Kaidah
Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda (خيركم من تعلم القرآن و علمه) “Sebaik-baik kamu adalah
yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”. Maka seseorang yang al-Qur’an
berhenti pada dirinya belumlah dapat dikatakan “sebaik-baiknya manusia” sampai
ia mampu mengajarkannya.
Maka jika ingin menjadi seorang pengajar tentu sebelumnya sudah harus
menguasai materi ajar yang akan ia ajarkan kepada orang lain. Dari sudut
pandang inilah lahir upaya untuk memahami al-Qur’an secara mendalam yang salah
satu produknya ialah ilmu kaidah tafsir—yang menjadi fokus bahasan pada artikel
ini.
Memahami Kata Kaidah
dan Tafsir
Sebagai langkah awal
menjadi pengajar al-Qur’an, maka mengenal dan menghafal berbagai ta’rifat
(definisi) khususnya yang terdapat dalam bidang keilmuan al-Qur’an dan tafsir
adalah hal yang mustahab (dianjurkan). Oleh karena itu, sebelum masuk ke
pembahasan yang lebih mendalam tentang kaidah tafsir, perlu dijabarkan terlebih
dahulu definisi dari dua kosa kata penyusunnya yakni kaidah dan tafsir secara
etimologis dan terminologis.
Secara etimologis/
secara bahasa kata kaidah (قاعدة), dalam bahasa Arab memiliki makna “asas/ fondasi” apabila
dikaitkan dengan bangunan, dan memiliki makna “tiang” apabila dikaitkan dengan
kemah.
Adapun secara
terminologis terdapat beberapa istilah yang dirumuskan ulama untuk menjelaskan
makna kaidah. Ada dua definisi yang ditampilkan oleh Quraish Shihab di dalam
karyanya Kaidah
Tafsir sebagai penjelasan makna istilahi dari kata kaidah.
Adapun kedua definisi tersebut ialah :
قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها
“Rumusan yang bersifat
kulli (menyeluruh) yang mencakup atas semua bagian-bagiannya”. (al-Ta’rifat li Jurjani).
حكم كلي يعترف بها على أحكام جزئية
“Ketentuan umum yang
dengannya diketahui ketentuan-ketentuan yang menyangkut rincian”.
Adapun hal yang harus
digarisbawahi dari definisi “kaidah” ini ialah pada kata kulli. Kata kulli
disana tidaklah melegitimasi bahwa semuanya tercakup tanpa terkecuali. Karena
dalam pembahasan kaidah ada yang disebut dengan syadz atau yang tidak
tercakup oleh kaidah. Semisal yang terjadi pada penggalan Q.S al-A’raf: 56 :
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ
الْمُحْسِنِينَ
Jika melihat pada
kaidah bahasa tentunya terdapat kesalahan disana, kata qaribun yang
menjadi khabar dari kata rahmat seharusnya diubah menjadi qaribatun.
Karena menurut kaidah antara mubtada’ dan khobar haruslah
berkesusaian baik dalam hal jinsi/ jenis (mu’anats-mudzakar),
kuantitas (mufrad, mutsanna, jama’) dan seterusnya.
Maka dalam kasus ini
tidak logis jika yang disalahkan adalah al-Qur’an. Karena kaidah lahir
berdasarkan telaah atas al-Qur’an sehingga jika memang harus ada objek yang
disalahkan tentunya itu adalah kaidah bahasa itu sendiri. Meskipun “anomali
kebahasaan” ini dijelaskan beragam oleh para mufassir di mana salah satu
alasannya ialah adat dari bangsa Arab sendiri.
Selanjutnya definisi
kata “tafsir”. Secara etimologis kata tafsir diartikan dengan penjelasan
atau penampakan makna. Dalam kitabnya Maqayis fi al-Lughah,
Ibn Faris menjelaskan bahwa kata-kata yang tersusun atas tiga huruf yakni fa-sa-ra
mengandung makna keterbukaan dan kejelasan. Maka kata tafsir
yang merupakan bentuk derivasi dari fassara mengandung makna kesungguhan
membuka atau upaya terus-menerus membuka.
Maka apabila kata
tafsir disandingkan dengan al-Qur’an, maka melahirkan sebuah displin ilmu yakni
tafsir al-Qur’an yang salah satu definisi singkatnya ialah penjelasan tentang
maksud firman-firman Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusia atau lebih spesifik
lagi jika melihat definisi yang dibawakan Imam
al-Zarkasyi yang menguraikan bahwasanya tafsir secara istilah :
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد
صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
Ilmu yang dengannya
dipahami al-Qur’an dan penjelasan maknanya serta menarik hukum-hukumnya dan
hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Adapun Abdul
Mustaqim menambahkan bahwa tafsir dapat dibagi menjadi dua yakni 1) tafsir
sebagai produk pemikiran penafsir (intaj) dan 2) tafsir sebagai ilmu
atau proses metodologi pembentukan pemikiran (thoriqoh).
