Manhaj Tarjih Muhammadiyah
BAB I
MUQADDIMAH
Kebutuhan
untuk menyempurnakan manhaj
(metodologi) pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah, di satu sisi,
dipandang merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan intensitas dan
ekstensitas berbagai perkembangan kehidupan. Sementara pada sisi yang lain
merupakan pengakuan atas watak relatifitas produk historis terutama yang
menyangkut manhaj pemikiran. Manhaj Pemikiran adalah sebuah kerangka kerja
metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur
penyelesaiannya; di dalamnya dimuat asumsi dasar, prinsip pengembangan,
metodologi dan operasionalisasinya. Manhaj
ini bersifat menyeluruh, fleksibel, fungsional, toleran, terbuka, dan responsif
terhadap perkembangan keilmuan, dan kemasyarakatan.
Muhammadiyah,
sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika
kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan
senantiasa merujuk pada ajaran Islam (Al-rujū’
ilā al-Qur’ān wa as-Sunnah al-Maqbūlah). Di satu sisi sejarah
selalu melahirkan berbagai persoalan dan pada sisi yang lain Islam menyediakan
referensi normatif atas perbagai persoalan tersebut. Orientasi kepada dimensi
ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio kultural
lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun
kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan
Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi manhaj-nya.
Pemikiran
keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan
keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse keislaman
dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang
selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian.
Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis
(hubungan kritis/komunikatif-dialogis) antara normativitas dīn (Al-rujū’ ilā al-Qur’ān wa as-Sunnah
al-Maqbūlah), historisitas berbagai penafsiran atas dīn, realitas kekinian
dan prediksi masa depan. Mengingat proses hermeneutis ini sangat dipengaruhi
oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping
pendekatan dan teknis pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka
Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan rūḥul ijtihād dan tajdīd terus
tumbuh dan berkembang.
BAB II
SUMBER AJARAN ISLAM
1. Sumber Ajaran Islam adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah al-Maqblah.
2. Pemahaman terhadap kedua sumber tersebut
dilakukan secara komprehensif inrtegralistik melalui pendekatan bayani, burhani
dan irfani dalam suatu hubungan yang bersifat spiral. [Penyesuaian penempatan: Angka 1 dan 2 diambil dari
Putusan Munas XXIV, Malang, Bab II dengan menyesuaikan dan menyelaraskan angka
2 dengan diktum alinea pertama Bab III C dan alinea terakhir Bab IV putusan ini
(MTPPI)].
3. Beberapa istilah:
a. Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang
tersebut dalam Sunnah yang shahih [maksudnya
maqbulah, sesuai angka 1 di atas],
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan
manusia di Dunia dan Akhirat.
Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan
perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan
berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
b. Dunia: Yang dimaksud “urusan dunia” dalam
sabda Rasulullah saw, “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara
yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara /
pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan) yang diserahkan sepenuhnya kepada
kebijaksanaan manusia).
c. Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada allah
dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larqangan-larangan-Nya dan
mengamalkan segala yang diidzinka-Nya.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang
umum ialah segala amalan yang diidzinkan allah. Ibadah yang khusus ialah apa
yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya
yang tertentu.
d. Sabilullah: Sabilullah ialah jjalan yang
menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diidzinkan Allah
untuk memuliakan kalimat- (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya. [Angka 3 diambil dari HPT, h. 276-277].
BAB III
MANHAJ IJTIHAD HUKUM
A. Pengertian Umum
Untuk menyamakan persepsi tentang beberapa istilah teknis
yang digunakan dalam Manhaj Tarjih ini, perlu dijelaskan pengertian-pengertian
umum tentang istilah-istilah sebagai berikut:
Ijtihād:
Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran
Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu
lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Maqāshid asy-Syarī’ah: Tujuan ditetapkan hukum dalam Islam, adalah untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, yakni
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut dicapai
melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber
hukum (al-Qur’an dan as-Sunnah).
Ittibā‘:
Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya. Ittiba‘ merupakan sikap
minimal harus dapat dilakukan oleh warga persyarikatan.
