PROFESIONALISME KINERJA GURU
MENYONGSONG MASA DEPAN
Presented by:
MUHLISIN
=====================================================
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuania-Nya yang diberikan pada kita semua
sehingga kita dapat menjalankan segala aktivitas sehari-hari.
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan proses pendidikan di
sekolah maka pembinaan dan pengembangan profesi guru dipandang perlu
diperhatikan sebagai wujud komitmen dalam melakukan pembenahan pola pendidikan
agar mencapai mutu pendidikan sesuai harapan.
Penyusunan naskah ini merupakan
bentuk respon terhadap program kebijakan bidang pendidikan, paling tidak
kehadirannya mengingatkan kita betapa pentingnya peran guru dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sehingga saatnya nanti segala yang dicita-citakan bersama
tercapai dimana guru mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan
melalui wujud kinerja yang tidak diragukan lagi. Itu semua akan terjadi
manakala kita mau belajar dan menganalisis berbagai unsur yang memiliki nilai
pengaruh terhadap kinerja guru.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang telah memberikan
dukungan sehingga naskah ini terwujud.
Mudah-mudahan ini
bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangannya.
DAFTAR ISI
Hal
Halaman
Judul..................................................................................................... i
Pengantar
Penulis............................................................................................... ii
Daftar
Isi............................................................................................................... iii
BAB I.
PENDAHULUAN...................................................................................
BAB II. KINERJA GURU DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEM-
PENGARUHINYA................................................................................
A. PROFESI GURU
1. Konsep Profesi
Guru.......................................................................
2. Syarat-syarat Profesi
Guru...............................................................
3. Ciri-ciri Guru yang Efektif.............................................................
4. Peranan dan Tugas
Guru..................................................................
B. KINERJA
GURU...............................................................................
1. Konsep Kinerja
Guru.......................................................................
2. Indikator Kinerja
Guru....................................................................
C. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KINERJA GURU..
1. Kepribadian dan
Dedikasi................................................................
2.
Pengembangan
Profesi.....................................................................
3.
Kemampuan Mengajar ....................................................................
4.
Antar Hubungan dan
Komunikasi....................................................
5. Hubungan dengan
Masyarakat.........................................................
6. Kedisiplinan.....................................................................................
7. Tingkat
Kesejahteraan......................................................................
8. Iklim
Kerja.......................................................................................
BAB
III. PERUBAHAN PARADIGMA PERAN GURU..................................
1.
Tantangan Pendidikan di Era
Perubahan...........................................
2. Reorientasi Paradigma Pendidikan yang
Diinginkan......................
3.
Hakekat belajar mengajar dalam
KBK...........................................
4. Pendekatan Pembelajaran sebagai Fokus Perhatian
Guru..............
5. Visi dan Kompetensi
Guru..............................................................
BAB IV. LANGKAH STRATEGIS MENINGKATKAN KINERJA
GURU.....
BAB IV. RELEVANSI PENATAAN MANAJEMEN DENGAN
KINERJA
GURU...................................................................................
BAB V.
PENUTUP...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan pada
hakekatnya adalah usaha membudayakan manusia atau memanusiakan manusia,
pendidikan amat strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperlukan
guna meningkatkan mutu bangsa secara menyeluruh. Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Fungsi pendidikan harus betul-betul
diperhatikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional sebab tujuan
berfungsi sebagai pemberi arah yang jelas terhadap kegiatan
penyelenggaraan pendidikan sehingga penyelenggaraan pendidikan harus
diarahkan kepada (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2)
pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna, (3) pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat,
(4) pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, (5)
pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat, (6) pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia
yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru merupakan salah satu faktor penentu
tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan mempunyai posisi strategis maka setiap
usaha peningkatan mutu pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada
peningkatan guru baik dalam segi jumlah maupun mutunya.
Guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peran
penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia
pendidikan figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan terutama
yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Pendidik atau guru
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi. Hal tersebut tidak dapat disangkal kerana
lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru. sebagai besar waktu guru
ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan di masyarakat (Djamarah, 2000).
Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam
pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh
teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Di sekolah guru merupakan unsur
yang sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain unsur murid dan
fasilitas lainnya. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan
kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar
mengajar. Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil
pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional guru dan mutu
kinerjanya.
Guru merupakan ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya
mempengaruhi, membina dan mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak,
guru dituntut untuk memiliki kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik,
pembimbing dan pengajar dan kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi guru.
Berkualitas tidaknya proses pendidikan sangat tergantung pada kreativitas
dan inovasi yang dimiliki guru. Gunawan (1996) mengemukakan bahwa Guru
merupakan perencana, pelaksana sekaligus sebagai evaluator pembelajaran di
kelas, maka peserta didik merupakan subjek yang terlibat langsung dalam proses
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran di sekolah masih tetap memegang
peranan yang penting. Peran tersebut belum dapat diganti dan diambil alih oleh
apapun. Hal ini disebabkan karena masih banyak unsur-unsur manusiawi yang tidak
dapat diganti oleh unsur lain. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan
paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru
sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. (Wijaya
dan Rusyan, 1994).
Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan
harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah
mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu
pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk
mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi
tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru.
Guru sebagai pekerja harus berkemampuan yang meliputi penguasaan materi
pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara
menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu
guru harus merupakan pribadi yang berkembang dan bersifat dinamis. Hal ini
sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban
(1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk
meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik
lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Harapan dalam Undang-Undang tersebut menunjukkan adanya
perubahan paradigma pola mengajar guru yang pada mulanya sebagai sumber
informasi bagi siswa dan selalu mendominasi kegiatan dalam kelas berubah menuju
paradigma yang memposisikan guru sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran dan selalu terjadi interaksi antara guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa dalam kelas. Kenyataan ini mengharuskan guru untuk selalu
meningkatkan kemampuannya terutama memberikan keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Menurut Pidarta (1999)
bahwa setiap guru adalah merupakan pribadi yang berkembang. Bila
perkembangan ini dilayani, sudah tentu dapat lebih terarah dan mempercepat
laju perkembangan itu sendiri, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada
guru-guru dalam bekerja di sekolah sehingga sebagai pekerja, guru harus
berkemampuan yang meliputi unjuk kerja, penguasaan materi pelajaran, penguasaan
profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan
berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya.
Guru pada prinsipnya memiliki potensi
yang cukup tinggi untuk berkreasi guna meningkatkan kinerjanya. Namun potensi
yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya meningkatkan kinerjanya tidak
selalu berkembang secara wajar dan lancar disebabkan adanya pengaruh dari
berbagai faktor baik yang muncul dalam pribadi guru itu sendiri maupun yang
terdapat diluar pribadi guru. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi dilapangan
mencerminkan keadaan guru yang tidak sesuai dengan harapan seperti adanya
guru yang bekerja sambilan baik yang sesuai dengan profesinya maupun diluar
profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih
menekuni kegiatan sambilan dari pada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah.
Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan mengundang berbagai pertanyaan tentang
konsistensi guru terhadap profesinya. Disisi lain kinerja guru pun dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah
peningkatan mutu pendidikan. Kontroversi antara kondisi ideal yang harus
dijalani guru sesuai harapan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi dilapangan merupakan
suatu hal yang perlu dan patut untuk dicermati secara mendalam tentang faktor
penyebab munculnya dilema tersebut, sebab hanya dengan memahami faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja guru maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya
sehingga faktor tersebut bukan menjadi hambatan bagi peningkatan kinerja guru
melainkan mampu meningkatkan dan mendorong kinerja guru kearah yang lebih baik
sebab kinerja sebagai suatu sikap dan perilaku dapat meningkat dari waktu ke
waktu.
Untuk itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji
secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih
berperan dan urgen yang mempengaruhi kinerja guru.
BAB II
KINERJA GURU DAN
FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
A. PROFESI GURU
1. Konsep Profesi Guru
Menurut Dedi Supriyadi (1999)
menyatakan bahwa guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam taraf
sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai
pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan
sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional.
Pekerjaan profesional berbeda dengan
pekerja non profesional karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian
khusus dalam melaksanakan profesinya dengan kata lain pekerjaan yang bersifat
profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
khususnya dipersiapkan untuk itu.
Pengembangan profesional guru harus
diakui sebagai suatu hal yang sangat fundamental dan penting guna meningkatkan
mutu pendidikan. Perkembangan profesional adalah proses dimana guru dan kepala
sekolah belajar, meningkatkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan
nilai secara tepat.
Profesi guru memiliki tugas melayani masyarakat dalam
bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini memberikan layanan yang optimal dalam
bidang pendidikan kepada msyarakat. Secara khusus guru di tuntut untuk
memberikan layanan professional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran
tercapai. Sehingga guru yang dikatakan profesional adalah orang yang memeiliki
kemamapuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Ornstein dsn Levine, 1984 (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999)
menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian
profesi di bawah ini sebagai berikut :
a. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan
sepanjang hayat ( tidak berganti-ganti pekerjaan )
b. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar
jangkauan khalayak ramai ( tidak setiap orang dapat melakukan )
c. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek
( teori baru di kembangkan dari hasil penelitian )
d.
Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang
e. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai
persyaratan masuk ( untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu
atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya ).
f. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja
tertentu (tidak diatur oleh orang lain)
g. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diabil dan unjuk
kerja yang ditampilkan yang berhubung dengan layanan yang diberikan ( langsung
bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskan, tidak dipindahkan ke atasan
atau instansi yang lain lebih tinggi ). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku .
h. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan
terhadap layanan yang akan diberikan.
i. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya
relatif bebas dari supervisi dalam jabatan ( misalnya dokter memakai
tenaga adminstrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi dari luar
terhadap pekerjaan dokter sendiri )
j.
Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k. Mempunyai asosiasi profesi atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui
dan mengakui keberhasilan anggotanya ( keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan
dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen
Kesehatan).
l. Mempunyai kode etik untuk mejelaskan hal-hal yang meragukan atau
menyangsikan yang berubungan dengan layanan yang diberikan.
m. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggin dari publik dan
kepercayaan diri sendiri anggotanya ( anggota masyarakat selalu meyakini dokter
lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
n.
Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi ( bila dibandingkan dengan
jabatan lain ).
Tidak jauh
berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al (1991), mengutarakan ciri-ciri
umum suatu profesi itu sebagai berikut:
a. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosisal yang
menentukan (crusial).
b.
Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c.
Keterampilan / keahlian yang dituntut jabatan itu dapat melalui pemecahan
masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d.
Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas,
sistimatik, eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e.
Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu
yang cukup lama.
f.
Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi
nilai-nilai profesional itu sendiri.
g.
Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang
teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h.
Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dan memberikan judgement
terhadap permasalahan profesi yang di hadapinya.
i.
Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari
campur tanggan orang lain,
j.
Jabatan ini menpunyai prestise yang
tinggi dalam masyarakat,dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.
(Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999).
Khusus untuk jabatan guru,sebenarnya juga sudah ada yang
mencoba menyusun kriterianya. Misalnya Nasional Education Asociation ( NEA ) (
1948 ) menyarankan kriteria berikut.
a.
Jabatan yang melibatkan kegiatan itelektual.
b.
Jabatan yang menggeluti suetu batang tubuh ilmu yang khusus.
c. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (
bandingakan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka ).
d.
Jabatan yang memerlukan “latihan dalam jabatan “ yang bersinambungan.
e. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang
permanen.
f.
Jabatan yang menentukan baku ( standarnya ) sedndiri.
g.
Jabatan yang mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.
h.
Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar
dapat meningkatkan mutu pendidikan maka guru harus memiliki
kompetensi yang harus dikuasai sebagai suatu jabatan profesional.
Kompetensi guru tersebut meliputi :
a. Menguasai bahan ajar.
b. Menguasai landasan-landasan kependidikan.
c.
Mampu mengelola program belajar mengajar.
d. Mampu mengelola kelas.
e. Mampu menggunakan media/sumber belajar.
f. Mampu menilaik prestasi peserta didik untuk kepentingan
pengajaran.
g. Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
h. Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
i. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian
pendidikan guna keperluan pengejaran.
2. Syarat-syarat Profesi Guru
Suatu pekerjaan
dapat menjadi profesi harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu yang
melekat dalam pribadinya sebagai tuntutan melaksanakan profesi tersebut.
Menurut Dr. Wirawan, Sp.A (dalam Dirjenbagais Depag RI, 2003) menyatakan
persyaratan profesi antara lain :
a.
Pekerjaan Penuh
Suatu profesi
merupakan pekerjan penuh dalam pengertian pekerjaan yang diperlukan oleh
masyarakat atau perorangan. Tanpa pekerjaan tersebut masyarakat akan menghadapi
kesulitan. Profesi merupakan pekerjaan yang mencakup tugas, fungsi, kebutuhan,
aspek atau bidang tertentu dari anggota masyarakat secara keseluruhan. Profesi
guru mencakup khusus aspek pendidikan dan pengajaran di sekolah.
b.
Ilmu
pengetahuan
Untuk melaksanakan suatu profesi diperlukan ilmu
pengetahuan. Tanpa menggunakan ilmu tersebut profesi tidak dapat dilaksanakan.
Ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan
profesi terdiri dari cabang ilmu utama dan cabang ilmu pembantu. Cabang ilmu
utama adalah cabang ilmu yang menentukan esensi suatu profesi. Contohnya
profesi guru cabang ilmu utamanya adalah ilmu pendidikan dan cabang ilmu pembantunya
masalah psikologi.
Salah satu persyaratan ilmu pengetahuan adalah adanya
teori, bukan hanya kumpulan pengetahuan dan pengalaman. Fungsi dari suatu teori adalah untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Dengan mempergunakan teopri ilmu pengetahuan, profesional dapat menjelaskan
apanyang dihadapinya dan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi.
Teori ilmu pengetahuan juga mengarahkan profesional dalam mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam melaksanakan profesi.
c. Aplikasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
pada dasarnya mempunyai dua aspek yaitu aspek teori dan aspek aplikasi. Aspek
aplikasi ilmu pengetahuan adalah penerapan teori-teori ilmu pengetahuan untuk
membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu atau memecahkan sesuatu yang diperlukan. Profesi merupakan penerapan ilmu pengetahuan untuk
mengerjakan, menyelesaikan atau membuat sesuatu.
Kaitan dengan profesi, guru tidak hanya ilmu pengetahuan
yang harus dikuasai oleh guru tetapi juga pola penerapan ilmu pengetahuan
tersebut sehingga guru dituntut untuk mengusai keterampilan mengajar.
d. Lembaga pendidikan Profesi
Ilmu pengetahuan
yang diperlukan oleh guru untuk melaksanakan profesinya harus dipelajari dari
lembaga pendidikan tinggi yang khusus mengajarkan, menerapkan dan meneliti
serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu
keguruan. Sehingga peran lembaga pendidikan tinggi sebagai pencetak sumber
daya manusia harus betul-betul memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mantap
pada calon pendidik.
e. Prilaku profesi
Perilaku
profesional yaitu perilaku yang memenuhi persyaratan tertentu, bukan perilaku
pribadi yang dipengaruhi oleh sifat-sifat atau kebiasaan pribadi. Prilaku
profesional merupakan perilaku yang harus dilaksanakan oleh profesional ketika
melakukan profesinya.
Menurut Benard
Barber (1985) (dalam Depag RI , 2003), perilaku profesional harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Mengacu kepada ilmu pengetahuan
2)
Berorientasi kepada insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi.
3)
Pengendalian prilaku diri sendiri dengan mepergunakan kode etik.
4)
Imbalan atau kompensasi uang atau kehormatan merupakan simbol prestasi
kerja bukan tujuan dari profesi.
5)
Salah satu aspek dari perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian
dalam melaksanakan profesinya.
f. Standar profesi
Standar profesi
adalah prosedur dan norma-norma serta prinsip-prinsip yang digunakan sebagai
pedoman agar keluaran (out put) kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi
tinggi sehingga kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat
dipenuhi.
Dibeberapa
negara telah memperkenalkan “Standar Profesional untuk guru dan Kepala
sekolah”, misalnya di USA
dimana National Board of Professional teacher Standards telah
mengembangkan standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima ) prinsip dasar (Depdiknas,
2005) yaitu :
1) Guru bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan
belajarnya.
2) Guru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana
mengajar materi tersebut kepada siswa.
3) Guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar
siswa.
4) Guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka
kerjakan dan pelajari dari pengalaman.
5)
Guru adalah anggota dari masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan bahwa profesi guru merupakan
profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebab guru akan selalu
berhadap dengan siswa yang memiliki karakteritik dan pengetahuan yang
berbeda-beda maka untuk membimbing peserta didik untuk berkembang dan
mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara tepat berubah
sebagai ciri dari masyarat abad 21 sehingga tuntutan ini mengharuskan guru
untuk memenuhi standar penilaian yang ditetapkan.
g. Kode etik profesi
Suatu profesi
dilaksanakan oleh profesional dengan mempergunakan perilaku yang memenuhi
norma-norma etik profesi. Kode etik adalah kumpulan norma-norma yang merupakan
pedoman prilaku profesional dalam melaksanakan profesi.Kode etik guru adalah
suatu norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru, dan oleh
karena itu haruslah ditatati oleh guru dengan tujaun antara lain :
1) Agar guru-guru mempunyai rambu-rambu yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari sebagai pendidik.
2) Agar guru-guru dapat bercermin diri mengenai tingkah lakunya,
apakah sudah sesuai dengan profesi pendidik yang disandangnya ataukah belum.
3) Agar guru-guru dapat menjaga (mengambil langkah prefentif),
jangan sampai tingkah lakunya dapat menurunkan martabatnya sebagai seorang
profesional yang bertugas utama sebagai pendidik.
4) Agar guru selekasnya dapat kembali (mengambil langkah kuratif),
jika ternyata apa yang mereka lakukan selama ini bertentangan atau tidak sesuai
dengan norma-norma yang telah dirumuskan dan disepakati sebagai kode etik guru.
5) Agar segala tingkah laku guru, senantiasa selaras atau paling
tidak, tidak bertentangan dengan profesi yang disandangnya, ialah sebagai
seorang pendidik. Lebih lanjut dapat diteladani oleh anak didiknya dan oleh
masyarakat umum.
