PEMBUDAYAAN NILAI PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DAN IDEOLOGI NASIONAL
Pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai ideologi nasional secara filosofis-ideologis dan konstitusional adalah imperatif. Karenanya, semua komponen bangsa, lebih-lebih kelembagaan dan kepemimpinan negara berkewajiban melaksanakan amanat dimaksud.
Demi tegaknya sistem kenegaraan Pancasila, negara (i.c. Pemerintah) berkewajiban mendidikkan dan membudayakan nilai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional) bagi generasi penerus demi integritas NKRI.
Pemikiran-pemikiran untuk pelaksanaan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila seyogyanya dikembangkan secara melembaga, konsepsional dan fungsional oleh negara dengan mendayagunakan semua kelembagaan dan komponen bangsa.
I. SEJARAH PERKEMBANGAN NILAI FILSAFAT
Kaum terpelajar mengakui bahwa filsafat adalah sumber dan puncak ilmu pengetahuan dalam peradaban umat manusia. Kepustakaan menyatakan “. . . philosophy is the queen of knowledge, and as the mothers as well.” Artinya, filsafat adalah ratu (pemuncak) pengetahuan sekaligus ibu (induk) ipteks.
Sebagian intelektual mengakui ajaran filsafat bersumber dan berawal dari Eropa, khususnya Yunani (650 sM). Ternyata kepustakaan yang memadai menyatakan bahwa ajaran filsafat telah berkembang di wilayah Timur Tengah sekitar 5000 – 1000 sM (Avey 1961: 3 – 7). Juga menurut Radhakrishnan, filsafat telah berkembang di Timur Tengah termasuk ajaran agama Yahudi sekitar 6000 – 600 sM; juga di India 3000 – 500 sM; dan Cina 2500 – 500 sM (1953: 11).
Filsafat Barat (Yunani) ternyata bukanlah sumber dan awal pemikiran filsafat, meskipun Barat (modern) diakui sebagai pelopor pengembangan ipteks. Sesungguhnya, ajaran dan nilai filsafat yang berkembang di Timur Tengah sinergis dengan ajaran dan nilai agama; terutama agama: Yahudi, Kristen dan Islam sebagai fundamen pengembangan budaya dan peradaban modern.
Semua agama-agama wahyu berkembang di wilayah Timur Tengah melalui para Nabi dan Rasul sebagai utusan Maha Pencipta. Maknanya, umat manusia berbudaya dan beradab berkat bimbingan nilai-nilai Ketuhanan dan keberagamaan. Karena itulah, identitas dan integritas ajaran sistem filsafat Timur Tengah memancarkan martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas theisme – religius ini dapat kita saksikan bagaimana supremasi ajaran Ketuhanan dan keagamaan yang sinergis dengan ajaran sistem filsafat tertentu, telah memberikan watak dan integritas peradaban umat manusia di seluruh dunia menjadi lebih beradab dan bermartabat. Jangkauan dan supremasi nilai religius dimaksud, dilukiskan dalam garis-lingkaran dalam skema 1 berikut.
skema 1
Semua perkembangan budaya dan peradaban modern termasuk pemikiran ipteks juga bukan berawal dari Barat; sebab peradaban Timur Tengah telah berkembang melalui berbagai bidang keilmuan, sampai pendidikan tinggi (universitas) dirintis 750 – 1300 M. Budaya ipteks mulai berkembang di Barat sekitar abad XVI ditandai dengan Renaissance dan Aufklarung. Namun, abad XXI keunggulan kepeloporan Barat memukau dunia ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat modern, mengenal Barat sebagai perintis dan pengembang ipteks, yang mulai berkembang abad XVIII – sekarang.
A. Makna dan Fungsi Filsafat
Sesungguhnya nilai filsafat amat fungsional dalam mendorong pengembangan ipteks, sebagai sumber motivasi pengembaraan dan pengabdian manusia. Fenomena ini dilukiskan dalam skema 1; bagaimana peranan nilai filsafat (Timur Tengah) menjadi sumber energi manusia dalam pengembangan dan pengabdian (nilai) ipteks. Sedemikian besar pengaruh nilai filsafat Timur Tengah sehingga hampir semua umat manusia pada semua benua di dunia menganut nilai filosofis theisme religious yang memberikan motivasi kebajikan, cinta-kasih dan pengabdian.
1. Konsepsi Filsafat
Sejarah budaya dan ilmu pengetahuan mengakui bahw abidang filsafat dianggap sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan, dan merupakan bidang pemikiran tertua dalam peradaban (Avey 1961: 3 – 4). Filsafat mencari dan menjangkau kebenaran fundamental dan hakiki untuk dijadikan filsafat hidup sebagai kebenaran terbaik.
Nilai filsafat yang bersumber dari Timur Tengah terpadu dengan nilai ajaran agama, karena nilai intrinsik agama yang metafisis-supranatural sinergis dengan nilai filsafat yang cenderung fundamental, komprehensif (kesemestaan), metafisis, universal dan hakiki. Demikian pula nilai agama (Ketuhanan, keagamaan) berwatak fundamental-universal, suprarasional dan supranatural. Identitas filosofis theisme religious Timur Tengah dapat diakui sebagai sumur madu peradaban ---dibandingkan filsafat Barat sebagai sumur susu peradaban---. Karenanya, manusia sehat, sebaiknya minum susu dengan madu; demikian pula bangsa yang jaya seyogyanya menegakkan nilai theisme religious sinergis dengan filsafat dan ipteks.