Taqlid:
Mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya. Taqlid merupakan sikap
yang tidak dibenarkan diikuti bagi warga persyarikatan baik ulamanya maupun
warga secara keseluruhan.
Talfīq:
Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘i. Talfiq terjadi dalam
konteks taqlid
dan ittiba‘.
Muhammadiyah membenarkan talfiq
sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.
Tarjih:
Secara teknis tarjih
adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang
lebih kuat (rājih),
lebih tepat analogi dan lebih kuat mashlahatnya.
Sedangkan secara institusional Majelis Tarjih adalah lembaga ijtihad jama‘i (organisatoris)
di lingkungan Muhammadiyah yang anggota terdiri dari orang-orang yang memiliki
kompetensi ushliyyah
dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing.
As-Sunnah al-Maqbūlah: Perkataan,
perbuatan dan ketetapan dari Nabi saw, yang menurut hasil analisis
memenuhi kriteria shahih
dan hasan.
Ta’abbudī:
Perbuatan-perbuatan ‘ubdiyyah
yang harus dilakukan oleh mukallaf
sebagai wujud penghambaan kepada Allah tanpa boleh ada penambahan atau
pengurangan. Perbuatan ta‘abbudī tidak
dibenarkan dianalisis secara rasional.
Ta‘aqquli:
Perbuatan-perbuatan ‘ubudiyyah
mukallaf yang
bersifat ta‘aqquli,
berkembang, dan dinamis. Perbuatan ta‘aqquli
dapat dianalisis secara rasional.
Sumber Hukum: Sumber hukum bagi Muhammadiyah adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah al-Maqblah.
Qath’iyyul-wurūd: Nash
yang memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya karena proses penyampaiannya
meyakinkan dan tidak mungkin ada keterputusan atau kebohongan dari para
penyampainya.
Qath’iyyud-dalālah: Nash yang
memiliki makna pasti karena dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna tunggal
dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna lain.
Zhanniyyul-wurūd: Nash
yang tidak memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya, karena proses
penyampaiannya kurang meyakinkan dan karena ada kemungkinan keterputusan,
kedustaan atau kelupaan di antara para penyampainya.
Zhanniyyud-dalālah: Nash yang
memiliki makna tidak pasti, karena dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna
ganda, dan dapat ditafsirkan dengan makna lain.
Tajdid: Pembaharuan
yang memiliki dua makna, yakni pemurnian (tajdid
salafi) dan pengembangan (tajdid
tathwīrī)
Pemikiran:
Hasil rumusan dengan cara mencurahkan segenap kemampuan berfikir terhadap suatu
masalah berdasarkan wahyu dengan metode ilmiah, meliputi bidang teknologi,
filsafat, tasawwuf, hukum, dan disiplin ilmu lainnya.
B. Sumber Hukum dan Kedudukan Ijtihad
1. Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam
adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-Syarif.
2. Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal
yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak
bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk alasannya tidak terdapat nash
yang sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah shahihah, maka jalan untuk
mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada
berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan
khalaf. [Huruf B diambil dari
HPT, h. 278].
C. Pengertian, Posisi, Fungsi dan Ruang Lingkup
Ijtihad
Ijtihad hukum
adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan
hukum syar’ī
yang bersifat zhannī
dengan menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh yang berkompeten baik
secara metodologis maupun permasalahan.
Posisi ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan
sebagai metode penetapan hukum, sedangkan fungsi ijtihad adalah sebagai metode
untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ruang lingkup ijtihad meliputi:
1. Masalah-masalah yang terdapat dalam
dalil-dalil zhanni.
2. Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
E. Metode, Pendekatan, dan Teknik
1. Metode
a. Bayani
(semantik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
b.
Ta’lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan
pendekatan penalaran.
c.
Istishlahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan
kemaslahatan.
2.
Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penetapan hukum-hukum ijtihadiyah adalah:
a.
At-tafsīr al-ijtima’ī al-mu’āshir (hermeneutik)
b.
At-tārīkhī (historis)
c.
As-susiuluji (sosiologis)
d.
Al-antrubuluji (antropologis)
3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah:
a. Ijma‘
b. Qiyas
c.