Kode etik guru
ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan
pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam kongres k XIII di Jakarta tahun 1973,
yang kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di
Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1) Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya
yang berjiwa Pancasila.
2)
Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)
Guru berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan
bimbingan dan pembinaan.
4)
Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya
proses belajar-mengajar.
5)
Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap
pendidikan.
6)
Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu
dan martabat profesinya.
7)
Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiakawanan sosial.
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang
pendidikan.
Selain kode etik
guru Indonesia, sebagai pernyataan kebulatan tekad guru Indonesia, maka pada
kongres PGRI XVI yang diselenggarakan tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989 di
Jakarta telah ditetapkan adanya Ikrar Guru Indonesia dengan rumusan sebagai
berikut :
IKRAR GURU INDONESIA
1)
Kami Guru Indonesia, adalah insan pendidik bangsa yang beriman dan taqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2)
Kami Guru Indonesia, adalah pengemban dan pelaksana cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, pembela dan pengamal Pancasila yang setia pada
Undang-undang Dasar 1945.
3)
Kami Guru Indonesia, bertekad bulat mewujudkan tujuan nasional dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.
4)
Kami Guru Indonesia, bersatu dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan
Guru Republik Indonesia, membina persatuan dan kesatuan bangsa yang berwatak
kekeluargaan.
5)
Kami Guru Indonesia, menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia sebagai
pedoman tingkah laku profesi dalam pengabdiannya terhadap bangsa, negara, dan
kemanusiaan.
3.
Ciri-ciri guru yang efektif
Guru yang efektif pada suatu tingkat
tertentu mungkin tidak efektif pada tingkat yang lain, hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat perkembangan mental dan emosional
siswa. Dengan kata lain para siswa memiliki
respons yang berbeda-beda terhadap pola-pola prilaku guru yang sama. Guru yang baik
digambar dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional. Ia terus
berusaha untuk menjadikan masyarakat sekolah menjadi tempat yang paling baik
bagi anak-anak muda.
b.
Mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha
memperbaiki dan meningkatkan mutu pekerjaannya.
c.
Mereka tidak lekas tersinggung oleh larangan-larangan dalam hubungannya
dengan kebebasan pribadi yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk
menggambarkan profesi keguruan. Mereka secara psikologi lebih matang sehingga
rangsangan-rangsangan terhadap dirinya dapat ditaksir.
d.
Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang
diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi dan
antropologi kultural di dalam kelas.
e.
Mereka berkeinginan untuk terus tumbuh. Mereka sadar bahwa dibawah pengaruhnya,
sumber-sumber manusia dapat berubah nasibnya.
Karakteristik
atau sifat-sifat guru yang baik dalam pandangan siswa meliputi : (1).
Demokratis, (2). Suka bekerja sama (kooperatif), (3). Baik hati, (4). Sabar,
(5). Adil, (6). Konsisten, (7). Bersifat terbuka, (8). Suka menolong, (9).
Ramah tamah, (10). Suka humor, (11). Memiliki bermacam ragam minat, (12).
Menguasai bahan pelajaran, (13). Fleksibel, (14). Menaruh minat yang maik
terhadap siswa. (Oemar Hamalik, 2002).
Menurut Cooper mengutip pendapat B.O. Smith (dalam
Suparlan, 2004) yang telah menyarankan bahwa seorang guru yang terlatih harus
disiapkan dengan empat bidang kompetensi agar ia menjadi guru yang efektif
yaitu :
a. Command of theoretical knowledge about learning and human
behavior.
b. Display of attitudes that fostter learning and genuine human
realtionship.
c. Cammand of knowledge in the subject matter to be taught.
d. Control of technical skills of teaching that facilitate student
learning.
Dengan kata lain guru yang efektif harus memiliki kemampuan
:
a. Menguasai pengetahuan teoritis tentang belajar dan tingkah laku
manusia
b.
Menunjukkan sikap yang menunjang proses belajar dan hubungan antar manusia
secara murni.
c.
menguasai pengetahuan dalam mata pelajaran yang diajarkan dan
d.
Memiliki kemapuan kecakapan teknis tentang pembelajaran yang mempermudah
siswa untuk belajar.
Sedangkan Leo R. Sandy (dalam Suparlan, 2004) menguraikan
beberapa dimensi kemampuan dan sikap yang membentuk karakteristik guru efektif.
Setidaknya ada 12 karakteristik guru efektif sebagai berikut :
a. Menjadi a learner (pembelajar)
b. Menjadi a leader (pemimpin)
c. Menjadi a provocateur (provokator dalam arti positif).
d. Menjadi a stranger (pengelana)
e. Menjadi an innovator (inovator).
f. Menjadi a comedian/entertainment (pelawak/penghibur).
g. Menjadi a coach or guide (pelatih atau pembimbing).
h. Menjadi a genuine human being or humanist (manusia sejati atau
seorang humanis).
i. Menjadi a sentinel
j.
Menjadi optimist or idealist (orang
yang optimis atau idealis).
k.
Menjadi a collaborator (kolaborator atau orang yang suka bekerja sama)
l.
Menjadi a revolusionar (berfikiran maju atau revolusioner).
Guru yang efektif memiliki kualitas kemampuan dan sikap yang sanggup
memberikan yang terbaik bagi peserta didik dan menyenangkan peserta didik dalam
proses belajar mengajarnya.
Tokoh lain yang mengemukakan tentang
guru efektif menyebutkan karakterisik guru efektif sebagai berikut :
a. Senantiasa memberikan bantuan dalam kerja sekolah pelajar.
b. Periang, gembira dan berperawakan menarik.
c. Berprikemanusiaan, pengasih.
d. Berminat terhadap dan memahami pelajarnya.
e.
Boleh menjadikan suasana pembelajaran menyeronokkan.
f.
Tegas dan cekap mengawal kelasnya.
g. Adil, tidak pilih kasih.
h. Tidak pemanas, pendedam. Perungut dan pemerli.
i. Berpribadi yang menyenangkan.
Sementara National Commision for
Excellenece in Teacher Education (USA), mengungkapkan karakteristik guru
efektif adalah sebagai berikut :
a. Berketrampilan dalam bidangnya.
b. Berkemahirandalam pengajaran.
c.
Memaklumkan kepada pelajar perkembangan diri masing-masing.
d. Berpengalaman tentang psikologi kognitif.
e. Mahir dalam teknologi.
Berdasarkan model karakteristik guru efektif yang
dikemukakan beberapa ahli maka berbagai indikator guru efektif yang dikemukakan
Suparlan (2004) sebagai berikut :
1. Adil dalam tindakan dan perlakuannya.
2.
Menjaga perawakan dan cara berpakaian.
3.
Menunjukkan rasa simpati kepada setiap pelajar.
4. Mengajar mengikuti kemampuan pelajar.
5. Penyayang.
6. Berkerja secara berpasukan
7. Memuki dab menggalakkan pelajar.
8.
Menggunakan perbagai kaedah dan pendekatan dalam pengajarannya.
9. Taat kepada etika profesionslismenya.
10. Cerdas dan cejap.
11. Mampu berhubungan secara efektif.
12. Tidak garang, pemarah, suka membadel, membesarkan diri, sombong,
angkuh dan susah menerima pelajaran orang lain.
13. Memiliki sifat kejenakaan dan boleh
menerima jenaka dari pada pelajr-pelajarnya, dan
14. Berpengetahuan serta senantiasa berusaha
menambah pengetahuannya mengenai perkembangan terbaharu terutamanya dalam
bidang teknologi pendidikan.
4.
Peran dan tugas guru
Guru memegang peranan yang sangat
strategis terutama dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi
siswa. Kehadiran guru tidak tergantikan oleh unsur yang lain, lebih-lebih dalam
masyarakat kita yang multikultural dan multidimensional, dimana peranan
teknologi untuk menggantikan tugas-tugas guru sangat minim.
Guru memiliki perana yang sangat
penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang profesional
diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai
ujung tombak di dalam implementasi kurikulum di kelas yang perlu mendapat
perhatian (Depdiknas, 2005).
Dalam proses belajar mengajar, guru
mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi
siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab uuntuk melihat
segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan
siswa. Penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai
kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan
proses perkembangan siswa. Secara lebih terperinci tugas guru berpusat pada:
a. Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motifasi
pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar
yang memadai.
c. Membantu perkembangan aspek – aspek pribadi seperti sikap,
nilai-nilai, dan penyusuaian diri, demikianlah dalam proses belajar mengajar
guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari
itu ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian siswa ia
harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat
merangsang siswa muntuk belajar aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan
menciptakan tujuan. (Slameto, 2002)
Begitu pentinya peranan guru dalam
keberhasilan peserta didik maka hendaknya guru mampu beradaptasi dengan
berbagai perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya sebab guru pada
saat ini bukan saja sebagai pengajar tetapi juga sebagai pengelola proses
belajar mengajar. Sebagai orang yang mengelola proses belajar mengajar tentunya
harus mampu meningkatkan kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran,
pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilain hasil belajar
yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga
membimbing peserta didik terutama ketika peserta didik sedang mengalami
kesulitan belajar.
Salah satu tugas yang dilaksanakan
guru disekolah adalah memberikan pelayanan kepada siswa agar mereka menjadi
peserta didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Guru mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang
bertugas sebagai pendidik. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan
belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar dan karenya guru harus menguasai
prinsip-prinsip belajar di samping menguasai materi yang disampaikan dengan
kata lain guru harus menciptakan suatu konidisi belajar yang sebagik-baiknya
bagi poeserta didik, inilah yang tergolong kategori peran guru sebagai
pengajar.
Disamping peran sebagai pengajar,
guru juga berperan sebagai pembimbing artinya memberikan bantuan kepada setiap
individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk
melakukan penyesuan diri secara maksimal terhadap sekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Oemar H (2002) yang mengatakan bimbingan adalah proses
pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan
pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara
maksimal terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
Sehubungan dengan perananya sebagai pembimbing, seorang guru harus :
a. Mengumpulkan data tentang siswa.
b.
Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehariu-hari.
c.
Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus.
d.
Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orang tua siswa, baik secara
individu maupun secara kelompok, untuk memperoleh saling pengertian tentang
pendidikan anak.
e.
Bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga-lembaga lainya untuk membantu
memecahkan masalah siswa.
f.
Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik.
g.
Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu.
h.
Bekerjasama dengan petugas-petugas bimbingan lainnya untuk membantu
memecahkan masalah siswa.
i.
Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan
lainnya.
j.
Meneliti kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Peran guru sebagai pengajar dan
sebagai pembing memiliki keterkaitan yang sangat erat dan keduanya dilaksanakan
secara berkesinambungan dan sekaligus berinterpenetrasi dan merupakan
keterpaduan antara keduanya.
B. KINERJA GURU
1. Konsep Kinerja Guru
Setiap individu yang diberi tugas
atau kepercayaan untuk bekerja pada suatu organisasi tertentu diharapkan
mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan dan memberikan konstribusi yang
maksimal terhadap pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Kinerja adalah tingkat keberhasilan
seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan
(Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa Kinerja merupakan
hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu yang di dalamnya terdiri
dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi;
Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil
yang diharapkan dapat terwujud (Tempe, A Dale, 1992).
Fatah (1996) Menegaskan bahwa kinerja
diartikan sebagai ungkapan kemajuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan
motivasi dalam menghasilkan sesuatu pekerjaan.
Dari beberapa penjelasan tentang
pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa Kinerja guru adalah
kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan memuaskan apabila tujuan yang dicapai
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
2. Indikator-Indikator Kinerja Guru
Kinerja
merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting
untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan
kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya
sifat keadaan dan kondisi eksternal (Sulistyorini, 2001). Tingkat
keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja
seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan-kecakapan antar pribadi serta
kecakapan tehknik. Upaya tersebut diungkap sebagai motivasi yang diperlihatkan
karyawan untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sedangkan kondisi eksternal adalah tingkat sejauh mana kondisi eksternal
mendukung produktivitas kerja.
Kinerja dapat dilihat dari beberapa
kriteria, menurut Castetter (dalam Mulyasa, 2003) mengemukakan ada empat
kriteria kinerja yaitu: (1). Karakteristik individu, (2). Proses, (3). Hasil dan (4)
Kombinasi antara karakter individu, proses dan hasil.
Kinerja
seseorang dapat ditingkatkan bila ada kesesuaian antara pekerjaan dengan
keahliannya, begitu pula halnya dengan penempatan guru pada bidang tugasnya.
Menempatkan guru sesuai dengan keahliannya secara mutlak harus dilakukan.
Bila guru diberikan tugas tidak sesuai dengan keahliannya akan berakibat
menurunnya cara kerja dan hasil pekerjaan mereka, juga akan menimbulkan rasa
tidak puas pada diri mereka. Rasa kecewa akan menghambat perkembangan moral
kerja guru. Menurut Pidarta (1999) bahwa moral kerja
positif ialah suasana bekerja yang gembira, bekerja bukan
dirasakan sebagai sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Moral kerja yang positif adalah mampu mencintai tugas
sebagai suatu yang memiliki nilai keindahan di dalamnya. Jadi kinerja dapat ditingkatkan dengan cara memberikan pekerjaan seseorang
sesuai dengan bidang kemampuannya. Hal ini dipertegas oleh Munandar (1992) yang
mengatakan bahwa kemampuan bersama-sama dengan bakat merupakan salah satu
faktor yang menentukan prestasi individu, sedangkan prestasi ditentukan oleh
banyak faktor diantaranya kecerdasan.
Kemampuan terdiri dari berbagai macam, namun secara konkrit dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu :
a.
Kemampuan
intelektual merupakan kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan
kegiatan mental, terutama dalam penguasaan sejumlah materi yang akan
diajarkan kepada siswa yang sesuai dengan kurikulum, cara dan metode dalam
menyampaikannya dan cara berkomunikasi maupun tehknik mengevaluasinya.
b.
Kemampuan fisik
adalah kapabilitas fisik yang dimiliki seseorang terutama dalam mengerjakan
tugas dan kewajibannya. (Daryanto,
2001).
Kinerja dipengaruhi juga oleh
kepuasan kerja yaitu perasaan individu terhadap pekerjaan yang memberikan
kepuasan bathin kepada seseorang sehingga pekerjaan itu disenangi dan
digeluti dengan baik. Untuk mengetahui keberhasilan kinerja perlu dilakukan
evaluasi atau penilaian kinerja dengan berpedoman pada parameter dan indikator
yang ditetapkan yang diukur secara efektif dan efisien seperti
produktivitasnya, efektivitas menggunakan waktu, dana yang dipakai serta bahan
yang tidak terpakai. Sedangkan evaluasi kerja melalui perilaku dilakukan
dengan cara membandingkan dan mengukur perilaku seseorang dengan teman
sekerja atau mengamati tindakan seseorang dalam menjalankan
perintah atau tugas yang diberikan, cara mengkomunikasikan tugas dan pekerjaan
dengan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat As’ad (1995) dan Robbins
(1996) yang menyatakan bahwa dalam melakukan evaluasi kinerja seseorang dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga macam kriteria yaitu: (1). Hasil tugas,
(2). Perilaku dan (3). Ciri individu. Evaluasi hasil tugas adalah
mengevaluasi hasil pelaksanaan kerja individu dengan beberapa kriteria
(indikator) yang dapat diukur. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan
cara membandingkan perilakunya dengan rekan kerja yang lain dan evaluasi
ciri individu adalah mengamati karaktistik individu dalam berprilaku maupun
berkerja, cara berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat dikategorikan
cirinya dengan ciri orang lain. Evaluasi atau Penilaian kinerja menjadi penting
sebagai feed back sekaligus sebagai follow up bagi perbaikan
kinerja selanjutnya.
Menilai kualitas kinerja dapat ditinjau dari beberapa indikator yang
meliputi : (1). Unjuk kerja, (2). Penguasaan Materi, (3). Penguasaan
profesional keguruan dan pendidikan, (4). Penguasaan cara-cara penyesuaian
diri, (5). Kepribadian untuk melaksanakan tugasnya dengan
baik (Sulistyorini, 2001).
Kinerja guru sangat
penting untuk diperhatikan dan dievaluasi karena guru mengemban tugas
profesional artinya tugas-tugas hanya dapat dikerjakan dengan kompetensi khusus
yang diperoleh melalui program pendidikan. Guru memiliki tanggung
jawab yang secara garis besar dapat dikelompokkan yaitu: (1). Guru sebagai
pengajar, (2). Guru sebagai pembimbing dan (3). Guru sebagai administrator
kelas. (Danim S, 2002).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan indikator kinerja
guru antara lain :
a. Kemampuan membuat perencanaan dan persiapan mengajar.
b.
Penguasaan materi yang akan diajarkan kepada siswa
c. Penguasaan metode dan strategi mengajar
d. Pemberian tugas-tugas kepada siswa
e. Kemampuan mengelola kelas
f.
Kemampuan melakukan penilaian dan evaluasi.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KINERJA GURU
Guru merupakan
ujung tombak keberhasilan pendidikan dan dianggap sebagai orang yang berperanan
penting dalam pencapaian tujuan pendidikan yang merupakan percerminan mutu
pendidikan. Keberadaan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak
lepas dari pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal yang membawa
dampak pada perubahan kinerja guru. Beberapa faktor
yang mempengaruhi kinerja guru yang dapat diungkap tersebut antara lain :
1. Kepribadian dan dedikasi
Setiap guru
memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki.
Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya.
Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat
dari penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap
persoalan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam
Djamarah SB, 1994) bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak,
sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah
penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan misalnya dalam
tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap
persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Kepribadian
adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik,
artinya seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari
kepribadian orang itu, dengan kata lain baik tidaknya citra seseorang
ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB,
1994) mengemukakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah
kepribadiannya. Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah ia menjadi
pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan menjadi perusak
atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih
kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian adalah
suatu cerminan dari citra seorang guru dan akan mempengaruhi interaksi antara
guru dan anak didik. Oleh karena itu kepribadian merupakan
faktor yang menentukan tinggi rendahnya martabat guru.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya
dalam membina dan membimbing anak didik. Semakin baik kepribadian guru,
semakin baik dedikasinya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
guru, ini berarti tercermin suatu dedikasi yang tinggi dari guru dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas
oleh Drosat (1998) bahwa salah satu dasar pembentukan kepribadian adalah sukses
yang merupakan sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari
keterampilan karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam
Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa ada tiga aspek kepribadian yaitu
: (1). Materi atau bahan yaitu semua kemampuan (daya) pembawaan
beserta talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2). Struktur
yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau
sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Menurut Freud (1950),
kepribadian terdiri tiga aspek yaitu :
(1). Das Es
(the id) yaitu aspek biologis, aspek ini merupakan sistem yang original
dalam kepribadian sehingga aspek ini merupakan dunia bathin subyektif manusia
dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia obyektif. (2). Das
Ich (the ego) yaitu aspek psikologis, aspek ini timbul karena kebutuhan
individu untuk berhubungan dengan dunia nyata, (3). Das Ueber Ich (the super
ego) yaitu aspek sosiologis kepribadian merupakan wakil dari nilai-nilai
tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada
anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Aspek-aspek
tersebut di atas merupakan potensi kepribadian sebagai syarat
mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru
dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat tidak mungkin guru dapat melaksanakan
tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian dan dedikasi yang tinggi dapat
meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu menunjukkan kinerja yang
memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi. Guru yang memiliki
kepribadian yang baik dapat membangkitkan kemauan untuk giat memajukan
profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam melakukan pekerjaan mendidik
sehingga dapat dikatakan guru tersebut memiliki akuntabilitas yang baik
dengan kata lain prilaku akuntabilitas meminta agar pekerjaan itu berakhir
dengan hasil baik yang dapat memuaskan atasan yang memberi tugas itu dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan atau segala pekerjaan yang dilaksanakan
baik secara kualitatif maupun kuantitatif sesuai dengan standar yang ditetapkan
dan tidak asal-asalan.
2. Pengembangan Profesi
Profesi guru
kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan. Menurut Pidarta (1999)
bahwa Profesi ialah suatu jabatan atau pekerjaan biasa seperti halnya dengan
pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi pekerjaan itu harus diterapkan kepada
masyarakat untuk kepentingan masyarakat umum, bukan untuk kepentingan
individual, kelompok, atau golongan tertentu. Dalam melaksanakan pekerjaan itu
harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang melakukan pekerjaan profesi itu
harus ahli, orang yang sudah memiliki daya pikir, ilmu dan keterampilan yang
tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung jawabkan segala
tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997) mengemukakan ciri-ciri
profesi sebagai berikut :
(1). Pilihan jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan
panggilan hidup orang bersangkutan, (2). Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan
keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan berkembang terus. (3). Ilmu
pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi
dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4). Punya otonomi dalam bertindak
ketika melayani klien, (5). Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada
layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. (6).Tidak mengadvertensikan keahlian-nya untuk
mendapatkan klien. (7). Menjadi anggota profesi. (8).Organisasi profesi
tersebut menetukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi
anggota, mengawasi perilaku anggota, memberikan sanksi, dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota.
Bila
diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas nampaknya bahwa profesi guru
tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang dipandang oleh masyarakat
umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus berorientasi pada layanan
sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani kebutuhan anggota
masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai orang yang
memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan budi halus.
Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan yang baik
yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan
profesi guru merupakan hal penting untuk diperhatikan guna mengantisipasi perubahan
dan beratnya tuntutan terhadap profesi guru. Pengembangan profesionalisme guru
menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta
strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan
sekadar memiliki pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki
keterampilan tinggi, memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan
profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan
Horsley (1998) bahwa ada empat standar pengembangan profesi guru yaitu:
(1). Standar
pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif
dan metode-metode inquiri.; (2) Standar pengembangan profesi B adalah
pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan
pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa,
juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains; (3) Standar
pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang
masa.; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk
guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini
dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan pengembangan profesi
terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila guru di Indonesia telah
memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat
maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Tuntutan
memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari keinginan
menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai dengan tuntutan
masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam meraih
predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan dalam jurnal Educational
Leadership (dalam Supriadi D. 1998) bahwa untuk menjadi profesional seorang
guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1). Guru mempunyai komitmen pada
siswa dan proses belajarnya, (2). Guru menguasai secara mendalam bahan/mata
pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3). Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
(4). Guru mampu berfikir sistematis tentang apa
yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5). Guru seyogyanya
merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan
mempunyai: (1). Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat
teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan, (2). Penguasaan kiat-kiat profesi
berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu
praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan
merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset
pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia , (3).
Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan
profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan
praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan
terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis
yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. (Arifin I, 2000)
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yang dapat
dilakukan yaitu: (1). Peningkatan dan Pembinaan hubungan yang erat antara
Perguruan Tinggi dengan pembinaan SLTA, (2). Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru, (3). Program penataran yang
dikaitkan dengan praktik lapangan, (4). Meningkatkan mutu pendidikan calon
pendidik. (5). Pelaksanaan supervisi yang baik, (6). Peningkatan mutu manajemen pendidikan, (7). Melibatkan peran serta
masyarakat berdasarkan konsep linck and matc. (8).
Pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang, (9). Pengakuan
masyarakat terhadap profesi guru, (10). Perlunya pengukuhan program Akta
Mengajar melalui peraturan perundang-undangan. dan (11) Kompetisi profesional
yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak (Hasan A M, 2001).
Apabila
syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran
guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan
dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional
akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi
berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang
invitation learning environment.
Menurut Akadum (1999) bahwa ada lima penyebab rendahnya
profesionalisme guru yaitu : (1). Masih banyak guru yang tidak menekuni
profesinya secara total, (2). Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap
norma dan etika profesi keguruan, (3). Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan
keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak
terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak
tenaga keguruan dan kependidikan, (4). Masih belum smoothnya perbedaan
pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5).
Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara
maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru di antaranya
melalui (1). Peningkatan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi bagi tenaga pengajar. (2). Program sertifikasi (Pantiwati,
2001). Selain sertifikasi, menurut Supriadi (1998) yaitu mengoptimalkan fungsi
dan peran kegiatan dalam bentuk PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (Kelompok Kerja
Guru), dan MGMP (musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang memungkinkan para
guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi dalam kegiatan mengajarnya. Hal tersebut diperkuat pendapat
dari Pidarta (1999) bahwa mengembangkan atau membina profesi para
guru yang terdiri dari : (1). Belajar lebih lanjut. (2). Menghimbau
dan ikut mengusahakan sarana dan fasilitas sanggar-sanggar
seperti Sanggar Pemantapan Kerja Guru. (3). Ikut mencarikan jalan agar guru-guru mendapatkan kesempatan lebih besar
mengikuti panataran-penataran pendidikan. (4). Ikut memperluas kesempatan agar
guru-guru dapat mengikuti seminar-seminar pendidikan yang sesuai dengan minat
dan bidang studi yang dipegang dalam usaha mengembangkan profesinya. (5).
Mengadakan diskusi-diskusi ilmiah secara berkala disekolah. (6). Mengembangkan
cara belajar berkelompok untuk guru-guru sebidang studi.
Pola pengembangan dan pembinaan profesi guru yang
diuraikan di atas sangat memungkinkan terjadinya perubahan paradigma
dalam pengembangan profesi guru sebagai langkah antisipatif terhadap perubahan
peran dan fungsi guru yang selama ini guru dianggap sebagai satu-satunya sumber
informasi dan pengetahuan bagi siswa, padahal perkembangan teknologi dan
informasi sekarang ini telah membuka peluang bagi setiap orang untuk dapat
belajar secara mandiri dan cepat yang berarti siapapun bisa lebih dulu
mengetahui yang terjadi sebelum orang lain mengetahuinya, kondisi ini
mengisyaratkan adanya pergeseran pola pembelajaran dan perubahan fungsi serta
peran guru yang lebih besar yang bukan lagi sebagai satu-satunya sumber
informasi pengetahuan bagi siswa melainkan sebagai fasilitator yang mengarahkan
siswa dalam pembelajaran.
Pengembangan
profesi guru harus pula diimbangi dengan usaha lain seperti mengusahakan
perpustakaan khusus untuk guru-guru yang mencakup segala bidang studi yang
diajarkan di sekolah, sehingga guru tidak terlalu sulit untuk mencari bahan dan
referensi untuk mengajar di kelas. Pengembangan yang lain dapat dilakukan
melalui pemberian kesempatan kepada guru-guru untuk mengarang bahan pelajaran
tersendiri sebagai buku tambahan bagi siswa baik secara perorangan atau
berkelompok. Usaha ini dapat memotivasi guru dalam melakukan inovasi dan
mengembangkan kreativitasnya yang berarti memberi peluang bagi guru untuk
meningkatkan kinerjannya.
Menurut W.F.
Connell (1974) bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi
tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan. Peranan
profesi adalah sebagai motivator, supervisor, penanggung jawab dalam membina
disiplin, model perilaku, pengajar dan pembimbing dalam proses belajar,
pengajar yang terus mencari pengetahuan dan ide baru untuk melengkapi dan
meningkatkan pengetahuannya, komunikator terhadap orang tua murid dan
masyarakat, administrator kelas, serta anggota organisasi profesi pendidikan.
Menyadari akan
profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung
jawab dalam keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru
harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas
Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak
laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan
mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya
meningkatkan profesi.
Pembinaan dan
pengembangan profesi guru bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan
secara terus menerus sehingga mampu menciptakan kinerja sesuai dengan
persyaratan yang diinginkan, disamping itu pembinaan harus sesuai arah dan
tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah. Semakin sering profesi guru
dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin mendekatkan guru pada
pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga
harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai.
3. Kemampuan Mengajar
Untuk
melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guru memerlukan
kemampuan. Cooper (dalam Zahera, 1997) mengemukakan bahwa guru harus
memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran,
menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan
konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan mengevaluasi hasil
belajar
Kompetensi guru
adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam mengelola pembelajaran. Titik
tekannya adalah kemampuan guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang harus
dipelajari (learning what to be learnt), guru dituntut mampu menciptakan
dan menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar
anak dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru harus mampu
menafsirkan dan mengembangkan isi kurikulum yang digunakan selama ini pada
suatu jenjang pendidikan yang diberlakukan sama walaupun latar belakang sosial,
ekonomi dan budaya yang berbeda-beda (Nasanius Y, 1998).
Aspek-aspek
teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran
pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap
siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar guru
mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel,
meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat defensif tetapi
mampu membuat anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura, 1994).
Penguasaan
seperangkat kompetensi yang meliputi kompetensi keterampilan proses
dan kompetensi penguasaan pengetahuan merupakan unsur yang
dikolaborasikan dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan membentuk struktur
kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, sebab kompetensi merupakan
seperangkat kemampuan guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah,
tuntutan masyarakat, dan perkembang-an ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kompetensi
Keterampilan proses belajar mengajar adalah penguasaan terhadap kemampuan yang
berkaitan dengan proses pembelajaran. Kompetensi dimaksud meliputi kemampuan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam
menganalisis, menyusun program perbaikan dan pengayaan, serta
menyusun program bimbingan dan konseling sedangkan Kompetensi Penguasaan
Pengetahuan adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan keluasan
dan kedalaman pengetahuan. Kompetensi dimaksud meliputi pemahaman
terhadap wawasan pendidikan, pengembangan diri dan profesi, pengembangan
potensi peserta didik, dan penguasaan akademik (Rusmini, 2003).
Kemampuan mengajar
guru sebenarnya merupakan pencerminan penguasan guru atas kompetensinya. Imron
(1995) mengemukakan 10 Kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh
guru yaitu :
(1). Menguasai
bahan, (2). Menguasai Landasan kependidikan, (3).
Menyusun program pengajaran, (4). Melaksanakan Program Pengajaran, (5). Menilai
proses dan hasil belajar, (6). Menyelenggarakan proses bimbingan dan
penyuluhan, (7).Menyelenggarakan administrasi sekolah, (8). Mengembangkan
kepribadian, (9). Berinterkasi dengan sejawat dan masyarakat, (10). Menyelenggarakan
penelitian sederhana untuk kepentingan mengajar.
Sedangkan menurut Uzer Usman (2002) bahwa jenis-jenis
kompetensi guru antara lain (1). Kompetensi kepribadian meliputi: mengembangkan
kepribadian, berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan
penyuluhan, melaksanakan administrasi, melaksanakan penelitian sederhana untuk
keperluan pengajaran; (2). Kompetensi profesional antara lain mengusai landasan
kependidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran,
melaksanakan program pengajaran dan menilai hasil dan proses belajar mengajar
yang telah dilaksanakan.
Kemampuan mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan
standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi hasil yang ingin
dicapai seperti perubahan hasil akademik siswa, sikap siswa, keterampilan
siswa, dan perubahan pola kerja guru yang makin meningkat, sebaliknya jika
kemampuan mengajar yang dimiliki guru sangat sedikit akan berakibat
bukan saja menurunkan prestasi belajar siswa tetapi juga menurunkan
tingkat kinerja guru itu sendiri.
Untuk itu kemampuan mengajar guru menjadi sangat
penting dan menjadi keharusan bagi guru untuk dimiliki dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, tanpa kemampuan mengajar yang baik sangat tidak mungkin guru
mampu melakukan inovasi atau kreasi dari materi yang ada dalam kurikulum yang
pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi guru maupun siswa untuk menjalankan
tugas dan fungsi masing-masing.
4. Antar Hubungan dan Komunikasi
Komunikasi
merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling berhubungan satu sama
lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di tempat kerja, di pasar,
dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak
akan terlibat komunikasi.
Pentingnya
komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya komunikasi yang
baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan begitu pula
sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah tidak menginformasikan kepada
guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar kemungkinan
guru tidak akan datang mengajar. Contoh di atas menandakan betapa pentingnya
komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad A. (2001) bahwa
kelupaan informasi dapat memberikan efek yang lebih besar terhadap kelangsungan
kegiatan.
Komunikasi yang
efektif adalah penting bagi semua organisasi oleh karena itu para pemimpin
organisasi dan para komunikator dalam organisasi perlu memahami dan
menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka (Kohler, 1981). Guru dalam proses
pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan hubungan dan komunikasi baik antara
guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa, dan guru
dengan personalia lainnya di sekolah. Hubungan dan komunikasi yang baik membawa
konsekwensi terjalinnya interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem
sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan berhasil jika ada
hubungan dan komunikasi yang baik dengan siswa sebagai komponen yang diajar.
Kinerja guru akan meningkat seiring adanya kondisi hubungan dan komunikasi yang
sehat di antara komponen sekolah sebab dengan pola hubungan dan komunikasi yang
lancar dan baik mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Menurut Forsdale
(1981) bahwa “communication is the process by which a system is established,
maintained, and altered by means of shared signals that operate according to
rules”. Sedangkan ahli lain berpendapat bahwa komunikasi
manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam
kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan
menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang
lain (Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial
antar manusia selalu terjadi di lingkungan kerja. Sebagai peneliti Terence R.
Mitchell 1982 (dalam Junaidin, 2006) menemukan bahwa orang-orang di dalam
organisasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan,
bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat terjadi antara kepala sekolah
dengan guru, antara guru dengan guru serta guru dengan siswa. Hubungan guru
dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan hubungan guru dengan
guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah. Setiap hari guru harus
berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang terkadang sangat
merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan hal sangat menarik
dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam menemukan cara mengatasi
kesulitan belajar siswa.
Ada bermacam-macam interaksi di sekolah. Kalau ditinjau
dari maksud interaksi yang terjadi maka ada dua macam interaksi yaitu (1)
interaksi dalam konteks menjalankan tugas yang secara langsung mengarah pada
tujuan organisasi dan (2). Interaksi diluar
kontekspelaksanaan tugas, meskipun interaksi terjadi di lingkungan kerja. Hubungan yang sehat dan harmonis dalam konteks
pelaksanaan tugas menjadi prasyarat agar produktivitas lebih meningkat lagi
Komunikasi
digunakan untuk memahami dan menukarkan pesan verbal maupun non verbal antara
pengirim informasi dengan penerima informasi untuk mengubah tingkah laku.
Hubungan dan komunikasi yang dikembangkan guru terutama dalam proses
pembelajaran dan pada situasi interaksi lain di sekolah memberi peluang
terciptanya situasi yang kondusif untuk dapat memperlancar pelaksanaan tugas,
segala persoalan yang dihadapi guru baik dalam pelaksanaan tugas utama maupun
tugas tambahan dapat diselesaikan melalui penyelesaian secara bersama
dengan rekan guru yang lain, tanpa hubungan dan komunikasi yang baik di dalam
lingkungan sekolah apapun bentuk pekerjaan yang kita lakukan tetap akan
mengalami hambatan dan kurang lancar.
Terbinanya
hubungan dan komunikasi di dalam lingkungan sekolah memungkinkan guru dapat
mengembangkan kreativitasnya sebab ada jalan untuk terjadinya
interaksi dan ada respon balik dari komponen lain di sekolah atas
kreativitas dan inovasi tersebut, hal ini menjadi motor penggerak bagi guru
untuk terus meningkatkan daya inovasi dan kreativitasnya yang bukan saja
inovasi dalam tugas utamanya tetapi bisa saja muncul inovasi dalam tugas yang
lain yang diamanatkan sekolah. Ini berarti bahwa pembinaan hubungan dan
komunikasi yang baik di antara komponen dalam sekolah menjadi suatu
keharusan dalam menunjang peningkatan kinerja.
Untuk itu
semakin baik pembinaan hubungan dan komunikasi dibina maka respon yang muncul
semakin baik pula yang pada gilirannya mendorong peningkatan kinerja.
5. Hubungan dengan Masyarakat
Sekolah
merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah
sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang
diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi
peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa
pendidikan itu.
Menurut Pidarta
(1999) bahwa suatu sekolah tidak dibenarkan mengisolasi diri dari masyarakat.
Sekolah tidak boleh merupakan masyarakat tersendiri yang tertutup terhadap
masyarakat sekitar, ia tidak boleh melaksanakan idenya sendiri dengan tidak mau
tahu akan aspirasi–aspirasi masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu
berdiri di daerahnya untuk meningkatkan perkembangan putra-putra
mereka. Sekolah merupakan sistem terbuka terhadap lingkungannya
termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai sistem terbuka sudah jelas ia tidak
dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini ia lakukan berarti ia menuju ke
ambang kematian.
