Talak – Pengertian, Macam dan Permasalahannya
A. Pengertian, Dasar Hukum, dan Macam-macam
Talak
A.1 Pengertian Talak
Talak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yang berarti
lepas dan bebas. Sedangkan talak secara terminologi adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafaz talak[1].
Kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung arti
bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini terikat, yaitu ikatan pernikahan.
Sedangkan kata “hubungan pernikahan” mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri
hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Adapun kata “lafaz talak”
mengandung arti bahwa putusnya pernikahan itu melalui suatu ucapan yang
digunakan itu adalah kata-kata talak.[2]
Talak secara istilah dalam
kitab al-Fiqh
‘ala al-Mazahib al-Arba’ah adalah:
فِى
الإصْطِلاَحِ بِأَنَّهُ إِزَالَةُ النِّكَاحِ أَوْ نُقْصَانُ حَلِّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ[2]
Terjemahannya: “Talak ialah
menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan
kata-kata tertentu.”
Sayyid Sabiq dalam Fiqh
al-Sunnah mendefinisikan talak sebagai berikut:
وَفِى الشَّرْعِ حَلُّ رَابِطَةِ
الزَّوَاجِ وَانْهَاءُ العَلاَقَةِ الزَّوْجِيَّةِ[3].
Terjemahannya: “Talak
menurut syara’ ialah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan
suami isteri.”
Kemudian dalam kitab Kifayat
al-Akhyar, talak didefinisikan dengan:
وَهُوَ فِى الشَّرْعِ اسْمٌ لِحَلِّ
قَيْدِ النِّكَاحِ وَهُوَ لَفْظٌ جَاهِلِيٌّ وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَقْرِيْرِهِ.[4]-
Terjemahannya: “Talak
menurut syara’ ialah nama untuk melepaskan tali ikatan nikah dan talak itu
adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai
kata melepaskan nikah.”
Adapun pengertian talak menurut Kompilasi
Hukum Islam[5] Pasal 117[6]
adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131[7].
Berdasarkan pengertian di atas, dapat simpulkan bahwa talak adalah
memutuskan atau mengakhiri hubungan perkawinan antara suami-isteri, baik saat
itu juga maupun pada waktu kemudian, dengan lafaz talak atau lafaz-lafaz lain
memiliki makna yang sama dengan kata-kata talak tersebut. Salah satu contoh
lafaz-lafaz yang semakna dengan kata talak yang dimaksud adalah “saya
ceraikan kamu”.
A.2 . Hukum Talak dan Dasar Hukumnya
Pada dasarnya, perceraian atau
talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh
disebut dengan makruh. Hukum makruh itu dapat dilihat dari adanya usaha
pencegahan terjadinya talak itu dengan berbagai penahapan. Beberapa ayat
al-Qur’an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian itu.
Diketahui bahwa di dalam al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat yang
menyuruh ataupun melarang eksistensi perceraian itu. Walaupun banyak ayat
al-Qur’an yang mengatur talak, namun isinya hanya sekedar mengatur bila talak
mesti terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan.[7] Sebagaimana
firman Allah SWT., dalam Surat al-Thalaq ayat 1 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Terjemahannya: “Hai Nabi,
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”
Demikian pula firman Allah
SWT., dalam Surat al-Baqarah ayat 232 yang berbunyi:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن
يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ
Terjemahannya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu,
lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf.”
Kedua ayat di atas secara lafzhiyah sama sekali
tidak menyinggung tentang hukum talak, hanya saja di dalam ayat tersebut
diterangkan mengenai kewajiban seorang suami terhadap isteri yang diceraikannya
selama masa iddah. Meskipun demikian, secara tidak langsung terlihat bahwa
talak hukumnya boleh dilakukan dengan adanya implikasi hukum yang melekat pada
perbuatan talak tersebut, seperti adanya kewajiban menafkahi mantan isteri
selama masa iddah.
Kemudian berkenaan dengan dasar hukum talak, Rasulullah SAW., juga
bersabda yang berbunyi sebagaimana berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَبْغَضُ
الحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ. (رواه أبو داود وابن ماجه)[8]
Terjemahannya: “Dari Ibnu
‘Umar ra., bahwa Rasulullah SAW., bersabda: ‘Sesuatu yang halal, tetapi dibenci
Allah ialah talak’.”[8]
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami
bahwa dalam Islam talak merupakan perkara yang seharusnya dihindari dan bahkan
makruh hukumnya. Namun, dalam suatu kondisi dimana sebuah rumah tangga dan atau
hubungan antara suami-isteri tidak dapat lagi dilanjutkan, dan jika dilanjutkan
bisa saja menimbulkan mudharat bagi keduabelah pihak atau salah satu pihak,
maka Islam memberikan solusi dengan membolehkan terjadinya talak atau
perceraian.