Mashalih Mursalah
d. ‘Urf
F. Ta’ārudl al-Adillah
1.
Ta‘ārudl al-adillah adalah
pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang
berbeda.
2. Jika terjadi
ta‘arrudl
diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:
a. Al-jam‘u wa at-taufīq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun
zhahirnya ta‘ārudl.
Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyīr).
b.
At-tarjīh, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk
diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.
c.
An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya
lebih akhir.
d.
At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap
dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
G.
Metode Tarjih terhadap Nash
Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi.
1. Segi
Sanad
a.
Kualitas maupun kuantitas rawi
b. Bentuk
dan sifat periwayatan
2. Segi
Matan
a. Matan
yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr
b. Matan
yang menggunakan sighat khass lebih rajih dari sighat ‘am
3. Segi
Materi Hukum
4. Segi
Eksternal
H. Beberapa Kaidah
Mengenai Hadis
1. Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan
hujjah.
2. Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marfū‘ dapat dijadikan
hujjah.
3. Hadis maukuf termasuk kategori marfū‘ apabila
terdapat karinah yang daripadanya dapat difahami kemarfū‘annya kepada
Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya
mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan seterusnya
bunyi hadis itu, dan sebagainya.
4. Hadis mursal Tabi‘ī murni tidak dapat
dijadikan hujjah.
5. Hadis mursal Tabi‘ī dapat dijadikan hujjah
apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
6. Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah
apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
7. Hadis-hadis dha’if yang satu sama lain saling
menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan
padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.
8. Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah
adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.
9. Riwayat orang yang terkenal suka melakukan
tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu
bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya.
10. Penafsiran Shahabat terhadap lafal
(pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib diterima.
11. Penafsiran Shahabat terhadap lafal
(pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir
tersebut. [Penyesuaian penempatan: Huruf H diambil dari HPT, h.
300-301(MTPPI)].
BAB IV
MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
A.
Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam
Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan
beradasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah
berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan.
Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi
pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan
asumsi mengenai hakikat pandangan keagamaan – posisi Islam dan pemikiran Islam,
sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam – sangat signifikan untuk
menentukan cara kerja epistemologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun
metode yang dipergunakan.
Posisi
Islam dan Pemikiran Islam.
Membedakan antara Islam
dan Pemikiran Islam
sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari
intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan
dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam
tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nushūsh al-mutanāhiyah) melalui
tindakan pengubahan baik penambahan dan pengurangan atau bahkan
penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu
adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak
diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan
setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyatakan
kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk Muslim atau bukan (freedom of religion;
QS. al-Baqarah: 256; al-Kāfirūn: 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk
mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian umat Muslim
yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waqā‘i’ ghairu mutanāhiyah).
Dengan
meletakkan Islam dalam al-tajdīd
wa al-ibtikār, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa
pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada
komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak
memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun
keimanan secara langsung ataupun tidak. At-tajdīd
wa al-ibtikār merupakan program pembaharuan terencana dan
terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas dan
historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam konteks
sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula dimaksudkan agar
Islam benar-benar menjadi rahmatan
lil ‘ālamīn; sebuah proses menafsirkan universalitas Islam melalui
kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala
keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari
semua lapisan baik dalam masyarakat Muslim (insider)
maupun non-Muslim (outsider)
Sumber Pemikiran Islam. Setiap
disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber
pengetahuannya. Islam sebagai ad-dīn
memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara itu,
pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan realitas. Yang
dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan
as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang
kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisyāf. Dan yang terakhir adalah
realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas kemanusiaan.
Fungsi Pemikiran Islam. Pemikiran
Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai
petunjuk bagi manusia menuju kesalehan
individual dan kesalehan
sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan
persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas
publik (public morality).
Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan
kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance),
ibadah mahdah dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality).
Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana
kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi,
globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa
genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi,
HAM, civil society, kekerasan
sosial dan agama, gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan
melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.
Metodologi Pemikiran Islam. Dalam
Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbārī dan
kebenaran nazharī.
Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu
bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah
kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang
hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan
lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada
rentang waktu – dulu, kini, mendatang — di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah
yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical
circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi
terhadap kitab suci (an-nushush
al-mutanāhiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan
berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat.
Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas
teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran
hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (turāts) yang memang
sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti
menerima apa adanya modernitas (hadatsah).
Kewajiban Muslim adalah melakukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan
realitas itu secara produktif (al-Qirā’ah
al-Muntijah, bukan al-Qirā’ah
al-Mutakarrirah).
Dengan
memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas dan perubahan (ats-tsabāt wa at-taghayyur)
dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan
paradigma tidak berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut
dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu
sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi
dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga
kontinuitas dalam pemikiran keislaman atau melakukan pengembangan,
sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama
sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi – pendekatan dan
metode – baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya
dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhāfazhatu ‘ala al-qadīm
ash-shāliḥ ma’a al-akhdz bi al-jadīd al-ashlaḥ.
Dengan
rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana
keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan
sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti
pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas
kritik dan pengembangan; imaginatif
dalam arti membuka horizon pemahaman dan pendalaman baru melalui iktisyāf; kreatif dalam
melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum
terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer
benar-benar berada dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan
tidak ahistoris.
B.
Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
Manhaj pengembangan pemikiran Islam ini dikembangkan atas
dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:
1. Prinsip al-murā‘āh
(konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu
untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan
dengan cara pemurnian (purification)
ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah
mahdhah.
2. Prinsip at-tahditsi
(inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan
spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan
ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi
ajaran Islam.
3. Prinsip al-ibdā‘ī (kreasi)
yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam
menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan cara menerima
nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan
penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).
C. Kerangka Metodologi
Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh
kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation
dan logic of discovery),
berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang
dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayānī, ‘irfānī dan burhānī, sesuai dengan
obyek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas — berikut seluruh masalah
yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran
Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks,
berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan
ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
1.
Pendekatan Bayānī
Pendekatan bayānī
sudah lama dipergunakan oleh para fuqahā’,
mutakallimn
dan ushliyyn. Bayānī adalah
pendekatan untuk: a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau
mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata
lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zhāhir dari lafzh dan ‘ibārah yang zhāhir pula; dan b) istinbāth hukum-hukum
dari an-nushush
al-mutanāhiyah dan al-Qur’an khususnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan
diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara
makna dan lafzh. Hubungan antara makna dan lafzh dapat dilihat dari segi: a) makna wadl’ī, untuk apa
makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khāshsh, ‘āmm dan musytarak; b) makna isti’mālī, makna
apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqīqah
(sharīhah dan
mukniyah) dan
makna majāz
(sharīh dan kināyah);
c) darajat al-wudlh,
sifat dan kualitas lafzh, meliputi muhkam,
mufassar, nash, zhāhir, khafī, musykil, mujmal dan mutasyābih; dan
d) thuruq al-dalālah,
penunjukan lafzh terhadap makna, meliputi dalālah
al-‘ibārah, dalālah al-isyārah, dalālah al-nash dan dalālah al-iqtidlā’
(menurut Hanafiyah), atau dalālah
al-manzhm dan dalālah
al-mafhūm baik mafhūm
al-muwāfaqah maupun mafhūm
al-mukhālafah (menurut Syafi‘iyah).
