HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Jumat, 18 September 2009

MEMBINCANGKAN KEMBALI PANCASILA


Dikirim oleh admin on Friday, 4 September 2009
http://persis.or.id/?p=932

“Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama ini.”

(I.J. Satyabudi, Penulis Kristen)

Di tengah-tengah derasnya tuduhan bahwa umat Islam saat ini tengah mengebiri Pancasila lewat perundang-undangan dan perda-perda bias syari’at Islam, Dr. Adian Husaini, meluncurkan buku terbarunya, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Pada hari Sabtu, 29 Agustus 2009 silam, buku tersebut dibedah di Aula Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat, Jakarta, dengan menghadirkan pembanding Prof. Dr. Rifyal Ka’bah. Menurut penulisnya, buku tersebut sengaja diberi judul yang panjang seperti di atas untuk menggambarkan kesimpulan yang terkandung dalam buku tersebut. Kecenderungan buku tersebut yang disebutkan Rifyal Ka’bah bersifat propaganda, diamini oleh penulisnya. Akan tetapi sang penulis buku menegaskan, propaganda yang tidak sembarang propaganda, melainkan tetap bernilai ilmiah tinggi.

Adian Husaini dalam acara launching bukunya tersebut menegaskan, bahwa hari ini masyarakat non-muslim sudah keterlaluan menuduh umat Islam telah menyelewengkan Pancasila. Apalagi yang lebih ekstremnya mereka menuduh umat Islam tengah memecah belah NKRI. Di antara mereka adalah Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), induk kaum Katolik di Indonesia, dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), induk kaum Protestan di Indonesia. KWI misalnya telah mengirimkan surat kepada para capres Pilpres 2009 kemarin yang di antara isinya: “Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.”

Sebuah tabloid Kristen, Reformata, pada edisi 103/2009 juga mempersoalkan penerapan syariat Islam yang tengah dilakukan umat Islam Indonesia. Menurut tabloid tersebut, para anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan Halal dan RUU Zakat akan meruntuhkan Pancasila dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid tersebut menyatakan bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesiaan melalui Perda dan UU. Cornelius meminta penyelenggara negara bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI,” kata Cornelius.

Dalam edisi 110/2009, tabloid Reformata lagi-lagi mempersoalkan penerapan syariat Islam di Indonesia. Di bawah judul “RUU Diskriminasi Segera Disahkan”, tabloid tersebut menulis:

“Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diberlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan itu lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam peraturan perundang-undangan. Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain. Apapun alasannya, semua ini bertentangan dengan prinsip dasar negeri ini.”

Terhadap tuduhan-tuduhan miring tersebut, Adian Husaini menegaskan bahwa itu jelas merupakan sebuah kesalahpahaman, dan bahkan penyalahpahaman Pancasila dan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah jelas tetap berlaku sampai saat ini berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Menurut Roeslan Abdulgani, salah seorang tokoh PNI: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ‘45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ‘45.” (hlm. 50-51)

Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan bahwa umat Islam tidak kalah telak ketika dalam rapat PPKI 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam sila Pertama, “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dihapus dan diganti menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena jelas, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep yang kental dengan nuansa pandangan-dunia Islam (Islamic worldview) yakni tauhid (hlm. 137).

KH. Achmad Siddiq, Rais Aam NU, dalam hal ini menyatakan:

“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surah al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (hlm. 138).

Bahkan bukan sila pertama saja yang kental dengan nuansa Islam, melainkan juga sila-sila lainnya yang menyebutkan “adil”, “beradab”, “hikmat”, “permusyawaratan” dan “perwakilan”. Kata-kata tersebut jelas-jelas merupakan berasal dari khazanah pemikiran Islam sehingga hanya bisa ditafsirkan berdasarkan konsep Islam saja. Dalam hal inilah, Adian menegaskan, para tokoh Islam yang terlibat dalam penyusunan Pancasila benar-benar cerdik. Mereka masih bisa mempertahankan nilai-nilai Islam dalam Pancasila walaupun “tujuh kata” sudah dihapus. Sebaliknya, umat non-muslim cenderung tergesa-gesa, mereka hanya terfokus pada penghapusan “tujuh kata” saja dengan mengabaikan sila-sila lainnya, termasuk juga sila pengganti dari sila pertama yang tegas menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jadi, ketika pada faktanya posisi Piagam Jakarta sah berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, demikian juga Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, maka tidak tepat, menurut Adian, jika Pancasila masih digunakan untuk menindas hak konstitusional umat Islam.