Hakikat Kaidah Tafsir
Menurut Quraish
Shihab, hakikat Kaidah Tafsir adalah “ketetapan-ketetapan yang membantu seorang
penafsir untuk menarik makna/pesan-pesan al-Qur’an dan menjelaskan apa yang
musykil dari kandungan ayat-ayatnya”. Ketetapan-ketetapan inilah yang menjadi barometer
bagi mufasir untuk memahami kandungan dan pesan-pesan al-Qur’an yang dalam
penerapannya memerlukan kejelian dan kehati-hatian.
Apalagi sebagian dari
kaidah yang dijadikan patron itu dapat mengandung pengecualian-pengecualian.
Maka dari sini tentunya kejelian dan penguasaan sangatlah dibutuhkan dalam
mengaplikasikan kaidah karena di dalamnya terdapat beragam alternatif yang
bahkan bertolak belakang.
Pada ayat harb
(perang) misalnya Q.S. al-Taubah [9]: 36:
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا
يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
“Dan perangilah
kaum musyrikin secara totalitas sebagaimana mereka memerangi kalian secara
totalitas”.
Harus dipahami
bahwasanya ayat ini tidak boleh diaplikasikan semena-mena tanpa pertimbangan.
Perlu adanya pertimbangan akan prinsip dasar al-Qur’an berdasarkan kaidah yang
ditetapkan. Abdul Mustaqim menguraikan sebuah kaidah berkaitan dengan
penafsiran ayat-ayat harb dan qital yakni أية السلم مقدم على أية الحرب (ayat yang
memuat nilai-nilai perdamaian diutamakan dari ayat-ayat yang memuat kekerasan
dan peperangan—apabila disalahpahami).
Dari kaidah itu
didapati bahwa prinsip asli dari al-Qur’an adalah perdamaian. Maka ayat-ayat harb
dan qital tidak bisa dijadikan dalil asal-asalan untuk memayungi
nafsu yang penuh kebencian.
Penerapan kaidah
tersebut menjadi bukti betapa pentingnya penguasaan kaidah sebelum mencoba
menafsirkan al-Qur’an. Sebab tanpa penguasaan kaidah yang baik akan sangat
rawan terjadi kesalahan penafsiran.
Apalagi hanya
berpegang pada terjemah literalnya saja, sebagaimana fenomena tafsir
asal-asalan yang dewasa ini banyak dijumpai. Maka mari perdalam dulu keilmuan
dan jangan sekali-sekali berlagak paham al-Qur’an kalau memahaminya saja masih
lewat terjemahan.
v Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran
Untuk memudahkan dalam proses
memahami dan mengkaji Al-Qur’an, para ulama memberikan berbagai kaidah dalam
penafsiran ayat Al-Quran. Tentu jumlah kaidah yang dihasilkan sangatlah banyak,
namun dalam kitab Buhuts fi
Ushul al-Tafsir wa Manahijuh, Syaikh Fahd al-Rumi meringkas berbagai
kaidah tersebut menjadi tujuh kaidah penting dalam proses penafsiran ayat
Al-Quran. Tujuh kaidah tersebut antara lain adalah:
1.
Kull ‘Aam Yabqa ‘ala ‘Umumih hatta Ya’tiy
ma Yukhashishuh
Kaidah ini
bermakna bahwa setiap lafadz ayat yang mengandung makna lebih dari satu, maka
ayat tersebut juga ditafsirkan dengan berbagai ragam makna yang terkandung di
dalamnya. Namun, kaidah di atas tidak berlaku apabila terdapat dalil yang
mengkhususkan pada salah satu makna yang terkandung dalam ayat tersebut.
Syaikh
Fahd al-Rumi mencontohkan implementasi kaidah ini dalam memahami Q.S. Quraisy
[106] ayat 4:
الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ
مِّنْ خَوْفٍ ࣖ – ٤
“Yang
telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari rasa ketakutan”
Pemberian
rasa aman dalam ayat tersebut bersifat umum, yaitu bisa bermakna rasa aman dari
musuh (‘aduw) ataupun dari penyakit kusta/lepra (judzam).