Walaupun hukum asal dari talak adalah makruh, namun melihat
keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak ada 4 Macam[9], yaitu :
a.
Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah
tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga, maka
akan lebih menimbulkan kemudharatan.
b.
Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang
perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan
perceraian itu, sedangkan manfaatnya juga terlihat.
c. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian
yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk
tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia juga tidak mau
membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
d. Haram dilakukan jika tanpa alasan,
sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah
digauli.
A.3 . Macam-macam Talak
Talak dengan melihat kepada
beberapa keadaan dapat dibagi beberapa bagian, yaitu:
a. Keadaan isteri waktu thalak
itu diucapkan oleh suami, yaitu terbagi menjadi dua macamTalak Sunniy
dan Bida’iy[10]:
a.1
Talak sunni, yaitu talak yang berjalan
sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang menalak perempuan yang sudah
pernah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum ia sentuh
selama bersih itu. Firman Allah SWT., dalam Surat ath-Thalaq ayat 1:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Terjemahannya: “Hai Nabi,
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”
a.2
Talak bid’iy, yaitu talak yang dijatuhkan
tidak menurut ketentuan agama. Bentuk talak yang disepakati ulama
termasuk dalam kategori talak bid’iy itu adalah talak yang
dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun
telah digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini disebut bid’iy karena
menyalahi ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan talak pada waktu istri
dapat langsung memulai iddahnya. Rasulullah SAW., bersabda:
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عَبْدِاللهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ
عَبْدِاللهِ بْن عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ
حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ
عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذلِكَ
فَقَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ
تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَ إِنْ شّاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ
يَمَسَّ فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللهَ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ. (رواه البخارى) [[11]]
Terjemahannya: “Telah
mengabarkan kepada kami Ismail bin Abdullah ia berkata telah mengabarkan
kepadaku Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Ibnu ‘Umar ra.,
menalak istrinya dalam masa haidnya dan itu pada waktu Rasulullah SAW., masih
hidup, lalu ‘Umar (bapak Ibnu ‘Umar) menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW.
Kemudian Nabi bersabda: “Suruh dia (Ibnu ‘Umar) kembali kepada istrinya,
kemudian menahannya sehingga istrinya itu suci kemudian haid dan kemudian suci.
Sesudah itu jika ia mau, dia dapat menahannya dan kalau dia mau, dia boleh
menalak istrinya itu sebelum digaulinya. Itulah masa iddah yang disuruh Allah
bila akan menalak istrinya.”
b. Ditinjau dari segi kemungkinan boleh tidaknya si suami kembali kepada
mantan istrinya, terbagi menjadi dua macam,
yaitu Talak Raj’iy dan Bain[12] :
b.1 Talak
raj’i, yaitu talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa
melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Menurut Muhammad
Jawad Mughniyah[13] yaitu talak dimana suami
masih memiliki hak untuk kembali kepada isterinya (rujuk) sepanjang isterinya
tersebut masih dalam masa iddah, baik isteri tersebut bersedia dirujuk
maupun tidak, dengan syarat telah terjadi hubungan suami isteri (dukhul)
di antara keduanya.https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/638-talak-qabla-al-dukhul-dan-permasalahannya-tahun-2022-17-10
- ftn12 Talak raj’i
adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari
pihak istri. Firman Allah SWT., dalam Surat al-Baqarah ayat 229:
الطَّلَاقُ
مَرَّتَانِ ۖ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Terjemahannya: “Talak (yang
dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik.”
b.2 Talak
bain[14], yaitu talak yang putus
secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya,
kecuali dengan nikah baru. Talak bain terbagi kepada dua macam:
b.2.1
Talak
bain sughra[15], yaitu talak yang suami tidak
boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah
baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk talak bain sughra
adalah:
b.2.1.1
Talak yang dilakukan sebelum
istri digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan
iddah. Jika tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan untuk rujuk, karena
rujuk hanya dilakukan dalam masa iddah. Firman Allah dalam Surat al-Ahzab ayat
49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Terjemahannya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.”
b.2.1.2
Talak yang dilakukan dengan cara
tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’[16].
Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 229:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Terjemahannya: “Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.”
b.2.1.3
Perceraian melalui putusan hakim
di pengadilan atau yang disebut dengan fasakh[17].
b.2.2
Talak
bain kubra[18], yaitu talak yang tidak
memungkinkan suami rujuk kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada
istrinya setelah istrinya itu kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula
dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya. Yang termasuk talak ba’in
kubra adalah:
b.2.2.1
Istri yang telah ditalak tiga
kali, atau talak tiga. Firman Allah dalam Surat
al-Baqarah ayat 230:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن
يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ
ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍۢ يَعْلَمُونَ
Terjemahannya: “Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui.”
b.2.2.2
Istri yang bercerai dari suaminya
melalui proses li’an[19].
Berbeda dengan bentuk pertama, mantan isteri yang di-li'an tidak boleh
sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil,
dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
c.
Ditinjau dari segi ucapan yang
digunakan, yaitu terbagi menjadi dua macam, yaitu Talak tanjiz
dan Talak ta’liq[20] :
c.1
Talak tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan
suami dengan menggunakan ucapan langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik
menggunakan ucapan sharih maupun kinayah. Ucapansharih
contohnya adalah “aku ceraikan engkau dengan talak satu”. Adapun contoh
ucapan kinayah adalah “kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi”.
c.2
Talak ta’liq, yaitu talak yang dijatuhkan
suami dengan menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu
yang terjadi kemudian. Contoh talak ta’liq adalah “jika engkau keluar
dari rumah, maka engkau saya talak”.
d.
Ditinjau dari segi siapa yang secara
langsung mengucapkan talak, terbagi menjadi dua, yaitu Tafwidz dan
Tawkil[21]:
d.1 Talak
mubasyir,
yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan talak,
tanpa melalui perantaraan atau wakil.
d.2 Talak
tawkili,
yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi
dilakukan oleh orang lain atas nama suami.
B. Rukun dan Syarat Talak
Untuk terjadinya talak, ada beberapa unsur yang berperan padanya
yang disebut dengan rukun, dan masing-masing rukun itu juga harus memenuhi
beberapa syarat. Di antara persyaratan itu ada yang disepakati ulama dan ada
juga yang diperselisihkan, yaitu:[13]
1.
Suami yang mentalak istrinya. Adapun Syaratnya adalah
1.a Suami
yang mentalak telah dewasa. Hal ini mengandung arti bahwa anak-anak yang masih di
bawah umur dewasa tidak sah talak yang dijatuhkannya. Adapun yang menjadi batas
dewasa itu menurut fiqh itu adalah bermimpi melakukan hubungan kelamin
dan mengeluarkan mani.Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِّيَّ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المجْنُوْنِ
حَتَّى يَعْقِلَ[22]. (رواه أحمد والأربعة إلا الترميذى وصححه الحاكم وأخرجه
ابن حبان)
Terjemahannya: “Diangkatkan
hukum dari tiga golongan: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
dewasa, orang gila sampai ia sembuh akalnya.”
Berdasarkan hadits di atas dapat diketahui
bahwa ketentuan hukum dapat diberlakukan kepada seluruh manusia, kecuali salah
satunya terhadap anak kecil sampai ia dewasa. Hubungan perceraian dengan
kedewasaan itu adalah bahwa talak itu terjadi melalui ucapan dan ucapan itu
baru sah bila yang mengucapkannya mengerti tentang apa yang diucapkannya. Anak
kecil dalam kebiasaannya tidak mengerti apa makna dan akibat hukum dari talak
itu sendiri.
Namun, sebagian ulama, diantaranya Imam Ahmad dalam salah satu
riwayat dan juga menurut Abu Bakar, al-Karakhiy, Ibnu Hamid, Said ibnu
al-Musayyab, ‘Atha’, al-Hasan, al-Sya’biy dan Ishak berpendapat bahwa talak
dari anak-anak yang sudah memahami arti talak, maka talak itu berlaku
sebagaimana yang berlaku pada orang dewasa. Yang menjadi pedoman bagi golongan
ini adalah pengetahuannya tentang talak.[15]
Sedangkan golongan kedua, yaitu dari golongan Jumhur Ulama yang
terdiri dari al-Nakha’iy, al-Zuhriy, Imam Malik Hammad, al-Nawawiy, ulama
golongan Irak dan Hijaz berpendapat bahwa talak dari anak-anak tidak berlaku.
Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa anak-anak belum mukallaf sama
keadaannya dengan orang gila.[16]
Sehubungan dengan pendapat Jumhur Ulama di atas, secara tidak
langsung akan menimbulkan pertanyaan tentang sahnya perkawinan anak kecil.
Jumhur Ulama sepakat bahwa perkawinan anak kecil adalah sah, hal ini
dilandaskan kepada perkawinan Aisyah ra., pada saat berumur 9 (sembilan) tahun
dengan Nabi Muhammad SAW.
Pendapat Jumhur Ulama tentang perkawinan anak kecil dan talak anak
kecil sangat bertentangan. Namun menurut pendapat penulis, jika kembali dilihat
dari hubungan perceraian dengan kedewasaan di atas, maka pada dasarnya
perkawinan anak kecil juga tidak dibolehkan sampai ia memahami makna dari
perkawinan itu sendiri.
Jumhur Ulama sepertinya memahami bahwa ketika perkawinan tersebut
dilakukan oleh anak kecil yang telah memahami maksud dari perkawinan tersebut,
maka tentunya perceraiannya juga sah. Namun, apabila perkawinan tersebut
dilakukan oleh anak kecil yang belum memahami maksud dari perkawinan tersebut,
maka tentunya perceraiannya juga tidak sah. Karena pada hakikatnya kedewasaan
tidak selalu ditentukan oleh umur itu sendiri.
1.b Sehat
akalnya.
Orang yang rusak akalnya tidak boleh menjatuhkan talak. Yang termasuk ke dalam
golongan tidak waras itu adalah gila, pingsan, sawan, tidur, minum obat,
terpaksa minum khamar atau meminum sesuatu yang merusak akalnya,
sedangkan ia tidak tahu akan hal itu. Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: كُلُّ الطَّلَاقِ جَائِزٌ إلَّا طَلَاقَ المعْتُوهِ.[23]
(رواه النجاد)
Terjemahannya:“Setiap talak
itu hukumnya boleh, kecuali tala orang yang hilang akalnya.”[17]
Namun, mengenai orang yang sedang mabuk karena
sengaja meminum minuman yang memabukkan, meskipun termasuk kepada orang yang
hilang akalnya, ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Jumhur ulama
berpendapat bahwa talak orang tersebut berlaku. Alasan yang dikemukakan ulama
ini adalah meskipun dari segi bentuknya orang mabuk itu termasuk pada orang
yang hilang akalnya, namun hilang akalnya itu disebabkan oleh karena ia sengaja
merusak akalnya dengan perbuatan yang dilarang agama. Sedangkan sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa talak orang tersebut tidak berlaku, karena orang yang
mabuk itu sama keadaanya dengan orang gila.[18]
1.c
Suami yang menjatuhkan talak berbuat dengan sadar dan
atas kehendak sendiri. Sabda Rasulullah SAW:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاس رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: رُفِعَ عَنْ أُمَّتِى الخَطَاءَ وَ النِّسْيَانَ,وَ مَا
اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ[24]. (رواه ابن ماجه والحاكم)
Terjemahannya: “Diangkatkan
hukum dari umatku karena kesalahan, kelupaan, dan karena terpaksa
melakukannya.”[19]
Adapun keadaan terpaksa yang mengakibatkan tidak
terlaksananya talak adalah jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[20]
1. Orang yang memaksa
mempunyai kemampuan melaksanakan ancamannya jika yang dipaksa tidak
melaksanakan apa yang dipaksakannya itu.
2. Orang yang memaksa
mengancam dengan sesuatu yang menyebabkan kematian atau kerusakan pada diri,
akal, atau harta orang yang dipaksa.
3. Orang yang dipaksa tidak
dapat mengelak dari paksaan itu, baik dengan jalan memberikan perlawanan atau
melarikan diri.
4. Orang yang dipaksa yakin
atau berat dugaannya bahwa kalau apa yang dipaksakan tidak dilaksanakannya,
maka orang yang memaksa akan melaksanakan ancamannya.
2.
Perempuan yang ditalak
Perempuan dapat dijatuhi talak
jika ia berada di bawah wilayah atau kekuasaan laki-laki yang mentalak, yaitu
istri yang masih terikat dalam tali perkawinan dengannya.[21]
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
جَابِر رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا طَلَاقَ إلَّا بَعْدَ النِّكَاحِ.[25] (رواه أبو يعلى و صححه الحاكم)
Terjemahannya: “Tidak sah
talak kecuali terhadap perempuan yang sudah dinikahinya.”[22]
3.