Hubungan sekolah
dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan komunikasi ekstern yang
dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Masyarakat
merupakan kelompok individu–individu yang berusaha menyelenggarakan pendidikan
atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam masyarakat terdapat lembaga-lembaga
penyelenggaran pendidikan, lembaga keagamaan, kepramukaan, politik, sosial,
olah raga, kesenian yang bergerak dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga
terdapat individu-individu atau pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap
pendidikan di sekolah.
Sekolah berada
ditengah-tengah masyarakat dan dapat dikatakan berfungsi sebagai pisau bermata
dua. Mata yang pertama adalah menjaga kelestarian nilai-nilai positif yang ada
dalam masyarakat, agar pewarisan nilai-nilai masyarakat berlangsung dengan
baik. Mata yang kedua adalah sebagai lembaga yang mendorong perubahan
nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan kehidupan serta
pembangunan. (Soetjipto dan Rafles Kosasi, 1999).
Hubungan sekolah
dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara sekolah dengan
masyarakat untuk meningkatkan pengertian masyarakat tentang kebutuhan serta
kegiatan pendidikan serta mendorong minat dan kerjasama untuk masyarakat dalam
peningkatan dan pengembangan sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat ini
sebagai usaha kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi dua
arah yang efisien serta saling pengertian antara sekolah, personalia sekolah
dengan masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa (2003) bahwa Tujuan hubungan
sekolah dengan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan
sekolah dan kebutuhan masyarakat.
Tujuan hubungan
masyarakat berdasarkan dimensi kepentingan sekolah antara lain : (1).
Memelihara kelangsungan hidup sekolah, (2). Meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah, (3). Memperlancar kegiatan belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan
dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan
program-program sekolah.
Tujuan hubungan berdasarkan kebutuhan masyarakat antara
lain : (1). Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2).
Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat, (3). Menjamin relevansi program sekolah
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, dan (4). Memperoleh
kembali anggota-anggota masyarakat yang terampil dan makin meningkatkan
kemampuannya (Mulyasa, 2003).
Dalam
melaksanakan hubungan sekolah-masyarakat perlu dianut beberapa prinsip sebagai
pedoman dan arah bagi guru dan kepala sekolah, agar mencapai sasaran yang
diinginkan. Prinsip-prinsip hubungan antara lain :
(1). Prinsip
Otoritas yaitu bahwa hubungan sekolah-masyarakat harus dilakukan oleh orang
yang mempunyai otoritas, karena pengetahuan dan tanggung jawabnya dalam
penyelenggaraan sekolah. (2). Prinsip kesederhanaan yaitu bahwa program-program
hubungan sekolah masyarakat harus sederhana dan jelas, (3). Prinisp
sensitivitas yaitu bahwa dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan masyarakat, sekolah harus sensitif terhadap kebutuhan serta harapan
masyarakat. (4). Prinsip kejujuran yaitu bahwa apa yang disampaikan kepada
msyarakat haruslah sesuatu apa adanya dan disampaikan secara jujur. (5).
Prinsip ketepatan yaitu bahwa apa yang disampaikan sekolah kepada masyarakat
harus tepat, baik dilihat dari segi isi, waktu, media yang digunakan serta
tujuan yang akan dicapai (Soetjipto dan Rafles Kosasi (1999)
Agar hubungan dengan masyarakat terjamin baik dan
berlangsung kontinu, maka diperlukan peningkatan profesi guru dalam hal
berhubungan dengan masyarakat. Guru disamping mampu melakukan tugasnya
masing-masing di sekolah, mereka juga diharapkan dapat dan mampu melakukan
tugas-tugas hubungan dengan masyarakat. Mereka bisa mengetahui
aktivitas-aktivitas masyarakatnya, paham akan adat istiadat, mengerti
aspirasinya, mampu membawa diri di tengah-tengah masyarakat, bisa berkomunikasi
dengan mereka dan mewujudkan cita-cita mereka. Untuk mencapai hal itu
diperlukan kompetensi dan perilaku dari guru yang cocok dengan struktur sosial
masyarakat setempat, sebab ketika kompetensi dan perilaku guru tidak cocok
dengan struktur sosial dalam masyarakat maka akan terjadi benturan pemahaman
dan salah pengertian terhadap program yang dilaksanakan sekolah dan berakibat
tidak adanya dukungan masyarakat terhadap sekolah, padahal sekolah dan
masyarakat memiliki kepentingan yang sama dan peran yang strategis dalam
mendidik dan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Hubungan dengan
masyarakat tidak saja dibina oleh guru tetapi juga dibina oleh personalia lain
yang ada disekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pidarta (1999) yang
mengatakan bahwa selain guru, anggota staf yang lain seperti
para pegawai, para petugas bimbingan dan konseling, petugas-petugas medis, dan
bahkan juga pesuruh dapat melakukan hubungan dengan masyarakat, sebab mereka
ini juga terlibat dalam pertemuan-pertemuan, pemecahan masalah, dan
ketatausahaan hubungan dengan masyarakat. Namun yang lebih banyak
menangani hal itu adalah guru sehingga guru-gurulah yang paling dituntut untuk
memiliki kompetensi dan perilaku yang cocok dengan struktur sosial.
Kemampuan guru
membawa diri baik di tengah masyarakat dapat mempengaruhi penilaian
masyarakat terhadap guru. Guru harus bersikap sesuai dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, responsif dan komunikatif terhadap masyarakat, toleran
dan menghargai pendapat mereka. Bila tidak mampu
menampilkan diri dengan baik sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan
mereka. Bertalian dengan hal itu Pidarta (1999) menegaskan bahwa keadaan
seperti itu akan menimbukan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata
masyarakat menjadi pudar. Oleh karena itu kewajiban sekolah untuk menegakkan
wibawa guru di tengah masyarakat dengan terus menyesuaikan diri sambil ikut
memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Hal yang dilakukan guru dalam mendukung hubungan sekolah
dengan masyarakat antara lain: (1). Membantu sekolah dalam melaksanakan
tehnik-tehnik hubungan sekolah dengan masyarakat. Melalui : (a). Guru
hendaknya selalu berpartisipasi lembaga dan organisasi di masyarakat (b).
Guru hendaknya membantu memecahkan yang timbul dalam masyarakat. (2). Membuat
dirinya lebih baik lagi dalam masyarakat melalui penyesuain diri dengan adat
istiadat masyarakat karena guru adalah tokoh milik masyarakat. Tingkah laku
guru di sekolah dan di masyarakat menjadi panutan masyarakat. Pada posisi
terrsebut guru menjaga perilaku yang prima. Apabila masyarakat mengetahui bahwa
guru-guru sekolah tertentu dapat dijadikan suri teladan di masyarakat, maka
masyarakat akan percaya pada sekolah pada akhirnya masyarakat memberikan
dukungan pada sekolah. (3). Guru harus melaksanakan kode etiknya, karena
kode etik merupakan seperangkat aturan atau pedoman dalam melaksanakan tugas
profesinya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa penting peran guru
dalam hubungan sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya hubungan yang harmonis
antara sekolah-masyarakat membuka peluang adanya saling koordinasi dan
pengawasan dalam proses belajar mengajar di sekolah dan keterlibatan bersama
memajukan peserta didik. Guru diharapkan selalu berbuat yang terbaik sesuai
harapan masyarakat yaitu terbinanya dan tercapainya mutu pendidikan anak-anak
mereka.
Penciptaan suasana menantang harus dilengkapi dengan
terjalinnya hubungan yang baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan rasa tanggung
jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil waktu yang dipergunakan
oleh guru di sekolah dan sebagian besar ada di masyarakat. Agar pendidikan di
luar ini terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh guru di sekolah
diperlukan kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan masyarakat. Kewajiban
guru mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat merupakan bagian dan tugas
guru dalam mendidik siswa dan mengembangkan profesinya sebagai guru. Sekolah
adalah milik bersama antara warga sekolah itu sendiri, pemerintah dan
masyarakat.
Dengan adanya perubahan paradigma pendidikan sekarang ini
membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menilai sekolah dan guru dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan masyarakat baik secara
perseorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung membawa konsekwensi bagi terciptanya kondisi kerja kearah yang lebih
baik karena kelangsungan hidup sekolah sangat tergantung pula dari keterlibatan
masyarakat sebagai unsur pendukung keberhasilan sekolah maka guru secara
langsung terpengaruh dan berdampak pada kinerja guru sebab ketika
guru menunjukkan kinerja yang tidak baik disuatu sekolah maka masyarakat
tidak akan memberikan respon positif bagi kelangsungan sekolah tersebut.
Apalagi guru selalu berada ditengah-tengah masyarakat segala tindak
tanduknya akan selalu dicontoh dan diteladani dalam masyarakat.
Manfaat hubungan dengan masyarakat sangat besar bagi
peningkatan kinerja guru melalui peningkatan aktivitas-aktivitas bersama,
komunikasi yang kontinu dan proses saling memberi dan saling menerima serta
membuat instrospeksi sekolah dan guru menjadi giat dan kontinu. Setiap
aktivitas guru dapat diketahui oleh masyarakat sehingga guru akan berupaya menampilkan
kinerja yang lebih baik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan
bahwa bila guru tidak mau belajar dan tidak mampu menampilkan diri sangat
mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Keadaan ini
seringkali menimbulkan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata
masyarakat menjadi pudar.
6. Kedisiplinan
The Liang Gie
(1972) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut Disiplin adalah
suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu
organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa
senang.
Sedangkan Good’s
(1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin sebagai
berikut
a. 1). Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan,
dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan
yang lebih sangkil.
b. Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan
sendiri, sekalipun menghadapi rintangan
c.
Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau
hadiah.
d.
Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan
secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu
keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta
tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin
menurut Arikunto, S. (1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat
berlangsung secara efektif dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru
beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi
kebutuhannya. Sedangkan Depdikbud (1992) menyatakan tujuan
disiplin dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1). Tujuan Umum adalah agar
terlaksananya kurikulum secara baik yang menunjang peningkatan mutu
pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar Kepala Sekolah dapat
menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh peserta warga
sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar seoptimal
mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah (c). Agar
tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan
masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan
sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar,
pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun
kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu
mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam melaksanakan proses
kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami aturan dan
melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan personalia lain di
sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat membantu upaya
membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para guru
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
Dengan demikian
kedisiplinan seorang guru menjadi tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki
dalam upaya menunjang dan meningkatkan kinerja dan disisi lain akan memberikan
tauladan bagi siswa bahwa disiplin sangat penting bagi siapapun apabila ingin
sukses. Hal tersebut dipertegas Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin
kinerja guru adalah suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam
bekerja di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan
terhadap sekolah secara keseluruhan.
Tiga model disiplin yang dapat dikembangkan yaitu :
(1). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru
dikatakan mempunyai disiplin tinggi manakala mau menurut saja terhadap
perintah dan anjuran pejabat atau pembina tanpa banyak menyumbangkan
pikiran-pikirannya. (2). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive.
Bahwa guru haruslah diberikan kebebasan seluas-luasnya di dalam kelas dan
sekolah. Aturan-aturan di sekolah dilonggarkan dan
tidak perlu mengikat kepada guru. (3). Disiplin yang dibangun berdasarkan
konsep kebebasan yang terkendali yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya
kepada guru untuk berbuat, tetapi konsekwensi dari perbuatan itu haruslah dapat
dipertanggung jawabkan (Imron, 1995)
Penerapan model disiplin di atas, diikuti dengan
teknik-teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu : (1). Pembinaan
dengan teknik external control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari
luar. (2). Pembinaan dengan teknik internal control yaitu
diupayakan agar guru dapat mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru disadarkan akan
pentingnya disiplin. (3). Pembinaan dengan teknik cooperative control
yaitu Pembinaan ini model ini, menuntut adanya saling kerjasama antara guru
dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
Perilaku
disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru sangat erat hubungannya karena hanya
dengan kedisiplinan yang tinggilah pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan
aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam upaya mencegah terjadinya
indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan meningkatkan kesejahteraan
guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan, melakukan tindakan korektif,
memelihara tata tertib, memajukan pendekatan positif terhadap disiplin,
pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998). Hal tersebut dipertegas
oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk menegakkan disiplin antara
lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2). Pencegahan dan penguasaan
diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan
yang baik ditunjukan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan
memperlancar pekerjaan guru dan memberikan perubahan dalam kinerja guru ke arah
yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi ini bukan saja
berpengaruh pada pribadi guru itu sendiri dan tugasnya tetapi akan berimbas
pada komponen lain sebagai suatu cerminan dan acuan dalam menjalankan tugas dengan
baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan.
7. Kesejahteraan
Faktor
kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru di
dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin
tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa
terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam
melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut Supriadi
(1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia sangat
memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara miskin di Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin
tampak bila dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju,
gaji guru umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia
justru sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan
guru dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta
didik, tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji
yang pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru
telah layak diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang
membolos karena mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu
tersebut dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di
negara ini belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di
tempat lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu
sekolah. Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari
satu tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal
ini bisa dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki
mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan
beberapa pihak terutama pengambil kebijakan yaitu: (1). Profesi keguruan kurang
menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada
kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih rendah (Adiningsih, 2002).
Journal PAT
(2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan Wales dalam meningkatkan
profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru
diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat institusi menyatakan bahwa
hubungan antara kepuasan dan performan rasanya nyata, pendidik yang terpuaskan
pada tingkat yang lebih tinggi memiliki performan pada tingkat yang lebih
tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat tidak terpuaskan. Hal tersebut
dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H. Crockett (dalam Sutaryadi, 2001)
yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja
dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan berkaitan erat dengan insentif
yang diberikan pada guru. Insentif dibatasi sebagai imbalan organisasi pada
motivasi individu, pekerja menerima insentif dari organisasi sebagai pengganti
karena dia anggota yang produktif dengan kata lain insentif adalah upah atau
hukuman yang diberikan sebagai pengganti kontribusi individu pada organisasi.
Menurut Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001) menyatakan bahwa insentif
yang tidak memadai berarti mengubah tujuan organisasi.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa untuk
memaksimalkan kinerja guru langkah strategis yang dilakukan pemerintah
yaitu memberikan kesejahteraan yang layak sesuai volume kerja guru,
selain itu memberikan insentif pendukung sebagai jaminan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup guru dan keluarganya. Program peningkatan mutu pendidikan
apapun yang akan diterapkan pemerintah, jika kesejahteraan guru masih rendah
maka besar kemungkinan program tersebut tidak akan mencapai hasil yang
maksimal. Jadi tidak heran kalau guru di negara maju memiliki kualitas tinggi
dan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya
Jaminan kehidupan yang layak bagi guru dapat memotivasi untuk selalu bekerja
dan meningkatkan kreativitas sehingga kinerja selalu meningkat tiap waktu.
8. Iklim Kerja
Sekolah
merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang membentuk
satu kesatuan yang utuh. Di dalam sekolah terdapat berbagai macam
sistem sosial yang berkembang dari sekelompok manusia yang saling
berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang saling mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk perilaku dari hasil
hubungan individu dengan individu maupun dengan lingkungannya.
Menurut Davis, K
& Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah dapat dipandang dari dua pendekatan
yaitu pendekatan statis yang merupakan wadah atau tempat orang berkumpul
dalam satu struktur organisasi dan pendekatan dinamis merupakan hubungan
kerjasama yang harmonis antara anggota untuk mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang
terjadi dalam sekolah merupakan indikasi adanya keterkaitan satu dengan lainnya
guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan tanggung jawab
pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan
yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan
iklim kerja yang baik.
Litwin dan
Stringer (dalam Sergiovanni, 2001) mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi
kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh subyektif yang dapat dirasakan dari sistem
formal, gaya
informal pemimpin dan faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut
sikap/keyakinan dan kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada
organisasi tersebut. Sedangkan menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin
(dalam Sutaryadi, 1990) mengatakan bahwa Iklim kerja adalah seperangkat
karakteristik yang membedakan antara individu satu dengan individu lainnya yang
dapat mempangaruhi perilaku individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari
hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Iklim sekolah
memegang peran penting sebab iklim itu menunjukkan suasana kehidupan pergaulan
dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu mengambarkan kebudayaan,
tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang ada di sekolah itu,
khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan sikap guru-guru di
sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan kepuasan mereka (Pidarta,
1999).
Jadi Iklim kerja
adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial dan budaya
yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah yang
tercermin dari suasana hubungan kerjasama yang harmonis dan kondusif antara
Kepala Sekolah dengan guru, antara guru dengan guru yang lain, antara guru
dengan pegawai sekolah dan keseluruhan komponen itu harus menciptakan hubungan
dengan peserta didik sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran tercapai.
Iklim negatif
menampakkan diri dalam bentuk-bentuk pergaulan yang kompetitif, kontradiktif,
iri hati, beroposisi, masa bodoh, individualistis, egois. Iklim
negatif dapat menurunkan produktivitas kerja guru. Iklim positif
menunjukkan hubungan yang akrab satu dengan lain dalam banyak hal terjadi
kegotong royongan di antara mereka, segala persoalan yang ditimbul diselesaikan
secara bersama-sama melalui musyawarah. Iklim positif menampakkan
aktivitas-aktivitas berjalan dengan harmonis dan dalam suasana yang damai,
teduh yang memberikan rasa tenteram, nyaman kepada personalia pada umumnya
dan guru khususnya.
Terciptanya iklim
positif di sekolah bila terjalinnya hubungan yang baik dan
harmonis antara Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan
pegawai tata usaha, dan peserta didik. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Owens (1991) bahwa faktor-faktor penentu iklim
organisasi sekolah terdiri dari (1). Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti
gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain, (2). Milieu yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni
ketatausahan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara
berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Menurut Steers (1975) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi iklim kerjasama di sekolah adalah :
(1). Struktur tugas, (2). Imbalan dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4). Tekanan pada prestasi, (5).
Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6). Keamanan dan resiko pelaksanaan
tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan individu, (8). Status dalam
organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10). Kompetensi dan fleksibilitas
dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara fleksibel dan kreatif.
