أربعة أشهر وعشر أو
ظرف له. (حاشية
الصاوي)
[9] قوله: (من الليالي)
أي مع النهار وخص الليالي لسبقها على النهار.
(حاشية
الصاوي)
[10] قوله: (وهذا في غير الحوامل) أي ما تقدم من العموم لا يتناول الحوامل
والاماء. (حاشية
الصاوي)
[11] قوله: (أن يضعن
حملهن) أي كله ولو علقة أو مضغة فلا تحل إلا بوضعه ولو مكث الزمن الطويل في بطنها. (حاشية
الصاوي)
[12] قوله: (والأمة)
بالجر معطوف على الحوامل. (حاشية
الصاوي)
[13] قوله: (على النصف
من ذلك) أي فعدتها شهران وخمس ليال وهو خبر لمبتدأ محذوف تقديره وهي على النصف من
ذلك وأعلم أن ذلك تعبد أمرنا به الشارع ولم نعقل له معنى، ولذا أمرت بتلك العدة
الصغيرة وزوجة الصغير، وما قبل إنه معلل بوجود حركة الحمل بعد الأربعة أشهر فغير
مطرد في الأمة الصغيرة وزوجة الصغير.
(حاشية
الصاوي)
[14] قوله: (من التزين)
أي الشرعي بأن تفعل ذلك ببيتها. (حاشية
الصاوي)
[15] قوله: (والتعرض
للخطاب) معطوف على التزين فلا يحرم كل من التزين والتعرض للخطاب بعد العدة، وأما
فيها فيحرم على الأولياء وعليهن إذا بلغن ويجب عليهن كفهن ولو بالشتم والضرب. (حاشية
الصاوي)
[16] قوله: {فِيمَا عَرَّضْتُمْ} التعريض هو الكلام الذي يفهم منه القصود بطرف خفي. (حاشية الصاوي)