Shighat atau ucapan talak
Dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul, karena
perbuatan talak itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada
tindakan istri untuk itu. Jumhur ulama
berpendapat bahwa talak terjadi jika suami yang ingin menceraikan istrinya itu
mengucapkan ucapan tertentu yang menyatakan bahwa istrinya itu telah lepas dari
kekuasaannya. Namun, menurut pendapat al-Zuhriy,
meskipun tidak diucapkan oleh laki-laki tersebut, tetapi ia telah bertekad atau
ber-‘azzam untuk menceraikan istrinya, maka talaknya jatuh.[23]
C. Makna QablaAl-Dukhul dan Pemahaman
Ulama
Secara bahasa al-dukhul berarti masuk, bentuk masdar dari
kata dakhala – yadkhulu – dukhūlan.[24] Kata al-dukhul
ketika dihubungkan dengan masalah hukum perdata keluarga mempunyai arti al-wath’u
yaitu bersetubuh.
Adapun makna al-dukhul atau al-wath’u menurut
istilah adalah sebagai berikut:
اِلْتِقَاءُ
الخِتَانَيْنِ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ إِنْزَالٍ أَوِ
الجَنَابَةِ بِمَغِيْبِ حَشَفَةٍ (رَأْسِ الذَّكَرِ) أَوْ قَدْرِهَا مِنْ
مَقْطُوعِهَا فِي فَرْجِ مُطِيْقٍ لِلْجِمَاعِ، قُبُلاً أَو دُبُراً، مِنْ ذَكَرٍ
أَو أنْثَى، طَائِعٍ أَو مُكْرَهٍ، نَائِمٍ أَو يَقْظَانٍ[26].
Terjemahannya: “Bertemunya
dua kelamin walau tidak sampai ejakulasi yaitu dengan tenggelamnya hasyafah
(kepala penis) atau potongan seukurannya ke dalam farj (kemaluan wanita) yang
bisa digauli, baik di depan atau belakang, dari seorang laki-laki atau wanita,
baik rela atau terpaksa, baik dalam kondisi tidur atau sadar.”
Dasar hukum hubungan seks suami-isteri (al-dukhul)
secara umum didasarkan atas firman Allah SWT., dalam Surat al-Baqarah ayat 223:
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌۭ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم
مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Terjemahannya: “Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
Berdasarkan definisi beserta dasar hukum al-dukhul
di atas dapat dipahami bahwa Islam telah mengkonsepsikan hubungan suami isteri
mesti dilakukan melalui cara dan jalan yang wajar, yaitu melalui alat kelamin
isteri. Seorang suami harus memperlakukan isterinya dengan sebaik-baiknya dalam
berhubungan suami isteri agar suami isteri tersebut sama-sama dapat
bersenang-senang dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Hubungan suami-isteri (al-dukhul) dalam hukum Islam
mempunyai keterkaitan yang erat dengan banyak hal dalam lingkup pernikahan,
salah satunya adalah talak. Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya,
ketika dalam sebuah pernikahan sudah terjadi al-dukhul, maka pada saat
terjadi perceraian jenis talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i.
Sebaliknya, apabila dalam sebuah pernikahan tidak pernah terjadi al-dukhul,
maka jenis talak yang melekat kepada perceraian yang terjadi adalah talak ba’in
sughra. Masing-masing talak tersebut tentu saja juga berimplikasi terhadap
hal lainnya, seperti ‘iddah dan mut’ah.
Sebelum membahas kriteria al-dukhul dalam pandangan ulama fiqh,
sebelumnya perlu dijelaskan bahwa secara umum al-dukhul dapat dibagi
kepada 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Hubungan suami istri yang
secara hukum (al-dukhul al-hukmi), yakni hubungan suami istri yang sudah
dianggap mempunyai implikasi hukum sama dengan hubungan suami istri yang
sesungguhnya (al-dukhul al-haqiqi), meskipun alat khitan
laki-laki (zhakar) belum masuk ke dalam khitan perempuan (farj).
Maksud dari al-dukhul al-hukmi adalah khalwat (bersunyi-sunyi)
setelah akad yang sah, dimana hubungan tersebut menimbulkan dugaan yang kuat
akan terjadinya hubungan suami isteri yang sesungguhnya (al-dukhul al-haqiqi).
2. Hubungan suami istri yang
sebenarnya (al-dukhul al-haqiqi), yakni bertemunya dua alat khitan (zhakar
dan farj).