Garis lingkaran dalam skema melukiskan jangkauan nilai Ketuhanan-keagamaan (theisme religious) meliputi (mempengaruhi) seluruh benua dan seluruh manusia ---agama Yahudi, Kristen dan Islam---. Diakui, bahwa bangsa-bangsa, umat manusia berbudaya dan beradab, berkat nilai-nilai moral filsafat theisme religious; secara intrinsik tersurat dalam filsafat Islam (Al Ahwani 1995) integritas manusia alam semesta dan Ketuhanan sebagai terpancar dari nilai ajaran agama-agama besar yang supranatural di dunia.
Filsafat Pancasila adalah bagian dari sistem filsafat Timur; karenanya ajarannya memancarkan identitas dan martabat theisme-religious sebagai nilai keunggulannya. Artinya, keunggulan sistem filsafat Pancasila terpancar dari asas theisme religious yang menjadi tumpuan keyakinan (kerokhanian) dan moral kepribadian manusia. Tegasnya, keunggulan (kepribadian) manusia, bukanlah penguasaan keunggulan ipteks; melainkan keunggulan moralitas manusia!
2. Fungsi Filsafat
Sebagai nilai kebenaran fundamental dan hakiki, ajaran filsafat oleh penganutnya dijadikan pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung). Ajaran ini bagi bangsa merdeka dan berdaulat umumnya dijadikan sebagai dasar negara (filsafat negara, ideologi negara, ideologi nasional).
Ajaran filsafat demikian ditegakkan sebagai sistem kenegaraan; yang menjiwai, melandasi dan memandu kehidupan berbangsa, bernegara dan berbudaya.
Pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional suatu bangsa, terutama kepada nilai dasar negara dan ideologi negara; yang terjabar secara konstitusional di dalam UUD negara.
Dinamika dunia modern berpacu antar sistem filsafat (baca: sistem kenegaraan) untuk merebut supremasi ideologi sebagai pembuktian kebenaran dan keunggulan sistem filsafatnya.
B. Ajaran dan Sistematika Filsafat
Sepanjang sejarah dari Barat dan Timur telah berkembang berbagai aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran dan sistem budaya sampai sistem kenegaraan, melalui sistem ideologi dan sistem hukum yang ditegakkan bangsa negara modern.
Aliran-aliran filsafat makin berkembang sebagai sistem filsafat yang masing-masing menganggap ajarannya yang terbaik. Karenanya, secara filosofis terjadi kompetisi untuk membuktikan validitas dan keunggulan ajarannya. Dalam dinamika dunia dan budaya modern, sampai era postmodernisme kompetisi demikian makin meningkat sebagai perebutan supremasi (keunggulan) demi citra dan cita masing-masing penganutnya.
Dunia modern mengenal sistem filsafat dimaksud sebagai ajaran dan sistem ideologi: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme, sekularisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme, fundamentalisme..... dan filsafat Pancasila. Berbagai negara modern tegak dan berkembang berdasarkan ajaran berbagai sistem filsafat dan atau sistem ideologi dimaksud.
1. Sistem Filsafat
Aliran, tepatnya sistem filsafat menjelma dalam tatanan (sistem) budaya dan sistem kenegaraan yang dominan terlukis dalam skema 2.
+ = Relativisme ++ = Pragmatisme | |
skema 2
2. Sistematika Filsafat
Cukup banyak aliran filsafat perintis yang tidak berkembang secara memadai; artinya ajarannya belum merupakan integritas nilai sebagaimana ajaran filsafat yang mapan. Beberapa filsafat Yunani, dapat dianggap elementer dan fragmentaris.
Hampir semua sistem filsafat besar mengembangkan ajaran atau nilai yang cukup fundamental, meliputi nilai dalam sistematika filsafat (skema 3).
PHILOSOPHY | | AXIOLOGY Makna dan sumber nilai, wujud, jenis, tingkat, sifat nilai; hakikat nilai: manusia, materia, etika, estetika, politika, budaya, agama, posthumous dan Tuhan . . . (Allah Maha Pencipta) EPISTEMOLOGY Makna dan sumber pengetahuan, proses, syarat terbentuknya pengetahuan, validitas, batas dan hakikat pengetahuan; meliputi: semantika, gramatika, logika, rhetorika, matematika, meta-teori, philosophy of science, Wissenschaftslehre . . . ONTOLOGY Makna dan sumber ada; proses, jenis, sifat dan tingkat ada: ada umum, terbatas, manusia, kosmologia; Ada tidak terbatas, ADA mutlak . . . metafisika, posthumous |
skema 3
(Baca: mulai dari bawah, sesuai dengan kedudukan nilai intrinsik dan hakikat dari makna dalam terminologi dan sistem filsafat)
II. NILAI AJARAN SISTEM FILSAFAT DAN AJARAN HAM
Di dunia sejak awal pemikiran budaya dan peradaban maka manusia senantiasa memikirkan alam semesta; dan bagaimana kedudukan dirinya di dalam alam semesta. Bagaimana kehadiran (penciptaan) manusia dan alam; dan untuk apa serta kemana manusia setelah kehidupan di alam dunia. Mulailah pemikiran filsafat menjangkau hakikat alam semesta, manusia dan bagaimana hubungannya antar sesama dan dengan alam; bahkan juga tentang penciptaan semesta.