Sehingga ayat tersebut tidak bisa dimaknai hanya sebagai bentuk pengamanan dari
musuh ataupun sebaliknya, tetapi harus dibiarkan bermakna umum sebagaimana asal
keumuman ayat tersebut.
2.
Al-Ibrah bi ‘Umum al-Lafdzi La bi Khusus
al-Sabab
Maksud
kaidah ini adalah yang dijadikan dasar pemahaman ayat adalah keumuman lafadznya
bukan kekhususan sabab turunya ayat tersebut. Al-Allamah Abdurrahman ibn
Sa’diy mengatakan bahwa riwayat historis asbab nuzul dari sebuah ayat
itu berguna sebagai pemisalan atau ilustrasi untuk menjelaskan (taudhih)
teks ayat. Sehingga makna ayat tidak bisa dibatasi hanya untuk subjek yang
berkaitan dengan konteks historis ayat tersebut.
Oleh
karena itu, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa apabila terdapat kalimat hadzih
al-ayah nazalat fi kadza, bukan bermaksud bahwa hukum ayat itu hanya
berlaku pada pelaku historis ayat tersebut, tetapi berlaku umum untuk semua
orang. Contoh implementasi kaidah ini bisa ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah [2]
ayat 204:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ
الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ
الْخِصَامِ – ٢٠٤
“Dan di
antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan
engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal
dia adalah penentang yang paling keras”
Diriwayatkan
oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwsanya Ka’ab al-Qardhi berkata:
“Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki, tetapi
kemudian berlaku umum”. Seorang laki-laki yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah al-Akhnas ibn Syuraiq, namun karena lafal ayat bersifat umum maka
diberlakukan untuk semua orang selain al-Akhnas.
3.
Ikhtilaf al-Qira’at fi al-Ayah Yu’addid
Ma’aniha
Syaikh
Fahd al-Rumi menjelaskan bahwa perbedaan qira’at terjadi dalam dua
keadaan: Pertama, perbedaan qira’at pada ragam pembacaan huruf
dan harakat, seperti bacaan idzhar, idgham, imalah, mad,
dan lain sebagainya. Kedua, perbedaan qira’at dalam tataran
kalimat ataupun harakat yang mengakibatkan adanya perbedaan makna.
Penguasaan
terhadap keilmuan qira’at sangatlah penting dalam proses penafsiran
Al-Qur’an. Perangkat tersebut membantu mufasir dalam membedakan mana qira’at
yang berakibat pada perubahan atau penambahan makna dan yang tidak merubah
makna. Hal ini dikarenakan apabila ditemukan qira’at yang mengakibatkan
perubahan atau perbedaan makna, maka hal tersebut sangat mempengaruhi dalam penafsiran
terhadap ayat Al-Qur’an.
4.
Al-Ma’na Yakhtalif bi Ikhtilaf Rasm
al-Kalimah
Terkadang
terdapat sebagian kalimat yang memiliki multi makna. Namun, hal tersebut dapat
dibedakan dengan melihat format penulisan teks mushaf (rasm al-mushaf)
yang digunakan. Sehingga dalam hal ini, rasm al-kalimah memiliki peran
penting dalam mentarjih antar ragam makna yang terkandung, agar dapat dipilih
satu makna yang sesuai. Contoh penggunaan kaidah ini dapat dijelaskan dalam
memahami Q.S. al-A’la [87] ayat 6:
سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسٰىٓ ۖ – ٦
“Kami
akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa”
Para ulama
berbeda pendapat dalam memaknai kalimat (فلا تنسى).
Terdapat pendapat yang memaknai kalimat tersebut sebagai bentuk penyangkalan (li
al-nafyi) sehingga bermakna pemberitaan. Namun, ada pendapat yang
mengatakan bahwa kalimat tersebut sebagai bentuk larangan (li al-nahyi).
Untuk mengetahui pendapat mana yang lebih kuat, maka disinilah fungsi rasm
al-kalimah sebagai murajjih antar dua pendapat tersebut.
Setelah
dilihat secara rasm al-kalimah, maka kalimat tersebut lebih sesuai
berfungsi sebagai kalimat penyangkalan. Hal ini dikarenakan dalam kalimat
tersebut terdapat al-alif al-maqshurah (ى) setelah
huruf sin. Andaikan kalimat tersebut bermakna larangan maka seharusnya rasm
al-kalimah-nya hanya tansa (تنس) tanpa al-alif
al-maqshurah. Hal ini disebabkan apabila (لا) dalam
kalimat tersebut li al-nahyi maka fi’il setelahnya akan menjadi majzum.
