HIDUP ADALAH UJIAN

SELAMAT DATANG DI BLOG " KHAIRUL IKSAN "- Phone : +6281359198799- e-mail : khairul.iksan123@gmail.com

Minggu, 29 Desember 2024

FIKIH NASEHAT

 

FIKIH NASEHAT

BULUGHUL MAROM- ماهر ياسين الفحل التبيان -  -  الفرق بين عمل المحقق والمخرِّج

ü Subulus Salam, dll serta Penjelasannya  - المعلقات في صحيح البخاري

1437 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ: رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -«حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ[1]، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

1437. Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (artinya = semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)". Riwayat Muslim. (Hadits Web 7.0)

1532 - وَعَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم -: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» ثَلَاثًا. قُلْنَا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ[2] .البحث[3]

1532. Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.” (Hadits Web 7.0)

FIKIH NASEHAT

Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”

Takhrij Hadits Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.

Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.

Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).

Biografi Periwayat Hadits

Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].

Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini sebagai salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih Muslim (hadits no. 2942).

Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu hadits ini. Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah meridhai beliau. (Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab (I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39), dll).

Makna Kata dan Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.

Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu) yang memiliki beberapa pengertian.

a.    (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab (II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim (II/33)).

b.    (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti ‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) dan Syarah Shahih Muslim (II/33).

Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) dan Syarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).

Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).

Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203) dan Fathul Bari (I/167)).

Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya, seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim (II/32)).

Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam, Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).

MACAM-MACAM NASEHAT

“Agama (Islam) itu adalah nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).

Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah’.

Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian agama.” (Fathul Bari (I/167))

1.    Nasehat bagi Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.

Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih Muslim (II/33), dan lihat I’lamul-Hadits (I/191)).

2.    Nasehat bagi Kitab Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.

Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus, mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), dan lihat juga I’lamul-Hadits (I/191-192)).

3.    Nasehat bagi Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).

4.    Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum muslimin”.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.

Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum muslimin, dan inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan) kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits (1/192-193)).

5.    Nasehat bagi kaum muslimin umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).

Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).

Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).

Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).

Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).

Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).

Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).

1)    Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).

Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama dan Islam, dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa perkataan (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).

2)    Perkataan Imam Bukhari dalam shahihnya, “Bab sabda Nabi, ‘Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin wa ‘ammatihim’ Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohu lillahi walirasuulihi)” dalam kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari iman (Qawaid wa Fawaid (hal. 96)).

Wallahu A’lam .

Diambil dari (Hadits Web 7.0)



[1]  والثالثة قوله "إذا استنصحك" أي طلب منك النصيحة فانصحه دليل على وجوب نصيحة من يستنصح وعدم الغش له وظاهره أنه لا يجب نصحه إلاعند طلبها والنصح بغير طلب مندوب لأنه من الدلالة على الخير والمعروف (سبل السلام)

