Dalam Islam, harta dan anak merupakan
amanah, ujian, dan cobaan dari Allah SWT. Harta dan anak dapat menjadi
perhiasan kehidupan dunia, namun amal kebajikan yang terus-menerus lebih baik
pahalanya di sisi Allah SWT.
Berikut
adalah beberapa hal yang perlu diingat terkait harta dan anak dalam Islam:
üHarta
dan anak adalah ujian bagi manusia, apakah akan menuruti hawa nafsu atau
menuruti petunjuk Allah.
üHarta
dan anak dapat membuat manusia lalai dari beribadah kepada Allah.
üHarta
dan anak dapat menjadi musuh di akhirat jika tidak dididik sesuai syari'at
Islam.
üAnak
adalah amanah yang harus dijaga, dipelihara, dibimbing, dididik, dan
dikembangkan potensinya.
üAnak
lahir dalam keadaan fitrah (suci), dan kedua orang tuanya yang menjadikannya
Yahudi, Majusi, atau Nasrani.
üHarta
dan anak tidak akan membantu seseorang di hari kiamat, kecuali bagi orang yang
datang kepada Allah dengan hati yang sehat.
üPenjelasan Tentang Anak, Harta dan Istri dalam Al-Quran
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentangbanyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. (57: 20)
Dan sekali-kali bukanlah harta dan
bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun;
tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah
yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka
kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).
(34: 37)
Hai orang-orang beriman, janganlah
hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (63: 9)
Maka janganlah harta benda dan
anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan
(memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan
di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan
kafir. (9: 55)
Sesungguhnya orang-orang yang kafir
baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak azab
Allah dari mereka sedikitpun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya. (3: 116)
Dan janganlah harta benda dan
anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab
mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka,
dalam keadaan kafir. (9: 85)
Sesungguhnya orang-orang yang kafir,
harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah
dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka, (3: 10)
Harta benda dan anak-anak mereka
tiada berguna sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah
penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya. (58: 17)
Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (18: 46)
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya
di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (64: 14)
Aqidah kita
adalah sesungguhnya Allah maha dahulu tanpa permulaan (azali), Allah tak menyerupai sesuatu dan tak ada sesuatu yang menyerupai Allah, tak ada bagi Allah tempat maupun arah, tak berlaku bagi Allah waktu dan zaman, tidak dikatakan bagi Allah "dimana"
, Allah ada tanpa tempat, Allah yang menciptakan tempat, dan sekarang Allah masih seperti dahulu tanpa
bertempat, Allah ada tanpa berubah,
inilah madzhab Ahlussunnah.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد
قال الله تعالى : (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا) (سورة
مريم : 65)
“Engkau
tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah)”. (QS. Maryam: 65).
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi
Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka
dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan
al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).
Dalil atas
keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah:
( لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ) (سورة
الشورى: 11)
“Dia
(Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun
yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat
ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah
sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa
alam (makhluk Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda.
Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi
karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar
al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang
terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1.Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang
oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2.Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh
tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan
sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam,
berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas
menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan
merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia
tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup
untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena
seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan
kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang
membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada
sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada
pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya)
bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'arsy, langit,
manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum
terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia
tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena
berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana
dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum
terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa
tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian
atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina ‘Ali ibn Abi
Thalib -semoga Allah meridlainya-:
"Allah ada
(pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan
tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam
Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam
al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:"Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah
mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:
"Engkau Ya
Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada
sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan)
tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada
sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka
berarti Dia ada tanpa tempat".
Al-Imam as-Sajjad
Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
"Engkaulah
ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat". (Diriwayatkan oleh al-Hafizh
az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin dengan
rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt;
keturunan Rasulullah, 4 - 413).
Adapun ketika
seseorang menghadapkan
kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan
bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat
berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila
seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah, hal ini tidak berarti
bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat shalat.
Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah
seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah,
al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya
‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim,
al-Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan
masih banyak lagi.
Al-Imam Abu
Ja'far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H) berkata:
"Maha suci
Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai
ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti
wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut,
lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu
maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak
seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut".
Perkataan al-Imam
Abu Ja'far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama
Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil
dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi'raj bahwa Allah
berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu
dengan-Nya. Melainkan maksud Mi'raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan
memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana
dijelaskan dalam al Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian
tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau
ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau
semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata:
"Sesungguhnya Allah ada tanpa
tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy’ari juga berkata: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di
satu tempat atau di semua tempat".
Konsensus
Para Sahabat dan Imam : “Allah Ada Tanpa Tempat”
Berikut ini
adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab,
serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah
dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan
tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita
hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan
lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat
akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang
menyalahinya.
“Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat-
tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan
oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
“Sesungguhnya Allah menciptakan
‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan
kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
2.Seorang tabi’in
yang agung, Al-Imam Zainal-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib
(w 94 H) berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ
“Engkau wahai
Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla
az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h.
380). Juga berkata:
“Engkau wahai
Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam
Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin,
j. 4, h. 380).
3.Al-Imam Ja’far
as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w
148 H) berkata:
“Barang siapa
berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di
atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di
atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu
berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu
-makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah
al-Qusyairiyyah, h. 6).
4.Al-Imam
al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama
salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
“Allah ta’ala di
akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka
di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan
bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara
mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau
di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun
samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya
karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137). Juga berkata :
“Aku katakan:
Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada
tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah
ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala
suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath
karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 20). Juga berkata :
“Dan kita
mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy
tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang
memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika
Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan
dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri.
Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan
makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua
dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah
Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh
asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam
bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk
kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai
kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan
bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu
Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah
mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut
telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan
Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang
berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi !?”,
demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan
aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena
kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena
itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap
yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu
yanga baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang
disalahpahami sebagian golongan.