Terbentuknya iklim yang kondusif pada tempat kerja dapat
menjadi faktor penunjang bagi peningkatan kinerja sebab kenyamanan dalam
bekerja membuat guru berpikir dengan tenang dan terkosentrasi hanya pada tugas
yang sedang dilaksanakan.
BAB III
PERUBAHAN
PARADIGMA PERAN GURU
1.
Tantangan Pendidikan di era Perubahan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang sangat
cepat selama ini membawa dampak terhadap terhadap jarak antar bangsa didunia
sehingga fenomena ini bersifat global. Perkembangan dan tatanan ekonomi
dunia sedang merobah kearah perdagangan dan investasi bebas. General Agreement
of Tariff and Trade (GATT) yang selanjutnya berkembang menjadi World Trade
Organization (WTO), serta dibentuknya perdagangan regional seperti European
Economics Community (EEC), North American Free Trade Area (NAFTA), dan Asia
Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan bentuk nyata perdagangan global
yang bebas dan makin terbuka. Hal ini akan membawa implikasi bahwa pasar
domestik akan menjadi bagian dari pasar dunia sehingga gejolak yang terjadi dalam
ekonomi global berpengaruh pada pasar domestik. Untuk menghadapi persaingan
yang makin ketat haruslah didukung kualitas sumber daya manusia yang unggul dan
komitmen terhadap nilai-nilai.(Idris, J. 2005).
Akibat pengaruh
globalisasi menghadirkan problem baru berupa kesenjangan antara kemajuan IPTEK
sekarang dengan kurikulum sekolah. Dilain pihak motivasi dan minat belajar
siswa masih rendah mengakibatkan kualitas lulusan sebagai hasil pendidikan
cenderung merendah pula. Wacana mutu pendidikan yang tak menggembirakan itu
terindikasi pada tahun 2000 lalu sebuah organisasi dunia International
Association of Educational Evaluation in Achievemnt (IEA) menerbitkan
hasil survei prestasi belajar matematika dan IPA bagi siswa sekolah Usia 13
tahun pada 42 negera menempatkan negara kita berada pada posisi yang kurang
menggembirakan.
Pelaksanaan
pendidikan kita selama ini telah menempatkan kata-kata dan semboyan baku yang
mengagumkan namun seperti apa dan bagaimana manusia yang cerdas dan seutuhnya
justru tidak ditemukan dalam paham pendidikan kita. Kehampaan visi dan filosofi
tersebut membuat fokus perhatian hanya tertuju pada masalah metodologi
sedangkan inti yang sebenarnya (ruh pendidikan) belum tersentuh.
Mutu hanya
terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar
dan belajar sebanyak mungkin. Mutu pendidikan harus dilihat dari kemampuan
belajar siswa secara mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah
hasil belajar yang mereka lalukan sendiri (Novak & Gowin, 1984, Arend, 2001
dalam Jalaluddin).
Persoalannya
sekarang adalah bagaimana menemukan pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan
berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu sehingga semua
siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana
setiap individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling
berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh bagaimana seorang guru dapat
berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang
alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu dan hubungan dari apa yang mereka
pelajari. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari
seluruh siswa sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan cara
mengaitkannya dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu
kesempatan selama hidupnya. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi guru
setiap hari dan tantangan bagi pengembangan kurikulum.
2.
Reorientasi Paradigma pendidikan yang Diinginkan
Untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dalam
persaingan global sekarang ini maka seyogyanya perubahan perkembangan kehidupan
diikuti pula dengan perubahan orientasi pendidikan hal ini penting dilakukan
sebagai langkah antisipasi dan tindakan adaptasi guna mempertahankan
eksisitensi dalam persaingan global. Untuk itu perubahan paradigma pendidikan
yang diperlu diperhatikan seperti (1) dari schooling ke learning dimana
implikasinya kearah belajar siswa aktif sehingga perlu membuat suasana belajar
inovatif dan kreatif dan juga harus mampu menguasai umlti medote/multi media
untuk mendorong siswa bereksplorasi, belajar dari mengamati ke menjelaskan;
(2). Dari knowledge based learning ke comptenesi based learning dimana
pembelajaran tidak disadarkan pada pencapaian perolehan produk pengetahuan tetapi
pada penguasaan keterampilan sehingga tidak menerima pengetahuan tetapi
membangun pengetahuan; (3). Dari instructive ke facilitative terjadi
perubahan dari ekspositorik ke penemuan, inkuiri dan problem solving.
Paradigma pendidikan Indonesia saat ini adalah ingin
membangun manusia seutuhnya sehingga proses pendidikan mengarah pada empat
macam olah yaitu pertama : potensi olah hati dimaksudkan membangun
manusia indonesia yang beriman dan bertaqwa yang baik memiliki asas yang mulia
dan berbudi pekertiluhur, Kedua : olah pikir dimana melalui olah
pikir diharapkan bisa dibangun manusia yang intelektual secara akademis,
menguasai ilmu poengetahuan dan teknologi, ketiga : olah
rasa dimaksudkan untuk membangun manusia yang halus perasaan, bisa
berapresitif, bisa mensyukuri dan bisa mengekspresikan keindahan sehingga
pendidikan dengan keindahan (pendidikan seni) menjadi sama pentingnya dengan
pendidikan hati dengan pendidikan pikir dan Keempat : olah raga
dimaksudkan menabguna manusia dengan basis fisik yang tangguh, kalau fisik
tidak sehat, tidak bugar, bagaimana bisa memiliki produktivitas yang tinggi
karenanya olah ragapun menjadi penting di dalam pendidikan. Jadi pendidikan
yang diinginkan sekarang ini mengembangkan manusia yang komprehensif, mempunyai
kecerdasan komprehensif, cerdas hati, cerdas rasa, cerdas pikir,m cerdas rasa
dan cerdas raga. (Pengarahan Mentri Pendidikan nasional pada kegiatan
rakor pembanguan dan evaluasdi pendidikan Riau Kamis 15 Desember 2005 Koran
Berita)
Mencermati hal demikian maka pendidik bukan lagi
sekedar pengajar tetapi pendidik adalah agen pembelajaran yang membantu peserta
didik yang secara mandiri mengembangkan potensi dirinya melalui olah bathin,
olah pikir, olah rasa dan olah raga. Sehingga pemerintah menetapkan perntahapan
dalam dunia pendidikan dari tahun 2005 sampai tahun 2025 antara lain tahun 2005
– 2010 adalah pentahapan modernisasi dan peningkatan kapasitas pendidikan,
tahun 2010-2015 peningkatan kapasistas dan mutu pendidikan, tahun 2015 -2020
peningkatan mutu, relevansi dan kompetitif dan tahun 2020 – 2025 pematangan.
Pentahapan tersebut sinergi dengan kebijakan pokok pendidikan indonesia yaitu pertama
meningkatkan dan memeratakan partisipasi atau akses pendidikan maksudnya untuk
menciptakan keadilan dan pendidikan dengan memeratakan dan meningkatkan
akses pendidikan; Kedua mewujudkan pendidikan masyarakat yang bermutu,
berdaya saing, relevan dengan kebutuhan masyarakat mengadung makna bahwa out
put pendidikan yang dihasilkan haruslah bermutu, relevan, dan berdaya saing, Ketiga
mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yang efektif, efisien, akuntabel
dengan menekankan pada peranan desentralisasi dan otonomi pendidikan pada
setiap jenjang pendidikan dimasyarakat dan meningkatkan citra publik.
Strategi yang harus dilakukan demi terwujudnya visi dan
misi pendidikan nasional antara lain dengan pengembangan dan pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan proses pembelajaran yang mendidik dan
dialogis. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan
keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan,
ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi
ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun
identitas budaya dan bangsanya.
Sejalan dengan pengembangan kurikulum tersebut maka
fondasi pendidikan yang dijadikan pilar pendidikan pada era reformasi dan
jaringan dalam meraih dan merebut pasar internasional yaitu Learning to know
(belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning
to beacame (belajar menjadi diri sendiri) dan learning togather
(belajar hidup dalam kebersamaan).
3.
Hakekat Belajar Mengajar dalam KBK
Selama ini mengajar
dianggap sebagai upaya memberikan informasi atau upaya untuk meragakan cara
menggunakan sesuatu, atau untuk memberi pelajaran melalui mata pelajaran
tertentu. Kegiatan belajar mengajar mirip seperti kegiatan menjual dan membeli.
Artinya, kegiatan menjual baru berlangsung kalau ada kegiatan membeli. Begitu
juga dengan kegiatan mengajar – belajar. Guru baru mengajar kalau siswa
belajar. mengacu pada pandangan constructivism, belajar adalah peristiwa
dimana pebelajar secara terus menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi
gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Pandangan
ini sejalan dengan pandangan Raka Joni (1993), ahli pendidikan Indonesia, yang
mengungkapkan titik pusat hakekat belajar sebagai ‘pengetahuan-pemahaman’ yang
terwujud dalam bentuk pemberian makna secara konstruktivistik oleh pebelajar
kepada pengalamannya melalui berbagai bentuk pengkajian yang memerlukan
pengerahan berbagai keterampilan kognitif di dalam mengolah informasi yang
diperoleh melalui alat indera.
Kalau begitu, dengan
pandangan progresif ini, peristiwa ‘belajar’ tidak cukup sekedar dicirikan
dengan menggali informasi temuan ilmuwan (baca mengkaji materi sejumlah mata
pelajaran) tetapi siswa perlu dikondisikan supaya berperilaku seperti ilmuwan
dengan senantiasa menggunakan metoda ilmiah dan memiliki sikap ilmiah sewaktu
menyelesaikan masalah. Dengan demikian, peristiwa belajar meliputi membaca,
mendengar, mendiskusikan informasi (reading and listening to science),
dan melakukan kegiatan ilmiah (doing science) termasuk melakukan
.kegiatan pemecahan masalah.
Ini berarti,
hakekat ‘mengajar’ dan ‘belajar’ bergeser dari kutub dengan makna tradisional
ke kutub dengan makna progresif. Kegiatan ‘belajar’ bergeser dari ‘menerima
informasi’ ke ‘membangun pengetahuan’ dan kegiatan ‘mengajar’ bergeser dari
‘mentransfer informasi’ ke ‘mengkondisikan sehingga peristiwa belajar
berlangsung’. Kalau begitu, pernyataan guru tentang ‘seberapa jauh kurikulum
sudah disajikan (target kurikulum)’ lebih tepat diganti dengan ‘seberapa jauh
kurikulum sudah dikuasai, dipahami, dan ‘dibangun’ siswa (target pemahaman)’.
Implikasi
pandangan ini, kegiatan mengajar yang lazim perlu dimodifikasi dan diubah.
Misalnya pada kegiatan mengajar sains, tidak cukup hanya melalui telling
science tetapi perlu mengembangkan kegiatan yang bersifat doing science
atau kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa untuk mengembangkan thinking
skill dan bahkan tidak hanya memperluas wawasan kognitif tetapi juga
menyentuh ranah afektif, psikomotor, dan juga metakognitif. Ranah yang terakhir ini para ahli
pendidikan sering menyebutnya sebagai kemampuan tentang ‘belajar bagaimana
belajar’ (learn how to learn).
4.
Pendekatan Pembelajaran sebagai Fokus Perhatian Guru
Pendekatan
pembelajaran harus menciptakan suasana teaching-learning yang dapat
menumbuhkan rasa dari tidak tahun menjadi tahu dan guru memposisikan diri
sebagai pelatih dan fasilitator. Kehadiran KBK mengharuskan guru untuk
lebih berbenah diri mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tugasnya sebab berdasarkan pengamatan selama ini proses belajar disekolah lebih
ditandai oleh proses mengajar guru melalui ceramah dan proses belajar siswa
melalui menghafal. Dalam konteks pembelajaran yang berorietnasi pada KBK fokus
perhatian guru tidak lagi sebagai destroyer (pengganggu peristiwa belajar)
tetapi sebagai fasilitator (Mempermudah peristiwa belajar) yang lebih dicirikan
dengan disediakannya peluang seluas-luasnya bagi anak untuk mengembangkan
gagasan kreatif supaya anak selalu aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi
sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah. Sejalan dengan itu guru
senantiasa melatih anak untuk memliki keterampilan dan sikap tertentu agar
dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kebiasaan siswa selama ini masih
menganut budaya konsumtif dinatarnya kebiasaan siswa menerima informasi secara
pasif seperti mencacat, mendengar, meniru yang seharusnya akan diubah pada pola
budaya produktif dimana siswa terbiasa untuk menghasilkan gagasan/karya seperti
merancang/membuat model, penelitian, memecahkan masalah dan menemukan gagasan
baru.
Perubahan peran guru akan bisa dilakukan bilama guru
memahami hakekat pembelajaran yang dinginkan dalam kurikulum berbasis
kompetensi misalnya pembelajaran bisa terjadi di dalam dan diluar kelas dengan
metode yangn bervariasi, maknanya pembelajaran dengan pola ini berdasarkan pada
kompetensi dasar yang harus dicapai sehingga pendekatan pembelajaran dalam
kurikulum berbasis kompetensi menuntut guru untuk memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
a. Merencanakan pembelajaran sesuai
dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate)
siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang
digunakan dalam pembelajaran. Hubungan antara isi kurikulum dan metodelogi yang
digunakan dalam pembelajaran harus didasarkan pada kondisi sosial emosional dan
perkembangan intelektual siswa. Jadi usia siswa dan karakteristik individual
lainya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi
perhatian didalam merencanakan pembelajaran.
b.
Membetnuk group belajar yang saling
tergantung(interdependent learning group). Siswa saling belajar dari sesamanya
di dalam kelompok kecil dan bekerjasama dalam tim lebih besar merupakan bentuk
kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan konteks lain.
c.
Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri
(self regulated learing) yang memiliki tiga karakteristik yaitu kesadaran
berpikir , penggunaan strategi dan
motivasi berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa siswa usia
5 – 16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap keadaan
pengetahuan yang dimilikinya, karakteristikl tugas-tugas yang mempengaruhi
pembelajarannya secara individual dan startegi belajarnya. Guru harus
menciptakan suatu lingkungan dimana siswa dapat merefleksikan bagaimana mereka
belajar, menyelesaikan tugas-tugas sekolah, menghadapi hambatan dan bekerjasama
secara harmonis dengan yang lain
d.
Mempertimbangkan keragaman siswa (diversity of student)
didalam kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya
misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi, bahasa utama
yang dipakai dirumah dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki.
e. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelegensi)
siswa. Dengan penggunakan pendekatan pembelajaran, cara siswa berpartisipasi di
dalam kelas harus mempertimbangkan delapan latar kecerdasanya yaitu :
Liguistic, logical-matematical, spatial bodily-kinaesthetic, misical,
interpersoanl dan intrapersonal. Untuk itu guru harus memadukan berbagai
strategi pendekatan pembelajaran yang tentunya mengurangi dominasi guru.
f. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan
pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan tingkat
tinggi.
g. Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment)
penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir
kompleks seorang siswa, dari pada hanya sekedar hafalan informasi factual.
Kondisi alamiah pembelajaran secara kontekstual memerlukan penilaian
interdisipliner yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam
dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan
5. Visi
dan Kompetensi Guru
Guru harus memiliki visi yang tepat dan berbagai aksi inovatif.
Visi tanpa aksi adalah bagaikan sebuah impian, aksi tanpa visi bagaikan
perjalanan tanpa tujuan dan membuang-buang waktu saja. Visi dan aksi
dapat mengubah dunia. Guru dengan visi yang tepat memiliki pandangan yang tepat
tentang pembelajaran yaitu (1) pembelajaran merupakan jantung dalam proses
pendidikan, sehingga kualitas pendidikan terletak pada kualitas pembelajarannya,
dan sama sekali bukan pada aksesoris sekolah, (2) pembelajaran tidak akan
menjadi baik dengan sendirinya, melainkan melalui proses inovasi tertentu,
sehingga guru dituntut melakukan berbagai pembaruan dalam hal pendekatan,
metode, tehnik, strategi, langkah-langkah, media pembelajaran mengubah “status
quo” agar pembelajaran menjadi lebih berkualitas, dan (3) harus dilaksanakan
atas dasar pengabdian, sebagaimana pandangan bahwa pendidikan merupakan sebuah
pengabdian, bukan sebagai sebuah proyek. Guru dengan aksi inovatif dan mandiri
memiliki pandangan sebuah harapan tidak akan berarti apa-apa bilamana tidak
diiringi dengan berbagai program kerja pembaruan menuju pembelajaran yang
berkualitas (Bafadal I, 2003).
Keberadaan visi
bagi guru sangat penting dalam menapaki pekerjaan yang lebih baik. Ketercapaian
predikat guru yang profesional tidak serta merta diperoleh begitu saja paling
tidak guru harus memiliki perspektif atau cara pandang tentang tugas dan
tanggung jawabnya sebagi guru yang lebih komprehensif, hal ini berarti visi
guru harus mengikuti irama perkembangan dan perubahan yang terjadi. Secara
sederhana ada tiga visi yang harus dimiliki guru antara lain pertama
visi jangka panjang yang selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam
setiap langkah yang diperbuat. Melakukan sesuatu secara optimal dan
sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki
kesadaran akan adanya tujuan akhir dari kehidupan ini. Memiliki kepastian akan
masa depan dan ketenangan bathiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyanian
akan adanya tujuan hidup. Kedua Visi jangka menengah, yang selalu
berorietnasi pada keberhasilan atas segala yang diperbuat, keinginan untuk
mencapai prestasi yang terbaik selalu menjadi cita-cita dan tujuan guru. Ketiga
visi jangka pendek yang selalu berorientasi pada setiap waktu untuk
melakukan kegiatan yang terbaik demi memajukan peserta didik dan meraih
keberhasilan dan prestasi yang dicita-citakan.
Untuk nopang
ketercapaian visi tersebut, guru harus harus mempunyai kompetensi yang
dipersyaratkan guna melaksanakan profesinya agar mencapai hasil yang memuaskan.
Kompetensi tersebut diantaranya pertama kompetensi paedagogik
adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; kedua kompetensi kepribadian
adalah karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang
mantap, stabil, dewasa, arif dan beribawa, menjadi tauladan bagi peserta didik,
dan berahlak mulia; ketiga kompetensi profesional adalah
kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan mereka membimbing peserta didik dalam menguasaoi nateri yang
diajarkan; keempat kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif, berinteraksi dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan
mayarakat sekitar.