Semua pemikiran filsafat yang mendasar dan universal dirumuskan sebagai kebenaran (filsafat menganggap kebenarannya bersifat fundamental dan hakiki). Karenanya, ajaran dan nilai filsafat dijadikan sebagai pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung).
A. Ajaran Filsafat tentang HAM
Keberadaan manusia sebagai makhluk unggul, senantiasa memikirkan penciptaan dan tujuan hidupnya: siapa Maha Pencipta, mengapa dan untuk apa diciptakan; bagaimana hak dan kewajiban hidupnya.
Ajaran filsafat terutama mencari hakikat kebenaran tentang segala sesuatu, khususnya tentang alam semesta, manusia dan Maha Pencipta. Ajaran ini diakui sebagai kebenaran hakiki; karenanya dijadikan filsafat hidup (Weltanschauung).
Sepanjang sejarah budaya dan peradaban di berbagai wilayah dunia berkembang berbagai ajaran filsafat. Antar ajaran itu cukup banyak perbedaan; bahkan pertentangan. Masing-masing ajaran filsafat oleh penganutnya diyakini sebagai ajaran terbaik ---karenanya menjadi filsafat hidup---.; bahkan dijadikan filsafat negara dan atau ideologi negara (ideologi nasional).
Masing-masing bangsa berkembang dan menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan ajaran filsafat sebagai filsafat hidupnya. Berkembanglah berbagai aliran filsafat, yang dapat dinamakan sebagai sistem filsafat. Demikianlah khasanah peradaban mengenal sistem filsafat sebagai nampak dalam skema 2
Berbagai pemikiran dan ajaran filsafat berkembang untuk merumuskan apa dan bagaimana sesungguhnya kedudukan, hak dan kewajiban manusia di dunia. Lahirlah ajaran sistem filsafat yang dapat diakui sebagai sumber teori hak asasi manusia (HAM) dan teori negara.
B. Ajaran Filsafat Hukum Alam
Ajaran filsafat hukum alam, lebih terkenal sebagai: Natural Law Theory (Teori Hukum Alam). Filsafat ini mengajarkan bahwa HAM adalah anugerah alam, untuk manusia sebagai individu. HAM terutama berwujud: life, liberty, and property (= hidup, kemerdekaan dan hak milik).
Teori ini melahirkan ajaran yang bersifat memuja individualisme dan kebebasan (liberalisme); sekaligus memuja hak milik dalam makna: materi, kekayaan, dan kapital; karenanya berwatak kapitalisme. Teori ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh pemikir dan pelopornya menjadi teori kenegaraan sebagai dianut dan dikembangkan oleh negara-negara Barat, yang terkenal sebagai paham atau ajaran ideologi kapitalisme-liberalisme.
Ajaran ini melahirkan pemujaan atas kedudukan manusia sebagai individu ---karenanya: individualisme--- yang berkembang dalam asas demokrasi (= demokrasi liberal) dan kemudian menjadi karakter budaya negara Barat umumnya.
Ideologi ini bersumber dari ajaran filsafat hukum alam, atau dikenal dengan nama Natural Law Theory. Ajaran kapitalisme-liberalisme dikembangkan oleh tokoh pemikirnya, Adam Smith (1723 – 1790). Dia adalah tokoh amat berpengaruh dalam politik ekonomi Barat, yang semula lebih terkenal sebagai ahli filsafat moral, sebagai terbukti dari karyanya: The Theory of Moral Sintements (1759) yang sinergis dengan psikologi moral.
Kemudian Adam Smith lebih terkenal dengan karyanya: The Wealth of Nations (1776) yang mengajarkan bahwa setiap bangsa memiliki dan mewarisi kekayaan nasional, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun nilai-nilai budaya.
Kekayaan nasional berkembang atau menyusut; sebagai proses alamiah yang ditentukan oleh potensi dan kebutuhan warga bangsanya. Bila bangsa itu berkembang dan mampu mengembangkan sumber daya alam dengan menguasai komuditas ekonomi, bangsa itu akan berjaya. Karyanya ini menjadi “landasan dan kitab suci” kaum penganut kapitalisme-liberalisme. Pemikiran Smith sangat berpengaruh dalam budaya dan peradaban sosial politik dunia Barat.
Ajaran kapitalisme-liberalisme menjadi budaya dan peradaban Barat; bahkan sebagai sistem nilai dan budaya politik Eropa dan Amerika modern. Artinya, kapitalisme-liberalisme menjadi identitas ideologi negara-negara Barat. Dapat juga diartikan bahwa paham individualisme dan liberalisme sebagai ajaran HAM berdasarkan teori hukum alam dikembangkan dengan kapitalisme-liberalisme dalam politik dan ekonomi. Makin berkembang dengan asas moral sekularisme, pragmatisme dan behaviorisme; karenanya budaya politik mereka bersifat individualisme-kapitalisme (= materialisme) dengan memuja kebebasan (= liberalisme) melalui tatanan demokrasi.
Identitas atau watak individualisme-materialisme berdasarkan liberalisme melahirkan budaya free fights liberalism, yang berpuncak dengan penguasaan kekayaan alam (dan manusia)......... yang dikenal sebagai kolonialisme-imperialisme. Sampai memasuki abad XXI budaya demikian terus memuncak dengan gerakan globalisasi-liberalisasi dalam dinamika postmodernisme......yang sesungguhnya adalah neo dan ultraimperialisme. Amerika Serikat dan Unie Eropa adalah sekutu untuk merebut supremasi politik dan ekonomi dunia masa depan.