Berbicara tentang kriteria al-dukhul menurut ulama fiqh,
pada dasarnya para ulama sepakat bahwa al-dukhul adalah masuknya alat
kelamin laki-laki (zhakar) ke dalam kelamin perempuan (farj).
Meskipun demikian, ulama berbeda pendapat tentang kriteria al-dukhul
yang sudah dianggap dapat berimplikasi hukum. Perbedaan pendapat ulama
dilatarbelakangi dari pemahaman ulama dalam menafsirkan kata Æèdq¡yJs? br& yang terdapat dalam al-Qur’an
surat al-Ahzab ayat 49:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍۢ تَعْتَدُّونَهَا ۖ
Terjemahannya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya…”
Ulama Hanafiyyah dan Ulama Hanabilah dalam
pendapatnya berkenaan dengan kriteria al-dukhul yang sudah dianggap
dapat berimplikasi hukum menyatakan sebagai berikut:
أَنَّ المقْصُودَ بِالدُّخُولِ الدُّخُولُ حَقِيْقَةً أَوْ
حُكْمًا: أَيْ أَنَّ الخَلْوَةَ الصَّحِيْحَةَ تُعْتَبَرُ دُخُولاً تَجِبُ بِهَا
العِدَّةَ.[26]
Terjemahannya: “Yang
dimaksud dengan dukhul (yang berimplikasi hukum) adalah dukhul haqiqi dan
dukhul hukmi: artinya khalwat berdasarkan akad yang shahihah sudah dianggap
dukhul yang mewajibkan iddah.”
Artinya, bersunyi-sunyi (khalwat) setelah
terjadinya pernikahan menurut Ulama Hanafiyyah dan Ulama Hanabilah dapat
berimplikasi hukum, karena hal tersebut dapat memberi akibat kuatnya tuduhan
salah satu dari suami atau isteri yang menuduh telah terjadi bercampur (isabah).
Dengan demikian juga dapat disimpulkan bahwa perbuatan menyentuh atau meraba
dengan tangan sudah dianggap al-dukhul al-hukmi dengan adanya implikasi
yang sama dengan terjadinya al-dukhul al-haqiqi.
Ulama Syafi’iyyah juga berpendapat bahwa khalwat atau al-dukhul
al-hukmi tidak termasuk kepada kriteria ba’da al-dukhul atau al-dukhul
al-haqiqi, sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Tanbih fi al-Fiqh
asy-Syafi’I karangan Asy-Syirazi:
وَ إِنْ طَلَّقَهَا بَعْدَ الخَلْوَةِ فَفِيْهِ قَوْلَانِ: اَصَحَّهُمَا
أَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا[27]
Terjemahannya: “Apabila
suami isteri mentalak isterinya setelah mereka berkhalwat, dalam hal ini
terdapat 2 (dua) pendapat, dimana pendapat yang paling kuat dalam mazhab ini
adalah tidak wajib melakukan iddah.”
Selain itu Wahbah Zuhaily[28] juga
menjelaskan mengenai apakah khalwah sebelum dukhul dapat
dikategorikan jima’. Menurut Syafi’i dan Ahmad bahwa khalwah
tidak dapat dikategorikan sebagai jima’, hal ini disebabkan bahwa di
dalam ayat, jima’ itu berbeda dengan khalwah. Kata al-massa
adalah bentuk kinayah dari kata jima’. Karena akibat yang
ditimbulkan oleh khalwah berbeda dengan jima’. Khalwah tidak
mewajibkan ’iddah seperti wajibnya ‘iddah setelah jima’
ketika terjadi perceraian.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyah, khalwah shahihah
dapat dikategorikan sebagai jima’ yang mewajibkan ‘iddah. Hal ini
didasarkan pada riwayat dari Al-Darul Quthny yang mengatakan:
من كشف خمار امرأة, ونظر إليها , وجب الصداق ,
دخل بها أو لم يدخل[28].
Artinya: “Barangsiapa yang
telah membuka penutup kepala (aurat) perempuan (isteri) dan melihatnya, maka
suami wajib memberikan mahar, apakah isteri itu pernah didukhulnya atau
tidak."
Selain itu hal ini juga didasarkan kepada ketetapan Khulafah
ar-Rasyidin yang diriwayatkan dari Zurarah Ibn Abi Aufa, yang mengatakan bahwa:
إذا
أرخى الستور, وأغلق الباب, فلها الصداق كاملا, وعليها العدة, دخل بها أو لم يدخل[29].