[2]  صحيح. أخرجه: أحمد 4/ 102، ومسلم 1/ 53 (55)، وأبو داود (4944)، والنسائي 7/ 156، وأبو يعلى (7164)، وأبو عوانة (101)، وابن حبان (4574)، والبيهقي 8/ 163. انظر: «الإلمام» (1594)، و «المحرر» (1290) (المحقق: الدكتور ماهر ياسين الفحل)- هَذَا الْحَدِيثُ أَوْرَدَهُ الْمُصَنِّفُ هُنَا تَرْجَمَةَ بَابٍ وَلَمْ يُخَرِّجُهُ مُسْنَدًا فِي هَذَا الْكتاب لكَونه على غير شَرْطِهِ وَنَبَّهَ بِإِيرَادِهِ عَلَى صَلَاحِيَتِهِ فِي الْجُمْلَةِ وَمَا أَوْرَدَهُ مِنَ الْآيَةِ وَحَدِيثِ جَرِيرٍ يَشْتَمِلُ عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ وَقَدْ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ :حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِسُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ إِنَّ عَمْرًا حَدَّثَنَا عَنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِيكَ بِحَدِيثٍ وَرَجَوْتُ أَنْ تُسْقِطَ عَنِّي رَجُلًا أَيْ فَتُحَدِّثَنِي بِهِ عَنْ أَبِيكَ قَالَ فَقَالَ سَمِعْتُهُ مِنَ الَّذِي سَمِعَهُ مِنْهُ أَبِي كَانَ صَدِيقًا لَهُ بِالشَّامِ وَهُوَ عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْحَدِيثَ رَوَاهُ مُسْلِمٌ أَيْضًا مِنْ طَرِيقِ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ سَمِعَهُ وَهُوَ يُحَدِّثُ أَبَا صَالِحٍ فَذَكَرَهُ وَرَوَاهُ بن خُزَيْمَةَ مِنْ حَدِيثِ جَرِيرٍ عَنْ سُهَيْلٍ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ بِحَدِيثِ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا الْحَدِيثَ قَالَ فَقَالَ عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ سَمِعْتُ تَمِيمًا الدَّارِيَّ يَقُولُ فَذَكَرَ حَدِيثَ النَّصِيحَةِ وَقَدْ رَوَى حَدِيثَ النَّصِيحَةِ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ وَهْمٌ مِنْ سُهَيْلٍ أَوْ مِمَّنْ رَوَى عَنْهُ لِمَا بَيَّنَّاهُ قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي تَارِيخِهِ لَا يَصِحُّ إِلَّا عَنْ تَمِيمٍ وَلِهَذَا الِاخْتِلَافِ عَلَى سُهَيْلٍ لَمْ يُخَرِّجْهُ فِي صَحِيحِهِ بَلْ لَمْ يَحْتَجَّ فِيهِ بِسُهَيْلٍ أَصْلًا وَلِلْحَدِيثِ طُرُقٌ دُونَ هَذِهِ فِي الْقُوَّةِ مِنْهَا مَا أَخْرَجَهُ أَبُو يعلى من حَدِيث بن عَبَّاس وَالْبَزَّار من حَدِيث بن عُمَرَ وَقَدْ بَيَّنْتُ جَمِيعَ ذَلِكَ فِي "تَغلِيقِ التَّعْلِيقِ"(فتح الباري ج1ص137-138)معني الدين(الموسوعة الفقهية الكويتية ج1ص15-16)