Rifyal Ka’bah, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia (UI) yang menjadi pembanding mengingatkan bahwa dokumentasi tentang rapat-rapat BPUPKI dan PPKI yang ada di Indonesia (Setneg) masih diragukan orisinalitasnya. Karena yang asli terdapat di Belanda dan masih memerlukan penelitian mendalam. Di antaranya penyebutan dalam dokumentasi Setneg bahwa tokoh-tokoh Islam menyetujui penghapusan “tujuh kata”. Padahal dalam dokumentasi asli di Belanda disebutkan hanya menyetujui penghapusan “bagi pemeluk-pemeluknya” saja.

Berkaitan dengan penghapusan “tujuh kata” itu sendiri menurut Rifyal memang masih misteri. Sang aktor, Hatta, tampaknya hanya merahasiakan fakta yang sebenarnya untuk dirinya sendiri. Karena sampai akhir hayatnya Hatta tidak menjelaskan siapa-siapa saja yang datang pada 17 Agustus 1945 sore dan mendesaknya untuk menghapus “tujuh kata” tersebut. Bahkan majalah Tempo edisi 1990-an, menurut Rifyal, pernah memuat wawancara Opsir Kaigun Jepang yang waktu itu diakukan Hatta menemuinya untuk mendesak penghapusan “tujuh kata”. Tapi kata Opsir yang kebetulan waktu itu masih hidup, betul bahwa dia datang ke Hatta sore tanggal 17 Agustus 1945 selepas Maghrib, akan tetapi dia sama sekali tidak membicarakan penghapusan “tujuh kata”. Jadi, tegas Rifyal, misteri ini hanya Hatta yang tahu.

Selanjutnya berkaitan dengan tuduhan penyelewengan terhadap Pancasila, Rifyal menegaskan, bahwa tafsir resmi Pancasila itu ada dua: pertama, bersifat politik, kedua, bersifat hukum. Yang bersifat politik terlihat dalam ketetapan dan produk undang-undang MPR/DPR. Jadi apa saja yang dihasilkan oleh MPR/DPR itu adalah tafsiran resmi Pancasila. Konsekuensinya, apa yang dihasilkan MPR/DPR itu tidak dapat dikatakan bertentangan dengan Pancasila/UUD ‘45. Sementara tafsiran kedua yang bersifat hukum, itu adalah keputusan Mahkamah Konsitusi. Artinya, yang berhak menentukan bahwa sebuah undang-undang/perda bertentangan dengan Pancasila/UUD ‘45 itu hanya Mahkamah Kosntitusi. Presiden dalam hal ini sama sekali tidak punya kewenangan untuk menafsirkan Pancasila.

Lebih lanjut Rifyal menegaskan, bahwa umat non-muslim sudah semestinya menyadari bahwa hukum itu pada hakikatnya melegalisir yang sudah hidup di masyarakat, atau yang biasa disebut hukum yang hidup (living law). Jadi kalau perkawinan berdasarkan agama Islam itu sudah dipraktikkan oleh penduduk negeri ini, maka sudah semestinya DPR mengundang-undangkannya. Karena jika tidak diundang-udangkan persoalan perkawinan ini kelak akan merepotkan negara jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.

Sama kasusnya dengan UU tentang ekonomi syariah yang saat ini tengah dibahas di DPR. Hal itu sudah semestinya dilakukan DPR karena memang ekonomi syariah sudah hidup di negeri ini (living law). Ketika terjadi sengketa, selama ini payung hukumnya tidak ada, pengadilan pun sulit memprosesnya. Artinya, negara sendiri yang kerepotan. Oleh karena itu adalah sebuah kebijaksanaan jika kemudian Pemerintah dan DPR membuat UU tentang syariah.

Jadi, Rifyal menegaskan, mempersoalkan perundang-undangan dan perda-perda yang sebenarnya tidak ada satu pun yang menyebutkan sebagai “syari’at Islam” adalah salah kaprah. Karena terbukti apa yang diundang-undangkan itu adalah hukum yang sudah hidup di masyarakat (living law). Dalam hal ini sama sekali tidak ada kesalahan, karena di negara Barat yang modern pun model pembuatan hukum seperti ini pun diberlakukan.

Maka dari itu, Rifyal menggarisbawahi, umat Islam sudah semestinya mempertahankan intensitas dakwahnya. Termasuk di dalamnya mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan, khususnya di kehakiman dan MPR/DPR. Karena selama posisi-posisi strategis tersebut masih diisi oleh orang-orang Islam, kekhawatiran akan dikebirinya hak-hak konstitusional umat Islam tidak akan terjadi. ns


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: