Tafsir QS.Al-Baqoroh Ayat 163 - 255
Apa itu “Ilah (Tuhan)”
, Siapakah “Allah” dan bagaimana menjelaskannya ?
TUHAN YANG SAYA YAKINI Komaruddin Hidayat
Secara intelektual,
paham dan keyakinan saya tentang Tuhan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, guru, ceramah-ceramah,
buku bacaan dan perjalanan hidup. Seiring dengan bertambahnya umur, sebagai
manusia saya mengalami perkembangan dan perubahan, sementara Tuhan yang saya
yakini dari dulu sebelum tercipta manusia sampai sekarang adalah Tuhan yang
sama. Dia sang pencipta alam semesta, yang maha gaib (mysterium), yang maha
agung dan menakutkan (tremendum), namun juga maha kasih serta menyenangkan
(fascinans). Dengan kata lain, sejak dahulu Tuhan itu maha esa yang
keberadaannya tidak terjangkau nalar, manusia memproyeksikan Tuhan memiliki
sifat yang bisa menghukum sehingga menakutkan, namun dia juga memiliki sifat
kasih sayang yang melimpah yang bisa mendatangkan kenyamanan dan ketenangan
batin yang membuat orang beriman selalu rindu ingin dekat denganNya.
Saya mendekati Tuhan
dengan tiga instrumen yang semuanya anugerah dariNya. Yaitu nalar untuk membangun
argumen atas keberadaan dan kebesarannya, hati untuk menangkap
dan merasakan getaran kasih dan kedekatannya, dan jasmani untuk
melaksanakan ritual dan amal dalam tindakan nyata. Hati di sini memiliki dua
aspek, yaitu hati yang berhubungan dengan emosi (psyche), dan hati yang
bersifat ruhani sebagai instrumen penghubung dengan Tuhan, karena - menurut
pemahaman saya - setiap manusia memiliki ruh yang ditiupkan Tuhan sehingga ruh
ini sejak awal mula sudah mengenal dan mengimani Tuhan. Setiap ruh manusia
pernah bersyahadat tentang Tuhan, namun mungkin lupa atau tertutup oleh nafsu
dan kepicikan pikirannya, maka Tuhan mengirimkan para RasulNya sebagai juru
ingat dan pembimbing ke arah jalan yang benar. Dalam kaitan ini mungkin tepat
ungkapan William James bhw setiap jiwa punya kecenderungan yg disebut "the
will to believe".
Argumen dan Eviden
Bukti atau eviden adanya
Tuhan secara positif kasat mata tentu tidak ada, sehingga wajar dan logis jika
penganut paham saintisme-positivisme tidak mempercayai Tuhan. Penduduk bumi
lebih mudah bersepakat adanya matahari ketimbang Tuhan. Kaum positivis hanya
percaya pada obyek yang bisa dinalar dan dibuktikan secara material. Oleh
karenanya, sumbangan nalar bagi orang beriman adalah membangun argumen atau
dalil rasional untuk mencari dan menelusuri jejak-jejak keberadaan Tuhan
berupa karyaNya terutama alam semesta ini untuk memperkokoh pilihan
imannya. Nalar hanya membangun argumen, namun tidak bisa menemukan Tuhan.
Catatan lain tentang kekuatan nalar, sehebat apapun nalar seseorang ,
sekalipun dibantu kitab suci, yang dihasilkan adalah pengetahuan yang bersifat
konseptual. Tuhan yang maha mutlak dan absolut tetaplah jauh, maha gaib, tidak
terjangkau nalar manusia yang terbatas.
Berbagai bangunan
argumen dan konsep tentang Tuhan berkembang dalam teologi, ilmu kalam dan
filsafat ketuhanan. Sekian banyak argumen dan penjelasan rasional dibangun
untuk meyakinkan orang tentang kebesaran dan kecerdasan Tuhan dengan titik
tolak dari pengamatan terhadap alam semesta yang sangat akbar dengan
segala isinya. Dalam ungkapan filsafat, renungan ini dimulai dengan pertanyaan:
Why there is something rather than nothing. Mengapa kita dan semesta ini ada,
hadir, wujud, eksis? Lalu dari mana asal-usulnya, siapa yang mengadakan, apa
dan siapa kekuatan pengendalinya, dan bagaimana masa depan dari semua ini?
Pencarian dan perdebatan intelektual tentang Tuhan tak pernah berhenti dan
telah melahirkan beragam mazhab pemikiran sehingga rasanya tidak mungkin
manusia sejagad akan menganut paham dan doktrin ketuhanan secara tunggal dan
seragam. Jangankan beda agama, dalam satu agama saja terdapat ragam pemahaman
mengenai Tuhan dan relasinya dengan alam serta manusia. Makanya perdebatan
tentang Tuhan tak akan pernah selesai dan menemukan kesepakatan tunggal,
sehingga muncul ungkapan "agree in disagreement". Sepakat untuk tidak
sepakat. Catatan lain, mereka yang fasih dan menguasai teologi dan filsafat
ketuhanan tidak serta merta hidupnya juga religius dan spiritualis.