Renungkan dan hayati apa yang kita saksikan dalam sejarah modern abad XVI sampai abad XX; berlanjut dan berpuncak dalam abad XXI. Kita menyaksikan bagaimana organisasi dunia (UNO/PBB) juga sudah dibawah supremasi USA, sekalipun mereka menginvasi dan menduduki (menjajah) Afghanistan dan Irak.
C. HAM Berdasarkan Ajaran Filsafat Idealisme Murni (Hegel)
George Friderich Hegel (1770 – 1831) adalah tokoh besar filsafat modern; ajarannya, terkenal sebagai idealisme murni.
Hegel mengajarkan bahwa alam semesta dan peradaban berkembang dalam asas dan pola dasar dialektika: thesis; melahirkan antithesis; dan berkembang sebagai sinthesis..... berpuncak dalam kesempurnaan semesta, dalam makna sebagai ciptaan Yang Maha Sempurna (Tuhan). Karenanya, filsafat Hegel dianggap bersifat theokratis (theokratisme).
Secara ringkas ajaran Hegel diuraikan sbb:
1. Hak Asasi Manusia: Kedudukan Manusia dalam Negara
Hegel percaya bahwa manusia individu manunggal di dalam kebersamaan (kolektivitas). Individu bermakna dan berfungsi dalam keutuhan lingkungan peradabannya; kolektivitas atau negara merupakan organisme (totalitas). Hak asasi manusia (HAM), dan martabatnya demi negara, dan kedaulatan negara. Jadi, Hegel mengutamakan komunitas atau sosialitas dalam integritas negara.
Hegel percaya manusia dan negara diciptakan oleh Tuhan; demi kesejahteraan manusia sebagai masyarakat (kolektif). Manusia menikmati hak asasi manusia (HAM) bukan sebagai individu, melainkan sebagai masyarakat (kolektif, negara). Individu lebur dalam kebersamaan; bermakna dalam fungsi sosial. Sebaliknya, individu samasekali tidak berfungsi dalam kesendirian (individualisme).
Ajaran Hegel, yakni idealisme murni mengakui asas Ketuhanan (theokratisme) sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur semua ciptaannya: umat manusia, bangsa-bangsa, budaya dan peradaban, termasuk negara.
Masyarakat dan negara adalah kelembagaan hidup bersama sebagai keluarga (makro); mereka bermakna di dalam dan untuk masyarakat/negara. Manusia hidup, berkembang dan berfungsi berkat dan untuk komunitas. Komunitas sosial dan nasional ialah negara.
2. Ajaran Theokratisme
Ajaran theokratisme berpusat pada teori negara dan kedaulatan negara. Hegel mengakui negara sebagai pelembagaan aspirasi nasional yang terikat dengan hukum dialektika. Hegel menyatakan: negara adalah perwujudan karsa dan kekuasaan (kedaulatan) Tuhan. Karenanya, teori Hegel tentang negara ialah berdasarkan asas theokratisme. Maknanya, negara dan kedaulatan dalam negara diamanatkan oleh Tuhan untuk ditegakkan oleh kepala negara atas nama Tuhan. Karena itu pula, teori negara menurut Hegel ialah teori kedaulatan Tuhan (theokratisme).
Negara memiliki kedaulatan sebagai amanat Tuhan; karenanya diakui sebagai kedaulatan Tuhan (theokratisme). Sebagai penegak kedaulatan Tuhan di dalam negara, diwakilkan dan dipercayakan kepada kepala negara ---karenanya kepala negara memiliki otoritas mutlak atas nama Tuhan---. Asas kedaulatan negara atas nama Tuhan, menjadi paham pemujaan terhadap negara (Etatisme, serba negara); diktatorial, totalitarianisme, authoritarianisme.
Berdasarkan ajaran dan teori Hegel ini, manusia mengemban amanat (moral) Ketuhanan, sehingga masyarakat dan negara termasuk penegakan HAM berdasarkan asas moral dan nilai Ketuhanan.
(Encyclopaedia Britannica 1982, vol. 7 – 8: 612 – 731).
Karl Marx (1818 – 1883) adalah murid Hegel yang kemudian menjiplak teori Hegel (yang mengutamakan kolektivitas dan negara; kedaulatan negara) menjadi teori komunisme. Ajaran Karl Marx mendegradasi dialektika Hegel sebagai ajaran dialektika – historis – materialisme; yang kemudian dikembangkan melalui revolusi rakyat ---kaum buruh--- untuk mendirikan negara komunis. Ajarannya, terkenal sebagai marxisme-komunisme-atheisme.
D. Ajaran HAM Berdasarkan Filsafat Pancasila
Sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.
Berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat demikian, maka filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious:
1. bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3. kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b. manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
c. manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160).
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45.
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya --- karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia---.
III. POKOK-POKOK AJARAN FILSAFAT PANCASILA
Memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan ajaran filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila sebagai sistem filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan keunggulan dibandingkan berbagai sistem filsafat lainnya, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme sampai atheisme dalam berbagai aliran seperti: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme ..... dan Pancasila.