Artinya: “Apabila ada
laki-laki (suami) yang telah membuka aurat perempuan (isteri)”, kemudian dia
menutup pintu, maka isteri itu berhak mendapatkan mahar secara sempurna, dan
bagi isteri itu ada masa ‘iddahnya baik dia pernah didukhul atau
tidak.
Berdasarkan konsep al-dukhul menurut pandangan ulama di
atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa terjadinya khalwat atau al-dukhul
al-hukmi dan al-dukhul al-haqiqi, maka ketika terjadi perceraian
mutlak merupakan cerai qabla al-dukhul (talak ba’in sughra).
Namun demikian, ulama tetap saja berbeda pendapat mengenai implikasi hukum khalwat
atau al-dukhul al-hukmi setelah terjadinya pernikahan.
Menurut pandangan penulis sendiri, penulis sependapat dengan
pendapat ulama Syafi’iyyah bahwa kriteria al-dukhul yang berimplikasi
hukum ketika terjadinya perceraian adalah al-dukhul al-haqiqi. Adapun khalwat
setelah pernikahan, meskipun dapat menimbulkan kuatnya dugaan akan terjadinya al-dukhul
al-haqiqi, namun hal tersebut belum cukup dijadikan bukti.
Artinya, ketika pasangan suami isteri telah melakukan al-dukhul
al-haqiqi dan kemudian bercerai, maka terhadap perceraian tersebut
ditetapkan sebagai perceraian ba’da al-dukhul dan baginya berlaku semua
implikasi hukum yang melekat pada perceraian jenis tersebut. Sebaliknya, jika
setelah pernikahan tersebut telah atau belum terjadi al-dukhul al-hukmi dan
belum sama sekali terjadi al-dukhul al-haqiqi, maka terhadap perceraian
tersebut ditetapkan sebagai perceraian qabla al-dukhul serta baginya
berlaku semua implikasi hukum yang melekat pada perceraian jenis tersebut.
D. Akibat Hukum Cerai Talak Qabla Al-Dukhul
Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa hubungan
suami isteri setelah pernikahan memiliki keterkaitan serta implikasi hukum
ketika terjadinya perceraian. Sesuai dengan pembahasan tesis penulis, maka
dalam hal ini penulis akan memaparkan implikasi atau akibat hukum cerai talak qabla
al-dukhul.
Adapun akibat hukum dari cerai talak qabla al-dukhul, yang
merupakan kategori jenis talak ba’in sughra adalah sebagai berikut:
1.
Hubungan antara keduanya adalah asing
dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul
sebagai suami isteri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling
asing.[29]
2.
Isteri tidak mempunyai masa ‘iddah.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT., dalam Surat al-Ahzab ayat 49:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍۢ تَعْتَدُّونَهَا ۖ
Terjemahannya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya…”
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa ketika
seorang suami menceraikan isterinya yang belum pernah digaulinya, maka mantan
isteri tersebut tidak mempunyai masa ‘iddah, dan tentu saja mantan
suaminya tidak memiliki kewajiban apapun yang berkenaan dengan ‘iddah
tersebut, yaitu kewajiban memberikan nafkah ‘iddah, maskan, dan kiswah
untuk mantan isterinya tersebut.
3.
Pemberian mut’ah bagi mantan
isteri. Mut'ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada
isteri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan
kemampuannya. Pemberian mut’ah berdasarkan firman Allah SWT., dalam
Surat al-Baqarah ayat 241:
وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ
بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
Terjemahannya: “Kepada
wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah
menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Dalam hal pemberian mut’ah terdapat
perbedaan pendapat, sebagai berikut:
a.
Menurut Jumhur Ulama, mut’ah
itu hanya untuk perceraian yang inisiatifnya berasal dari suami, seperti talak,
kecuali bila jumlah mahar telah ditentukan dan bercerai sebelum bergaul.[ [30]]
b.
Menurut Ulama Malikiyah, mut’ah itu
hukumnya sunnah, karena kata حقاً على المحسنين
dalam Surat al-Baqarah ayat
241 di atas tersebut menunjukkan hukumnya tidaklah wajib.[ [31]][32]
c.
Menurut Hanafiyah, hukum wajib mut’ah
berlaku untuk suami yang menalak isterinya sebelum digauli dan sebelumnya
jumlah mahar tidak ditentukan,[ [33] sebagaimana
dijelaskan Allah SWT., dalam Surat al-Baqarah ayat 236:
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةًۭ ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى
ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ
حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ
Terjemahannya: “Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
d.