[3]  هذا الحديث جليل قال العلماء إنه أحد الأحاديث الأربعة التي يدور عليها الإسلام وقال النووي: ليس الأمر كما قالوه بل عليه مدار الإسلام. قال الخطابي: النصيحة كلمة جامعة معناها حيازة الحظ للمنصوح له ومعنى الإخبار عن الدين بها أن عماد الدين وقوامه النصيحة قالوا والنصح لله الإيمان به ونفي الشرك عنه وترك الإلحاد في صفاته ووصفه بصفات الضعيف والجلال كلها وتنزيهه تعالى عن جميع أنواع النقائص والقيام بطاعته واجتناب معاصيه والحب فيه والبغض فيه وموالاة من أطاعه ومعاداة من عصاه وغير ذلك مما يجب له تعالى. قال الخطابي: وجميع هذه الأشياء راجعة إلى العبد من نصيحة نفسه والله تعالى غني عن نصح الناصح والنصيحة لكتابه الإيمان بأنه كلامه تعالى وتحليل ما حلله وتحريم ما حرمه والاهتداء بما فيه والتدبر لمعانيه والقيام بحقوق تلاوته والاتعاظ بمواعظه والاعتبار بزواجره والمعرفة له والنصيحة لرسول الله صلى الله عليه وسلم تصديقه بما جاء به واتباعه فيما أمر به ونهى عنه وتعظيم حقه وتوقيره حيا وميتا ومحبة من أمر بمحبته من آله وصحبه ومعرفة سنته والعمل بها ونشرها والدعاء إليها والذب عنها والنصيحة لأئمة المسلمين إعانتهم على الحق وطاعتهم فيه وأمرهم به وتذكيرهم لحوائج العباد ونصحهم في الرفق والعدل(وترك الخروج عليهم وإن جاروا-الفتح المبين ص256) قال الخطابي:ومن النصيحة لهم الصلاة خلفهم والجهاد معهم وتعدد أسباب الخير في كل من هذه الأقسام لا تنحصر قيل وإذا أريد بأئمة المسلمين العلماء فنصحهم بقبول أقوالهم وتعظيم حقهم والاقتداء بهم ويحتمل أنه يحمل الحديث عليهما فهو حقيقة فيهما والنصيحة لعامة المسلمين بإرشادهم إلى مصالحهم في دنياهم وأخراهم وكف الأذى عنهم وتعليمهم ما جهلوه وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر ونحو ذلك والكلام على كل قسم يحتمل الإطالة وفي هذا كفاية وقد بسطنا الكلام عليه في التَّنويرُ شرح الجامع الصغير ج3ص439-441 قال ابن بطال: في الحديث دليل على أن النصيحة تسمى دينا وإسلاما وأن الدين يقع على العمل كما يقع على القول قال والنصيحة فرض كفاية يجزىء فيها من قام بها وتسقط عن الباقين والنصيحة لازمة على قدر الطاقة البشرية إذا علم الناصح أنه يقبل نصحه ويطاع أمره وأمن على نفسه المكروه فإن خشي أذى فهو في سعة والله أعلم (سبل السلام)-(1)(معجم المصطلحات والألفاظ الفقهية ج3ص421-422) (2)(الموسوعة الفقهية الكويتية ج40ص324-332) (3)الضوابط والآداب التي  ينبغي مراعاتها عند إرداة النصح للنصيحة ضوابط ينبغي مراعتها، منها: ألا تكون على الملأ، وإنما من أدب النصيحة أن تكون على انفرادٍ؛ لكيلا تورث العداوة والبغضاء بين المنصوح والناصح، إلا أن يكون المنصوح لا يفهم إلَّا بالتصريح والجهر، فيجوز ذلك ما لم يترتب عليه ضرر للناصح، مع الأخذ في الاعتبار ألَّا يكون النصح على شرط القبول للنصيحة. قال الإمام ابن حزم في "الأخلاق والسير في مداواة النفوس" (ص: 45، ط. دار الآفاق الجديدة): [وإذا نصحتَ فانصح سرًّا لا جهرًا، وبتعريضٍ لا تصريحٍ، إلا أنْ لا يفهم المنصوح تعريضك فلا بد من التصريح، ولا تنصح على شرط القبول منك، فإن تعدّيت هذه الوجوه فأنت ظالمٌ لا ناصحٌ، وطالب طاعةٍ وملكٍ لا مؤدي حق أمانةٍ وأخوةٍ، وليس هذا حكم العقل ولا حكم الصداقة] اهـ. وينظر أيضًا: "جامع العلوم والحكم" ابن رجب الحنبلي (1/ 225، ط. مؤسسة الرسالة). ومن الضوابط أيضًا: أن تكون النصيحة بغير تعيينٍ؛ اقتداءً برسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في قوله: «ما بال