Integritas fundamental ajaran filsafat Pancasila secara ringkas terlukis dalam skema 4 dengan klarifikasi ringkas berikut:
skema 4
Klarifikasi pokok-pokok ajaran filsafat Pancasila
1. T = Abstraksi makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman abadi Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan hukum:
a. hukum alam; yang bersifat obyektif, fisis, kausalitas, mutlak, abadi, dan universal; dan
b. hukum moral yang bersifat obyektif‑subyektif, psiko‑fisis, sosial‑subyektif, mutlak, teleologis, abadi dan universal ---tercermin dalam budinurani dan kesadaran keagamaan‑‑-.
2. AS = simbolik alam semesta, makro‑kosmos yang meliputi realitas eksistensial‑fenomenal dan tidak terbatas dalam keberadaan ruang dan waktu sebagai prakondisi dan prawahana kehidupan semua makhluk (flora, fauna, manusia dsb). Alam semesta menjamin kehidupan semua makhluk, melalui tersedianya: cahaya sebagai energi; udara, air, tanah, tambang, flora dan fauna. Semuanya menjamin kehidupan dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban.
3. SM = Subyek Manusia sebagai umat manusia keseluruhan di bumi. Subyek manusia dengan potensi dan martabat kepribadiannya mengemban amanat Ketuhanan (keberagamaan), kebudayaan dan peradaban berwujud kesadaran hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM). Penghayatan dan pengamalan manusia atas HAM secara normatif berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM demi keharmonisan dan kesejahteraan jasmaniah-rokhaniah, dunia dan akhirat.
4. SB = Sistem Budaya, sebagai prestasi cipta‑karya manusia, wahana komunikasi, perwujudan potensi martabat kepribadian manusia, berpuncak sebagai peradaban dan moral!
Sistem budaya warisan sosio‑budaya: lokal, nasional dan universal, sebagai pancaran potensi keunggulan martabat manusia.
5. SK = Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan dan prestasi perjuangan dan cita nasional; kemerdekaan dan kedaulatan bangsa; pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional warga negara.
Sistem kenegaraan sebagai pusat dan puncak kelembagaan dan kepemimpinan nasional, pusat kesetiaan dan pengabdian warga negara. SK sebagai pengelola kesejahteraan rakyat warga negara; penegak kedaulatan dan keadilan; dan pusat kelembagaan dan kepemimpinan nasional dalam fungsi pengayoman rakyat warga negara dan penduduk. SK berkembang dalam kejayaan berkat integritas manusia waga negara dengan menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, keadilan demi kesejahteraan dan perdamaian antar bangsa dalam semangat kerjasama umat manusia.
6. P = Pribadi, subyek manusia mandiri yang berkembang (pribadi, berkeluarga, berkarya, berkebajikan) dalam asas dan wawasan horizontal dan vertikal (sebagai fungsi kerokhanian dan moral martabat manusia). P berkembang dan mengabdi dalam antar hubungan diagonal: (antar AS – SM – SB – SK) dan vertikal sebagai subyek mandiri dalam kategori integritas subyek budaya dan subyek moral……yang terus meningkat secara spiritual (teleologis), dengan memancarkan cinta dan kebajikan dalam proses menuju Tuhan dan keabadian.
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila, berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29.
Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan kodrat martabat kepribadian manusia.
Uraian ringkas pokok-pokok ajaran sistem filsafat Pancasila di atas, diakui sebagai suatu alternatif pemikiran, yang dapat dikembangkan oleh para pakar demi pengayaan khanasah kepustakaan sistem filsafat Pancasila.
IV. SISTEM FILSAFAT SEBAGAI SISTEM IDEOLOGI DAN SISTEM KENEGARAAN
Setiap bangsa dan negara menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan sistem filsafat dan atau ideologi nasionalnya; nilai fundamental ini menjiwai, melandasi dan memandu tatanan dan fungsi kebangsaan, kenegaraan dan kebudayaan, yang secara umum diakui sebagai Weltanschauung dan ideologi nasional.
Sistem filsafat terutama mengajarkan bagaimana kedudukan, potensi dan martabat kepribadian manusia di dalam alam; khususnya dalam masyarakat dan negara. Karenanya, ajaran ini melahirkan teori hak asasi manusia (HAM) dan teori kekuasaan (kedulatan) dalam negara; termasuk sistem ketatanegaraan dan sistem negara hukum.
Khasanah ilmu hukum melukiskan beberapa teori negara sebagai teori kedaulatan, terutama:
1. Teori kedaulatan Tuhan (theokratisme).
2. Teori kedaulatan raja atau sistem monarkhi.
3. Teori kedaulatan rakyat (lebih dikenal sebagai: demokrasi).
4. Teori kedaulatan negara, sebagaimana dianut oleh sistem ideologi komunisme (marxisme-komunisme-atheisme); karenanya teori ini dinamakan sebagai paham etatisme (pemujaan kepada negara).
5. Teori kedaulatan hukum, (Reine Rechtslehre) sebagai diajarkan oleh teori hukum murni, dipelopori antara lain oleh Hans Kelsen (1881 - .....)
(Mohammad Noor Syam 2007: 123 – 128)
Jadi, sistem kedaulatan rakyat maupun sistem negara hukum adalah ajaran filsafat yang bertujuan menjamin HAM dalam budaya dan peradaban, istimewa dalam sistem kenegaraan (sebagaimana NKRI kita).