Bahasa Agama ini
Bahasa agama yang
bersumber pada kitab suci itu banyak menggunakan ungkapan simbolik dan
metaforis. Misalnya cerita surga, seringkali diawali dengan kata perumpaan atau
misal. Hanya sedikit yang bersifat historis, deskriptif dan eksplanatif. Bahkan
cerita tentang Adam dan beberapa rasul Tuhan sekalipun secara ilmiah
historis kita tidak memiliki eviden yang cukup. Sepengetahuan saya, hanya nabi
Muhammad yang riwayat hidupnya didukung oleh bukti-bukti historis ilmiah paling
kuat. Sebagai seorang muslim tentu saja saya mengimani kebenaran
kitab suci Alqur'an, yang di dalamnya menyebut Adam yang dikeluarkan dari
surga. Namun nalarku masih tetap membuka diri untuk mendengarkan munculnya
berbagai ragam tafsir tentang siapa sesungguhnya Adam serta konsep surga yang
dimaksudkan. Apakah Adam itu sosok manusia pertama atau rasul Tuhan pertama, di
sana terbuka ruang diskusi, tanpa mempengaruhi keimanan saya pada Tuhan.
Dalam kajian semiotika
dibedakan antara simbol dan ikon. Simbol biasanya abstrak dan simpel, berfungsi
menghadirkan realitas yang dianggap sakral, agung dan komplek. Sedangkan ikon
wujudnya lebih kongkrit mendekati realitas yang hendak digambarkan, misalnya
ikon berupa patung Bunda Maria dalam tradisi Kristiani. Contoh simbol
termudah adalah bendera merah-putih yang melambangkan kedaulatan dan harga diri
bangsa dan negara Indonesia. Di balik bendera itu terekam cita-cita dan sejarah
panjang serta heorik dari anak-anak bangsa dalam memperjuangkan lahirnya negara
sebagai rumah bersama. Oleh karenanya, siapapun yang menginjak-injak bendera
merah putih dianggap menghina martabat bangsa Indonesia, sekalipun bahan
kainnya milik sendiri dan benderanya dijahit sendiri.
Begitu pun dalam tradisi
beragama banyak simbol dan adegan simbolik. Di dalam Islam, misalnya, ketika
melaksanakan serangkaian ibadah haji terdapat bangunan dan adegan simbolik yang
mengggunakan sarana ka'bah, hajar aswad, melempar tugu berhala, kemah di padang
Arafah, lari-lari kecil antara bukit Marwa dan Shofa, dan lain-lain yang
kesemuanya itu merupakan adegan simbolik yang sakral bagi umat Islam. Namun
bagi umat lain yang tidak paham dan tidak simpati pada Islam akan melihatnya
sebagai permainan belaka yang amat mahal. Begitu pun lambang salib bagi umat
Kristiani dan patung bagi umat Hindu, bagi mereka adalah sakral dan memiliki
makna yang amat dalam. Jadi, sebaiknya kita tidak perlu mengkritik
simbol-simbol agama orang lain dari pada salah dan merusak persahabatan.
Cara terbaik memahami simbol-simbol keagamaan adalah dengan cara berempati
secara intelektual, bertanya pada komunitas agama masing-masing dan mendalami
makna filosofis dari simbol dan adegan ritual masing-masing agama berdasarkan
sumber yang mereka pakai.
Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan
Kita
Secara konseptual, saya
yakin Tuhan yang saya imani juga diimani oleh banyak orang termasuk
mereka yang mengaku beda agama. Yaitu Tuhan yang Esa, Dia satu-satunya
pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta, Dia yang kekal tidak berawal
dan tidak berakhir, Dia yang menciptakan manusia, Dia yang pernah mengutus
rasulNya untuk membimbing manusia agar mudah menemukan jalan kembali kepadaNya.
Tuhan yang jauh jika dinalar, namun sangat dekat jika didekati dengan hati.
Meskipun Tuhan yang saya
imani sangat mungkin sama dengan Tuhan yang diimani orang lain, bahkan juga
Tuhan yang diimani pemeluk agama lain, tetapi saya sadar bahwa kualitas dan
konsep keimanan seseorang berbeda-beda karena proses belajar, lingkungan
keluarga dan tradisi yang membesarkan juga beda-beda. Setiap agama memiliki
ajaran ritual yang berbeda-beda. Doktrin jalan keselamatan yang diajarkan
masing-masing agama berbeda. Itu wajar-wajar saja karena yang bertuhan adalah
manusia, sedangkan manusia adalah makhluk sosial dan historis, alam pikirannya
dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya.
Lalu, sampaikah doa
semua orang beriman itu serta mereka akan memperoleh jalan keselamatan setelah
kematian nanti? Jujur, saya tidak tahu jawabnya. Dalam mendekati Tuhan
saya diajari konsep "khauf wa roja'". Suasana batin antara khawatir,
ragu, bercampur yakin dan harapan. Saya tetap memiliki was-was dan keraguan,
jangan-jangan doa dan ibadah saya tidak diterima oleh Tuhan yang saya imani.
Namun begitu saya juga selalu memiliki harapan dan keyakinan bahwa Tuhan yang
saya imani dan sembah sangatlah baik, maha pemurah dan maha pengampun, sehingga
saya tak pernah berhenti berdoa dan berharap padaNya. Melihat orang lain yang
berbeda keyakinan agama, saya tidak merasa terganggu, biarlah itu semua urusan
Tuhan. Yang penting dalam bermasyarakat dan bernegara ini kita saling tolong menolong
menegakkan etika sosial yang terpuji demi kebaikan sosial bersama