أقوام»؛ ومن ذلك ما جاء عن أمِّ المؤمنين السيدة عائشة رضي الله عنها قالت: أتتها بريرة تسألها في كتابتها، فقالت: إن شئت أعطيت أهلك ويكون الولاء لي، فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ذكَّرته ذلك، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «اشْتَرِيهَا، فَأَعْتِقِيهَا، فَإِنَّمَا الوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ»، ثم قام رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم على المنبر، فقال: «مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَهُوَ بَاطِلٌ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ» متفق عليه. كذلك من ضوابط النصيحة: ألَّا تؤدي إلى مفسدة أعظم أو إلى منكر أشد، وقد أصَّل لهذا المعنى الإمام القرافي في "الفروق" (4/ 257، ط. عالم الكتب) حيث قال: [شرط الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر: ما لم يؤد إلى مفسدة هي أعظم، هذه المفسدة قسمان: تارة تكون إذا نهاه عن منكرٍ؛ فَعَلَ ما هو أعظم منه في غير الناهي، وتارة يفعله في الناهي بأن ينهاه عن الزنا فيقتله -أعني الناهي، يقتله المُلابِسُ للمنكر-، والقسم الأول: اتفق الناس عليه أنه يحرم النهي عن المنكر، والقسم الثاني: اختلف الناس فيه، فمنهم من سواه بالأول، نَظَرًا لعظم المفسدة، ومنهم من فَرَّق] اهـ. الخلاصة بناءً على ذلكفالنصيحة بها قوام الدين، وحديثها من جوامع كَلِم رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، ومعناها يختلف باختلاف المنصوح، وبيان معناها واسع باتساع الحقوق الواجبة على المكلف تجاه الخالق سبحانه وتعالى، وكتابه العظيم، ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، وعامة الأمة وخاصتهم، مع ضرورة مراعاة أن تكون النصيحة بالتعريض لا التصريح، وبالتعميم لا التعيين، وألَّا تؤدي إلى مفسدةٍ أو منكرٍ أشد. (دار الافتاء المصرية) (4)(البدرُ التمام شرح بلوغ المرام (المتوفى: 1119 هـ) ج10ص371-375) (5)( أعلام الحديث شرح صحيح البخاري للخطابي (ت 388 هـ)ج1ص187-193) (6) الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ (شرح صحيح البخارى لابن بطال(المتوفى: 449هـ) ج1ص128-131) (7)(شرح السنة للبغوي الشافعي (المتوفى: 516هـ)ج13ص93-96) (8)باب بَيَانِ أَنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ (شرح صحيح مسلم للنووي (المتوفى: 676هـ) ج2ص37-39) (9)(الكواكب الدراري في شرح صحيح البخاري للكرماني (المتوفى: 786هـ)ج1ص216-218) (10)بَابُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدِّينُ النَّصِيحَةُ (فتح الباري لابن حجر الْعَسْقَلَانِي (الْمُتَوفَّى: 852هـ) ج1ص137-139) (11)(عمدة القاري شرح صحيح البخاري لبدر الدين العينى (المتوفى: 855هـ) ج1ص320-322) (12)باب قَوْلِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- «الدِّينُ النَّصِيحَةُ (إرشاد الساري لشرح صحيح البخاري  للقسطلاني (المتوفى: 923هـ) ج1ص151) (13)(منحة الباري بشرح صحيح البخاري المسمى«تحفة الباري»لزكريا الأنصاري (المتوفى: 926 هـ) ج1ص243-245) (14)(الديباج على صحيح مسلم بن الحجاج للسيوطي (المتوفى: 911هـ) ج1ص76) (15) (منة المنعم في شرح صحيح مسلم لصفي الرحمن المباركفوري ج1ص87) (16)بَابُ النُّصحِ مِنَ الإِيمَانِ (الكوكب الوهاج شرح صحيح مسلم ج2ص453-457) (17)باب الدين النصيحة (فتح المنعم شرح صحيح مسلم ج1ص204-207) (18)وأول النصح أن ينصح الإنسان نفسه (الذريعة إلى مكارم الشريعة