Kompetensi
itu dipandang perlu sebagai bagian atau komponen yang tidak terpisahkan dari
eksistensi guru dalam melaksanakan profesinya sebab pekerjaan guru tidak
gampang dan tidak sembarangan dilaksanakan melainkan harus memenuhi beberapa
persyaratan sebagai pendung dan penunjang pelaksanaan profesi. Jika guru tidak
mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan sangat mustahil akan terwujud
pelaksanaan kegiatan proses pendidikan di sekolah akan menjadi lebih baik dan
terarah. Kompetensi tersebut merupakan modal dasar bagi guru dalam membina dan
mendidik peserta didik sehingga tercapai mutu pendidikan yang akan menghasilkan
peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang paripurna.
BAB IV
LANGKAH STRATEGIS
MENINGKATKAN
KINERJA GURU
Kinerja guru
yang ditunjukkan dapat diamati dari kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya yang tentunya sudah dapat mencermikan suatu pola kerja yang
dapat meningkatkan mutu pendidikan kearah yang lebih baik. Seseorang akan
bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan
kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang
tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu
diantara dua persyaratan di atas. Jadi betapapun tingginya kemampuan seseorang,
ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan
dedikasi dalam bekerja yang tinggi. Guru yang memiliki kinerja yang baik
tentunya memiliki komitmen yang tinggi dalam pribadinya artinya tercermin suatu
kepribadian dan dedikasi yang paripurna. Tingkat komitmen guru terbentang dalam
satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju paling tinggi.
Guru yang
memiliki komitmen yang rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada
murid, demikian pula waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu
pembelajaran yang sangat sedikit. Sebaliknya seseorang guru yang memiliki
komitmen yang tinggi biasanya tinggi sekali perhatiannya dalam bekerja.
Demikian pula waktu yang disediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat
banyak. Sedangkan tingkat abstraksi yang dimaksudkan di sini adalah
tingkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, mengklarifikasi
masalah-masalah pembelajaran, dan menentukan alternatif pemecahannya. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Glickman (dalam Bafadal I, 2003) yang
menyatakan bahwa “guru yang memiliki tingkat abstraksi yang tinggi adalah guru
yang mampu mengelola tugas, menemukan berbagai permasalahan dalam tugas dan
mampu secara mandiri memecahkannya”.
Langkah
strategis dalam upaya meningkatkan kinerja guru dapat dilakukan
melalui beberapa terobosan antara lain :
1. Kepala Sekolah harus memahami dan melakukan tiga fungsi
sebagai penunjang peningkatan kinerja guru antara lain :
a. Membantu guru memahami, memilih dan merumuskan tujuan
pendidikan yang dicapai.
b. Mendorong guru agar mampu memecahkan masalah-masalah
pembelajaran yang dihadapi dan dapat melihat hasil kerjanya.
c. Memberikan pengakuan atau penghargaan terhadap
prestasi kerja guru secara layak, baik yang diberikan oleh kepala sekolah
maupun yang diberikan semasa guru, staf tata usaha, siswa, dan masyarakat umum
maupun yang diberikan pemerintah.
d. Mendelegasikan tanggung jawab dan kewenangan kerja kepada
guru untuk mengelola proses belajar mengajar dengan memberikan kebebasan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil belajar.
e. Membantu memberikan kemudahan kepada guru dalam proses
pengajuan kenaikan pangkatnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f. Membuat kebijakan sekolah dalam pembagian tugas guru,
baik beban tugas mengajar, beban administrasi guru maupun beban tugas tambahan
lainnya harus disesuaikan dengan kemampuan guru itu sendiri.
g. Melaksanakan tehnik supervisi yang tepat sesuai dengan
kemampuannya dan sesuai dengan keinginan guru-guru secara berkesinambungan
dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam proses
pembelajaran.
h. Mengupayakan selalu meningkatkan kesejahteraannya
yang dapat diterima guru serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya.
i. Menciptakan hubungan kerja yang sehat dan menyenangkan
dilingkungan sekolah baik antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan guru,
guru dengan siswa, guru dengan tata usaha maupun yang lainnya.
j.
Menciptakan dan
menjaga kondisi dan iklim kerja yang sehat dan menyenangkan di lingkungan
sekolah, terutama di dalam kelas, tempat kerja yang menyenangkan, alat
pelajaran yang cukup dan bersifat up to date, tempat beristirahat di sekolah
yang nyaman, kebersihan dan keindahan sekolah, penerangan yang cukup dan masih
banyak lagi.
k. Memberiukan peluang pada guru untuk tumbuh dalam
meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keahlian mengajar, dan memperoleh
keterampilan yang baru.
l. Mengupayakan adanya efek kerja guru di sekolah terhadap
keharmonisan anggota keluarga, pendidikan anggota keluarga, dan terhadap
kebahagiaan keluarganya.
m. Mewujudkan dan menjaga keamanan kerja guru tetap stabil
dan posisi kerjanya tetap mantap sehingga guru merasa aman dalam
pekerjaannya.
n.
Memperhatikan
peningkatan status guru dengan memenuhi kelengkapan status berupa perlengkapan
yang mendukung kedudukan kerja guru, misalnya tersediahnya ruang khusus untuk
melaksanakan tugas, tempat istirahat khusus, tempat parkis khusus, kamar mandi
khusus dan sebagainya. (
Junaidin, 2006).
o.
Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota
masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah.
p.
Menciptakan sekolah sebagai lingkungan kerja yang
harmonis, sehat, dinamis dan nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja
dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Langkah lain yang dilakukan oleh
sekolah untuk meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan pemanfaatan
teknologi informasi yang sedang berkembang sekarang ini dan mendorong guru
untuk menguasainya. Melalui teknologi informasi yang dimiliki baik oleh daerah
maupun oleh individual sekolah, guru dapat melakukan beberapa hal diantaranya
: (1) melakukan penelusuran dan pencarian bahan pustaka, (2)
membangun Program Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) untuk
memodelkan sebuah rencana pengajaran, (3) memberi kemudahan untuk mengakses apa
yang disebut dengan virtual clasroom ataupun virtual university,
(4) pemasaran dan promosi hasil karya penelitian.
Dengan memanfaatkan teknologi
informasi maka guru dapat secara cepat mengakses materi pengetahuan yang
dibutuhkan sehingga guru tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki dan
hanya bidang studi tertentu yang dikuasai tetapi seyogyanya guru harus mampu
menguasai lebih dari bidang studi yang ditekuninya sehingga bukan tidak mungkin
suatu saat guru tersebut akan mendalami hal lain yang masih memiliki hubungan
erat dengan bidang tugasnya guna meningkatkan kinerja ke arah yang lebih baik.
2.
Dinas Pendidikan setempat selaku pihak yang ikut andil
dalam mengeluarkan dan memutuskan kebijakan pada sektor pendidikan dapat
melakukan langkah sebagai berikut :
a. Memberikan kemandirian kepada sekolah secara utuh
b.
Mengontrol setiap perkembangan sekolah dan guru.
c. Menganalisis setiap persoalan yang muncul di sekolah
d. Menentukan alternatif pemecahan bersama dengan kepala
sekolah dan guru terhadap persoalan yang dihadapi guru
Kinerja guru
tidak dapat berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor lain
melalui interaksi sosial yang terjadi di antara diri mereka sendiri maupun
dengan komponen yang lain dalam sekolah. Hal lain yang dapat dilakukan
adalah melalui peningkatan moral kerja guru. Moral kerja sebagai suatu
sikap dan tingkah laku yang merupakan perwujudan suatu kemauan yang dibawa
serta ke sekolah dan kerjannya. Pemahaman tentang moral kerja yang belum
sempurna menyebabkan tidak dapat mempengaruhi kinerja secara spesifik.
Padahal moral kerja yang tinggi dapat meningkatkan semangat untuk
bekerja lebih baik. Moral kerja dapat pula dipengaruhi oleh motif-motif
tertentu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Adapun yang menjadi
motif untuk bekerja lebih baik adalah kebutuhan-kebutuhan (needs) yang
menimbulkan suatu tindakan perbuatan yang menimbulkan suatu perbuatan (behaviour)
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (goals).
Bafadal I (2003)
memberikan suatu contoh akan pentingnya pemenuhan kebutuhan sebagai berikut :
“misalnya
seseorang pasti membutuhkan makanan untuk mempertahkankan eksistensi hidupnya.
Apabila tidak mendapatkan makanan orang itu akan mati kelaparan. Makanan pada
konteks ini merupakan kebutuhan (needs). Oleh karena itu makanan
merupakan kebutuhan yang memaksa seseorang melakukan tindakan perbuatan (behaviour)”.
Hubungan
kebutuhan dan tindak perbuatan divisualisasikan melalui gambar berikut :
Kebutuhan
====à Tindakan
Perbuatan ======è Tujuan
Guru merupakan
salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan. Keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru
dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun
demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya.
Reformasi
pendidikan merupakan respons terhadap perkembangan tuntutan global sebagai
suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan
sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang.
Melalui reformasi, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan
jaminan bagi perwujudan hak-hak azazi manusia untuk mengembangkan seluruh
potensi dan prestasinya secara optimal.
Menurut Louis V.
Gerstner, Jr.,dkk (1995) (dalam Aqib Z, 2003) mengatakan bahwa :
“Sekolah abad
masa depan memiliki ciri-ciri antara lain (1) kepala sekolah yang dinamis dan
komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan, (2)
memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan
dengan jelas, (3) guru-guru yang berkompeten damn berjiwa kader yang senantiasa
bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif, (4)
siswa-siswa yang sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku
pembelajaran, dan (5) masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam
menunjang pendidikan”.
Upaya mewujudkan
sisi guru dalam reformasi pendidikan beberapa asumsi dasar yang harus mendapat
pertimbangan antara lain :
a. guru pada dasarnya merupakan faktor penentu bagi
keberhasilan pendidikan
b. jumlah guru dengan kecakapan akademik yang baik,
cenderung menurun di masa yang akan datang, sepanjang secara material sosial,
jabatan guru tidak menarik dan menjanjikan bagi generasi muda yang memiliki
kualitas akademik yang cemerlang
c. kepercayaan masyarakat terhadap guru sangat bergantung
dari persepsi yang berkenaan dengan status guru terutama yang berkaitan dengan
kualitas pribadi, kualitas kesejahteraan, penghargaan material, kualitas
pendidikan, dan standar profesi
d. anggaran belanja pendidikan, imbal jasa (gaji dan
tunjangan lainnya), dan kondisi kerja guru merupakan faktor yang mendasar bagi
terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan kinerja yang efektif
e.
masyarakat dan orang tua mempunyai hak akan pendidikan
yang terbaik buat anak-anaknya
f.
disisi lain guru diharapkan menunjukkan kinerja atas dasar
moral dan profesional yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kaitan ini, guru
mempunyai keterikatan yang erat dengan kualitas dan hasil pendidikan.(Aqib Z.,
2003).
Ungkapan di atas bermakna bahwa
posisi guru pada era dalam reformasi pendidikan merupakan posisi yang memiliki
peran besar yang harus dijalankan guru dalam mewujudkan mutu pendidikan yang
lebih baik. Sehingga berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kinerja guru perlu
dilakukan perbaikan seperti kualitas kesejahteraan, kualitas
moral dan kualitas profesi dan lain-lain yang dimiliki guru sebagai
penentu keberhasilan pendidikan, maka tidak salah jika ada keinginan
memperbaiki mutu pendidikan akan berkaitan dengan memperbaiki posisi guru.
Untuk mewujudkan kinerja guru yang
profesional dalam reformasi pendidikan, secara ideal ada beberapa karakteristik
citra guru yang diharapkan antara lain
a.
guru harus memiliki semangat juang yang tinggi disertai
dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap.
b.
guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan
padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek.
c.
guru yang mempunyai kualitas kompetensi pribadi dan
profesional yang memadai disertai atas kerja yang kuat.
d.
guru yang mempunyai kualitas kesejahteraan yang memadai.
e.
guru yang mandiri, kreatif, dan berwawasan masa depan.
Untuk mewujudkan guru yang memiliki karakteristik seperti
di atas maka perlu dilakukan langkah nyata yang dapat dilakukan pemerintah
antara lain : (1) pemerintah harus ada kemauan politik untuk menempatkan
posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional, (2) mewujudkan sistem
manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya yang meliputi pengadaan,
pengangkatan, penempatan, pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan secara
terpadu yang sistematik, sinergik dan simbolik, (3) pembenahan sistem
pendidikan guru yang lebih fungsional untuk menjamin dihasilkannya kualitas
profesional guru dan tenaga kependidikan lainnya, (4) pengembangan satu sistem
pengganjaran (gaji dan tunjangan lainnya) bagi guru secara adil, bernilai
ekonomis, dan memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang guru
untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir
batin (Aqiz Z., 2003).
Pada era otonomi daerah, Pendapatan yang
diterima guru bervariasi, baik ditinjau dari jenjang sekolah maupun lokasi
daerah. Tunjangan guru di sekolah pada jenjang yang lebih rendah adalah lebih
rendah dari pada tunjangan guru di sekolah yang lebih tinggi. Demikian pula,
tunjangan guru di sekolah yang berada di kota
adalah lebih tinggi daripada tunjangan guru di sekolah yang berada di pinggir kota dan desa. Kondisi ini
disebabkan oleh perbedaan kebutuhan sekolah dan kemampuan orang tua dalam
memberikan sumbangan dana terhadap sekolah. Ekonomi orang tua di perkotaan
adalah cenderung lebih kuat dibandingkan dengan ekonomi orang tua di pinggir kota dan desa. Sedangkan,
besarnya tunjangan kepada guru yang diberikan sekolah didasarkan atas RAPBS dan
kekuatan orang tua siswa. Tunjangan kepada guru memberikan efek yang signifikan
terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa. Siswa yang berada di kota lebih berprestasi daripada siswa di pinggir kota dan desa. Demikian
pula, siswa yang ada di pinggir kota
lebih berprestasi dari pada siswa di desa. Meski prestasi belajar siswa
dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan daya dukung orang tua, namun presatasi
tersebut juga dipengaruhi oleh tunjangan kepada guru. Tunjangan guru
yang berada di kota adalah cenderung lebih besar, sehingga lebih dapat
berkonsentrasi dalam mengajar. Sebaliknya, tunjangan guru di desa adalah lebih
kecil dan hal ini menyebabkan konsentrasi mengajar kurang. Analisis-analisis
tersebut lebih nampak pada ilustrasi studi kualitatif sebagaimana dipaparkan di
bawah ini (Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003)
Kalau seorang
guru dapat membeli pesawat televisi, radio tape, sepeda motor, dan
barang-barang mewah lainnya atau mengangsur perumahan, hal itu karena utang
dengan menggunakan agunan gaji mereka setiap bulan dipotong. Sedangkan gaji
guru di negara lain cukup untuk kebutuhan satu bulan, berekreasi, membeli buku,
dan menabung. Bila dibandingkan dengan kesejahteraan pegawai negeri sipil lain
di Indonesia, secara nominal gaji guru lebih tinggi untuk golongan yang sama,
misalnya sama- sama golongan III C antara pegawai negeri sipil guru dan
non-guru, karena guru mendapat tambahan tunjangan fungsional. Tetapi, jam kerja
pegawai negeri sipil (PNS) non-guru terbatas, sehari hanya delapan jam atau
seminggu 42 jam. Sedangkan jam kerja guru tidak terbatas. memang mengajarnya
hanya pukul 07.00-12.45, tetapi sebelum mengajar harus menyiapkan bahan,
administratif (buat satuan pelajaran), dan setelah mengajar mereka harus
mengoreksi hasil pekerjaan murid.
Disisi lain
peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan di luar gaji bagi PNS non-guru
lebih terbuka karena sering ada proyek-proyek atau urusan lain dengan
masyarakat. Adapun guru, peluangnya untuk memperoleh tambahan pendapatan hanya
bila melakukan pungutan tambahan kepada murid atau bisnis. Namun, hal itu
langsung akan mendapat respons negatif dari masyarakat. Harapan masyarakat
terhadap guru memang bukan hanya perannya di dalam kelas saja, tetapi juga di
luar kelas juga dapat memberikan teladan. Tetapi peran memberi teladan ini
tidak pernah dihargai secara material dan sosial.
Ada delapan hal
yang diinginkan oleh guru melalui kerjannya yaitu (1) adanya rasa aman dan
hidup layak, (2) kondisi kerja yang diinginkan, (3) rasa keikutsertaan, (4)
rerlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan
penghargaan atas sumbangan, (7) ikut bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah,
(8) kesempatan mengembangkan self respect (Bafadal I, 2003)
Sedangkan
menurut teori kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan manusia dibagi dalam lima
tingkatan antara lain (1) kebutuhan fisiologi secara universal seperti makanan,
minuman, pakaian dan perumahan, (2) kebutuhan rasa aman (safety or security
needs), (3) kebutuhan Kebutuhan sosial , (4) kebutuhan harga diri (esteem
or ego needs), (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Menurut Hopson
and Scally (dalam Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003) bahwa diskursus paradigma
pendidikan antara investment based vs out came based membawa
implikasi imperatif terhadap penataan manajemen pendidikan di era otonomi
daerah. Dalam era ini, manajemen perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan
menguntungkan bersama. Fungsi pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar
menjalankan tugas rutin mengajar. Namun lebih dari itu, yakni mewujudkan educated
man yang mempunyai life skills berkulitas tinggi.
BAB V
RELEVANSI PENATAAN MANAJEMEN
DENGAN
PENINGKATAN KINERJA GURU
Penataan manajemen pendidikan dan upaya mewujudkan
manusia terdidik yang mempunyai kecakapan hidup memerlukan guru yang handal (the
good high teachers). Upaya ini dapat terwujud jika kualitas dan gaji guru
diperbaiki. Rasionalnya, guru yang berkualitas dengan gaji yang cukup, akan
lebih kreatif, antusias, dedikatif, dan konsentrasi pada bidang pekerjaannya
semata.