Menurut Ulama Zhahiriyah, mut’ah
itu hukumnya wajib. Dasar wajibnya adalah firman Allah SWT., dalam Surat
al-Baqarah ayat 241 di atas[34].
e.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, mut’ah
tidak wajib diberikan kepada mantan isteri dalam cerai talak qabla
al-dukhul. Hal ini termaktub dalam Pasal 149 poin a: “memberikan mut’ah
yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri
tersebut qabla dukhul[35]”.
Menurut pendapat penulis, mut’ah wajib diberikan kepada isteri yang telah lunas maharnya dan telah digauli secara haqiqi. Karena mut’ah merupakan suatu kenang-kenangan dari mantan suami terhadap mantan isterinya karena telah mengorbankan diri untuk mau bersama-sama, baik dalam senang maupun susah. Dengan adanya mut’ah diharapkan akan dapat sedikit menghibur mantan isteri tersebut karena telah diceraikan oleh suaminya, meskipun secara lahir rasa sakit karena diceraikan tidak akan pernah dapat terbayar oleh apapun.
Sumber :
Talak Qabla Al-Dukhul dan Permasalahannya | Tahun 2022 |
(17/10) (pa-cilegon.go.id)
Referensi Tambahan :
v صحيح فقه
السنة وأدلته وتوضيح مذاهب الأئمة - المكتبة الوقفية للكتب المصورة
PDF (waqfeya.net)
v فقه السنة : السيد سابق : Free Download,
Borrow, and Streaming : Internet Archive
v كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار (archive.org)
v الفقه على المذاهب الأربعة.pdf (archive.org)
v الفقه الإسلامي وأدلته - وهبة الزحيلي : Free Download,
Borrow, and Streaming : Internet Archive
v Daftar kitab
الفقه الإسلامي وأدلته :: Perpustakaan Islam
Digital
v المحلى
بالآثار (ط. العلمية) - المكتبة الوقفية للكتب المصورة PDF (waqfeya.net)
v التنبيه في الفقه الشافعي (archive.org)
v FULL-Diktat-Matakuliah-Kompilasi-Hukum-Islam-H.-A.-Badruddin.compressed.pdf
(stisnutangerang.ac.id)
v Buku Kompilasi
Hukum Islam 2018
v kompilasi\374
(uin-malang.ac.id)
v Politik
Hukum Kompilasi Hukum Islam.pdf (kalteng.go.id)
v BAB
III.pdf (uin-suska.ac.id)
v Direktori
Putusan (mahkamahagung.go.id)
v (99+)
KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA BUKU I HUKUM PERKAWINAN | Alalan Tanala -
Academia.edu
v (99+)
Himpunan Peraturan Peradilan Agama | Alalan Tanala - Academia.edu
v (99+)
Buku II Bindalmin | Alalan Tanala - Academia.edu
v (99+)
PERADILAN AGAMA DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK | Nur Moklis - Academia.edu
[1] ص232 - كتاب صحيح
فقه السنة وأدلته وتوضيح مذاهب الأئمة - الطلاق وأحكامه - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[8] ص386 - أرشيف
ملتقى أهل الحديث - هل حديث هذا الحديث ضعيف أبغض الحلال إلى الله الطلاق -
المكتبة الشاملة الحديثة (al-maktaba.org)
[10] ص265 - كتاب الفقه
على المذاهب الأربعة - مبحث الطلاق السني والبدعي وتعريف كل منهما - المكتبة
الشاملة (shamela.ws)
[11] ص41 - كتاب صحيح
البخاري ط السلطانية - باب قول الله تعالى يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن
لعدتهن - المكتبة الشاملة (shamela.ws)
[22] ص238 - أرشيف
ملتقى أهل الحديث - تخريج حديث رفع القلم - المكتبة الشاملة الحديثة (al-maktaba.org)
[28]
Lebih jelasnya tentang
atsar ini silakan lihat link di bawah ini ;
v
الدخول بالمرأة والخلوة بها - فقه المسلم
(islamonline.net)
v
إسلام ويب - سنن الدارقطني - كتاب النكاح - باب المهر- الجزء رقم3 (islamweb.net)
v
الموسوعة الشاملة - إرواء الغليل في تخريج أحاديث منار السبيل (islamport.com)
[29] Lebih jelasnya tentang atsar ini
silakan lihat link di bawah ini ;