Dan konsekuensi dari majzum adalah penghilangan huruf illah (hadf
al-harf al-mu’tal) pada lam fi’il-nya.
5.
Al-Siyaq al-Qur’aniy
Kaidah
kelima ini mengingatkan kepada setiap mufasir agar dalam proses penafsiran
Al-Qur’an tidak hanya fokus pada satu ayat saja, tetapi juga dilakukan
peninjauan terhadap ayat-ayat lain yang memiliki korelasi, keterkaitan dan
hubungan terhadap ayat yang sedang dikaji. Cara yang demikian dapat membantu
dalam penetapan makna yang mendekati terhadap apa yang dikehendaki Al-Qur’an,
walaupun dalam kata atau kalimat ayat tersebut mengandung banyak makna.
Pentingnya
penguasaan terhadap kaidah ini dapat dilihat dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah
[2] ayat 121:
اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ
بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ – ١٢١
“Orang-orang
yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka
itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah
orang-orang yang rugi”
Dikutip
oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwasanya Qatadah mengatakan jika ayat
tersebut berbicara berkenaan dengan para sahabat Nabi. Namun, ulama lain
berbendapat bahwa ayat di atas bercerita tentang ahli kitab dari bani Israil
yang menjadi pengikut Nabi Muhammad. Dalam menyikapi hal ini, al-Thabari lebih
memilih pendapat yang kedua. Hal ini dikarenakan pada ayat-ayat sebelumnya
menjelaskan tentang cerita ahli kitab, sehingga ada siyaq (korelasi)
antara ayat yang dikaji dengan ayat sebelumnya.
6.
Al-Tafsir Yakun bi al-Aghlab al-Dzahir min
al-Lughah
Karena
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka tidak boleh jika hasil tafsirnya
terhadap ayat Al-Qur’an menyelisihi makna dan aspek kebahasaan yang digunakan
oleh lisan orang-orang Arab saat itu. Oleh karena itu, penguasaan terhadap
aspek kebahasaan menjadi sebuah hal yang sangat urgen dalam proses penafsiran
ayat Al-Qur’an.
Contoh
penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam penafsiran Q.S. al-Baqarah [2] ayat
102:
وَلَقَدْ عَلِمُوْا لَمَنِ اشْتَرٰىهُ مَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ
مِنْ خَلَاقٍ ۗ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهٖٓ اَنْفُسَهُمْ ۗ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
– ١٠٢…
“Dan
sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu,
niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk
perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu”
Dalam
memaknai kata khalaq, Ibnu Jarir al-Thabari mengartikanya sebagai
keberuntungan (al-nashib). Argumentasi al-Thabari dalam pemilihan makna
tersebut dikarenakan kata khalaq dalam konteks ucapan orang Arab saat
itu dimaknai sebagai nashib (keberuntungan).
7.
Taqdim al-Ma’na al-Syar’iy ‘ala al-Ma’na
al-Lughawiy
Apabila
dalam satu kata terdapat dua makna atau lebih, dimana dalam ragam makna
tersebut terdapat dimensi makna lughawiy dan syar’iy, serta
antara makna lughawiy dan syar’iy juga saling bertentangan, maka
yang didahulukan adalah dimensi makna syar’iy. Mengapa demikian? Karena
Al-Qur’an diturunkan berfungsi sebagai penjelas syari’at, bukan untuk
menjelaskan makna kebahasaan, kecuali ada hal yang mengharuskan penggunaan
makna lughawiy.