A. Ajaran Sistem Filsafat tentang Kedudukan dan Martabat Manusia
Nilai demokrasi sebagai suatu teori kedaulatan, atau sistem politik (kenegaraan) diakui sebagai teori yang unggul, karena mengakui kedudukan, hak asasi, peran (fungsi), bahkan juga martabat (pribadi, individu) manusia di dalam masyarakat, negara dan hukum.
Secara universal diakui kedudukan dan martabat manusia sebagai dinyatakan, antara lain: “. . . these values be democratically shared in a world-wide order, resting on respect for human dignity as a supervalue . . .” (Bodenheimer 1962: 143). Sebagaimana juga Kant menyatakan: “. . .that humanity should always be respected as an end itself (Mc Coubrey & White 1996: 84)
Pemikiran mendasar tentang jatidiri bangsa, peranannya dalam memberikan identitas sistem kenegaraan dan sistem hukum, dikemukakan juga oleh Carl von Savigny (1779 - 1861) dengan teorinya yang amat terkenal sebagai Volkgeist --yang dapat disamakan sebagai jiwa bangsa dan atau jatidiri nasional--. Demikian pula di Perancis dengan "teori 'raison d' etat' (reason of state) yang menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara (the rise of souvereign, independent, and nationa state)". (Bodenheimer 1962: 71-72)
Demikianlah budaya dan peradaban modern mengakui dan menjamin kedudukan manusia dalam konsepsi HAM sehingga ditegakkan sebagai negara demokrasi, sebagaimana tersirat dalam pernyataan: “. . . fundamental rights and freedom as highest value as legal.” (Bodenheimer 1962: 149) sebagaimana juga diakui oleh Murphy & Coleman: “. . . respect to central human values . . .” (1996: 22; 37).
Berdasarkan berbagai pandangan filosofis di atas, wajarlah kita bangga dengan filsafat Pancasila yang mengakui asas keseimbangan HAM dan KAM, sekaligus mengakui kepribadian manusia sebagai subyek budaya, subyek hukum dan subyek moral.
Secara normatif filosofis ideologis, negara RI berdasarkan Pancasila – UUD 45 mengakui kedudukan dan martabat manusia sebagai asas HAM berdasarkan Pancasila yang menegakkan asas keseimbangan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM) dalam integritas nasional dan universal (termasuk Universal Declaration of Human Rights, UNO maupun USA).
Sebagai integritas nasional bersumber dari sila III, ditegakkan dalam asas Persatuan Indonesia (= wawasan nasional) dan dijabarkan secara konstitusional sebagai negara kesatuan (NKRI dan wawasan nusantara). Bandingkan dengan fundamental values dalam negara USA sebagai terumus dalam CCE 1994: 24-25; 53-55, terutama: "Declaration of Independence, Human Rights, E Pluribus Unum, the American political system, market economy and federalism."
NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45 memiliki integritas-kualitas keunggulan normatif filosofis-ideologis dan konstitusional: asas theisme-religious dan UUD Proklamasi menjamin integritas budaya dan moral politik yang bermartabat.
B. Ajaran Sistem Filsafat Pancasila dan Sistem Kenegaraan RI
Sesungguhnya secara filosofis-ideologis-konstitusional bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan dalam tatanan negara Proklamasi, sebagai NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45. Asas dan identitas fundamental, bersifat imperatif; karenanya fungsional sebagai asas kerokhanian-normatif-filosofis-ideologis dalam UUD 45.
Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, terjabar secara konstitusional:
1. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV).
2. Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.
3. Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.
4. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral manusia warga negara dan politik kenegaraan RI.
5. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungai seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia. Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V); ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila (M Noor Syam, 2007: 108 - 127).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).
NKRI adalah negara bangsa (nation state) sebagai pengamalan sila III yakni nilai wawasan nasional yang ditegakkan dalam Negara Kesatuan dan Wawasan Nusantara.
Sistem kenegaraan Pancasila ditegakkan juga dalam N-Sistem Nasional, sebagai jabaran dan dimaksud dalam skema 6 (ada 8 sistem nasional).
Perwujudan dan Sistem NKRI (Berdasarkan) Pancasila - UUD 45*
(MNS, 1985: 2005)
skema 5
*) = NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila
Asas normatif fundamental ini bersumber dari sistem filsafat Pancasila yang memancarkan identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. (Bandingkan dengan berbagai sistem filsafat yang melandasi sistem kenegaraan dari: negara komunisme, liberalisme-kapitalisme; sosialisme, zionisme maupun fascisme). Jadi, bangsa dan NKRI secara normatif memiliki integritas dan kualitas keunggulan sistem kenegaraan; karenanya kita optimis dapat menjadi bangsa dan negara jaya (MNS, 2007: 45)
NKRI menegakkan sistem nilai filsafat dan atau ideologi Pancasila sebagai asas kerokhanian negara yang bersumber dari identitas (jatidiri) nasional. Asas normatif filosofis, kultural dan konstitusional demikian, dapat dihayati dengan menghayati pokok-pokok ajaran filsafat Pancasila dan asas-asas HAM berdasarkan filsafat Pancasila yang diuraikan dimuka.