Untuk itu, pendekatan bayānī
mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan
uslub-uslubnya serta asbāb
al-nuzūl, dan istinbāth
atau istidlāl
sebagai metodenya. Sementara
itu, kata-kata kunci (keywords)
yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi ashl – far’, lafzh – ma’nā (manthq al-lughah dan musykilah al-dalālah;
dan nizhām al-khithāb
dan nizhām al-‘aql),
khabar-qiyās,
dan otoritas salaf (sulthah
al-salaf). Dalam al-qiyās
al-bayānī, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam: 1) al-qiyās berdasarkan
ukuran kepantasan antara ashl
dan far‘ bagi
hukum tertentu; yang meliputi a) al-qiyās
al-jalī; b) al-qiyās
fi ma‘nā al-nash; dan
c) al-qiyās al-khafī; 2) al-qiyās
berdasarkan ‘illat
terbagi menjadi: a) qiyās
al-‘illat; dan b) qiyās
al-dalālah; dan 3) al-qiyās
al-jāmi’ terhadap
ashl dan far‘.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayān: 1) Bayān al-I‘tibār, yaitu
penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiyās al-bayānī baik
al-fiqhy, al-nahwy dan al-kalāmy; dan b) al-khabar yang bersifat
yaqīn maupun tashdīq; 2) Bayān al-I‘tiqād, yaitu
penjelasan mengenai makna segala sesuatu yang meliputi makna haqq, makna mutasyābih fīh, dan
makna bāthil;
3) Bayān al-‘Ibārah yang
terdiri dari: a) al-bayān
al-zhāhir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayān al-bāthin yang
membutuhkan tafsir, qiyās,
istidlāl dan khabar; dan 4) Bayān al-Kitāb,
maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari kātib khat,
kātib lafzh, kātib ‘aqd, kātib hukm, dan kātib tadbīr.
Dalam pendekatan bayānī,
oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas
sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi.
2. Pendekatan Burhānī
Burhān adalah
pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhānī atau
pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada
kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik,
proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah).
Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara
keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas
sejarah (tārīkhiyyah),
realitas sosial (ijtimā’iyyah)
dan realitas budaya (tsaqāfiyyah).
Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang
saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan
konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca
dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqūlāt (kategori-kategori)
meliputi kully-juz’iy,
jauhar-aradl, ma’qūlātalfāzh sebagai
kata kunci untuk analisis.
Karena burhānī
menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini
ada dua ilmu penting, yaitu ‘ilm
al-lisān dan ‘ilm
al-manthiq. Yang pertama membicarakan lafzh-lafzh, kaifiyyah,
susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk
menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya
adalah untuk menjaga lafzh
al-dalālah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai
lafzh tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan
yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi
dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang
mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya
adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara
kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilm al-manthiq juga
merupakan alat (manāhij
al-adillah) yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang maujd baik yang wājib atau mumkin, dan maujd fi al-adzhān (rasionalisme)
atau maujūd fi al-a‘yān
(empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; manthiq
mafhūm (mabhats
al-tashawwur), manthiq
al-hukm (mabhats
al-qadhāyā), dan manthiq
al-istidlāl (mabhats
al-qiyās). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya
terbagi dua, yaitu nazhariyyah
al-hukm dan nazhariyyah
al-istidlāl.
Dalam tradisi burhānī
juga kita mengenal ada sebutan falsafat
al-ūlā (metafisika) dan al-falsafat
al-tsāniyyah. Falsafat
al-ūlā membahas hal-hal yang berkaitan dengan: wujūd al-‘aradly, wujūd al-jawāhir (jawāhir ūlā atau asykhāsh dan jawāhir tsāniyah atau al-naw), māddah dan shūrah, dan asbāb yang terjadi
pada a) māddah, shūrah,
fā‘il dan ghāyah;
dan b) ittifāq
(sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta) dan hazhzh (sebab-sebab yang berlaku pada
manusia). Sedangkan falsafat
al-tsāniyyah atau disebut juga ‘ilm al-thabī’ah, mengkaji masalah: 1)
hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (as-sunnah al-‘ālamiyyah)
maupun manusia (as-sunnah
al-insāniyah); dan 2) taghayyur,
yaitu gerak baik azalī (harakah qadīmah) maupun
gerak maujd
(harakah hāditsah)
yang bersifat plural (mutanawwi’ah).
Gerak itu dapat terjadi pada jauhar
(substansi: kawn
dan fasad),
jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istihālah), dan tempat (sebelum dan
sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ūlā (metafisika)
dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu,
pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi
ilmu-ilmu sosial (social
sciences, al-‘ulūm al-ijtimā‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ulūm al-insaniyyah).
Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi, pemikiran, kebudayaan, peradaban,
nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan
sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila
dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (susiuluji), antropologi (antrubuluji),
kebudayaan (tsaqāfi)
dan sejarah (tārīkhi),
seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran
Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi
antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku
keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita
bisa melakukan rekacipta masyarakat
utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati
masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan rekacipta budaya Islam.