Contoh
penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam memahami Q.S. al-Taubah [9] ayat 84:
وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ اَبَدًا
وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهٖۗ اِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَمَاتُوْا وَهُمْ
فٰسِقُوْنَ – ٨٤
Kata tushalli
dalam ayat tersebut mengandung dua dimensi makna yaitu dimensi lughawiy
bermakna do’a. Kemudian juga dimensi syar’iy yang bermakna shalat
jenazah. Maka dalam hal ini, secara umum yang didahulukan adalah makna
syari’atnya yaitu shalat jenazah. Namun sebaliknya, bisa jadi makna lughawiy
lebih didahulukan apabila ada hal yang mendukung penggunaan makna lughawiy
tersebut. Seperti dalam Q.S. al-Taubah [9] ayat 103:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ
وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ١٠٣
kata wa
shalli dalam ayat di atas tidak bermakna perintah shalat, sebagaimana jika
dipahami dengan dimensi makna syar’iy. Namun, kata tersebut lebih sesuai
dimaknai dengan dimensi makna lughawiy yaitu do’a. Hal ini dikarenakan
adanya hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan nomor hadis 1078
yang mengindikasikan bahwa pemaknaan lughawiy lebih tepat dalam memaknai
kata wa shalli dalam ayat di atas. Hadis tersebut tertulis sebagaimana
berikut:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ أَوْفَى – رضى الله عنه –
قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ
بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ
“Dari Abdullah ibn Abi Aufa, ia berkata: bahwasanya Rasulullah SAW
ketika terdapat suatu kaum yang datang kepadanya dengan membawa zakat mereka,
maka Rasulullah bersabda: Ya Allah berkahilah mereka”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuh kaidah yang telah dijelaskan di
atas merupakan kaidah dasar yang sangat urgen untuk dikuasai oleh setiap
pengkaji Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan kaidah-kaidah tersebut sangat membantu
dalam proses penafsiran makna ayat Al-Qur’an. Wallahu A’lam
Lebih jelas lagi
tentang “kaidah – kaidah penting untuk para Mufassir, silakan klik link di
bawah ini :
v Al-Itqon - kaidah tafsir -580-743.pdf (archive.org)
v Kaidah - kaidah penting untuk para mufassir -261-283.pdf
(archive.org)
v KEDUDUKAN DAN FUNGSI KAIDAH-KAIDAH TAFSIR (core.ac.uk)
v 290620-kaidah-kaidah-tentang-penafsiran-alquran-8cde7f2e.pdf
(neliti.com)
v COVER kAIDAH TAFSIR 2022.cdr (ptiq.ac.id)
v Kaidah Tafsir Dalam Ulumul Quran.pdf (uin-antasari.ac.id)
v Microsoft Word - 2. Jabal Nur, Qawa id..................doc
(neliti.com)
v Qawaid al-Tafsir Jam'an
wa Dirasatan
v (PDF) QAWAID TAFSIR: TELAAH ATAS PENAFSIRAN AL-QUR’AN
MENGGUNAKAN QAUL SAHABAT (researchgate.net)
v
Kaidah Tafsir Dalam Ulumul Quran.pdf (uin-antasari.ac.id)
v
al-qawā'id
al-hisān li tafsīr al-qur'an karya al-sa'dī
v bab iii beberapa kaidah tafsir dalam
perspektif m. quraish
v bab ii gambaran umum kaidah tafsir dan
penyimpangan
v Microsoft Word - 02 Salman.rtf (uinjkt.ac.id)
v QAWAID TAFSIR: TELAAH ATAS PENAFSIRAN AL-QUR’AN MENGGUNAKAN QAUL
SAHABAT (readcube.com)
v A Review Of Nawawi Al Bantani's Book Of
Tafsir Marah Labid
v Kaidah Tafsir: Terdapat Penjelasan Pada Ayat-Ayat Yang Bisa
Disalah-pahami (muslim.or.id)
v View of Kaidah Tafsir (stiuda.ac.id)
v نظرات في
قواعد تفسير القرآن الكريم – بوابة الرابطة المحمدية للعلماء (arrabita.ma)
v القواعد ىي: األمور الكمية المنضبطة التي
يستخدميا المفسر في تفسيره
v قواعد
التفسير جمعا ودراسة (archive.org)
v مقدمة في
قواعد التفسير (midad.com)
v قواعد
الترجيح المتعلقة بالنص عند ابن عاشور في تفسيره التحرير والتنوير (archive.org)
v (PDF) قواعد التفسير (researchgate.net)
v Quran4-Quran4-Quraan06373-مختصر-في-قواعد-التفسير--خالد-بن-عثمان-السبت.pdf
- Google Drive
v 2018-MUHAMMAD
YASIR-2015.pdf (ptiq.ac.id)
v 156109454208-AL-BASEERA
4 (Vol. 2 - Issue. 2) DEC-2013.pdf (numl.edu.pk)
v القواعد
الحسان المتعلقة بتفسير القرآن (islamhouse.com)
v التأليف
المعاصر في قواعد التفسير، دراسة نقدية لمنهجية الحكم بالقاعدية (alukah.net)
v 9_2021_09_05!09_50_09_PM.pdf
(uomustansiriyah.edu.iq)
v التأليف
المعاصر في قواعد التفسير - Tafsir Center for Quranic Studies | مركز
تفسير للدراسات القرآنية
v 347_MTfseer_TaleefMoaserQwaedTfseer.pdf
(islamway.net)
v قواعد
الترجيح عند المفسرين (islamweb.net)
v قواعد
الترجيح عند المفسرين دراسة نظرية تطبيقية (archive.org)