Sistem filsafat yang berkembang sebagai filsafat hidup (Weltanschauung, Lebensanswelt); sebagai filsafat negara (ideologi negara) ditegakkan melembaga sebagai sistem kenegaraan (ajaran HAM, ajaran demokrasi dan negara hukum) dalam jabaran fungsional: sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum . . . dalam negara modern.
Bagi bangsa Indonesia ditegakkan dalam integritas NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila, terjabar secara konstitusional dalam UUD Proklamasi.
UUD Proklamasi perlu pula dijabarkan dalam pengembangan dan pembudayaannya sebagai pelaksanaan sistem kenegaraan Pancasila. Secara struktral dan normatif pelaksanaan filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi nasional terutama berwujud N-sistem nasional, sebagai terlukis dalam skema 6 berikut.
*) = N = sejumlah sistem nasional, terutama:
1. Sistem filsafat Pancasila
2. Sistem ideologi Pancasila
3. Sistem Pendidikan Nasional (berdasarkan) Pancasila
4. Sistem hukum (berdasarkan) Pancasila
5. Sistem ekonomi Pancasila
6. Sistem politik Pancasila (= demokrasi Pancasila)
7. Sistem budaya Pancasila
8. Sistem Hankamnas, Hankamrata
(MNS, 1988)
skema 6
Skema ini melukiskan bagaimana sistem filsafat Pancasila dijabarkan secara normatif-konstitusional dan fungsional sebagai terlukis dalam struktur (nilai) kenegaraan yang dimaksud komponen-komponen dalam skema ini.
Secara konstitusional NKRI ditegakkan (dan dibudayakan) sebagai sistem kenegaraan dalam integritas dan identitas fundamental dan asas kenegaraan, berikut:
Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, sebagai terjabar dalam asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional:
1. Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.
2. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: asas normati sila IV).
3. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan dan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral (manusia warga negara) politik Indonesia.
4. Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.
5. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia, negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V) dijiwai dan dilandasi sila I-II; dan ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila, sebagai demokrasi ekonomi dan pemberdayaan rakyat sebagai SDM subyek penegak integritas NKRI.
Asas-asas fundamental ini ditegakkan secara normatif-fungsional dalam N-sistem nasional (sejumlah sistem nasional): prioritas 1 – 8 sistem nasional; lebih-lebih 1 – 6.
Sesungguhnya pendidikan nasional ---in casu pendidikan nilai dasar Pancasila adalah asas dan inti nation and character building--- sinergis dengan System bildung (pembangunan dan pengembangan sistem, yakni sistem nasional); terutama: sistem nasional dalam politik dengan asas kedaulatan rakyat atau demokrasi (= demokrasi berdasarkan Pancasila); sistem nasional dalam ekonomi ( = sistem ekonomi Pancasila); dan sistem nasional dalam hukum (= sistem hukum Pancasila)….. dan sebagainya. (M. Noor Syam 2007: 2 – 5).
V. PENDIDIKAN DAN PEMBUDAYAAN NILAI FILSAFAT PANCASILA
Bangsa Indonesia berkembang generasi demi generasi; sebagaimana juga dunia berkembang dalam dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Hanya bangsa yang unggul-kompetitif-terpercaya dalam sistem kenegaraan Pancasila ---yang diakui sebagai sistem kenegaraan terbaik bagi bangsa Indonesia---. Antar berbagai sistem kenegaraan modern, secara niscaya terjadi kompetisi dan perebutan keunggulan (supremasi ideologi dan politik) melalui berbagai bidang kehidupan: sosial politik, ekonomi, budaya dan ipteks canggih.
Dinamika globalisasi-liberalisasi yang mendominasi praktek dan budaya politik internasional modern, dipelopori oleh USA dan Unie Eropa, sesungguhnya adalah praktek neo-imperialisme. Mereka bahkan melakukan rekayasa global, dan menguasai organisasi dunia, seperti: PBB, World Bank, IMF, bahkan juga ADB melalui jaringan NGO. Nampaknya, dana yang disediakan untuk perang dingin, dimanfaatkan untuk perjuangan politik supremasi ideologi.
Generasi muda hendaknya meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan nasional; karena NKRI ini adalah milik masa depan kalian!
Dalam era reformasi amat banyak terjadi penyimpangan dari asas-asas filosofis-ideologis (Pancasila) dan konstitusi Proklamasi (yang sudah menjadi UUD 2002, yang sarat kontroversial). Praktek NKRI telah menjadi budaya negara federal atas nama kebebasan, demokrasi dan HAM; sehingga berbagai sumber daya alam (SDA) dan sumber daya sosial-kultural yang fundamental, fungsional dan potensial, sebagian telah dikuasai modal asing (PMA, investor) atas nama liberalisasi ekonomi.
Kebijaksanaan Pemerintah sebagai termuat di dalam Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka, amat sangat memprihatinkan masa depan sosial, ekonomi, politik dan budaya nasional Indonesia. Apabila Perpres tersebut ditingkatkan sebagai undang-undang, maka globalisasi-liberalisasi sudah mencekam integritas NKRI sebagai wujud neoimperialisme.
A. Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme
Demi tegaknya integritas sistem kenegaraan Pancasila dan visi-misi nation and character building, adalah kewajiban nasional (semua komponen bangsa) untuk mampu meningkatkan wawasan nasional agar SDM warga negara kita senantiasa mewaspadai tantangan: globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Juga tantangan nasional dalam era reformasi (yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM) ---dalam praktek menjadi budaya neo-liberalisme dan anarchisme--- yang mengancam integritas bangsa dan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila.