للأصفهانى(المتوفى: 502هـ)ج1ص211) (19)(شرح الأربعين النووية لابن دقيق العيد (المتوفى: 702هـ)ص50-52) (20)(جامع العلوم والحكم لا بن رجب الحنبلي (المتوفى: 795هـ) ج1ص215-225) (21)(الفتح المبين بشرح الأربعين لابن حجر الهيتمي (المتوفى: 974هـ)ص253-258) (22)باب في النصيحة (دليل الفالحين لطرق رياض الصالحين(المتوفى:1057هـ)ج2ص459-463) (23)(السراج المنير شرح الجامع الصغير للعزيزي (المتوفى: 1181هـ)ج2ص23-24) (24)(الأحاديث الأربعين النووية مع ما زاد عليها ابن رجب وعليها الشرح الموجز المفيد ص17-19) (25)(فيض القدير شرح الجامع الصغير(المتوفى: 1031هـ)ج3ص555) (26)(حاشية الصاوي على الشرح الصغير(المتوفى: 1241هـ)ج4ص741) (27)باب النصيحة(شرح رياض الصالحين للعثيمين(المتوفى: 1421هـ) ج2ص382-398) (28)(الجامع الصحيح للسنن والمسانيد ج 4ص77وفي الزواجر عن اقتراف الكبائر لابن حجر الهيتمي ج1ص395-396) - وَعَنْ «أَبِي سِبَاعٍ قَالَ: اشْتَرَيْت نَاقَةً مِنْ دَارِ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - فَلَمَّا خَرَجْت بِهَا أَدْرَكَنِي يَجُرُّ إزَارَهُ فَقَالَ اشْتَرَيْت؟ قُلْت نَعَمْ. قَالَ: أُبَيِّنُ لَك مَا فِيهَا؟ قُلْت وَمَا فِيهَا إنَّهَا لَسَمِينَةٌ ظَاهِرَةُ الصِّحَّةِ، قَالَ أَرَدْت بِهَا سَفَرًا أَوْ أَرَدْت لَحْمًا؟ قُلْت أَرَدْت بِهَا الْحَجَّ، قَالَ ارْتَجِعْهَا، فَقَالَ صَاحِبُهَا مَا أَرَدْت إلَى هَذَا أَصْلَحَك اللَّهُ؟ تُفْسِدُ عَلَيَّ، قَالَ: إنِّي سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَبِيعَ شَيْئًا إلَّا بَيَّنَ مَا فِيهِ، وَلَا يَحِلُّ لِمَنْ عَلِمَ ذَلِكَ إلَّا بَيَّنَهُ»رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ وَالْبَيْهَقِيُّ وَكَذَا ابْنُ مَاجَهْ بِاخْتِصَارِ الْقِصَّةِ، إلَّا أَنَّهُ قَالَ عَنْ وَاثِلَةَ «سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَقُولُ: مَنْ بَاعَ عَيْبًا لَمْ يُبَيِّنْهُ لَمْ يَزَلْ فِي مَقْتِ اللَّهِ، أَوْ لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تَلْعَنُهُ».وَأَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ وَالْحَاكِمِ وَقَالَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِهِمَا: «الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ إذَا بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ أَنْ لَا يُبَيِّنَهُ» .وَأَبُو الشَّيْخِ ابْنِ حِبَّانَ:«الْمُؤْمِنُونَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ نَصَحَةٌ وَادُّونَ وَإِنْ بَعُدَتْ مَنَازِلُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَالْفَجَرَةُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ غَشَشَةٌ مُتَخَاوِنُونَ وَإِنْ اقْتَرَبَتْ مَنَازِلُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ»....وَالنَّسَائِيُّ بِلَفْظِ:«إنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ»الْحَدِيثَ. وَأَبُو دَاوُد بِلَفْظِ:«إنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ، إنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ»الْحَدِيثَ. وَكَذَا التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالطَّبَرَانِيُّ بِلَفْظِ:«رَأْسُ الدِّينِ النَّصِيحَةُ، قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِدِينِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ» .