Tentu saja untuk melakukan rekacipta budaya Islam juga dibutuhkan
pendekatan kebudayaan (tsaqāfi)
yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-konsep,
nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Muslim. Agar upaya rekacipta masyarakat Muslim dapat mendekati ideal
masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini juga menghendaki
kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tārīkhi). Hal ini agar
konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang
kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar
upaya pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis.
Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan
lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam burhānī,
keempat pendekatan – tārīkhi,
susiuluji, tsaqāfi dan antrubuluji
– berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling
melengkapi membentuk jaringan keilmuan.
3.
Pendekatan ‘Irfānī
‘Irfānī
mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm
atau ma‘rifah;
metode ilham dan kasyf
yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghuns
atau gnosis. Ketika ‘irfān
diadopsi kedalam Islam, para ahl
al-‘irfān mempermudahnya menjadi: pembicaraan mengenai 1) al-naql dan al-tawzhīf; dan
2) upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ibārahnya untuk
memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irfānī adalah suatu pendekatan yang
dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutashawwifīn dan ‘ārifīn untuk
mengeluarkan makna bāthin
dari bāthin lafzh
dan ‘ibārah;
ia juga merupakan istinbāth
al-ma’ārif al-qalbiyyah dari al-Qur’an.
Pendekatan ‘irfānī adalah
pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdān, bashīrah dan intuisi.
Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyfī dan manhaj iktisyāfī. Manhaj kasyfī disebut
juga manhaj ma‘rifah
‘irfānī yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf dengan riyādlah dan mujāhadah. Manhaj iktisyāfī disebut
juga al-mumātsilah
(analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia
pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup: a)
analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8, dst; b) tamtsīl yang meliputi
silogisme dan induksi; dan c) shūrah dan
asykāl.
Dengan demikian, al-mumātsilah
adalah manhaj iktisyāfī dan
bukan manhaj kasyfī.
Pendekatan ‘irfānī juga
menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfāniyyīn
tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari
persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan
menangkap haqīqah
yang terletak di balik syarī‘ah,
dan yang bāthin
(al-dalālah al-isyārah aw
al-ramziyyah) di balik yang zhāhir (al-dalālah al-lughawiyyah). Dengan
memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan
dalam ‘irfānī mencakup
ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wīl).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘irfānī meliputi tanzīl- ta’wīl, haqīqī-majāzī, mumātsilah dan zhāhir-bāthin. Hubungan
zhāhir-bāthin terbagi
menjadi 3 segi: 1) siyāsī
mubāsyar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat
dan lafzh kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan
makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3)
metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang
berkaitan dengan al-ilah
al-muta‘āliyah dan aql
kully dan nafs
al-kulliyah.
Pendekatan ‘irfānī banyak
dimanfaatkan dalam ta’wīl.
Ta’wīl ‘irfānī terhadap
al-Qur’an bukan merupakan istinbāth,
bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati
lafzh-lafzh al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan
warisan ‘irfānī yang
sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkret dari pendekatan ‘irfānī lainnya
adalah Falsafah Ishrāqī yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah
al-bahtsiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan
pengetahuan intuitif (al-hikmah
al-dzawqiyyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh
menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqīqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu
al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfānī. Namun, dengan keyakinan yang kita
pegangi selama ini, mungkin pengetahuan ‘irfānī yang
akan dikembangkan dalam kerangka ittibā‘
al-rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfānī bersifat
subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap
orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka
validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat
partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam
tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk
memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk
sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahap
pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya
pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan
struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh
orang lain.
Implikasi dari pengetahuan ‘irfānī dalam konteks pemikiran
keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi
spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya
pengalaman keagamaan orang lain (the
otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki
substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang
transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan
simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya
kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan
peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah
ilāhiyyah.