Cukup mendesak program pendidikan dan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai bagian dari visi-misi nation and character building; terutama:
1. Meningkatkan mental-moral manusia dan warga negara RI sebagai satu bangsa Indonesia dalam NKRI sebagai negara bangsa (nation state, negara kebangsaan) seutuhnya. Maknanya, kondisi warisan budaya daerah dan kearifan lokal sebagai kebhinnekaan (pluralisme) dalam nusantara secara kultural dan moral ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia. Jadi, pluralisme dan warisan keunggulan daerah (= kearifan lokal), ditingkatkan dalam puncak budaya dan semangat kebangsaan dalam integritas nasional: kesatuan nasional (tunggal ika) dan kebanggaan nasional. Inilah jiwa kebangsaan dan jiwa nasional Indonesia yang melembaga dalam NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45. Bandingkan dengan motto negara Amerika Serikat: " E Pluribus Unum" (CCE 1994: 25).
2. Bangsa dan NKRI hidup dalam dinamika dan antar hubungan regional dan internasional. Bangsa Indonesia adalah bagian dari tatanan peradaban dunia modern dalam semangat persahabatan dan kerjasama demi kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dunia abad XXI ditandai era globalisasi – liberalisasi dan postmodernisme (pasca modernisme). Dunia demikian menjadi medan adu kekuatan. Negara adidaya, dipelopori Amerika Serikat dan Unie Eropa bergerak pesat merebut supremasi (keunggulan) politik, ekonomi, budaya dan ipteks serta militer (hankam). Kita menyaksikan bagaimana USA dan Unie Eropa bersama negara-negara industri maju lainnya (Jepang, RRC, Australia) terus mendominasi politik dan ekonomi dunia. Kapitalisme – liberalisme menggoda dan melanda dunia!
3. Khusus dalam NKRI mulai era reformasi, kita mengalami budaya politik liberal dan neo-liberalisme, demokrasi liberal, termasuk ekonomi liberal…. Praktek politik memuja kebebasan (liberalisme, neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM. Budaya dan praktek politik mengalami degradasi nasional, degradasi mental dan moral. Atas nama demokrasi dan HAM eks PKI (G.30S/PKI) melalui hujatan pelurusan sejarah, mereka bangkit dengan berbagai gerakan. Ini tantangan atas integritas Pancasila – UUD 45 dan NKRI, tantangan atas moral SDM Indonesia yang religious!
4. Bangsa dan NKRI wajib waspada PKI ---sekarang terkenal sebagai Komunis Gaya Baru atau KGB--- adalah penganut marxisme-komunisme-atheisme. Ajaran ini bertentangan dengan dasar negara Pancasila yang beridentitas theisme-religious! Tegakkan asas moral theisme-religious sebagai benteng menghadapi marxisme-atheisme. Kekuatan neo-liberalisme yang hanya memuja kebebasan dan materi (kapitalisme), yang berwatak moral individualisme-sekularisme sinergis dengan marxisme-komunisme-atheisme yang memuja materi (materialisme) dan etatisme (memuja: kedaulatan negara, negara = hanya ada satu partai politik dalam negara, partai komunis sebagai partai negara)! Dalam sistem negara komunis tidak ada demokrasi atau kedaulatan rakyat; yang ada hanya kedaulatan negara yang dilaksanakan dengan otoritas tunggal partai negara! Tidak ada moral Ketuhanan dan agama, karena marxisme = atheisme! Karenanya, "tujuan menghalalkan semua cara!" Secara filosofis-ideologis PKI melakukan gerakan separatisme ideologi (= mengkhianati ideologi nasional) Pancasila!
5. Tantangan nasional yang amat mendesak: bagaimana rakyat dan negara kita mengatasi tantangan sosial ekonomi yang menghimpit bangsa: kemiskinan, pengangguran; pendidikan biaya tinggi (RUU BHP, UNAS); konflik horisontal sampai anarchisme. Kondisi demikian seyogyanya ditangkal dengan pembinaan sistem ekonomi berdasarkan Pancasila – UUD 45 (Pasal 33) dan bukan mengikuti arus ekonomi liberal dan neo-imperialisme.
Mengapa kita setia melaksanakan fatwa (amanat) IMF, AFTA dan APEC; sementara kita mengkhianati amanat dasar negara Pancasila dan UUD Proklamasi yang imperatif! Apa kita setia dan mengabdi untuk neoimperialisme; atau tetap mengabdi kepada bangsa dan cita-cita nasional Indonesia raya!
Tantangan dimaksud secara normatif filosofis-ideologis dan konstitusional terlukis dalam skema berikut; dengan catatan:
1. bacalah skema ini mulai dari baris bawah ke atas;
2. perhatikan komponen ideologi dari sisi kiri dan kanan; yang merebut supremasi sosial politik dan ekonomi dalam forum internasional; dan
3. bagaimana posisi NKRI (ditengah) himpitan dan tekanan antar sistem ideologi yang berebut politik supremasi ideologi ---yang bermuara sebagai neo-imperialisme dalam postmodernisme. Separatisme ideologi marxisme-komunisme-atheisme meruntuhkan integritas NKRI sekaligus martabat moral manusia SDM Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa (Pancasila + UUD 45 Pasal 29).