وَالشَّيْخَانِ «عَنْ جَرِيرٍ: أَتَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقُلْت أُبَايِعُك عَلَى الْإِسْلَامِ فَشَرَطَ عَلَيَّ النُّصْحَ لِكُلِّ مُسْلِمٍ، فَبَايَعْتُهُ عَلَى هَذَا، وَرَبِّ هَذَا الْمَسْجِدِ إنِّي لَكُمْ لَنَاصِحٌ» . وَأَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ عَنْهُ: «بَايَعْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَأَنْ أَنْصَحَ لِكُلِّ مُسْلِمٍ وَكَانَ إذَا بَاعَ الشَّيْءَ أَوْ اشْتَرَاهُ قَالَ: مَا الَّذِي أَخَذْنَا مِنْك أَحَبُّ إلَيْنَا مِمَّا أَعْطَيْنَاك فَاخْتَرْ» . وَأَحْمَدُ «قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَحَبُّ مَا تَعَبَّدَ لِي بِهِ عَبْدِي النُّصْحُ لِي» .وَالطَّبَرَانِيُّ: «مَنْ لَا يَهْتَمُّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ، وَمَنْ لَمْ يُصْبِحْ وَيُمْسِي نَاصِحًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِإِمَامِهِ وَلِعَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ»...وَفِي رِوَايَةٍ صَحِيحَةٍ: «لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ حَقِيقَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ» تَنْبِيهٌعَدُّ هَذَا كَبِيرَةً هُوَ ظَاهِرُ بَعْضِ مَا فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ مِنْ نَفْيِ الْإِسْلَامِ عَنْهُ مَعَ كَوْنِهِ لَمْ يَزَلْ فِي مَقْتِ اللَّهِ أَوْ كَوْنِ الْمَلَائِكَةِ تَلْعَنُهُ، ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَبِيرَةٌ لَكِنَّ الَّذِي فِي الرَّوْضَةِ كَمَا مَرَّ أَنَّهُ صَغِيرَةٌ وَفِيهِ نَظَرٌ لِمَا ذُكِرَ مِنْ الْوَعِيدِ الشَّدِيدِ فِيهِ. وَضَابِطُ الْغِشِّ الْمُحَرَّمِ أَنْ يَعْلَمَ ذُو السِّلْعَةِ مِنْ نَحْوِ بَائِعٍ أَوْ مُشْتَرٍ فِيهَا شَيْئًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ مُرِيدُ أَخْذِهَا مَا أَخَذَهَا بِذَلِكَ الْمُقَابِلِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَهُ بِهِ لِيَدْخُلَ فِي أَخْذِهِ عَلَى بَصِيرَةٍ، وَيُؤْخَذُ مِنْ حَدِيثِ وَاثِلَةَ وَغَيْرِهِ مَا صَرَّحَ بِهِ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ يَجِبُ أَيْضًا عَلَى أَجْنَبِيٍّ عَلِمَ بِالسِّلْعَةِ عَيْبًا أَنْ يُخْبِرَ بِهِ مُرِيدَ أَخْذِهَا وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْهُ عَنْهَا، كَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ إذَا رَأَى إنْسَانًا يَخْطُبُ امْرَأَةً وَيَعْلَمُ بِهَا أَوْ بِهِ عَيْبًا، أَوْ رَأَى إنْسَانًا يُرِيدُ أَنْ يُخَالِطَ آخَرَ لِمُعَامَلَةٍ أَوْ صَدَاقَةٍ أَوْ قِرَاءَةِ نَحْوِ عِلْمٍ وَعَلِمَ بِأَحَدِهِمَا عَيْبًا أَنْ يُخْبِرَ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُسْتَشَرْ بِهِ، كُلُّ ذَلِكَ أَدَاءٌ لِلنَّصِيحَةِ الْمُتَأَكِّدِ وُجُوبُهَا لِخَاصَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.

(وفي  الفتح المبين بشرح الأربعين لابن حجر الهيتمي ص257)(النصيحة) ثم هي قد تجب عينًا، وقد تجب على الكفاية كما يعلم من أقسامها التي ذكرناها. نعم؛ شرط وجوبها بقسميه: أن يأمن من لحوق ضررٍ له في نفسه، أو نحو ماله، لا العلم بقبول نصحه؛ لِمَا صرحوا به من وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وإن علم أنه لا يسمع له، ومن ثَمَّ يندب له السلام ولو على من علم منه أنه لا يَرُدَّ.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: