Koalisi apapun kalau
didasarkan pada kedzoliman (kepentingan pribadi/ golongan), tidak didasarkan pada iman dan
amal sholeh atau semata-mata karena Allah SWT maka yang terjadi adalah hegemoni,kedholiman,
penindasan, keterpaksaan dan hal-hal lain yang tidak baik
وَإِنَّ
كَثِيرًۭا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى
بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
وَقَلِيلٌۭ مَّا هُمْ ۗ ﴿ص: ٢٤﴾
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan
amat sedikitlah mereka ini".(38: 24)
Penjelasan
1.
ٱلْخُلَطَآءِ bisa diartikan berserikat,
berkelompok, berkoalisi, dll. Lebih jelasnya silakan lihat link di bawah
ini ;
v berserikat -
Wikikamus bahasa Indonesia (wiktionary.org)
v Kebebasan
berserikat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
2. يَبْغِى memiliki makna dholim (dalam konteks
ayat ini, bisa diartikan "kepentingan pribadi/ kelompok, ). Lebih jelasnya
silakan lihat link di bawah ini ;
KEDHOLIMAN ADALAH PENYEBAB MUNCULNYA KONFLIK DALAM KEHIDUPAN SOCIAL (MASYARAKAT). LEBIH
LANJUT TENTANG KONFLIK, SILAKAN SIMAK BAHASAN DI BAWAH INI..
Teori
konflik adalah teori yang memandang
bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang
menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[1].
Menurut
pengikut teori ini, yang konstan (tetap terjadi) dalam kehidupan masyarakat
adalah konflik
sosial, bukannya perubahan. Perubahan
hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik dalam masyarakat,
yakni terjadinya pertentangan antara kelas kelompok penguasa
dan kelas kelompok tertindas. Oleh karena
konflik sosial berlangsung secara terus menerus, maka perubahanpun juga
demikian adanya.[2].
Asumsi dasar
Teori
konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran
yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah
pemikiran Karl
Marx.[butuh rujukan] Pada tahun
1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan
alternatif terhadap teori struktural fungsional.[3]
Pada
saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat,
pada abad ke- 19 di Eropa
di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin
sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas
ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis
melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.
Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false
consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan
apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan
sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar
telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[4]
Ada
beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional, dimana
teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat.
Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem
sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan
selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori
konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga
membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda
ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi
dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori
konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial
dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik
melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.
Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi
yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut
teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan
yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh
karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar
pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf
Dahrendorf
Sejarah Awal
Selama
lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi
dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia
menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial.
Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda
(teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Akan
tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik
sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok
sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang
secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu
kelompok
tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Seperti
halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup
seluruh fenomena sosial. Karena ia
yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang
mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia).[5]
Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile
Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan
pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan
bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat
ditempatkan.[5]
Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:
- Simmel memandang pertikaian sebagai
gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat.
Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif
dan disosiatif yang tidak
mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[5]
- Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan.
Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam
menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara
negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[5]
Inti Pemikiran
Konflik
dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok.[6].
Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.[6]
Seluruh
fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok
yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan
pemisahan gereja
kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra-
Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja
Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita).[6]
Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah
memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.[6]
Coser
melihat katup penyelamat
berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu
hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
menajam.[6]
Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat
dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.[6]
Katup penyelamat merupakan sebuah institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau
struktur.[6]
Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan dosen. Lembaga
tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa
menghancurkan sistem tersebut.
Menurut
Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
- Konflik Realistis, berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan
dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan
yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji
dinaikkan.[6]
- Konflik Non- Realistis, konflik yang
bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam
biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain.
Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai
pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan
mereka.[6]
Menurut
Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis
tanpa sikap permusuhan atau agresi.[6]
Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat.
Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang
menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara
agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan
persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan
masa lalu.
Akan
tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk
dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin
besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang
pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan.[7].
Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana
keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian
merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.[7]
Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan
ledakan yang membahayakan hubungan tersebut,contohnya seperti konflik antara
suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.}}
Coser [8].
Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok.[5]
Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa
peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan masyarakat secara keseluruhan.[8]
Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok
tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group
merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat.[8]
Coser sangat menentang para ahli sosiologi
yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja.[8]
Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur
sosial.[8]
Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai
indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.[8]
Teori Konflik Menurut
Ralf Dahrendorf
Sejarah Awal
Bukan
hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan
teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [6],
seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan
konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih
mudah difahami oleh sosiolog Amerika
yang tidak paham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika
Serikat (1957- 1958).[9]
Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan
separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx.[9]
Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai
teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat
dipakai untuk menganalisis fenomena sosial.[9]
Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan
sisi kerja sama.[9]
Inti
Pemikiran
Teori
konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta
modifikasi teori sosiologi Karl Marx.[9]
Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam
satu individu- individu yang sama.[9]
Menurut
Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol
apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan
dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri
semenjak abad kesembilan belas.[9]
Diantaranya:
- Dekomposisi modal
Menurut
Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang
banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari
dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga.[9]
- Dekomposisi Tenaga
kerja
Pada
abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang
mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai perusahaan tetapi tidak mengendalikanya. Karena
zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat
menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan
baik.[9]
- Timbulnya kelas menengah baru
Pada
akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di
mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di
bawah.[9]
Penerimaan
Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas
sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan
sosial.[10]
Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir
ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai
pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu.
Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan
atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.[10]
Dahrendorf
mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan.
Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap
terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.[10]
Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan
kelompok mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan
mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan.[7]
Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai
yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan-
kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini
serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.[7]
Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah
memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum
tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian
besar struktur sosial dimana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun
1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum
laki- laki.
Referensi
1.
^ Bernard Raho,Teori Sosiologi
Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
2.
^ Nur Djazifah (2012). Proses
perubahan sosial di Masyarakat (PDF). Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarat. hlm. 8.
3.
^ Fred. Schwarz, 1960. You Can
Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
4.
^ Tom Bottomore, dkk. 1979.
Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria:
Penguin Books. page. 34
5.
^ Lompat ke: a
b
c
d
e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts,
N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
6.
^ Lompat ke: a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k Lewis Coser, 1956. The Function of Social Conflict. New
York: Free Press. page. 151-210
7.
^ Lompat ke: a
b
c
d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
8.
^ Lompat ke: a
b
c
d
e
f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social
Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
9.
^ Lompat ke: a
b
c
d
e
f
g
h
i
j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in
Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
10. ^ Lompat ke: a
b
c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society,
Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Teori_konflik&oldid=23945791"