BAB V
OPERASIONALISASI
Tiga pendekatan di atas adalah warisan yang tak ternilai
harganya dalam pemikiran Islam. Dan ketiga pendekatan ini pula hingga kini
masih banyak dipergunakan para pengkaji di kalangan Muslim sendiri, dan
sebagian non-Muslim. Ada perkembangan cukup menarik dalam sejarah pemikiran
Islam, di mana terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana Muslim dari berbagai
kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman. Mereka melihat
ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan ketiga pendekatan ini
untuk memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi
dan menerima antar pendekatan (al-akhdzu
wa al-‘itha‘ bain al-manāhij), kesinambungan (al-ittishāl), saling
mempengaruhi (al-ihtikāk),
dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-istidām). Sebagaimana yang dipahami,
dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan wilayah pemikiran keislaman hanya
bertumpu pada wilayah kalam, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan
kategorisasi problem dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi
empat wilayah di atas tetapi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu tercermin
pada wilayah historisitas praktik-praktik sosial keislaman serta tekanan
pada nilai-nilai pada wilayah etik dan moralitas (akhlak). Oleh karena
itu, pemikiran Islam kontemporer perlu memahami semua realitas persoalan
keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan jaman era
industrialisasi dan globalisasi budaya dan agama.
Pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam dalam
Muhammadiyah meliputi persoalan sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial
politik, sosial ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan
rekayasan genetika dan bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan
masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria
dan wanita dalam Islam, civil
society, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan,
penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar
agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagamaan dalam
bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.
Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman
kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara
ketiga pendekatan, yaitu antara Bayani, Burhani dan Irfani ? Setelah diperoleh
pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah
nilai strategisnya adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan
dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang
akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan spiral.
Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam
bentuk paralel,
di mana masing-masing ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada
hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat
praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim
sekali. Bentuk hubungan paralel,
mengasumsikan bahwa dalam diri seorang Muslim terdapat tiga jenis
metodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapi masing-masing metodologi
berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada
situasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya dan
tidak “berani” memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi
keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu, seminim-minimnya hasil yang
diperoleh dari model hubungan yang bersifat paralel
ini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil dari salah satu metodologi dan
tidak mengenal jenis metodologi yang lain.
Sedangkan hubungan linear, pada ujung-ujungnya adalah
“kebuntuan” karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linear akan
mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi
primadona. Seorang Muslim akan menepikan masukan yang diberikan/disumbangkan
oleh metodologi yang lain, karena ia telah terlanjur menyukai salah satu
dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai
suatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada
gilirannya, akan mengantarkan seorang pada “kebuntuan”. Dogma keilmuan dimana
tradisi berfikir, bayani
tidak mengenal tradisi berfikir burhani
atau irfani
dan begitu sebaliknya.
Keduanya — baik yang paralel
maupun yang linear
— bukan
merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) untuk umat Islam era
kontemporer.
Pendekatan paralel
tidak dapat membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing pendekatan
macet, terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulah apa
yang disebut “truth claim”
(klaim kebenaran, atau monopoli kebenaran). Sedang pendekatan linear — yang
mengasumsikan adanya finalitas — akan menjebak seseorang atau kelompok pada
situasi-situasi eksklusif-polemis. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer,
baru dapat mengantarkan seorang Muslim pada pemilihan antara salah satu dari
kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut, masing-masing kurang
kondusif untuk menghantarkan “kematangan religiusitas” seseorang, apalagi
kelompok. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga
metodologi yang ada yang lebih memberi kemungkinan dirumuskan angin segar
dilingkungan komunitas Muhammadiyah.
Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang
bersifat spiral,
dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam
pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan
yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan
yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan,
kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan
diperbaiki, setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari
luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan bayani, burhani
maupun irfani.
Corak hubungan yang bersifat spiral,
tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas —
untuk kasus-kasus tertentu — hanya mengantarkan seseorang dan kelompok Muslim
pada jalan buntu (dead
lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar
sesama Muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan
munculnya new
possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih
kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
BAB VI
PENUTUP
1. Hasil Rumusan Manhaj Pengembangan Pemikiran
Islam Muhammadiyah ini bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti
Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran
Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah
menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya
asal argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang
lebih akurat.
2. Segala keputusan Majelis Tarjih yang
berkaitan dengan manhaj istidlal sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan
ini tetap berlaku.