Untuk mengatasinya, manajemen pendidikan perlu ditata
sebagai berikut (1) perlu dilakukan need assessment terhadap kebutuhan
guru dan operasional sekolah yang terkait. Untuk itu Pemerintah Daerah dan
Dinas Pendidikan Nasional diharapkan lebih fokus meningkatkan anggaran bagi
perbaikan kualitas guru, terutama untuk gaji/pendapatan guru, studi lanjut, dan
kegiatan pelatihan, (2) perlunya penerapan school based budgeting yang
operasional dan out came based. Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten
/kota perlu memberikan wewenang dan pembinaan kepada sekolah untuk mengatur
rumah tangganya (Husain Z dan Sosangko, 2003).
Hasil studi Fiske (1996) di Spanyol, Brazil, Argentina,
New Zealand, Mexico, Chili, Cina, dan Venezuela menunjukkan bahwa sistem
desentralisasi pendidikan tidak selamanya membawa berkah. Hal itu tergantung
dari potensi sumber-sumber pendukung di daerah. Otonomi daerah berpotensi
memberikan efek negatif bagi guru yang kreatif, sebab ia tidak bisa
mengembangkan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif. Hal itu dikarenakan
mereka digaji rendah.
Untuk menata manajemen pendidikan yang efektif di era
otonomi daerah, diperlukan need assessment. Need assessment
dilakukan untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan
karakteristik daerah (Ellis, 1994). Faktor keuangan daerah tersebut cukup
dominan dalam keberhasilan otonomi. Need assessment dilakukan terhadap
kurikulum, kesiswaan, guru dan pegawai sekolah, keuangan, sarana dan prasarana,
hubungan masyarakat, dan aktivitas lain yang mendukung pendidikan.
Penataan manajemen pendidikan selanjutnya yaitu
mengoperasionalkan paradigma school based management (SBM) ke
dalam school based budgeting (SBB). Hal itu berarti penganggaran
keuangan didasarkan kepada kebutuhan sekolah. Kalau sekolah ingin
menfokuskan kepada peningkatan kualitas guru, berarti membawa implikasi bahwa
segala kebutuhan guru harus terakomodasi. Misalnya pemenuhan gaji, honor,
insentif, penghargaan, promosi, pemotongan birokrasi, pengembangan karier, dan
sebagainya. Penerapan school based budgeting (SBB) ini cukup
efektif dalam meningkatkan kualitas guru (Hadderman, 1999).
Penataan manajemen pendidikan, utamanya untuk perbaikan
kualitas dan gaji guru memerlukan persyaratan. Menurut
Bray (1996) ada lima syarat yaitu (1) commitment, (2) collaboration, (3)
concern, (4) consideration, and (5) change. Pemerintah Daerah dan
Dinas Pendidikan Nasional harus mempunyai komitmen untuk meningkatkan kualitas
dan gaji guru. Tanpa adanya leadership commitment ini otonomi
daerah tidak berhasil. Demikian pula syarat kolaborasi, juga harus
dipenuhi. Antara Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, LPTK, dan
lembaga lain yang terkait harus bekerja sama secara erat merencanakan dan
memecahkan masalah. Kemudian, kepedulian untuk menerapkan peningkatan
juga perlu dioperasionalkan dalam praktik nyata, utamanya dukungan dana yang
cukup dari Pemda. Penyelewengan terhadap rencana harus segera
dimodifikasi dengan pertimbangan yang matang, sehingga perubahan yang
diharapkan dapat tercapai. Lima
persyaratan ini sesuai dengan paradigma baru, yakni out came based.
Menurut Husain Z
dan Sasongko, (2003) paradigma penataan manajemen pendidikan yang efektif
di era Otonomi Daerah dapat digambarkan sebagai berikut.
Pengembangan
profesi guru memiliki hubungan fungsional dan pengaruh terhadap kinerja guru
karena memperkuat kemampuan profesional guru dalam melaksanakan pekerjaan. Pola
pengembangan profesi yang dapat dilakukan antara lain (1) program tugas
belajar, (2) program sertifikasi dan (3) penataran dan work shop. Pengembangan seperti ini mampu menempatkan
guru dalam berkerja secara baik. Karena sangat tidak mungkin seorang guru yang
memiliki pengetahuan sangat sempit dapat menghasilakn dan memberikan pencerahan
kepada siswa yang lebih baik. Jika seorang guru memiliki pendidikan yang baik
maka ada kemungkinan dalam bekerja akan selalu mempertahakan dan memperhatikan
profesionalismenya karena merasa malu dengan guru yang lain yang berpendidikan
rendah tetapi kinerjanya lebih baik. Perasaan ini memupuk dan memacu guru untuk
lebih baik dalam bekerja.
Menurut Sahertian (dalam Ponco Dewi, 2003) bahwa
pengembangan kinerja guru yang berkaitan pengembangan profesi guru dikenal
adanya tiga program yakni (1) program pre-service education, (2) program
in-service education, dan (3) program in-service trainning.
Program pre-service education adalah program
pendidikan yang dilakukan pada pendidikan sekolah sebelum peserta didik
mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Lembaga penyelenggaraan program pre-service
education adalah suatu pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi. Pada bidang ilmu pendidikan program pre-service education
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) baik non
gelar maupun yang bergelar.
Program in-service education adalah program
pendidikan yang mengacu pada kemampuan akademik maupun profesional sesudah peserta
didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Bagi mereka yang sudah
memiliki jabatan guru dapat berusaha meningkatkan kinerjanya melalui pendidikan
lanjut yang berijasah D-2 dapat melanjutkan ke D-3, dari D-3 ke S-1, atau dari
S-1 ke S-2 dan S-3 di samping itu dapat berupa jurusan tertentu ke jurusan
lain. Program in-service trainning adalah suatu usaha pelatihan yang
memberi kesempatan kepada orang yang mendapat tugas jabatan tertentu, dalam hal
ini adalah guru, untuk mendapat pengembangan kinerja.
Pada umumnya yang paling banyak dilakukan dalam program in-service
trainning adalah melalui penataran yaitu (1) penataran penyegaran yaitu
usaha pengembangan kinerja guru agar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni serta menetapkan kinerja guru agar dapat melakukan tugas
sehari-hari dengan baik. Sifat penataran ini memberi penyegaran sesuai dengan
perubahan yang terjadi di masyarakat agar tidak ketinggalan jaman, (2)
penataran peningkatan kualifikasi adalah usaha peningkatan kemampuan guru
sehingga mereka memperoleh kualifikasi formal tertentu sesuai dengan standar
yang ditentukan, dan (3) penataran penjenjangan adalah suatu usaha meningkatkan
kemampuan guru dalam bidang jenjang struktural sehingga memenuhi persyaratan
suatu pangkat atau jabatan tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.
Menurut Uzer Usman (1992) bahwa kompetensi yang harus
dimiliki seorang guru yaitu (1) kemampuan yang ada pada diri guru agar dapat
mengembangkan kondisi belajar sehingga hasil belajar dapat tercapai dengan
lebih efektif, (2) kemampuan sosial yaitu kemampuan guru yang realisasinya
memberi manfaat bagi pemenuhan yang diperuntukan bagi masyarakat. (3)
kompetensi profesional adalah kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar
yang baik.
Peningkatan kinerja guru serta kemampuan profesionalnya
diarahkan pada pembinaan kemampuan dan sekaligus pembinaan komitmennya. Untuk
pembinaan dapat dilakukan dalam dua hal yaitu (1) peningkatan
kemampuan profesional guru melalui supervisi pendidikan, program sertifikasi
dan tugas belajar yang diklasifikasikan dalam faktor pengembangan
profesi, (2) pembinaan komitmen melalui pembinaan kesejahteraannya yang
diklasifikasikan dalam faktor tingkat kesejahteraan.
Pidarta (1999) mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai
seorang profesional untuk mengadakan penelitian dalam profesinya.
Penelitian merupakan alat utama dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya.
Dengan penelitian guru akan menemukan materi-materi yang lebih tepat, alat yang
cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara
membina kemampuan siswa secara lebih baik. Penelitian merupakan bagian
dari pengembangan profesi.
Pembentukan ilkim kerja yang baik dalam penyelenggaraan
sekolah memberikan nuasa bekerja yang lebih baik, guru tidak akan ragu dan
tetap merasa nyaman dalam bekerja. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Hal ini
disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru dan guru berkewajiban
menciptakan suasana yang demikian dalam lingkungannya. Menurut Bafadal I,
(2003) bahwa untuk menciptakan suasana kerja yang baik ada dua hal yang
dilakukan dan diperhatikan antara lain (1) guru sendiri, dan (2) hubungan
dengan orang lain dan masyarakat sekeliling.
Terhadap guru sendiri, guru menciptakan
suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
pembelajaran. Oleh sebab itu guru harus aktif mengusahakan suasana itu dengan
berbagai cara misalnya (1) di dalam kelas penggunaan metode mengajar yang
sesuai maupun penyediaan alat belajar yang cukup serta pengaturan organisasi
kelas yang mantap atau pendekatan lain yang diperlukan, (2) diluar kelas dapat
menciptakan hubungan yang lebih dengan guru lain, pegawai dan Kepala Sekolah
serta siswa itu sendiri. Terciptanya iklim kerja yang lebih baik tidak terlepas
dari kemampuan guru dalam memahami keadaan yang terjadi disekelilingnya, guru
berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap terbuka terhadap persoalan-persoalan
yang menggangu kelancaran kerjannya baik dengan guru lain maupun dengan kepala
sekolah, guru harus berusaha membentuk pikiran-pikiran yang positif terhadap
persoalan yang dihadapi sehingga memberikan jalan terselesaikannya persoalan
secara baik dan cepat tanpa ada pihak yang dirugikan.
Menurut Pusat Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional (2003) bahwa terdapat tiga kategori permasalahan
yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru dalam pembangunan pendidikan yaitu
(1) sistem pelatihan guru, (2) kemampuan profesional, (3) profesi, jenjang
karier dan kesejahteraan. Ketiga kategori
peningkatan mutu guru dalam pembangunan pendidikan dapat dijelaskan sebagai
berikut
- Untuk kategori sistem
pelatihan dapat diambil
langkah-langkah sebagai berikut:
- Perlunya revitalisasi
pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki
kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk
meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;
- Perlunya mekanisme
kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;
- Perlunya sistem
penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan
dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;
- Perlunya desentralisasi
pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan
mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No.
22/1999.
Implikasi dari langkah-langkah yang diambil terhadap
sistem pelatihan dapat berupa (1) adanya sistem pelatihan guru yang didahului
dengan "need assessment" sesuai kondisi daerah masing-masing,
(2) adanya sistem monitoring penyelenggaraan pelatihan guru yang
dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga pengelola pendidikan, (3) adanya lembaga
swasta yang independen yang bertugas untuk melakukan penilaian-penilaian proses
(formative evaluation), hasil (output/summative evaluation), dan
dampak (outcome/impact evaluation) pelatihan guru, untuk menemukan
model-model pelatihan guru yang efektif dan efisien dalam meningkatkan mutu
pendidikan, (4) pembentukan dan pemberdayaan sentra-sentra pelatihan guru di
kabupaten/kota yang juga bertugas untuk mengembangkan konten dan strategi
mengajar tepat guna yang mampu meningkatkan kinerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran.
- Untuk kategori kemampuan
profesional dapat diambil
langkah-langkah sebagai berikut :
- Perlunya upaya-upaya
alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru
dalam penguasaan materi pelajaran.
- Perlunya tolok ukur (benchmark)
kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan
mutu guru.
- Perlunya peta kemampuan
profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan
Kanwil-kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya untuk mengkaji
ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali
aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk
mengembangkan kreativitasnya.
- Perlunya reorganisasi
dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga
kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru.
- Perlunya upaya untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami
dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses
pembelajaran.
- Perlu mendorong para
guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu
pengetahuan dan wawasan.
Implikasi terhadap langkah-langkah yang diambil terhadap
kemampuan profesional dapat berupa (1) pemberdayaan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) sebagai organisasi profesi guru yang berbasis mata pelajaran
secara lebih profesional, terprogram, dan secara khusus diarahkan untuk
mengembangkan standardisasi konsep dan penilaian mata pelajaran secara
nasional, terutama untuk mata-mata pelajaran Matematika dan IPA, (2)
adanya program-program alternatif peningkatan kemampuan profesional guru dari
organisasi ini, melalui modul-modul/publikasi-publikasi yang diterbitkan secara
berkala, dan dibahas dalam kegiatan-kegiatan tutorial, (3) pengembangan standar
kompetensi guru (SKG) sebagai tolok ukur (benchmark) kemampuan mengajar
yang diberikan oleh organisasi profesi ini, (4) adanya aturan/kebijakan yang
lebih fleksibel dan leluasa serta mampu memberikan motivasi bagi guru untuk
semakin mengembangkan kreativitasnya, (5) adanya keterlibatan perguruan tinggi/
universitas dalam mengembangkan konsep dan memberdayakan Pengawasan Pengelolaan
Sekolah, sebagai media alternatif peningkatan mutu guru, (6) melakukan pemetaan
kemampuan guru di tingkat nasional secara rutin melalui "needs
assessment", (7) adanya pelatihan penelitian tindakan kelas (action
research) bagi para guru, sebagai produk kerja sama antara Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) yang telah diberdayakan, dengan perguruan tinggi
-perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya, (8) adanya credit point
system terhadap karya penelitian guru yang memberikan motivasi bagi para
guru untuk semakin meningkatkan minat dan kegiatan penelitiannya.
- Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil
langkah-langkah sebagai berikut
- Memperketat persyaratan
untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK).
- Menumbuhkan apresiasi
karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
meningkatkan karier.
- Perlunya ketentuan
sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang
karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru
dalam melaksanakan proses pengajaran.
- Perlunya sistem dan
mekanisme anggaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan guru.
Implikasi dari langkah-langkah yang dilakukan terhadap
profesi, jenjang karier dan kesejahteraan agar dapat berhasil dapat berupa (1)
persyaratan akta mengajar bagi mereka, yang bukan lulusan ilmu kependidikan
untuk mengajar SLTP (A2 atau Akta 2) dan SLTA (A3 atau Akta 3) agar
dilaksanakan secara konsekuen, (2) perlunya suatu peraturan jenjang karier
tenaga guru, baik secara struktural maupun fungsional, yang setara dengan
tenaga pengajar perguruan tinggi, (3) adanya kenaikan anggaran pendidikan
yang prioritasnya ditekankan pada peningkatan penghasilan guru, (4) adanya
mekanisme penganggaran serta pendanaan yang secara rutin, sistematik dan
bertahap memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan pendapatannya secara
signifikan, (5) penyempurnaan ketentuan/peraturan mengenai sistem credit
point yang fleksibel dan memberikan motivasi bagi guru untuk meningkatkan
jenjang karier.
Pengaruh faktor kedisiplinan terhadap kinerja guru masih
rendah disebabkan guru kurang menyadari akan pentingnya sikap disiplin yang
harus dimiliki dan ditegakkan oleh guru. Tingkah laku guru yang timbul atau
nampak di sekolah menjadi contoh bagi siswa dan komponen lain di sekolah
sehingga guru dituntut harus memiliki sikap disiplin yang tinggi seperti
disiplin waktu dalam proses pembelajaran, ketika waktu menunjukkan untuk
mulai kegiatan pembelajaran maka guru harus memasuki kelas tidak ada lagi
alasan yang membuat guru harus terlambat, jika suatu waktu guru terlambat dan
tidak disiplin dalam memulai pelajaran maka siswapun akan mengikutinya. Agar
disiplin menjadi faktor yang mampu meningkatkan dan mempengaruhi kinerja
maka guru harus sepenuhnya menyadari akan tugas yang diembannya. Guru bebas
melakukan kreasi dan mengembankan potensi yang terdapat dalam dirinya guru
meningkatkan kinerjanya namun konsekuensinya harus dapat dipertanggung
jawabkan secara baik, jika hal ini disadari, guru tidak akan melakukan suatu
tindakan di luar koridor profesinya dan tetap memegang teguh kode etik
profesi keguruan.
Pengaruh faktor antar hubungan dan komunikasi terhadap
kinerja sangat rendah hal ini disebabkan karena pola hubungan atau interaksi
antara komponen yang ada disekolah belum maksimal, masih terdapatnya beberapa
guru yang memiliki rasa lebih tinggi dari yang lain sehingga memunculkan sifat
individualisme yang berbeda-beda, sebagian guru merasa bahwa kemampuan yang
dimilikinya mampu mengatasi masalah yang dihadapi dalam menjalankan tugas dan
kewajibanya maka tidak perlu lagi membutuhkan bantuan orang lain. Disisi lain
guru tidak menyadari akan kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya akibat guru
lebih memunculkan sifat keakuan dan terlalu percaya akan kemampuan diri sendiri
tanpa melihat lebih jauh kemampuan orang lain yang jauh melebihinya. Sifat
individual yang menonjol yang berkembang dikalangan guru dan komponen yang lain
di sekolah berdampak terciptanya interaksi yang kurang harmonis, guru tidak
saling membuka diri dan tidak bersikap luwes sebagaimana seharusnya dilakukan
guru. Dampak lain akibat kurang terjalinnya hubungan dan komunikasi ialah
proses pendidikan yang berlangsung di sekolah akan terganggu, program-program
sekolah tidak dapat dilaksanakan serta tidak dapat memenuhi harapan dan
keinginan masyarakat.
Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana
diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru,
karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan
niat yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada
pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut
sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik yang diikuti dengan memperbaiki
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian kinerja yang dilakukan hari
ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan
lebih baik dari kinerja hari ini.
Mengoptimalkan integrasi seluruh komponen yang terlibat
dalam sekolah melalui pendekatan-pendekatan yang manusiawi dan memahami serta
mencermati faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru sangat urgen sebagai
langkah antisipasi dalam mencari pemecahan terhadap peningkatan mutu
pendidikan secara umum. Sehingga dukungan yang dapat diberikan dalam manajemen
pendidikan yaitu sebagai acuan dan pedoman bagi pengambil kebijakan tehnis
untuk mengelola pendidikan secara profesional terutama dalam mengelola dan
meningkatkan kinerja guru.
Penataan manajemen pendidikandalam upaya meningkatkan
kinerja guru harus juga dilihat dalam aspek pengembangan profesionalisme guru
maka alternatif pengembangan profesionalisme guru menjadi program-program yang
mampu mempengaruhi kinerja guru.
Menurut Diknas (2005) berdasarkan hasil analisis
situsional di masing-masing daerah ada berbagai alternatif peningkatan
profesionalisme guru yang dapat dilakukan oleh :
a. Dinas Pendidikan setempat.
b. Dinas pendidikan bekerjasama atau melibatkan instansi lain
atau unsur terkait di masyarakat.
c. Masing-masing guru sebagai kegiatan individual dan
mandiri.
d.
Kerjasama antara Dinas Pendidikan dan guru (sekolah).
Dijelaskan pula,
beberapa alternatif program pengembangan Profesionalisme guru sebagai berikut :
1.
Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru.
Sesuai dengan peraturan dan memenuhi tuntutan
Undang-undang Guru dan Dosen yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru
minimal Sarjana (S-1) maka jika dilihat dari kondisi guru yang ada masih
terdapat guru yang belum dapat memenuhi tuntutan kualifikasi pendidikan sarjana
ini berarti guru yang belum mememuhi kualifikasi pendidikan sarjana harus
dilakukan program peningkatan kualifikasi pendidikan sehingga dapat memenuhi
persyaratan tersebut. Program peningkatan kualifikasi pendidikan ini dapat
berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas belajar. Tujuan dari program
ini tiada lain untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru sehingga memenuhi
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Langkah yang
dilakukan guna merealisasikan program peningkatan kualifikasi pendidikan guru
ini dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
- Dinas Pendidikan
setempat memberikan beasiswa agar guru bersekolah lagi.
- Guru yang bersangkutan
bersekolah lagi yang dibiayai oleh pemerintah dan guru itu sendiri.
- Guru yang bersangkutan
agar bersekolah lagi dengan menggunakan swadana atau dibiayai sendiri).
2. Program Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini
diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya atau bukan berasal dari program pendidikan keguruan.
Tidak bisa
dipungkiri yang terjadi sekarang ini masih banyak sekolah-sekolah yang
mengalami keterbatasan dan kekurangan guru pada bidang studi atau mata
pelajaran tertentu sehingga langkah yang diambil dengan memberikan tugas
guru-guru yang tidak sebidang atau yang masih memiliki hubungan dengan mata
pelajaran yang diajarkan untuk menutupi kekurang dan keterbatasan guru atau
guru yang bukan berasal dari kependidikan, maka keberadaan program penyetaraan
dan sertifikasi ini mereka dapat diberdayakan secara maksimal. Tujuan dari
program penyetaraan dan sertifikasi ini agar guru mengajar sesuai dengan
latar belakang pendidikannyaatau termasuk kedalam kelompok studi pendidikan
yang tercantum dalam ijazahnya.
Langkah yang
dilakukan dengan cara :
- Guru tersebut dialihkan
ke mata pelajaran lain yang merupakan satu rumpun, misalnya guru PPKn
dengan guru IPS.
- Guru tersebut dialihkan
ke mata pelajaran yang tidak serumpun misalnya guru IPS menjadi guru
muatan lokal dengan memberikan tambahan penataran khusus (program
penyetaraan/sertifikasi).
3. Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi
Guna
meningkatkan profesionalisme guru perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang
intens pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan
dengan kebutuhan guru yaitu pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi
guru. Selama ini terkesan pelatihan yang dilakukan hanya
menghabiskan anggaran, waktu dan sering tumpang tindih akibatnya
banyak penataran yang tidak memberikan hasil yang maksimal dan tidak membawa
perubahan pada peningkatan mutu pendidikan malah justru keberadaan pelatihan
tidak jarang mengganggu aktivitas kegiatan belajar mengajar karena guru sering
mengikuti kegiatan pelatihan yang terkadang satu orang guru bisa mengikuti
pelatihan beberapa kali pelatihan sebaliknya ada juga guru yang jarang bahkan
tidak pernah mengikuti pelatihan.
Untuk menjawab
persoalan tersebut dimunculkan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi yang
tentunya pelatihan yang menacu pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan
peserta didik.
Tujuan dari
pelatihan ini untuk membekali berbagai pengetahuan dan keterampilan yang
akumulatif mengarah pada penguasaan kompetensi secara utuh sesuai profil
kemampuan minimal sebagai guru mata pelajaran sehingga dapat melaksanakan
tugas-tugasnya dengan baik.
4. Program Supervisi Pendidikan
Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas tidak selamanya
memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada saja kekurangan dan
kelemahan yang dijumpai pada guru saat melaksanakan proses pembelajaran maka
untuk memperbaiki kondisi demikian peran supervisi pendidikan menjadi sangat
penting untuk dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan prestasi kerja guru yang
pada gilirannya meningkatkan prestasi sekolah. Pelaksanaan supervisi bukan
untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan suparevisi pada dasarnya adalah
proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki proses belajar
mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil belajar.
Kepala sekolah yang melaksanakan supervisi pada guru harus mampu
menempatkan diri sebagai pemberi bantuan bukan sebagai pencari kesalahan, hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda
antara guru dengan kepala sekolah, selain itu untuk memberikan rasa nyaman guru
dalam melaksanakan proses pembelajaran dan menerima segala perbaikan yang
diberikan kepala sekolah.Tujuan akhir dari kegiatan supervisi pendidikan adalah
untuk memperbaiki guru dalam hal proses belajar mengajar agar tercapai kualitas
proses belajar mengajar dan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
5. Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata
Pelajaran).
MGMP adalah forum atau wadah kegiatan profesional guru mata
pelajaran sejenis. Hakekat MGMP berfungsi sebagai wadah atau sarana komunikasi,
konsultasi dan tukar pengalaman. Dengan MGMP ini diharapkan akan dapat
meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran yang
bermutu sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Wadah komunikasi profesi ini
sangat diperlukan dalam memberikan kontribusi pada peningkatan keprofesionalan
para anggotanya tidak hanya peningkatan kemapuan guru dalam hal menyusun
perangkat pembelajaran tetapi juga peningkatan kemapuan, wawasan, pengatahun
serta pemahaman guru terhadap materi yang diajarkan dan pengembangannya.
Sehingga tujuan dari MGMP ini tidak lain memumbuhkan kegairahan guru untuk
meningkatkan kemapuan dan keterampilan dalam mempersiapkan, melaksanakan dan
mengevaluasi program kegiatan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan sikap
percaya diri sebagai guru; menyetarakan kemampuan dan kemahiran guru dalam
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sehingga dapat menunjang usaha
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; mendiskusikan permasalahan yang
dihadapi guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari penyelesaian
yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, guru, kondisi sekolah dan
lingkungan; Membantu guru memperoleh informasi tehnis edukatif yang berkaitan
dengan kegiatan keilmuan dan Iptek, kegiatan pelaksanaan kurikulum, metodologi,
dan sistem evaluasi sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; Saling
berbagi informasi dan pengalaman dalam rangka menyesuaikan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
6. Simposium Guru.
Peningkatan profesionalisme guru
banyak cara yang dilakukan seperti simposium guru. Kegiatan ini diharapkan para
guru dapat menyebar luaskan upaya-upaya kreatif dalam pemecahan masalah. Forum
ini selain sebagai media untuk sharing pengalaman juga berfungsi untuk
kompetisi antar guru dengan menampilkan guru-guru yang berprestasi dalam
berbagai bidang misalnya dalam penggunaan metode pembelajaran, hasil penelitian
tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah.
7.
Melakukan penelitian (khususnya Penelitian Tindakan
Kelas).
Peningkatan profesionalisme guru
dapat juga dilakukan melalui optimalisasi pelaksanaan Penelitian tindakan kelas
yang merupakan kegiatan sistimatik dalam rangka merefleksi dan
meningkatkan praktik pembelajaran secara terus menerus sebab berbagai kajian
yang bersifat reflektif oleh guru dilakukan untuk meningkatkan kemantapan
rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam
melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran
berlangsung.
Kegiatan penelitian tindakan kelas
ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas proses belajar mengajar dan
meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga
untuk meningkatkan hasil belajar siswa sebab melalui kegiatan ini guru dapat
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dilakukan dan keterbatas yang harus
diperbaiki.
BAB VI
P E N U T U P
Untuk memperoleh keberhasilan pendidikan, keberadaan profesi guru sangat
penting untuk diperhatikan dan ditingkatkan dalam hal ini kinerja guru sebab
kinerja guru merupakan kemampuan yang ditunjukan oleh seorang guru dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kinerja guru dapat diamati melalui unsur
perilaku yang ditampilkan guru sehubungan dengan pekerjaan dan prestasi yang
dicapai berdasarkan indikator kinerja guru.
Kinerja guru
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertama faktor
kepribadian dan dedikasi yang tinggi menentukan keberhasilan guru dalam
melaksanakan tugasnya yang tercermin dari sikap dan perbuatannya dalam
membina dan membimbing peserta didik; kedua faktor pengembangan
profesional guru sangat penting karena tugas dan perannya bukan hanya
memberikan informasi ilmu pengetahuan melainkan membentuk sikap dan jiwa yang
mampu bertahan dalam era hiperkompetisi; ketiga faktor kemampuan
mengajar guru merupakan pencerminan penguasaan guru atas kompetensinya; keempat
faktor hubungan dan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kerja memberikan
dukungan bagi kelancaran tugas guru di sekolah; kelima faktor hubungan
dengan masyarakat, peran guru dalam mendukung kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tujuan serta sasaran
yang ingin direalisasikan sekolah; keenam faktor kedisiplinan, Suatu
pekerjaan akan menuai hasil yang memuaskan semua pihak bila guru mampu mentaati
rambu-rambu yang ditentukan melalui penerapan sikap disiplin dalam menjalankan
tugasnya; ketujuh faktor tingkat kesejahteraan, memberikan insentif yang
pantas sebagai wujud memperbaiki tingkat kesejahteraan guru guna
mencegah guru melakukan kegiatan membolos karena mencari tambahan di luar
untuk memenuhi kebutuhan hidup; dan kedelapan faktor iklim kerja yang
kondusif memberikan harapan bagi guru untuk bekerja lebih
tenang sesuai dengan tujuan sekolah.
Guru merupakan
ujung tombak keberhasilan pendidikan sehingga perlu melakukan upaya pembenahan
baik secara internal maupun eksternal maka hal yang harus dipenuhi oleh guru
dengan memahami dan mengusai kompetensi dasar yang dipersyaratkan. Dalam
proses pembelajaran dalam koridor Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat didukung
oleh kemampuan guru dalam memperhatikan beberapa hal yang berkaiatan dengan
pendekatan pembelajaran ala KBK diantaranya perkembangan anak, kemandirian
anak, vitalisasi model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa eksploratif,
Kebebasan, menghidupkan pengalaman anak, keseimbangan perkembangan aspek
personal dan sosial dan kecerdasan emosional.
Peningkatan mutu
pendidikan tidak hanya melakukan perbaikan pada kualitas guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar tetapi juga perlu dan penting diikuti
dengan penataan manajemen pendidikan yang mengarah pada peningkatan kinerja
guru melalui optimalisai peran sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan pihak
dinas pendidikan setempat untuk memberikan rasa nyaman bagi guru dalam
melaksanakan tugasnya. Selain itu optimalisasi kegiatan penataran harus
betul-betul menyetuh kebutuhan guru agar bermanfaat bagi peningkatan kualitas
proses belajar mengajar dan kualitas hasil belajar siswa sehingga kedepan
kegiatan pelatihan dan semacamnya harus mampu diprogramkan supaya tidak tumpang
tindih dan tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar sebagai dampak guru
mengikuti kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih N, 2002. Kualitas dan
Profesionalisme Guru. Pikiran Rakyat 15 Oktober 2002. http://www.Pikiran Rakyat.com/102002/15
Opini
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki
Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.Suara Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd,
diakses 7 Juni 2001).
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru:
Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium
Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang.
Arikunto, S. 1993. Manajemen Pengajaran
Secara Manusiawi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1995. Psikologi Industri.
Yogyakarta: Liberty.
Badrun, A. 2005. Prospek Pendidikan dan
tenaga kerja (guru) di kabupaten Dompu. Orasi Ilmiah disampaikan pada saat
wisuda mahasiwa Diploma Dua program PGSD/MI-PGTK/RA STAI Al-Amin Dompu
Brent D. Ruben. 1988. Communication and Human Behavior. New York : Macmilland
Publishing Company.
Danim S., 2002. Inovasi Pendidikan. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Daryanto, 2001. Administrasi Pendidikan,
Jakarta: Rineka Cipta.
Dedi Supriyadi, 1999. Mengangkat Citra
dan Martabat Guru.. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Denny Suwarja, 2003. KBK, tantangan
profesionalitas guru. 19 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan
Network
Depdiknas, 2005. Pembinaan
Profesionalisme Tenaga pengajar (Pengembangan Profesionalisme Guru).
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas.
Departemen Agama RI, 2003.
Profesionalisme Pengawas Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal
kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Djamarah, S.B. 1994. Prestasi belajar
dan Kompetensi Guru. Surabaya. Usaha Nasional.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar atau
Mendidik ?. Yogyakarta: Kanisius.
Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Forsdale, 1981. Perspectives on Communication. New York : Random House.
Freud,S., 1950. The ego and the id. London : The Hogarth Press.
Furkan, Nuril, 2006. Perubahan
Paradigma Guru dalam Konteks KBK. Orasi Ilmiah pada
Wisuda Diploma Dua Program PGSD/MI-PGTK/RA dan Dies Natalis STAI Al-Amin Dompu.
Good, V. Carter, 1959. Dictionary of Education, New York : McGraw-Hill Book Company.
Gunawan, 1996. Administrasi Sekolah. Jakarta:
Rineka Cipta.
Hasan, Ani M, 2001. Pengembangan
Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan, 13 Juli 2003. Artikel. Homepage
Pendidikan Network.
Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.: Theory,
Research and Practice. New York : Random
Hause.
Idris, J, 2005. Kompilasi Pemeikiran Pendidikan,.
Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh dan Suluh Press Yogyakarta: Banda Aceh dan Yogyakarta .
Imron, 1995. Pembinaan Guru di Indonesia,
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales . Professionalisme
in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online), http://www.members.aol.com/PTRFWEB/journal1040.,
diakses 7 Juni 2001).
Junaidin, Akh, 2006. Kepuasan Kerja Guru, Al-Fikrah
Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman, Ed. I thn. I hal. 45-66.
Kohler, Jerry. W., Anatol, karl W. E dan Applbaum, Ronald L.
1981. Organizational Communication: Behavioral Perspective. New York : Holt Rinehart
and Winstons.
Maister, 1997. True Professionalism. New York : The Free Press.
Mendiknas, 2005. Paradigma Pendidikan
Indonesia, (Koran Berita). Mataram.
Muhammad, A. 2001. Komunikasi Organisasi.
Ed. 1, Cet.4 Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002. Manajemen
Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
_______, 2003. Manajemen Berbasis
Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nainggolan H, 1990. Pembinaan Pegawai
Negeri Sipil, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan
Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara
Pembaharuan. (Online), http://www.suarapembaruan.com/News/081998/08Opini
Nur Syam, 2005. Pendidikan di era
Globalisasi “Tantangan dan Strategi”. Orasi Ilmiah dalam wisuda Perdana
STAI Al-Amin Dompu.
Owens, 1991. Organisational Behavior
in education. Bonston: Allyn and Bacon.
Oemar Hamalik, 2002. Psikologi Belajar
Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algensindo.
Pantiwati, 2001. Upaya Peningkatan
Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru
MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang.
Hlm.1-12.
Pidarta, 1997. Landasan Kependidikan
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rineka
Cipta.
_______, 1999. Pemikiran tentang
Supervisi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Raka Joni, T, 1992. Pokok-pokok Pikiran
Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta : Ditjen Dikti
Depdiknas.
Robbins, S.P. 1996. Organization Behavior:
Concep-Contraversies Application. New Jersey :
Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Rusmini, 2003. Kompetensi Guru Menyongsong Kurikulum Berbasis
Kompetensi, http://www.Indomedia.com/bpost/042003/22
Opini.
Semiawan, 1991. Mencari Strategi
Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta : Grasindo.
Sergiovanni, T.J., 1991. The Principalship of reflektive
Practice prespectif, Boston
: Allyn and Bacon.
Soetjipto, Raflis Kosasi. 1999. Profesi
Keguruan. Jakarta : Rineka Cipta.
Stiles, K.E. dan Horsley, S. 1998. Professional Development
Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the
Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional
Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet
the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sulistyorini, 2001. Hubungan antara Keterampilan Manajerial
Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Guru. Ilmu Pendidikan:
28 (1) 62-70.
Supriadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta : Adi Cita Karya Nusa.
Suparlan, 2004. Beberapa Pendapat
tentang Guru Efektif dan Sekolah Efektif. Fasilitator : Edisi I Thn
2004(23-28).
Suryabrata, 2001. Psikologi Kepribadian.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutadipura, 1994. Kompetensi Guru dan
Kesehatan Mental. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sutaryadi, 1990. Administrasi pendidikan.
Surabaya: Usaha nasional.
________, 2001. Administrasi Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Slemato. 1995. Belajar dan Faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
S. Karim A. Karhami, 2005. Mengubah
Wawasan dan Peran Guru dalam era kesejahteraan . Akses Internet.
Tempe, A. Dale., 1992. Kinerja.
Jakarta : PT. Gramedia Asri Media.
The Liang Gie, 1972. Kamus Administrasi.
Jakarta: Gunung Agung.
Uzer usman, Moh. 2002. Menjadi Guru yang
Profesional. Edisi kedua. Bandung :
Remadja Rosdakarya.
W.F. Connell, 1974. The Foundation of Education.
Wijaya, C. Dan Rusyan A.T, 1994. Kemampuan
Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zahera Sy, 1997. Hubungan konsep diri
dan kepuasan kerja dengan sikap guru dalam proses belajar mengajar, Ilmu
Pendidikan, jilid 4 Nomor 3 hal. 183-194.
________, 1998. Pembinaan yang dilakukan
Kepala Sekolah dan etos kerja guru-guru Sekolah Dasar., Ilmu Pendidikan,
jilid 5 Nomor 2 hal. 116-128.